Eks Panglima Militer Michel Aoun akhirnya terpilih sebagai Presiden Lebanon sejak 31 Oktober lalu. Aoun dinyatakan menang setelah mendapatkan mayoritas suara dari anggota parlemen.
Pria berusia 81 tahun itu mendapat 83 suara anggota parlemen. Angka ini jauh melebihi angka minimum yang dibutuhkan untuk meraih kursi presiden, yaitu 65 suara.
Kemenangan politisi gaek yang memimpin partai Kristen Maronit terbesar di Lebanon ini disambut meriah oleh masyarakat Lebanon yang berpenduduk sekitar 55-60% dari kalangan Muslim. Ratusan warga turun ke jalan, menyalakan kembang api dan pawai hingga larut malam.
Berbagai media pun menyiarkan upacara perayaan berakhirnya ‘kekosongan kekuasaan’ sejak Michel Suleiman turun sebagai presiden pada akhir masa jabatannya pada Mei 2014
Prof. Sumanto Al-Qurtuby menyebut Lebanon (atau “Libnan” dalam Bahasa Arab) yang nama resminya Republik Lebanon (al-Jumhuriyah al-Lubnaniyah) merupakan salah satu negara mayoritas berpenduduk Muslim di kawasan Arab dan Timur Tengah yang cukup unik dalam struktur dan sistem politik-pemerintahannya.
Negara yang berbatasan dengan Israel, Suriah dan Cyprus ini salah satu negara yang sangat majemuk, dari segi etnik, agama, maupun bahasa.
“Kemajemukan itu adalah produk dari sejarah Lebanon yang sangat panjang,” kata dosen King Fahd University of Petroleum & Minerals Saudi ini di akun Facebok-nya (27/11)
Berbagai kerajaan, imperium, dan peradaban besar pernah silih-berganti menguasai Lebanon. Sebut misalnya, Mesir, Assyria, Babilonia, Persia, Ummayah, Abbasiyah, Fatimiyah, Roma, Saljuk, Mamluk, Ottoman, Perancis, dan Arab. Sebagaimana Irak atau Afganistan, Lebanon ini seperti “jalan raya penaklukan” karena berbagai rezim dan dinasti pernah singgah di sini.
“Karena banyaknya bangsa-bangsa yang menduduki Lebanon ini sehingga menciptakan sebuah masyarakat campuran dan “kultur Lebanon” yang unik dan kaya. Bahasa yang berkembang di masyarakat juga beraneka ragam: Arab, Perancis, Inggris, Persi.”
Dari segi agama, lanjut Al Qurtuby, Lebanon adalah negara yang paling plural di kawasan Arab dan Timur Tengah. Kaum Muslim (baik Sunni maupun Shiah) sekitar 55-60%. Umat Kristen juga sangat besar disini sekitar 30-35%. Mayoritas penduduk Kristen di Lebanon adalah Maronite, kemudian disusul Katolik Roma, Ortodok Yunani, Melkite, Protestan, dlsb.
“Kelompok agama lain yang cukup besar adalah Druze, kemudian Yahudi, Baha’i, Hindu, Buddha, Mormon, dlsb. Ada sekitar 18 agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Bandingkan dengan Indonesia yang cuma 6 agama,” kata intelektual Muslim kelahiran Batang, Jawa Tengah ini.
Untuk memenuhi hak dan kebutuhan masing-masing agama ini, sekaligus untuk mencegah potensi konflik sektarian berbasis agama, Lebanon, yang menganut demokrasi parlementer ini, menerapkan sistem politik-pemerintahan khusus yang bernama “confessionalism” (muhasasah ta’ifiyah).
“Yakni sebuah sistem pemerintahan yang mengatur pembagian proporsional di jabatan-jabatan publik berdasarkan jumlah kelompok masyarakat.”
Dalam konteks Lebanon, pembagian dan distribusi kekuasaan itu berdasarkan pada prosentase pengikut agama di negara itu. Karena Muslim dan Kristen adalah mayoritas, maka posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan dipegang oleh kelompok ini.
“Misalnya, presiden harus Kristen Maronite, Perdana Menteri harus Muslim Sunni, Ketua Parlemen harus Muslim Shiah, sementara wakil ketua parlemen dari Kristen Ortodoks Timur, begitu seterusnya.”
Untuk Yahudi, Druze, Katolik, dan lain-lain, kata jebolan IAIN Walisongo ini, diberi jabatan menteri dan posisi tinggi lainnya sesuai dengan proporsi masing-masing. Para ulama Sunni maupun Shiah di Lebanon, lanjut Al-Qurtuby, sama sekali tidak meributkan soal Surat Al-Maidah: 51.
“Beda banget kan dengan Jakarta dimana sejumlah “ulama” ribut melulu … ” katanya dalam catatannya bertajuk “Pemerintahan Muslim-Kristen di Lebanon”. []
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar