Foto Bersama: Peserta ”workshop daerah penyusunan strategi nasional penanggulangan intoleransi dan radikalisme di Indonesia untuk Wilayah Jateng” foto bersama usai acara. (Foto: Mustaqim)
Ada perdebatan menarik dalam diskusi yang digelar Wahid Foundation (WF) pada 31 Oktober 2017 di Hotel Santika, Semarang kemarin. Disela diskusi bertema ”workshop daerah penyusunan strategi nasional penanggulangan intoleransi dan radikalisme di Indonesia untuk Wilayah Jateng” ini muncul pernyataan; bagaimana jika intoleran terhadap kelompok yang kerap bertindak intoleran?
Mungkin yang dimaksud, bagaimana jika bertindak intoleran (tentu kepada kelompok yang kerap melakukan intoleran) demi mencegah terjadinya tindak intoleran? Perdebatan dalam diskusi itu cukup panjang. Mengingat memang belakangan ini kerap terjadi tindakan-tindakan berupa pelarangan, penghentian, bahkan hingga pembubaran kegiatan sosial keagamaan.
Okelah, sebelum melangkah jauh membahas tentang ini, mari menengok kembali pengertian toleran-intoleran dan toleransi-intoleransi. Baik versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maupun versi rumusan Wahid Foundation.
Dalam KBBI kata toleran diartikan dengan bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, dan membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sementara intoleran diartikan dengan bersifat atau bersikap tidak toleran atau tidak tenggang rasa.
Selanjutnya, kata toleransi. Kata ini diartikan dengan sifat atau sikap toleran. Dan sayangnya dalam KBBI online tidak ditemukan arti kata intoleransi. Namun begitu, bolehlah kita mengartikan kata intoleransi dengan bersifat atau bersikap tidak toleransi. Arti ini berpedoman pada arti kata intoleran di atas, dimana merupakan makna kebalikan dari kata toleran.
Hak Sosial Keagamaan
Wahid Foundation mempunyai rumusan yang cukup tegas dalam mengartikan toleransi dan intoleransi. Versi lembaga yang digawangi putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid ini, toleransi dimaknai dengan tidak menghalangi kelompok lain, baik sesama muslim maupun nonmuslim dalam pemenuhan hak sosial keagamaannya.
Maka, tindakan intoleran bisa dimaknai ketika seseorang atau kelompok menghalangi individu atau kelompok lain dalam pemenuhan hak sosial keagamaannya. Jadi titik tekannya pada menghalangi atau tidak menghalangi orang lain dalam pemenuhan hak sosial keagamaan.
Wahid Foundation menggunakan rumusan toleran dan intoleran di atas untuk survei nasional bertajuk “potensi intoleransi dan radikalisme sosial keagamaan di kalangan muslim indonesia” yang digelar Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2016. Namun dalam tulisan ini tidak akan mengulas ulang hasil survei yang cukup mengejutkan itu.
Mari kembali ke soal bagaimana jika intoleran terhadap kegiatan-kegiatan kelompok yang kerap melakukan tindakan intoleran. Lalu, kelompok apa yang disinyalir kerap melakukan tindakan intoleran?
Dua Pendapat
Peserta workshop yang mewakili PW GP Ansor Jateng, Azil Maskur, mempertanyakan kelompok minoritas apa yang kegiatannya harus dilindungi? Pertanyaan ini muncul ketika peserta melakukan diskusi kelompok untuk merumuskan pilar penanganan ketika terjadi tindakan intoleran dan radikal.
”Kelompok minoritas siapa yang yang kegiatannya harus dilindungi? Karena kelompok minoritas ini banyak. Termasuk yang kerap melakukan tindakan intoleran itu juga kelompok minoritas (kecil). Masa kelompok minoritas intoleran ini harus dilindungi kegiatan-kegiatannya oleh aparat?” begini kira-kira pertanyaan Dosen Unnes Semarang ini.
Dari pertanyaan ini muncul dua pendapat. Pendapat pertama, menolak kegiatan-kegiatan sosial keagamaan karena dikhawatirkan menimbulkan atau memicu intoleran. Pendapat kedua, segala bentuk kegiatan sosial keagamaan harus dilindungi sepanjang tidak melanggar hukum dan melakukan pelanggaran hak orang lain.
Dua pendapat di atas sangat erat kaitannya dengan beberapa kasus penolakan, penghentian dan penggagalan kegiatan sosial keagamaan di Jateng belakangan ini. Sebut saja, penggagalan pembentukan FPI di Semarang, penggagalan diskusi yang akan diisi simpatisan HTI Felix Siauw di Unisula, pembubaran kegiatan HTI di Hotel Grasia Semarang dan penghentian beberapa kegiatan MTA di Jateng.
Dua Jawaban
Pertanyannya, apakah pelaku penggagalan dan penolakan kegiatan sosial keagamaan di atas itu pelaku intoleransi? Tentu jawabannya debatable.
Jawaban pertama, tidak melakukan intoleran karena tindakan itu bagian dari penanganan supaya tidak terjadi intoleran. Bukan tanpa alasan memang. Siapa pun tahu bagaimana sepak terjang FPI, HTI, dan MTA dalam berdakwah melalui kegiatan sosial keagamaan.
Ada kasus bentrok FPI dan warga di Sukorejo, Kabupaten Kendal, Konflik MTA dan NU di Purworejo, Blora, dan Demak, ada pengajian-pengajian HTI yang menyudutkan ulama-ulama NU yang membuat PW GP Ansor geram.
Banyak kalangan yang tersinggung dengan tindakan dan ucapan tiga kelompok di atas sehingga memicu ketegangan bahkan berujung konflik di masyarakat. Buntut dari itu, masyarakat banyak yang melakukan penolakan atas kegiatan-kegiatan MTA, HTI, dan FPI dan akhirnya berujung dengan konflik sosial keagamaan.
Jawaban kedua, kelompok manapun harus diberikan ruang kebebasan untuk menggelar kegiatan sosial keagamaan sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Sepanjang kegiatan itu tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain, maka kegiatannya harus dilindungi. Biasanya yang berpendapat demikian adalah teman-teman aktivis yang hanya menggunakan kacamatan HAM dalam melihat konflik keagamaan.
”Ini tidak bisa hanya menggunakan standar kebebasan berekspresi kalau dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Kalau dibiarkan (toleran) dengan kegiatan-kegiatan yang provokatif, menjelekan kelompok lain, menghasut, tindakan-tindakan intoleran akan semakin masif,” sambung Ketua FKUB Muda Jateng, Iman Fadhilah, yang juga menjadi perumus draft stranas ini.
Menentukan Sikap
Diskusi pada kelompok pilar penanganan ini berlanjut di forum besar. Anggota Komisioner KPID Jawa Tengah M Rofiudin yang juga menjadi penyusun draf stranas mempertanyakan bagaimana dengan kelompok yang menolak dan mendukung Perpu Ormas (kini sah menjadi UU).
Bukankah ada dua kelompok yang sangat bertentangan. Antara kelompok yang menolak keras seperti HTI serta YLBHI dan yang mendukung penuh seperti GP Ansor dan PBNU. ”Kita harus selesai dulu dengan istilah-istilah, karena ada yang belum selesai juga berkaitan dengan Perpu Ormas (kini jadi UU),” sambung mantan jurnalis Tempo.co ini.
Betul memang, selama kurang lebih 3 bulan masyarakat dikotakan karena adanya Perpu Ormas. Bagian yang menjadi pusat perhatian dalam peraturan ini adalah frasa ”kelompok lain yang bertentangan degan Pancasila”. Artinya, kelompok-kelompok intoleran dan radikal yang bertentangan dengan Pancasila siap-siap dibubarkan.
”Pada akhirnya memang harus menentukan sikap dalam kasus seperti ini (penolakan, penghentian, pembubaran kegiatan ormas intoleran dan radikal),” tutur penanggap draft stranas Tedi Kholiludin.
Mungkinkah bisa dikatakan ”bertindak intoleran seperti menolak, menggagalkan, dan membubarkan kegiatan kelompok penebar hasut dan intoleran-radikal itu merupakan bagian dari toleransi?” Perdebatan ini pula salah satu yang akan menjadi fokus laporan tahunan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang tahun 2017.
Pada workshop yang berjalan sejak jam 9 pagi hingga setengah 6 sore ini dihadiri perwakilan masyarakat sipil, akademisi, ormas, dan pemerintah. Ada Izzak Latu’, Ph.D dari UKSW Salatiga, Dr Tedi Kholiludin dari Yayasan Pemberdayaan Komunitas Elsa, Dr Syamsul Maarif, dari UIN Semarang, dan Dr Najahan Musyafak sebagai Ketua FKPT Jateng.
(Elsa-Online/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar