Oleh: Abdillah Toha
Secara sederhana, kata Ulama yang berasal dari bahasa Arab, adalah jamak (plural) dari Alim yang artinya orang berilmu atau ilmuwan. Asal katanya dari ‘alima yang berarti mengetahui dan ‘ilm yang artinya ilmu. Dalam bahasa Indonesia, kata Ulama yang jamak itu dipakai untuk singular sedang untuk yang banyak kita sering menyebutnya sebagai Alim Ulama. Siapa sebenarnya yang berhak menyandang gelar ulama? Adakah syarat-syarat sebelum orang dapat disebut sebagai ulama? Fungsi apa yang diharapkan dari seorang ulama?
Sesungguhnya kata ilmu dan ulama dalam Al-Quran tidak banyak dihubungkan dengan pengetahuan agama tetapi lebih banyak berhubungan dengan penguasaan atas pengetahuan umum. Ayat pertama “iqra bismi rabbika” yang berarti bacalah atas nama Tuhanmu, tidak dibatasi artinya dalam membaca wahyu Allah saja karena masa itu budaya tulis menulis belum populer. Iqra maksudnya jauh lebih luas yakni membaca keagungan ciptaan Tuhan berupa makhluk dan alam semesta. Artinya, manusia diminta untuk meneliti kebesaran Tuhan dengan membaca atau mempelajari seluk beluk alam serta rahasia dalam diri manusia. Lebih dari sepuluh persen kandungan Al-Quran berisi ayat-ayat tentang fenomena alam yang menakjubkan.
Sebagian ulama seperti imam Ghazali beranggapan bahwa Quran adalah sumber semua pengetahuan, meski banyak ulama lain menganggap Quran lebih sebagai buku petunjuk moral dan tauhid bagi manusia. Dua ayat berikut ini saja sudah mengindikasikan betapa Quran yang diturunkan 14 abad yang lalu telah mendahului berbagai teori ilmu modern.
“Dan apakah orang-orang yang tidak beriman tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” [QS. 21:30]
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. [QS. 51:49]
Imam Ghazali juga membagi ilmu kedalam dua bagian. Ilmu umum yang hukumnya fardhu kifayah (tidak semua muslim wajib menguasai), dan ilmu agama yang hukumnya fardhu ‘ain (setiap muslim harus mempelajari).
Disamping ulama, Quran juga menyebut orang-orang terpelajar sebagai al-a’limin (QS 30:22). Begitu pula ulul albab, ahludzikr, alladzina uutul ‘ilma, dan lain-lain. Sedangkan untuk kata kerja sebagai sebuah proses yang tidak berhenti, digunakan istilah mereka yang ya’qilun (berakal), yafqahun (memahami), ya’lamun (mengetahui) dan seterusnya. Sehingga dengan demikian Al-Quran memang bukan sekadar untuk dibaca tetapi yang lebih utama untuk dikaji. Orang dahulu mengatakan mengaji, ketika kita membaca Quran.
Kata “ulama” itu sendiri menjadi populer sejak kekuasaan Ottoman ketika ulama diresmikan sebagai gelar tertentu dan penyandangnya diberi posisi dalam urusan negara sebagai “pejabat” yang berwenang menafsirkan Islam dan memberi fatwa. Sebelum masa itu, istilah ulama tidak digunakan tetapi ada sebutan lain seperti mufassir (ahli tafsir), muhaddist (ahli hadis), faqih (ahli hukum Islam), mufti (pejabat pemberi fatwa), dan lain-lain sesuai dengan bidang keahliannya. Tak satupun dari nama-nama “baru” inipun ada disebut dalam Quran.
Ahlul dzikir oleh sebagian ulama diartikan sebagai para ahli yang menguasai pengetahuan tentang kitab-kitab suci terdahulu dimasa Rasul SAW seperti Injil dan Taurat, yang dapat menguatkan keyakinan pemeluk Islam tentang kebenaran kenabian Muhammad SAW. “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada ahlul dzikir jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl:43)
Sedangkan ulul albab adalah mereka yang menggunakan akal dan hati dalam memahami wahyu Allah karena wahyu Allah dalam AlQuran hanya bisa dipahami kedalamannya dengan merenung dan berpikir dengan akal budi. “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul albab (orang-orang yang mempunyai akal sehat).” (QS 2:269)
Sejaka masa Ottoman seluruh negeri Muslim menggunakan sebutan ulama bagi yang dianggap menguasai ilmu agama Islam, padahal Quran lebih cenderung menyebut ulama sebagai mereka yang menguasai ilmu tentang fenomena alam. Lalu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa disebut sebagai ahli dalam agama Islam dan berhak menyandang gelar ulama?
Menurut Ahmad Sarwat Lc., MA, yang disebut ulama dalam arti sebagai ahli dalam agama Islam, paling tidak harus menguasai ilmu-ilmu tertentu, seperti ilmu Al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih, ushul fiqih, qawaid fiqhiyah serta menguasai dalil-dalil hukum baik dari Quran dan sunnah. Juga mengerti masalah dalil nasikh mansukh, dalil ‘amm dan khash, dalil mujmal dan mubayyan dan lainnya.
Dan kunci dari semua itu adalah penguasaan yang cukup tentang bahasa Arab dan ilmu-ilmunya. Seperti masalah nahwu, sharf, balaghah, bayan dan lainnya. Ditambah dengan satu lagi yaitu ilmu mantiq atau ilmu logika ilmiyah yang juga sangat penting.
Juga tidak boleh dilupakan adalah pengetahuan dan wawasan dalam masalah syariah, misalnya mengetahui fiqih-fiqih yang sudah berkembang dalam berbagai mazhab yang ada.
Semua itu merupakan syarat mutlak bagi seorang ulama, agar mampu mengistimbath hukum dari Quran dan sunnah.
Juga, ulama dalam kehidupan modern saat ini tidak bisa mengisolasi diri dari perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir, dan karenanya pula dalam hal-hal tertentu tidak dapat menafsirkan ajaran Islam yang terlepas dari pemaknaan secara multi disiplin.
Diluar itu, dan yang terpenting adalah syarat khasyiya rabbah, takut kepada Sang Pemelihara, bagi ulama. “Sesungguhnya yang takut (khasyiya) kepada Allah di kalangan hamba-hambaNya hanyalah para ulama”. (QS. 35:28) Khasyiya menurut Dr Quriash Shihab berarti takut yang bercampur kekaguman atas keagungan Tuhan. Manusia yang beginilah yang kemudian menjadikan dirinya rendah hati dan memiliki akhlak yang mulia, serta terus menerus menggali kedalaman tuntunan agama dengan niat yang tulus.
Berapa banyak kiranya mereka yang menyebut dirinya ulama, kiai, ustad, atau habib, di negeri kita yang memenuhi semua persyaratan diatas?
Ulama yang jauh pandangannya kedepan juga mereka yang diharapkan menjadi guru yang mulia, memberikan kejelasan hukum tanpa menimbulkan keresahan, lemah lembut tutur katanya, mewujudkan masyarakat yang tenteram dengan ketenangan batin, memberi arahan dakwah agar Islam menjadi agama yang menarik bagi mereka yang belum atau tidak seiman, serta mencegah kekacauan yang bisa menyengsarakan umat.
Jangan sampai ada yang mendeklarasikan dirinya sebagai ulama tetapi sebenarnya dia sedang menyuguhkan keburukan dalam bentuk kebaikan atau menyajikan kebatilan dalam bungkus kebenaran.
Dalam hadis yang sangat terkenal, ulama disebut sebagai pewaris nabi. Sesungguhnya sebagai pewaris nabi maka ulamalah yang mewarisi kitab suci setelah wafatnya nabi.
Lalu sebagai pewaris Nabi, Al-Quran membagi ulama kedalam tiga golongan. Ada yang baik, namun ada juga ulama yang menyalahgunakan Al-Quran untuk tujuan pribadinya. “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. [QS. 35:32]
Al-Quran juga menegaskan bahwa nabi dan pewarisnya (ulama) berfungsi menyelesaikan dan menemukan solusi bagi berbagai perselisihan umat, bukan justru sebaliknya menciptakan perseteruan diantara mereka. “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. ….” (QS 2:213)
Dua jenis “ulama” lain yang harus kita waspadai adalah ulama penjilat penguasa dan ulama penjilat publik. Yang belakang ini adalah ulama yang mencari pengikut sebanyak-banyaknya, bukan dengan maksud baik tetapi demi meraih kehormatan serta keuntungan pribadi.
Meskipun Islam tidak mengenal lembaga kependetaan, begitu pula bahwa fatwa ulama pada hakekatnya tidak mengikat kaum muslimin, tanggung jawab baik buruknya umat jelas menjadi beban para alim ulama. Bila ulamanya baik maka umatnya akan baik pula. Bahkan ada hadis lain yang mengatakan bahwa salah satu tanda mendekatnya kiamat adalah hilangnya ulama yang baik dari muka bumi.
Mudah-mudahan Allah menjaga umat Islam dan bangsa ini khususnya dengan menghadirkan pemimpin dan ulama yang benar-benar berkhlak, berilmu tinggi dan berhati bening, mampu mewujudkan muslim yang sejahtera lahir dan batin, beradab dan bermartabat serta disegani dan dicintai oleh siapapun yang berhubungan dengannya. []
AT – 21-11-2016
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar