Perceraian di arab saudi
Sangat menarik membaca artikel terkait budaya poligami di Arab Saudi yang ditulis oleh Kompasianer Sayeed Kalba Kaif dan Mariam Umm. Dalam artikelnya, Kompasianer Sayeed menulis isu poligami dengan judul bombastis “Di Arab Saudi Istri Terima Saja Dimadu”. Tentu saja tulisan Kompasianer Sayeed dengan judul “Di Arab Saudi Istri Terima Saja Dimadu” menjadi menarik karena berbeda dengan para wanita Indonesia yang terkenal dengan ungkapannya “wanita mana yang rela dimadu?”. Terbukti tulisan Kompasianer Sayeed langsung mendapat tanggapan dari Kompasianer Mariam Umm yang juga tinggal di Arab Saudi.
Menurut Kompasianer Mariam Umm, judul yang dibuat oleh Kompasianer Sayeed kurang tepat karena faktanya tidak semua istri di Arab Saudi rela dimadu. Ada fakta menarik yang diungkap oleh Kompasianer Mariam Umm bahwa untuk mencegah terjadinya poligami maka dibuat perjanjian pra nikah yang salah satu pointnya menolak untuk dipoligami. Karena terkait dengan masalah poligami yang sensitif, Mariam Umm dengan menggunakan fakta yang dimilikinya menolak generalisir yang dilakukan oleh Sayeed.
Sayangnya, tanggapan yang baik dari Mariam Umm untuk melengkapi artikel tentang budaya poligami di Arab Saudi justru ditanggapi negative oleh Kompasianer Sayeed. Anehnya, tanggapan negative Kompasianer Sayeed terhadap Mariam Umm justru semakin menunjukkan bahwa judul artikel Kompasianer Sayeed memang sengaja dibuat “bombastis” dengan tujuan mendatangkan banyak pembaca. Jadi target Kompasianer Sayeed memang untuk memancing pembaca. Fakta tersebut diungkap secara jelas oleh Kompasianer Sayeed dalam berbagai balasan komentarnya yang menuliskan bahwa tujuannya memang untuk “menipu” pembaca, bukan untuk menyampaikan fakta kebenaran. Masih menurut Sayeed, menulis di Kompasiana tidak perlu data yang akurat karena bukan merupakan karya ilmiah. Hmmm...ya sudah, sing waeas ngalah wae….
Membaca Budaya Poligami di Arab Saudi
Isu poligami merupakan isu yang sensitif, karenanya harus hati-hati. Ketika mendengar kata poligami secara otomatis otak kita langsung tertuju pada profil keluarga yang terdiri dari seorang suami dengan beberapa istri mulai dari dua, tiga sampai empat. Bahkan ada beberapa kasus seorang suami yang istrinya lebih dari empat. Pelaku poligami beralasan bahwa poligami halal karena memang diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Berdasarkan kajian sejarah Islam diketahui bahwa praktek kehidupan di jazirah arab sebelum datangnya Islam menunjukkan ada bermacam jenis pernikahan seperti nikah mut’ah (nikah kontrak) yakni dalam waktu tertentu dengan imbalan materi tertentu, nikah muhallil (nikah perantara) yakni wanita yang sudah diceraikan oleh suaminya dengan ditalak tigakali, namun dia ingin menikahi lagi dengan menyuruh orang lain untuk menikahi dulu lalu menceraikannya. Ada lagi nikah shighor (tukar menukar), nikah perempuan satu dengan laki-laki bayak, nikah dengan saudarinya sendiri, bahkan menikahi istri ayahnya dan sebagainya.
Akar budaya poligami yang sudah ada sejak era pra Islam sampai kini masih tetap dipertahankan, meskipun dengan berbagai prasyarat yang ketat misalnya harus bersikap adil dan dibatasi maksimal 4 istri. Namun seiring perkembangan jaman, budaya poligami akhirnya melahirkan kontroversi ketika harus berhadapan dengan budaya monogami.
Sepertinya halnya budaya poligami di arab, tradisi monogami di Indonesia juga dipengaruhi faktor budaya kesukuan di Indonesia. Adanya ungkapan “wanita tidak mau dimadu” disemangati oleh kebiasaan yang tumbuh dikalangan wanita jawa dan di Indonesia pada umumnya. Secara tidak langsung menggambarkan pengakuan hak-hak wanita sekaligus memberikan arti kesetaraan gender. Tentu saja budaya monogami “wanita tidak mau dimadu” ditentang oleh penganut poligami. Dan hinggá kini kontroversi poligami vs monogami masih terus berlangsung. Karenanya isu poligami merupakan isu yang sangat sensitif.
Kesadaran masyarakat Indonesia dalam mengamalkan ajaran Islam telah mengalami proses adaptasi dengan ”kearifan” budaya lokal. Inilah yang belakangan ditentang oleh kelompok Islam radikal dan fundamentalis yang ingin menerapkan ajaran Islam secara holistik dimanapun berada. Maraknya aksi teror yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal dan fundamentalis semakin mengokohkan kontroversi poligami vs monogami di Indonesia.
Padahal sebagai ajaran rahmatan lil alamin, sudah semestinya Islam didakwahkan dengan penuh kearifan tanpa mengibarkan konfrontasi terhadap budaya lokal. Poligami ditegaskan dalam ranah kewajaran (mubah) bagi yang mampu berlaku adil dan bukan dalam ranah kewajiban agama. Dalam Islam hukum mubah dan wajib jelas sangat berbeda nyata. Ironisnya, konsep adil yang menjadi prasyarat penting diperbolehkannya melakukan poligami sering diplintir dan diakal-akali. Prinsip daripada “berzina” lebih baik melakukan “poligami” sering dijadikan dalil pembenar mengapa seseorang melakukan poligami. Jadi sangat ironis, ketika poligami bukan lagi didasarkan pada kemampuannya berlaku adil atau tidak, tapi lebih didasarkan untuk memenuhi nafsu seks-nya semata. Lagi-lagi, prinsip daripada “berzina” lebih baik melakukan “poligami” menjadi andalan dalilnya.
Fenomena Perceraian di Arab Saudi
Pertanyaannya, apakah benar di Arab Saudi istri terima saja dimadu seperti yang dituliskan oleh Kompasianer Sayeed?
Agar tidak menimbulkan fitnah mari kita bedah berdasarkan data dan fakta. Data penelitian dari Prof. Muhammad Al-Saif dari Jurusan Sosiologi, King Saud University, Riyadh menunjukkan bahwa ada masalah bagaikan fenomena gunung es dalam pernikahan poligami. Dalam rilisnya tahun 2001 yang dimuat di koran berbahasa Inggris terbesar di Arab Saudi, Arabnews, diungkapkan bahwa 55% kasus perceraian di Arab Saudi disebabkan poligami.
Sedangkan menurut data dari Kementerian Kehakiman Arab Saudi seperti dikutip oleh Al-Arabiya Pebruari 2012, total angka perceraian di Arab Saudi sudah sangat mengkhawatirkan karena meningkat hingga 35%. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata tingkat perceraian di dunia yang mencapai 18-22%. Dari data-data tersebut dengan jelas menggambarkan ada penolakan istri/wanita untuk dipoligami.
Data lain seperti diungkap oleh SaudiGazette, Maret 2013 menyebutkan bahwa Kementerian Kehakiman Arab Saudi mengungkapkan bahwa 66 persen perceraian di kerajaan terjadi pada tahun pertama perkawinan. Menurut data resmi otoritas kerajaan, rata-rata perceraian mencapai 35 persen. Adapun penyebab perceraian yang terjadi Arab Saudi dilatarbelakangi banyak masalah seperti kurangnya kesadaran menjalankan ibadah, kemajuan teknologi dan isu-isu jejaring social, perselingkuhan, poligami, penyakit seksual dan status suami-istri tidak setara.
Tingginya kasus perceraian yang disebabkan oleh poligami salah satunya karena disebabkan masih ada laki-laki Arab yang masih menerapkan pernikahan al-misyar. Ini adalah jenis pernikahan dimana seorang suami tidak harus tinggal bersama istrinya, dan hanya berkunjung sesekali saja. Akibatnya, istri tidak mengetahui keberadaan suaminya, yang biasanya menikah dengan perempuan yang lain. Ketika istri pertama mengetahui suaminya telah menikah lagi, maka bagi yang tidak setuju akan terjadi perceraian.
Seperti dikutip oleh Republika, kerajaan Arab Saudi akhirnya mengeluarkan peraturan baru bagi pria yang ingin menikah, peraturan tersebut dibuat lebih ketat, guna menghindari pengayalhgunaan poligami yang biasa dilakukan oleh laki-laki Arab Saudi. Bagi mereka yang ingin melakukan poligami harus memiliki ketrangan bahwa istrinya mengalami penyakit tertentu sehingga harus menikah kembali. Sementara, jika istrinya dalam keadaan baik-baik saja, diperlukan bukti bahwa pasangannya mengizinkan pernikahan poligami tersebut.
"Dia harus melampirkan laporan dari rumah sakit pemerintah yang membuktikan istrinya menderita penyakit kronis atau mandul," ungkap pejabat kepolisian komandan polisi Makkah Assaf Al-Qurshi.
Selain itu kerajaan juga menolak usul pemberian bantuan keuangan senilai SR 50 ribu kepada pasangan pengantin yang baru pertama kali menikah. Penolakan tersebut didasarkan pada fakta bahwa meskipun kerajaan telah memberikan subsidi menikah sebesar SR 10 ribu tapi angka perceraian di Arab Saudi masih sangat tinggi dengan tingkat 82 perceraian setiap hari. Dengan angka itu, hampir tiga kasus perceraian terjadi setiap jamnya. Tingkat perceraian di antara negara Teluk, Arab Saudi berada di nomor dua setelah Bahrain.
Kasus poligami, perceraian dan meningkatnya jumlah perawan tua menjadi kasus yang rumit di Arab Saudi. Di satu sisi, pihak kerajaan ingin membatasi dan memperketat aturan poligami yang bermasalah namun disisi lain meningkatnya jumlah perawan tua memaksa kerajaan agar segera mencarikan solusinya. Permasalahan meningkatnya jumlah perawan tua dan perceraian menjadi fenomena sosial yang sangat memprihatinkan di Arab Saudi. Menurut Prof. Abdulaziz Al-Mishaiqih dari Universitas Qasim jumlah perawan tua di Arab Saudi sudah mencapai 1,5 juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat hingga 4 juta jiwa dalam beberapa tahun ke depan.
Bagaimana kedua permasalahan ini akan dapat menemukan solusinya, apakah poligami merupakan salah satu pintu keluarnya?
Menurut Prof. Abdulaziz Al-Mishaiqih dari Universitas Qasim akar permasalahan yang menjadi penyebab meningkatnya jumlah perawan tua di Arab Saudi adalah:
Mahalnya mahar dan beban tanggungan pernikahan
Tampaknya permasalahan ini menjadi faktor dominan para pemuda enggan menikah, sehingga akibatnya banak perempuan terlambat menikah dan menjadi perawan tua. Kenapa mahar dan tuntutan biaya pernikahan begitu mahal? Ini terjadi karena tradisi orang tua (wali nikah) memasang tarif yang mahal sekaligus sebagai prestasi dalam menghargai anak perempuannya.
Mahalnya mahar juga sering berakibat fatal usai pernikahan. Banyak pemuda arab yang terpaksa berhutang ke bank untuk memenuhi mahar pernikahannya. Ketika mereka tak mampu lagi membayar hutang ke bank dan kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya maka yang terjadi adalah perceraian.
Tentu saja mahalnya mahar pernikahan di Arab Saudi menjadi ironi dan sangat bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan ”Aku menikahkan wanita ini denganmu dengan mahar Al-quran.”
Wanita berpendidikan tinggi
Reformasi pendidikan yang dilaksanakan oleh Raja Abdullah berdampak pada meningkatnya kesadaran wanita di Arab Saudi untuk mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Apalagi selain pendidikan gratis, di Arab Saudi seorang mahasiswa mendapatkan tunjangan hidup. Sehingga semakin banyak wanita yang berpendidikan tinggi menghabiskan waktunya untuk belajar. Semakin tinggi pendidikannya justru tidak banyak pemuda yang berani melamarnya. Tampaknya laki-laki akan berfikir dua kali ketika akan menikah dengan wanita karir berpendidikan tinggi, karena biasanya diperlukan kesetaraan pemikiran dan pendidikan. Terkadang wanita juga berfikir bahwa pendidikan tinggi dapat menjamin hidupnya lebih baik. Tetapi kenyataannya sangat memprihatinkan jika pada akhirnya calon laki-laki tidak ada yang melamarnya karena semakin pendidikan tinggi wanita semakin menaikkan prestisenya dimasyarakat.
Banyak dijumpai misalnya wanita berpendidikan tinggi hanya akan menikah dengan laki-laki idaman terhebat yang juga berpendidikan tinggi, cinta sejati dan sebagainya. Jika datang laki-laki yang melamar dan tidak sesuai kriteria tersebut cenderung ditolaknya. Kondisi seperti ini berlangsung terus menerus, akibatnya tertundalah pernikahannya sampai menjadi perawan tua.
Pelarian nafsu seks ke luar negeri
Mahalnya mahar pernikahan di Arab Saudi memicu maraknya fenomena nikah di luar negri yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Fenomena tersebut dinamakan mesyaf yaitu nikah saat liburan. Pada musim liburan pergi keluar negeri baik ke negara barat maupun ke timur termasuk Indonesia. Diantara tujuannya adalah mencari kesenangan duniawi dengan ditemani wanita ”penghibur”. Sungguh fenomena yang paradok ketika orang-orang dari luar Arab Saudi datang berbondong-bondong ke Makkah dan Madinah untuk ibadah umroh, menuntut ilmu dan mencari nafkah, namun disisi lain ada orang Arab yang melancong ke negeri orang dengan tujuan bersenang-senang mencari kebebasan dan ”kepuasan”. Lihatlah fenomena di Puncak, Bogor yang tak pernah sepi dari kunjungan para pelancong Arab.
Sebagai kiblatnya umat muslim se-dunia tentu saja fenomena poligami, perceraian dan perawan tua di Arab Saudi selalu menjadi sorotan dunia. Jika isu poligami, perceraian dan perawan tua tidak disikapi dengan hati-hati, maka lagi-lagi Islam akan menjadi bahan olok-olok para hatersnya. Tentu saja kita berharap, jangan sampai poligami yang memang dibolehkan dalam Islam, dituding sebagai kedok pemuas nafsu seks belaka hanya gara-gara para pelakunya yang tidak mencerminkan ajaran Islam.
Salam hati-hati...!!!
Sumber Tulisan:
1. Why divorce is on the rise in Saudi Arabia (SaudiGazette)
2. Saudi analysts warn of dire consequences of high divorce rate (Al-Arabiya)
3. 55% of Divorce Caused by Polygamy (Arabnews)
4. High divorce rate sparks concern (Arabnews)
5. Cegah poligami, kerajaan Arab Saudi perketat aturan pernikahan (Republika)
(Arab-News/Saudi-Gazette/Republika/Kompasiana/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar