Oleh: Lexi Zulkarnaen Hikmah*
I. Pendahuluan
Renaisans abad pertengahan di Eropa memberikan dampak yang besar terhadap arus pemikiran manusia sesudahnya. Pasca peristiwa tersebut, weltanschauung (baca: pandangan dunia) masyarakat Barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh derajat. Perubahan itu ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi “gereja” yang secara otomatis mengubah weltanschauung mereka dari Teosentris menjadi Antroposentris. Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik secara massif membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru yang disebut modernitas.
Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa, secara tidak langsung memberikan dampak hingga ke dunia Arab. Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan kemajuan yang dialami Eropa dan ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan “resah “ dan bangkit untuk mengejarnya.
Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi.
Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut Bollouta, yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas:[1]
Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dll.
Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll.
Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll.
Makalah ini tidak membahas pembagian aliran pemikiran menurut Bollouta tadi secara keseluruhan, melainkan memberikan perhatian kepada kelompok reformatif dengan fokus kepada satu tokohnya, Muhammad Abid al-Jabiri. Walaupun tujuan makalah ini bukanlah untuk membahas seluruh pemikirannya, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai peta pemikiran Jabiri. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapakah al-Jabiri? Apakah pemikirannya? Serta bagaimana para intelektual lain menilai pemikirannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan dijawab dalam makalah ini.
II. Mengenal al-Jabiri
Kelompok kedua, menurut Lutfi Assyaukanie, yang berafiliasi kepada tipologi reformistik adalah para intelektual yang cenderung memakai metode pendekatan dekonstruktif. Para pemikir dekonstruksionis Arab kebanyakan datang dari daerah Maghribi (Maroko, al-Jazair, Tunis dan Libia). Tampaknya unsur bahasa Perancis warisan kolonialisme yang tersisa di negeri-negeri tersebut menyebabkan kalangan akademisnya lebih menyerap literatur berbahasa Perancis, ketimbang bahasa-bahasa Eropa lainnya. Keterikatan intelektual para pemikir Arab Maghribi dengan Perancis bukan hanya sebatas bahasanya, mereka juga terpengaruh oleh gerakan-gerakan pemikiran dan filsafat Perancis kontemporer, khususnya gerakan (post) strukturalisme. Bahkan, lanjut Lutfi, bahwa hampir seluruh pemikir Muslim Maghribi yang concern terhadap keislaman dan kearaban adalah penganut paham strukturalisme; itu karena problem yang mereka hadapi kebetulan sama, yaitu masalah bacaan atas tradisi, baik yang berbentuk teks maupun realitas. Dan menurut mereka, metode yang paling modern dan paling ampuh untuk membaca tradisi (turats) adalah dekonstruksi.[2]
Berikut terlebih dahulu akan diulas biografi, karir intelektual, dan karya-karya Mohammed Abid al-Jabiri, untuk mengetahui latar belakang sosio-historis kehidupannya.
Biografi dan Karir Intelektual
Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter.[3]
Jabiri muda merupakan seorang aktvis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.[4]
Di samping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Qomari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1.[5]
Karya-karyanya
Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya seperti dimulai dengan penerbitan buku Nahwu wa al-Turast-nya, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-‘Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek inteletualnya ‘Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (kritik akal Arab).[6]
Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk karya ini telah menerbitkan Takwim al-‘Aql al-‘Arabi, Bunya al-‘Aql-‘Arabi, al-A’ql al-Siyasi-‘Arabi, al-‘Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-‘Arabi al-Mua’asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-‘Arabi Muraja’ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-‘Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-‘Arabi.[7]
III. Pemikiran al-Jabiri
Agar lebih memudahkan fokus kepada pemikiran al-Jabiri, makalah ini akan mengeksplorasi pemikiran al-Jabiri melalui karya trilogi magnum opus-nya (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, dan al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi), yang tergabung dalam Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Ditambah beberapa tulisan maupun artikel yang mendukung.
Adapun latar belakang yang membuat Jabiri menulis triloginya adalah berangkat dari keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka (baca: Arab) tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference (baca: jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat modern. Akibatnya, tegas Jabiri, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print (cetak biru) kebangkitan peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam perencanaan ilmiah.[8]
Turats dan Modernitas
Jabiri memulai dengan mendifinisikan turats (tradisi). Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.[9]
Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tadisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan paling utama–adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.[10]
Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.[11] Modernitas adalah sebuah keharusan bagi seorang intelektual–selain diri sendiri–supaya dia mampu menjelaskan segenap fenomena kebudayaan serta tempat di mana modernitas muncul. Sehingga modernitas yang demikian ini, menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan dalam rangka menghidupkan kembali pelbagai mentalitas, norma pemikiran beserta seluruh apresiasinya[12]
Akal Arab dan Titik Awalnya
Akal Arab dalam triloginya, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya yang utama, kalu bukan satu-satunya.[13]
Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama adalah ‘Aql al-Mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni, sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan. Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup.[14] Yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai “Akal Arab”.
Setelah itu Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Sebagaimana diketahui, ada tiga titik pijak yang biasa digunakan sebagai permulaan penulisan sejarah Arab, yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan masa kebangkitan.
Jabiri sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya dari “masa kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Tanpa menafikan keberadaan masa Jahiliyah dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam peradaban Arab. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada disistematisasikan pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya, dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya, di pihak lain.[15]
Epistemologi; Burhani, Bayani, dan ‘Irfani
Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Jabiri memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurutnya, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua (muatan ideologis) terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis) [16] sering dipakai Jabiri dalam studinya tentang Akal Arab. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.
Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.[17]
Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu: Pertama, sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi[18] (‘ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ‘ulum al-Quran , teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse).[19]
Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.[20]
Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi.[21] Sistem epistemologi tersebut berasimilasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian mencapai stagnasi dan menjadi kekuatan tunggal yang dominan pada masa al-Ghazali pada abad ke-5 H. Relasi aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan “processed structure” (al-bunyah al-muhassalah) . Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis. Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari realitas faktual.[22]
Sungguh pun demikian, Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.
Akal Politik Arab
Jabiri melihat aktivitas politik Arab mempunyai motif-motif (al-muhaddidat) dan pengejawantahan (al-tajalliyat). Adapun motif-motif tersebut, Jabiri melihat tiga motif yang dominan dalam praktik politik Arab. Motif ideologis (al-‘aqidah), motif ikatan in-group sedarah (al-qabilah) dan motif materi (al-ghanimah).
Motif pertama tidak diartikan sebagai akidah agama dalam pengertian yang lazim, melainkan “fenomena politis” yang terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam memberikan inspirasi terhadap imajinasi sosial-politik kelompok muslim pertama, di satu pihak, dan reaksi balik yang disampaikan oleh lawan-lawannya, yaitu kaum kafir Quraisy, di pihak lain. Sedangkan dengan motif kedua adalah peranan ikatan in-group di antara klan-klan Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif maupun negatif, dalam praktik politik Arab di masa awal. Dan yang ketiga, motif al-ghanimah berarti pengaruh kepentingan ekonomi dalam pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah Islam. Di sini Jabiri meriwayatkan bahwa penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran tauhid yang melarang penyembahan terhadap berhala an sich. Akan tetapi, disebabkan juga bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika itu.[23]
Untuk itu, Jabiri menganalisa praktik politik yang saling berkelidan tersebut pada masa Islam awal. Di sini pun Jabiri membagi fase perkembangan Islam awal menjadi tiga fase; pertama, fase dakwah Muhammad, yang diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin jamaahnya pada periode Makkah dan menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode Madinah. Kedua pada fase negara Islam yang established, yang diwakili pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dan ketiga fase ledakan kekacauan (nation under riots), yang diwakili pada masa timbulnya kerajaan politik (al-mulk al-siyasi) yang membangkitkan kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme kerajaan monarki.[24]
Timbulnya kerajaan politik ini (al-mulk al-siyasi) ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan (al-tajalliyat) dari Akal Politik Arab, di samping timbulnya mitos keimaman yang dimunculkan oleh kaum Syiah. Selain itu, timbul pula Ideologi kesultanan dan–apa yang disebut oleh Jabiri sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan oleh dinasti Abbasiyah. Ideologi kesultanan diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi kekaisaran Persia, sedangkan fikih politik merupakan kompilasi hukum “agama” yang mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan kekuasaan junta militer (ashab al-syaukah). Tak perlu ditegaskan lagi, lanjut Jabiri, bahwa ideologi kesultanan inilah yang sampai sekarang mendominasi praktik politik Arab. Membuat rakyat yang seharusnya memegang supremasi kekuasaan, dikungkung oleh khurafat dan menyerah kepada takdir.[25]
Untuk hal tersebut Jabiri menawarkan konsep sebagai jalan keluar bagi Akal Politik Arab, dengan bertolak pada fase dakwah Muhammad yang menurutnya sebagai prototipe ideal:[26]
1) Mengubah masyarakat klan menjadi masyarakat madani yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi.
2) Mengubah ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi.
3) Mengubah sistem ideologi (al-aqidah) yang yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.
Sekilas pemikiran Jabiri mengenai Akal Pilitik Arab “hampir” menyerupai sekularisme. Tetapi dalam hal ini bukan berarti Jabiri mendukung sekularisme, menurutnya, sekularisme tidak cocok dengan umat Islam, karena sekularisme didasarka pada pemisahan gereja dan agama. Pemisahan demikian ini memang diperlukan pada suatu masa di lingkungan Kristen. Karena tidak ada gereja dalam Islam, tidak ada kebutuhan akan suatu pemisahan semacam ini. Umat Islam menghendaki agar Islam dijaga dan diterapkan sebagai acuan etis dan Syari’ah, hukum yang diilhami oleh ketentuan Ilahi, sebagai dasar dan prinsip bagi kehidupan sosial dan politik, di dalam lingkup pengetahuan masa lalu yang diperbaharui.[27]
IV. Kritik Terhadap al-Jabiri
Ketika sebuah pemikiran dilontarkan ke ruang publik, maka sangat wajar apabila terjadi pro dan kontra. Demikian pula dengan pemikiran Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab-nya. Di antaranya adalah mengenai integritas dan kejujurannya sebagai seorang intelektual. Jabiri, dalam pandangan mereka, sering tidak jujur ketika membuat kutipan dari tulisan-tulisan pemikir terdahulu. Dia cendrung bersikap selektif, memilah dan memilih apa yang hanya sesuai dengan tujuannya, dan tentu saja ideologinya. Jabiri, dalam berbagai tulisannya, menuduh dunia Arab Timur yang direpresentasikan oleh Ibn Sina, al-Ghazali, dan Syiah dengan espitemologi bayani dan ‘irfani-nya sebagai sumber keruntuhan tradisi intelektual Islam. Dia selanjutnya mengagungkan dan mengidolakan tokoh-tokoh dunia Maghribi seperti Ibn Rusyd, Ibn Tufayl, Ibn Bajah, Ibn Khaldun, yang berpijak pada epistemologi burhani.[28]
Selain itu kritikan lebih tajam dilakukan oleh Tarabisi, penulis buku Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, yang hampir seluruh isinya mempreteli dan “menelanjangi” orisinalitas Jabiri. Di bagian pertama saja Tarabisi dengan terang-terangan mengatakan bahwa Jabiri bukanlah orang pertama yang mengasaskan proyek Kritik Akal Arab ini. Tarabisi kemudian merujuk tulisan Zaki Najib Mahmud yang berjudul al-‘Aql al-‘Arabi Yatadahwar di majalah Ruz al-Yusuf tahun 1977. Setelah melakukan kajian yang mendalam dengan memakan waktu hampir delapan tahun, Tarabisi sampai kepada kesimpulan bahwa ide Jabiri tidak orisinil dan bahkan secara implisit Tarabisi menyebut Jabiri telah melakukan plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya, meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang lain–secara sadar atau tidak–sesuai dengan keinginannya.[29]
Kemudian kesalahan fatal lain yang banyak disinyalir olah para pengkritisinya adalah sikap selektif Jabiri dalam membuat kutipan. Ia cenderung memlilih perkataan dan pendapat orang lain yang hanya sesuai dengan tujuan dan ideologinya demi untuk mempertahankan pandangannya, meskipun dalam pendapat tersebut tidak sesuai dengan konteks yang diinginkan. Sebagai contoh, menurut Tizini dalam sebuah seminar yang dihadirinya di Tunis pada tahun 1982, Jabiri pernah mengungkapkan bahwa pikiran al-fikr dan akal Arab adalah bayani. Untuk memperkuat argumennya dia telah menyebutkan al-jahidz dalam kitab al-bayan wa al-tahyin sebagai contoh, kata Tizini dalam hal ini Jabiri telah melaksanakan dua kesalahan. Pertama generelasi yang dilakukan atas pemikiran Arab dengan hanya mengambil satu contoh yaitu al-jahid, kedua sample yang digunakannya yaitu al-jahidz, tidak dapat mewakili keseluruhan bangunan akal Arab.
Contoh lain adalah yang diungkapkan oleh Nur al-din al-daghir dalam usahanya untuk membuktikan dan mempertahankan rasionalitas mazhab Arab Maghribi, di mana ia menjadi bagian dari padanya, dan selanjutnya membuktikan keterpengaruhan Syiah dengan pemikiran asing, ia hanya merujuk kepada empat buku teks Syiah saja. Sementara untuk membuktikan hal yang sama dari kelompok Sunni dan hanya memilih buku yang punya kecenderungan salafi Ashariyyah seperti Maqalat Islamiyyin-nya Imam al-Ashari, al-Farq Bayn firaq-nya Abdul Qahar, Mihaya al Aqdam-nya Shahrastani, al-Masail fi al Khilaf bayn al Basriyyin wa al Baqdadiyin-nya Ibn Rusyd Naysaburi dan al-Fatawa-nya Ibn Taimiyyah.[30]
V. Penutup
Bagaimanapun juga pemikiran Jabiri–terlepas dari pro dan kontra terhadap pemikirannya tersebut–yang tertuang dalam Kritik Nalar Arab-nya merupakan pemikiran yang patut diapresiasi. Pemetaan yang dilakukannya terhadap epistemologis dan ideologi yang berkembang di dunia Arab memberikan warna baru dan ciri khasnya tersendiri. Dengan bermodalkan philosophical approaches yang menjadi background pendidikannya, Jabiri menawarkan solusi untuk memecahkan stagnasi yang terjadi di dunia Arab sepuluh Abad lebih.
Walaupun demikian, sebagai seorang pembaca, kita seharusnya mengambil jarak dan tidak bersikap taken for granted terhadap pemikiran Jabiri. Sikap tersebut dibutuhkan agar penilaian yang terjadi terhadap sebuah pemikiran diharapkan objektif dan tidak memihak.
Wallahu a’lam.
*Peminat Islamic Thought
Referensi:
[1] Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), h. 114-115.
[2] Lutfi Assyaukanie, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer,” artikel diakses pada tanggal 22 September 2007 dari http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html
[3] Zulkarnain, “Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri Tentang Turats Dan Hubungan Arab Dan Barat,” artikel diakses tanggal 22 September 2007 dari http://www.litagama.org/Jurnal/Edisi6/aljabiri.htm
[4] Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Kritik Akal Islam Al-Jabiri,” Islamiya, Thn I No. 2 (Juni-Agustus 2004): h. 44.
[5] Nirwan Syafrin, “Kritik Terhadap Kritik Akal Islam Al-Jabiri,” h. 44.
[6] Zulkarnain, “Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri.”
[7] Zulkarnain, “Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri.”
[8] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri,” dalam Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed., Mosaik Pemikiran Islam Timur Engah (Bandung: Mizan, 2001), h. 304.
[9] Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan, h. 109.
[10] Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003) h. 3.
[11] Al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, h. 2.
[12] Zuhairi Misrawi, “Muhammad Abied Al-Jabiri: Pentingnya Aktualisasi Tradisi Sebagai Bentuk Kodifikasi Baru,” artikel diakses tanggal 22 September 2007 dari http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=148
[13] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 306-307.
[14] Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan, h. 71.
[15] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 310-311.
[16] Istilah epistemologi merupakan kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideologi adalah kondisi sosial dan politik yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada. Lihat Happy Susanto, “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer,” artikel diakses tanggal 22 September 2007 dari http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/pemikiran_islam_kontemporer.htm
[17] Happy Susanto, “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer.”
[18] Indikasi (Lat) adalah tentang petunjuk atau tanda-tanda. Eksplikasi (Lat) adalah tentang penjelasan, keterangan, tafsiran. Lihat J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2003), h. 81, 151.
[19] Walid Harmaneh, “Kata Pengantar,” dalam Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. xxvii.
[20] Happy Susanto, “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer.”
[21] Walid Harmaneh, “Kata Pengantar,” h. xxxi.
[22] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 319-320.
[23] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 323.
[24] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 324-325.
[25] Menurut Syekh Abdul Halim Mahmud politisasi mengenai menyerah kepada takdir telah ada sejak zaman dinasti Muawiyah.
اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ رَادَّ لِمَا قَضَيْتَ وَلاَ يََنْفَعَ ذَاالْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Doa Nabi saw, tersebut disebarkan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan dipolitisasi untuk tujuan pemantapan kekuasaan serta membenarkan kebijakannya dan bahwa manusia harus menerima tanpa harus berupaya. Dari sinilah menjadi marak persoalan takdir yang melahirkan aneka aliran. Lihat M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-batas Akal Dan Kedudukan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 96.
[26] Muhammad Aunul Abied Syah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab,” h. 325-326.
[27] Abdou Filali-Ansari, “Dapatkah Rasionalitas Modern Membentuk Religiusitas Baru ?;Muhammad Abid Al-Jabiri dan Paradoks Islam-Modernitas,” dalam John Cooper, dkk, ed., Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan Hingga Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 170.
[28] Adian Husaini dan Nirwan Syafrin, “Hermeneutika Pemikir Kontemporer: Kasus Nasr Hamid Abu Zaid Dan Mohammad Abid al-Jabiri,” artikel diakses tanggal 22 September 2007 dari http://pondokshabran.org/index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=1
[29] Adian Husaini dan Nirwan Syafrin, “Hermeneutika Pemikir Kontemporer.“ [30] Zulkarnain, “Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri.”
(Komma-Bogor/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar