Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, menilai persoalan sosial politik yang terjadi saat ini sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa atau bersifat vertikal. Meskipun demikian, dia menegaskan bahwa bagaimanapun permasalahan yang terjadi harus diselesaikan dengan baik.
"Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil, dan demokratis," kata SBY dalam keterangan pers, Senin, 28 November 2016.
"Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar," lanjut dia.
Menurutnya, pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power.
"Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri," ujar dia.
SBY menuturkan bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya. Dia meminta pemerintah memahami konstitusi dan Undang Undang Pertahanan serta Undang Undang TNI.
"Jika harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan Pemerintah yang mengatur keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang dibenarkan jika negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai Presiden dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku," ujarnya.
Dalam keadaan "krisis", lanjut SBY, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Dia menyarankan agar jangan didelegasikan.
"Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan," katanya.
Namun, kata SBY, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai "penguasa absolut". Dia meminta Jokowi membangun hubungan yang baik dan sehat dengan parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain.
"Jangan hadapkan Presiden dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan Presidennya.
Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable," urai SBY.
SBY berpendapat, sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu, dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik. Bagaimana mereka membangun dan mendapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak.
"Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan. Jangan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitas," katanya.
Namun, dia memberikan kritik. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Jokowi juga jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang"-nya, tetapi seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan.
"Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas," ujarnya.
Ketua Umum Partai Demokrat itu juga meminta Jokowi mengimbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan. Dengan jaminan pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius.
"Cegah dan batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity."
(Viva-News/Berita-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar