Apa Latar Belakang Konflik Islam “ Sunni vs Syiah” di Timur Tengah (5)


Upaya Arab Saudi Menggulingkan Morsi Yang Sunni di Mesir

Sebenarnya, sebelum Sisi menjadi Presiden Mesir, mantan Raja Abdullah dari Arab Saudi sudah menyatakan dukungan kuat untuk dia.

Pada bulan Juli 2013, setelah Menhan Mesir, Sisi yang memimpin militer untuk menggulingkan Presiden Mohamed Morsi, Raja Arab Saudi menjadi kepala negara asing pertama yang mengucapkan selamat kepada militer Mesir. Arab Saudi menggalang negara-negara Teluk UAE dan Kuwait untuk memberi Mesir bantuan ekonomi melebihi US$ 12 milyar untuk melewati krisis ekonomi pada saat itu.

Pada tahun 2013, ketika Sisi memimpin militer dalam kudeta menggulingkan pemerintahan Morsi, Arab Saudi dibelakang layar memberi dukungan besar kepada dia. Banyak pengamat dan analis memandang Sisi mampu mempertahankan kepemimpinannya dan Mesir mampu tetap stabil, sebagian besar berkat peran utama yang dimainkan Arab Saudi dibelakang layar.

Seperti diketahui pada saat itu , ekonomi Mesir dalam kesulitan dan negara semestinya sudah dalam keadaan bangkrut. Cadangan nasional Mesir telah menurun menjadi kurang dari US$ 15 milyar ketika Sisi menjabat. Jika dipikir kembali penduduk Mesir 90 juta dengan cadangan kurang dari US$ 15 milyar dapat dibayangkan seperti apa kondisi Mesir saat itu. Sudah dalam keadaan bangkrut.

Pada waktu Morsi pertama menjabat, Arab Saudi mengambil sikap yang total berbeda. Setelah Mubarak digulingkan, dan Ikwanul Muslimin yang sangat religius mengusai Mesir. Khawatir munculnya ekstrimisme Islam regional dan perembesan yang akan mengancam kekuasaan keluarga Kerajaan, Arab Saudi dengan sangat hati-hati dalam bersikap terhadap Mesir pada saat itu. Maka begitu militer Mesir berhasil mengakhiri rezim Morsi, Arab Saudi segera menyatakan dukungan dan mengirim bantuan.

Setelah pemerintah Mesir menyatakan dengan resmi Ikwanul Muslimin sebagai organisasi teroris pada tahun 2013, Arab Saudi juga mengikuti jejak Mesir dengan menyatakan resmi Ikwanul Muslimin sebagai organisasi teroris juga.

Pada tahun 2011, setelah revolusi “Arab Spring”, ancaman terbesar bagi Arab Saudi bukanlah Syiah untuk sementara waktu, melainkan adalah Ikwanul Muslimin yang juga beraliran Sunni. Karena konsep Ikwanul Muslimin adalah memberantas monarki, jadi itu menjadi ancaman terbesar Arab Saudi. Dan karena itulah mengapa melakukan segala upaya dan melakukan berbagai tindakan rahasia untuk mendukung Sisi untuk menggulingkan Mohammed Morsi.

Arab Saudi sudah sangat akrab dengan Sisi, karena pernah menjadi Atase Militer Mesir di Riyadh, Arab Saudi selama masa rezim Mubarak. Sisi sudah dilihat sebagai teman akrab Arab Saudi. Sisi pernah berkata bahwa dia akan melanjutkan tradisi dari banyak presiden Mesir sebelum dia untuk mengadakan kunjungan resmi pertama ke luar negeri ke Arab Saudi.

Sebenarnya pemerintahan keluarga kerajaan Arab Saudi sangat lemah di dunia Arab, Arab Saudi dapat dikatakan sebuah negara yang total monarki. Dalam konsep negara Arab Saudi, semua kekayaan bangsa adalah kekyaaan keluarga Kerajaan Saudi, Raja memiliki hak mutlak untuk menangani semua kekayaan untuk apa saja yang diinginkannya.

Maka dalam situasi seperti ini, untuk jangka panjang sebenarnya dunia Arab cepat atau lambat akan menjadi ancaman bagi aturan keluarga Kerajaan Arab Saudi itu sendiri. Meskipun telah mendapat kecaman atas monarki ini dalam batas tertentu, tapi Arab Saudi masih merupakan salah satu negara yang paling stabil di dunia Arab.



Posisi Raja Arab Saudi

Di monarki Arab Saudi, dia seorang raja di dunia Arab. Bukan saja sebagai raja, dia juga memiliki kekuasaan sekuler di negaranya, di saat yang sama juga sebagai pemimpin agama di negaranya. Selain itu sebagai pemimpin spiritual dan agama tertinggi. Memiliki otoritas sekuler dan otoritas sistemik, seorang otoritas raja dan otoritas keagamaan yang sangat cerdik terkait dalam peluang mencangkokkan jadi satu untuk membentuk otoritas ‘caesar-opapist’(menyatukan agama dan poliltik). Otoritas semacam ini dalam kenyataannya telah membuktikan yang paling stabil di dunia Arab.

Pada 29 April 2015, Raja Salman yang beusia 79 tahun yang sudah 3 bulan naik tahta, mengeluarkan dekrit kerajaan bahwa saudara tirinya yang berusia 69 tahun sebagai pangeran tua mahkota (crown prince). Wakil Perdana Menteri – Muqrin bin Abdulaziz dipercaya mengemban tugas-tugasnya. Menunjuk keponakannya yang berumur 55 tahun mantan wakil pangeran mahkota Mohammed bin Nayef sebagai putra mahkota baru.


Salman juga menetapkan anaknya Pangeran Mohammad bin Salman menjadi pangeran mahkota dan Wakil Menteri Pertahanan. Maka aturan”kenaikan kedudukan antara saudara” yang telah berlangsung setengah abad di militer Kerajaan Saudi telah rusak.

Raja Salman bertekad mengganti putra mahkota, dan mengangkat anak kakaknya (dari ayah dan ibu yang sama) Nayef yang berusia 50an menjadi pura mahkota. Mengangkat putrtanya sendiri yang berusia 30 tahun Wakil Putra Mahkota dan juga sebagai Menhan. Nayef akan mengelola politik internal, dan putranya yang sebagai wakil putra mahkota akan menangani kekuatan yang sesungguhnya. Pengamat Timteng melihat ini mempertanyakan : Apa artinya ini?

Putra Mahkota Nayef berasal dari ayah dan ibu yang sama yang Raja, dan ada Menhan yang berusia 30 tahun anaknya sendiri ada dibelakangnya. Dengan demikian tidak akan ada ketidak setiaan. Dan karena dia masih berusia 50 tahunan yang menjadi puncak hidupnya, maka bisa membantu Raja dalam menjaga menstabilkan negara untuk waktu yang lama. Sedang anak-anak dari istri lainnya hampir tidak mungkin untuk bisa ikut berperan dalam “permainan” ini.


Susunan yang tepat untuk masalah suksesi kerajaan dipandang sebagai faktor yang paling penting dalam stabilitas Arab Saudi di masa depan. Meskipun banyak dugaan dari dunia luar, tapi dengan perubahan putra mahkota yang demikian ini untuk waktu tertentu telah dibikin jelas.


Generasi Muda Kerajaan Arab Saudi Naik Panggung

Dengan kata lain, dalam keluarga kerajaan Arab Saudi kekuasaan pemerintah yang penting sebenarnya sudah lebih berada ditangan generasi muda, jadi ini merupakan faktor penting untuk perubahan dibanding dengan masa lalu bagi Arab Saudi dalam memainkan politik mereka dan kebijakan luar negeri sejak tahun ini.

Dengan kata lain, setelah generasi muda mengambil alih kekuasaan, mereka akan mengubah situasi yang tadinya “malas berdiplomasi” dari pendahulu mereka yang tidak berbuat banyak. Sekarang mereka bergerak ke pusat panggung sendiri, dalam hal itu dilatar belakangi dengan apa yang disebut “Joint Arab” intervensi militer di Yaman yang terjadi 26 Maret lalu, yang dipimpin oleh Arab Saudi.

Namun ada pertanyaan penting dibalik ini : Kiranya seberapa kuat Arab Saudi untuk masa ke depan? Apa artinya semua ini bagi Timur Tengah?

Bagi Barat tidak terkejut tentang serangan udara Arab Saudi di Yaman. Pada awal 2014, setelah situasi Yaman memburuk, Raja Abdullah dari Arab Saudi memperingatkan Barat bahwa Arab Saudi tidak akan duduk diam. Apa yang mengejutkan Barat adalah Arab Saudi dapat begitu cepat membentuk aliansi militer untuk masalah Yaman.

Seorang diplomat Barat yang tinggal di Riyadh mengatakan : “Kami tahu bahwa jika konflik menyentuh perbatasan, Arab Saudi siap bertindak. Apa yang kita tidak tahu adalah mereka akan menggunakan kesempatan ini untuk aliansi Sunni.”

Akhir tahun lalu, GCC membentuk Komando Militer Bersama. Dengan memburuknya situasi di Yaman, Arab Saudi dengan cepat dan meyakinkan sekutu Sunni : Yodania, UAE, Bahrain, dan Mesir untuk mengambil bagian dalam serangan udara.

Seorang dalam militer Arab Saudi mengatakan bahwa ini adalah sebuah aliansi yang sudah direncanakan Arab Saudi untuk digunakan untuk berulang kali di Timteng. Ini akan digunakan untuk perang, perang atas nama aliansi untuk memberantas pengaruh Iran.

Bulan Maret tahun ini, dalam proposal yang diloloskan oleh Liga Arab, Arab Saudi dan Mesir mulai mengubah aliansi militer ini menjadi permanen “Joint Arab Force” yang akan digunakan untuk operasi anti-terorisme di masa depan dan memberi bantuan bagi pemerintah Liga Arab lainnya bila dalam kesulitan.

Salah satu perwira militer Arab Saudi mengatakan : “ Arab Saudi adalah pencipta aliansi untuk melawan pukulan Iran terhadap stabilitas kawasan. Hari ini, Yaman, besok Irak, dan kemudian mungkin Syria. Kami akan menyerang tempat itu yang Iran dan agennya telah menginjak kaki disitu.”

Meskipun sulit untuk membedakan antara unjuk kekuatan dan niat strategis sesungguhnya Arab Saudi, namun bisa dilihat dari gairah Arab Saudi yang telah merencanakan untuk dirinya sendiri di masa depan.

Ada analis dan pengamat yang menduga, Arab Saudi mungkin mencoba untuk membangun supaya berada di posisi terdepan di Timteng. Tapi tidak termasuk Iran dan Turki serta Israel, jadi saat ini pertama-tama lebih fokus di Teluk, selanjutnya di Semenanjung Arab, dan kemudian seluruh dunia Arab. Dengan pondasi kepemimpinan ini, berharap bisa mencapai tingkat atau sedikitnya sama dengan Iran, Turki dan Israel.

Dalam artikel “The Chritian Science Monitor” dituliskan, masyarakat Arab Saudi tidak hanya mendukung perang baru Arab Saudi di Yaman, tetapi juga peran barunya di Timteng sebagai “Polisi”, untuk mengisi kekosongan yang disebabkan ditinggalkan oleh ke-engganan Amerika untuk campur tangan dalam wilayah ini lagi.


Yaman Menjadi Tes Arab Saudi Untuk Kepemimpinan dan Kemampuan Militer

Pengamat melihat Arab Saudi di Yaman benar-benar meng-verifikasi banding dan verifikasi efisiensi kekuatan militer yang dapat dimobilisasi. Dengan dua verifikasi ini terlihat tidak begitu sukses.

Karena mobilasi ini terkesan sangat terburu-buru, dan belum mencapai seperti harapan semula yang diinginkan. Seharusnya Mesir bergabung tanpa pamrih, tetapi Arab Saudi sangat kecewa dengan Mesir atas seluruh operasi meliternya. Mesir hanya mengirim beberapa kapal patroli Bab-el-Mandeb sebagai simbolis, dan Arab Saudi percaya tindakan Mesir tidak untuk menyerang Yaman untuk membantu Arab Saudi, itu hanya lebih merupakan tindakan untuk melindungi Terusan Suez yang menguntungkan Mesir. Arab Saudi sungguh kecewa terhadap Mesir.

Selain itu, Arab Saudi dalam tingkat tertentu juga kecewa terhadap Pakistan, karena Arab Saudi terutama minta mereka memobilisasi pasukan. Tapi Pakistan merasa ini bukan krisis besar dalam negeri Arab Saudi sendiri, melainkan di negara lain, sehingga Pakistan dengan sopan menolak. Jadi Arab Saudi sangat tidak puas juga.

Negara-negara lain seperti Yordan dan mitra lain di Teluk, yang dikatakan memobolisasi militer nyatanya hanya untuk “pertunjukan” saja. Jadi aliansi Arab Saudi ini di-verifikasi kapasitas tempurnya sebenarnya masih sangat terbatas.

Majalah “Time” Amerika menulis satu artikel: “Hari ini, meskipun Arab Saudi telah menyelenggarakan ketertiban kekuasaannya sendiri, tapi usaha ini kehilangan makna dibawah lingkungan eksternal yang parah.”

Di luar Arab Saudi, situasi dunia Arab semakin hari semakin buruk. Yaman, Irak, Sysria dan Libya situasinya memburuk, seperti ISIS terus merajalela. Menghadapi berbagai tantangan ini, Arab Saudi terlihat seperti putus asa dengan melihat AS dan Iran membuka dialog dan mencapai kesepakatan awal kerangka kerjasama. Arab Saudi pernah menggunakan minyak sebagai alat untuk menghukum Iran, namun hal ini juga menimbulkan kerusakan besar bagi Arab Saudi sendiri.


Pandangan Mencari Solusi Terbaik

Dalam artikel juga disebutkan, dalam perang melawan Iran, Arab Saudi harus membayar harga makin lama makin berat. Kebijakan Timteng perlu disesusaikan, perlu memilih jalur yang lebih median dan kebijakan yang moderat. Jika Arab Saudi dan Iran bisa lebih dekat satu sama lain, kemungkin besar bisa bermanfaat bagi stabilitas Timteng.

Analis Timteng melihat konflik dan persaingan ini disebabkan melemahnya negara-negara besar di Timteng. Bukan dikarenakan vakum kekuatan, tapi lebih munculnya faktor yang tak terkendali lain yang disebabkan melemahnya kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan. Selain itu dengan adanya konfrontasi geostrategis antara Arab Saudi dan Iran, konflik agama dan metode ideologis serta konseptual sistem yang menjadi meningkat.

Kaum Sunni di negara-negara seperti Syria dan Irak mereka sepertinya memerlukan beberapa pasukan militer untuk melindungi kepentingan sekte mereka sendiri. Tapi jika mereka berdua saling bertemu, tidak heran akan timbul berbagai bentrok kekuatan tak terkendali yang muncul. Jadi selama ini hanya ketika ada seseorang yang dapat mendukung pemerintah yang kuat di negara-negara seperti Irak , Syria, Yaman dan Mesir, maka konflik agama dapat melemah dan membawa situasi di Timteng benar-benar menjadi stabil.

Arab Saudi sebagai “pemimpin” GCC disatu sisi harus bertanggung jawab atas keamanan dan kepentingan negara-negara Teluk, di sisi lain sebagai kekuatan ekonomi terkuat di Timteng dan sebagai kekuatan utama yang paling berpengaruh di wilayah tersebut. Perlu bagi Arab Saudi bersikap yang bisa mempengaruhi arah masa depan Timteng ke arah kestabilan situasi.

Namun banyak pengamat dan analis Timteng melihat : Bagaimana baiknya situasi kacau di wilayah tersebut dapat dijadikan tenang, tidak lain yaitu bagaimana Arab Saudi untuk bisa mencapai kesepakatan dengan Iran saat ini, justru kini sedang diuji kebijaksanaan Arab Saudi sebagai kekuatan utama Timteng untuk membawa kedamaian regional.

Sumber & Referensi : Media TV & Tulisan Dalam negeri dan Luar Negeri
1. http://www.albayyinat.net/jwb5ta.html
2. http://www.dw.com/id/syiah-sunni-kebencian-mengakar-di-arab-saudi/a-18492316
3. https://www.selasar.com/budaya/mengurai-konflik-sunnisyiah

(Kompasiana/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Minggu, 03 Juli 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Apa Latar Belakang Konflik Islam “ Sunni vs Syiah” di Timur Tengah (5). Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : https://abnsnews.blogspot.com/2016/07/apa-latar-belakang-konflik-islam-sunni.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS