Sejarah perkembangan Islam di Nusantara tak bisa dilepaskan dari peran tulisan dan karya tulis. Terlebih tulisan Arab Pegon yang merupakan sarana untuk mentransfer ilmu agama dengan perantara dunia tulis-menulis kitab keilmuan Islam yang dilakukan oleh para ulama penyebar Islam di Nusantara kala itu.
Meski demikian, bukan berarti hal tersebut menafikan adanya transfer ilmu dengan cara pemaparan materi oleh seorang ulama atau kiai yang mengajak para santrinya kepada agama Allah dengan melalui lisan, entah dengan cara dakwah keliling atau dengan cara menyelenggarakan pengajian agama di surau-surau atau pesantren-pesantren.
Transfer ilmu dengan tulisan dilakukan oleh ulama atau kiai dengan tujuan agar ilmu bisa lebih terjaga dan bisa dinikmati oleh orang banyak. Bukan hanya oleh orang-orang yang hidup semasanya, melainkan juga agar generasi yang datang setelahnya berkesempatan pula untuk mencerna ilmu-ilmu itu. Di antara alasan para ulama atau kiai menulis adalah karena melihat kondisi kapasitas otak manusia yang tidak bisa luput dari salah dan lupa. Sehingga, perlu adanya pengabadian sumber ilmu dengan cara menuliskannya dalam bentuk kitab atau buku.
Dengan adanya tulisan Arab Pegon di kala itu, diharapkan ilmu akan lebih terjaga dari perubahan dan penyimpangan. Bukti penting adanya karya tulis, banyak ulama Nusantara di kala itu yang meninggalkan berbagai karya tulis di berbagai bidang. Di antaranya, Suluk Sunan Bonang yang dipercaya sebagai karya Sunan Bonang. Ada jugaHikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Risalah Tasawuf Hamzah Fansuri.
Uniknya, karya-karya tersebut kebanyakan ditulis dengan aksara Arab Pegon, baik karya asli atau terjemahan dari kitab-kitab yang berliteratur Arab.
Huruf Pegon berasal dari lafal Jawa “Pego”, yang mempunyai arti menyimpang. Hal ini dikarenakan memang huruf pegon ini menyimpang dari literatur Arab dan juga menyimpang dari literatur Jawa. Arab Pegon disebut pula Arab Pego atau Arab Jawi, yaitu tulisan yang menggunakan huruf Arab atau huruf hijaiyah. Tetapi dalam praktik bahasanya menggunakan bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya yang sesuai dengan selera orang yang ingin menggunakannya.
Di pesantren-pesantren salaf di tanah Jawa sudah mentradisi penggunaan huruf Arab Pegon dalam memahami teks-teks Arab dan Kitab Kuning.
Tetapi, untuk kalangan yang lebih luas huruf Arab Pegon dikenal dengan istilah huruf Arab Melayu, karena ternyata huruf Arab berbahasa Indonesia ini telah digunakan secara luas di kawasan Melayu mulai dari Terengganu (Malaysia), Aceh, Riau, Sumatera, Jawa (Indonesia), Brunei, hingga Thailand bagian selatan.
Maka tak mengherankan, jika kita membeli produk-produk makanan di kawasan dunia Melayu (Malaysia, Thailand selatan, Brunei, dan beberapa wilayah di Indonesia) dapat dipastikan terdapat tulisan Arab Pegon dalam kemasannya walaupun dengan bahasa yang berbeda. Bahasa tersebut disesuaikan dengan tempat atau negara yang mengeluarkan produk-produk tersebut.
Huruf Arab Pegon mempunyai keunikan tersendiri. Jika dilihat dari kejauhan, tulisannya seperti tulisan Arab pada biasanya. Namun, kalau dicermati sebenarnya susunannya atau rangkaian huruf-hurufnya bukan susunan bahasa Arab. Orang Arab asli tidak akan bisa membaca tulisan Arab Pegon. Seandainya mereka bisa membacanya, niscaya tidak sejelas dengan bacaan orang Jawa atau Melayu asli.
Membedakan huruf Arab Pegon dengan huruf Arab asli sangat mudah. Penulisan Arab Pegon menggunakan semua aksara Arab hijaiyah, dilengkapi dengan konsonan abjad Indonesia yang ditulis dengan aksara Arab yang telah dimodifikasi. Modifikasi huruf Arab ini dikenal sebagai huruf jati Arab Melayu, berwujud aksara Arab serapan yang tak lazim. Misalnya untuk konsonan ‘p’, diambil huruf ‘fa’ dengan tiga titik di atasnya dan sebagainya. Selain itu, huruf Arab Pegon meniadakan syakal (tanda baca) layaknya huruf Arab gundul.
Sejarah penulisan Arab Pegon di Nusantara diperkirakan ada sejak tahun 1300 M/1400 M seiring dengan masuknya agama Islam menggantikan kepercayaan animisme, Hindu, Budha.
Mengenai siapa yang menemukan huruf Arab Pegon ada beberapa pendapat. Menurut suatu catatan, ia digagas oleh RM Rahmat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel di Pesantren Ampel Dentha Surabaya. Sedangkan menurut pendapat lain, penggagas huruf Arab Pegon adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Ada yang mengatakan huruf Arab Pegon ditemukan oleh Imam Nawawi al-Bantani. Ada juga yang berpendapat bahwa huruf Arab Pegon sudah ada sebelum kehadiran tokoh-tokoh tersebut.
Sayangnya, kini huruf Arab Pegon tak lagi dikenal di masyarakat secara luas. Padahal menurut sejarah, huruf ini telah digunakan secara luas oleh para muballig, sastrawan, pedagang hingga politikus di kawasan dunia Melayu.
Pergeseran huruf Arab Pegon menjadi huruf Latin dan Romawi dimulai saat Kemal Attatutk menggulingkan kekuasaan Khalifah Utsmani terakhir, Sultan Hamid II pada tahun 1024. Kemal memerintahkan mengganti tulisan Arab dengan Latin dan Romawi, sehingga dunia Melayu juga banyak mengikutinya.
Peran penjajah juga mempunyai pengaruh dalam menggerogoti berkurangnya pemahaman tentang huruf Arab Pegon. Dalam menjalankan pemerintahannya, penjajah menggunakan huruf latin dalam urusan negara dan kemasyarakatan. Ini yang mengakibatkan huruf Arab Pegon terisolir di dunia pesantren.
Namun pihak pesantren tidak tinggal diam. Untuk mempertahankan huruf tersebut, para ulama mengeluarkan fatwa yang menolak menggunakan produk-produk penjajah, termasuk tulisan mereka. Para Kiai menggunakan Pegon sebagai simbol perlawanan, juga sebagai bahasa sandi untuk mengelabui penjajah pada saat berkomunikasi dengan sesama anggota pesantren dan juga beberapa pahlawan Nasional yang berasal dari golongan santri.
Huruf Pegon semakin tersingkir dengan adanya kongres bahasa yang diadakan di Singapura pada tahun 1950, yang memperkuat kedudukan huruf Latin dan Romawi. Salah satu keputusan dalam kongres tersebut menghasilkan pembentukan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia yang mempelopori penggunaan abjad Latin. Saat itu, hampir semua penerbit koran, majalah, dan buku terpaksa mengganti huruf Arab Pegon dengan huruf Latin.
Sementara pada tahun 2007, dalam Kongres Ijtima Ulama Nusantara ke-2 di Malaysia, ada ulama asal Indonesia, yakni KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) telah menyampaikan betapa kelestarian tradisi salaf dalam tahap kritis. Beberapa ajaran salaf mulai terlupakan, salah satunya adalah penggunaan aksara Arab Pegon. Di tengah masyarakat, Arab Pegon mulai ditinggalkan secara perlahan.
Mbah Moen dalam beberapa kesempatan tak henti-hentinya memotivasi beberapa pihak untuk senantiasa mentradisikan salaf, termasuk menghidupkan kembali Arab Pegon sebagai ikon salaf yang perlu dilestarikan.
Harapan itu tampaknya bak gayung bersambut. Belakangan, kesadaran untuk menghidupkan kembali bahasa Arab Pegon mulai muncul kembali. Banyak pihak yang berharap penggunaan huruf tersebut dijadikan sebagai bahan kajian yang serius.
Di antara yang melakukannya itu adalah Klasika Media Malaysia, yang menggaet Pusat Pengajian Bidang Terpadu (CIAS), Universitas Kyoto Jepang untuk menerbitkan kembali sebuah majalah dengan menggunakan bahasa Arab Pegon.
Ini memang penting dilakukan agar masyarakat Melayu tidak kehilangan akar bahasanya yang bernuansa Islam. Banyak sekali ilmu-ilmu ulama terdahulu yang bertuliskan Arab Pegon. Untuk memahami karya tersebut tentunya harus memahami bahasa Arab Pegon.
Semoga pihak pengambil kebijakan di negara-negara Melayu memerhatikan masalah ini dengan serius supaya huruf Arab Pegon tidak hilang ditelan bumi.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar