Sesungguhnya kata "khulafa" di dalam hadis ini tidaklah dikhususkan untuk satu golongan tertentu, dan penafskan kalangan Ahlus Sunnah bahwa para khalifah itu adalah para khalifah yang empat adalah sebuah pentakwilan yang tanpa dalil.
Karena pernyataan (proposisi) yang dikemukakan lebih luas dari klaim, dan bahkan bukti-bukti mengatakan sebaliknya. Yaitu bahwa yang dimaksud dengan para khalifah rasyidin ialah para Imam dua belas dari Ahlul Bait as.
Disebabkan dalil-dalil dan riwayat-riwayat yang pasti yang menetapkan bahwa para khalifah rasyidin sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah. Al-Qanduzi al-Hanafi telah meriwayatkan di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah, "Yahya bin Hasan telah menyebutkan di dalam kitab al-'Umdah melalui dua puluh jalan bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, dan seluruhnya dari bangsa Quraisy.
Dan begitu juga di dalam Sahih Bukhari melalui tiga jalan, di dalam Sahih Muslim melalui sembilan jalan, di dalam Sunan Abu Dawud melalui tigajalan, di dalam Sunan Turmudzi melalui satu jalan, dan di dalam al-Hamidi melalui tiga jalan.
Di dalam Sahih Bukhari berasal dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Akan muncul sepeninggalku dua belas orang amir', kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang saya tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakannya kepada ayah saya, 'Apa yang telah dikatakannya?' Ayah saya men-jawab, 'Semuanya dari bangsa Quraisy.'"
Adapun di dalam Sahih Muslim berasal dari 'Amir bin Sa'ad yang berkata, "Saya menulis surat kepada Ibnu Samrah, 'Beritahukan kepada saya sesuatu yang telah Anda dengar dari Rasulullah saw.' Lalu Ibnu Samrah menulis kepada saya, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda pada hari Jumat sore pada saat dirajamnya al-Aslami, 'Agama ini akan tetap tegak berdiri hingga datangnya hari kiamat dan munculnya dua belas orang khalifah yang kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy."[35]
Setelah ini tidak ada lagi orang yang bisa berhujjah dengan hadis "Kamu harus berpegang teguh kepada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin.." dengan menerapkannya kepada para khalifah yang empat.
Dikarenakan riwayat-riwayat yang mutawatir yang mencapai dua puluh jalan, yang kesemuanya dengan jelas mengatakan khalifah itu ada dua belas orang; dan kita tidak akan menemukan penafsiran bagi riwayat-riwayat ini pada dunia nyata kecuali pada para Imam mazhab Ahlul Bait yang dua belas.
Dengan demikian, Syi'ah adalah satu-satunya kelompok yang merupakan personifikasi dari makna hadis-hadis ini, dikarenakan penerimaan mereka kepada kepemimpinan Imam Ali as, kemudian Imam Hasan dan Imam Husain, dan setelah itu sembilan orang Imam dari keturunan Imam Husain, sehingga jumlah mereka seluruhnya berjumlah dua belas orang Imam.
Meskipun kata "Quraisy" yang terdapat di dalam riwayat-riwayat ini bersifat mutlak dan tidak dibatasi, namun dengan riwayat-riwayat dan petunjuk-petunjuk yang lain menjadi jelas bahwa yang dimaksud adalah Ahlul Bait. Dan itu disebabkan adanya banyak riwayat yang menunjukkan kepada kepemimpinan Ahlul Bait.
Insya Allah, kita akan memaparkan sebagiannya pada pembahasan-pembahasan yang akan datang.
Pada kesempatan ini saya cukupkan Anda dengan riwayat yang berbunyi, "Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku."[36]
Agama ini akan tetap tegak berdiri dengan kepemimpinan dua belas orang khalifah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh riwayat-riwayat sebelumnya.
Pada saat yang sama terdapat riwayat-riwayat yang menekankan keseiringan Ahlul Bait dengan Kitab Allah. Ini merupakan sebaik-baiknya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "dua belas orang khalifah" itu adalah para Imam dari kalangan Ahlul Bait.
Adapun ungkapan "semuanya berasal dari Quraisy" itu tidak lain merupakan pemalsuan di dalam hadis. Ungkapan ini mereka letakkan supaya petunjuk yang jelas akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait menjadi kabur.
Karena sesungguhnya ungkapan yang benar ialah "semuanya berasal dari Bani Hasyim", namun tangan-tangan jahat senantiasa mencari keutamaan-keutamaan Ahlul Bait, untuk kemudian mereka sembunyikan semampu mereka, atau mengganti dan merubah sesuatu dari mereka yang dapat diselewengkan.[37]
Riwayat ini merupakan salah satu korban daripada pengubahan. Namun, Allah SWT menampakkan cahaya-Nya. Al-Qanduzi al-Hanafi sendiri telah menukilnya di dalam kitabnya Yanabi' al-Mawaddah.
Pada mawaddah kesepuluh dari kitab Mawaddah al-Qurba, bagi Sayyid Ali al-Hamadani —semoga Allah SWT mensucikan jalannya dan mencurahkan keberkahannya kepada kita— disebut-kan, "Dari Abdul Malik bin 'Umair, dari Jabir bin Samrah yang ber-kata, 'Saya pernah bersama ayah saya berada di sisi Rasulullah saw, dan ketika itu Rasulullah saw bersabda, 'Sepeninggalku akan ada dua belas orang khalifah.' Kemudian Rasulullah saw menyamarkan suar-anya. Lalu saya bertanya kepada ayah saya, 'Perkataan apa yang disamarkan olehnya?' Ayah saya menjawab, 'Rasulullah saw berkata, 'Semua berasal dari Bani Hasyim."[38]
Bahkan Al-Qanduzi meriwayatkan banyak hadis lain yang lebih jelas dari hadis-hadis di atas. Al-Qanduzi telah meriwayat dari 'Abayah bin Rab'i, dari Jabir yang mengatakan, "Rasulullah saw telah bersabda, 'Saya adalah penghulu para nabi dan Ali adalah penghulu para washi, dan sesungguhnya para washi sepeninggalku berjumlah dua belas orang. Yang pertama dari mereka adalah Ali, dan yang terakhir dari mereka adalah al-Qa'im al-Mahdi."'[39]
Setelah menyebutkan hadis-hadis ini, Al-Qanduzi al-Hanafi tidak menemukan apa-apa selain harus mengakui dan mengatakan, "Sesungguhnya hadis-hadis yang menunjukkan bahwa para khalifah sesudah Rasulullah saw sebanyak dua belas orang khalifah, telah banyak dikenal dari banyak jalan, dan dengan penjelasan jaman dan pengenalan alam dan tempat dapat diketahui bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah saw dari hadis ini ialah para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah saw.
Karena tidak mungkin kita dapat menerap-kannya pada raja-raja Bani Umayyah, dikarenakan jumlah mereka yang lebih dari dua belas orang dan dikarenakan kezaliman mereka yang amat keji, kecuali Umar bin Abdul Aziz, dan dikarenakan mereka bukan dari Bani Hasyim.
Karena Rasulullah saw telah bersabda, 'Seluruhnya dari Bani Hasyim', di dalam riwayat Abdul Malik, dari Jabir. Dan begitu juga penyamaran suara yang dilakukan oleh Rasulullah saw di dalam perkataan ini, memperkuat riwayat ini.
Dikarenakan mereka tidak menyambut baik kekhilafahan Bani Hasyim. Kita juga tidak bisa menerapkannya kepada raja-raja Bani 'Abbas, disebabkan jumlah mereka yang lebih banyak dibandingkan jumlah yang disebutkan, dan juga dikarenakan mereka kurang menjaga ayat "Katakanlah, 'Aku tidak meminta upah apapun kepadamu atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku'" dan hadis Kisa`.
Maka mau tidak mau hadis ini harus diterapkan kepada para Imam dua belas dari Ahlul Bait Rasulullah saw. Karena mereka adalah manusia yang paling berilmu pada jamannya, paling mulia, paling warak, paling bertakwa, paling tinggi dari sisi nasab, paling utama dari sisi kedudukan dan paling mulia di sisi Allah SWT.
Ilmu mereka berasal dari bapak-bapak mereka, dan terus bersambung kepada datuk mereka Rasulullah saw.[40]
Maka penerapan hadis "Kamu harus berpegang teguh pada sunahku dan sunah para Khulafa` Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku" kepada para Imam Ahlul Bait jauh lebih dekat dibandingkan menerapkannya kepada para khalifah yang empat. Karena sudah jelas bahwa para khalifah sepeninggal Rasulullah saw itu berjumlah dua belas orang khalifah, yang kesemuanya berasal dari Bani Hasyim.
==========================
Bani Hasyim
Bani Hasyim (Bahasa Arab: بنو هاشم ) sebuah marga/klan terkenal dari kabilah Quraisy yang dinisbatkan kepada Hasyim (Amar) bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab. Rasulullah Saw berasal dari marga ini. Sebelum Islam, marga ini termasuk salah satu marga populer dan besar Arab. Ketika Islam muncul, marga ini pada masa kepemimpinan Abu Thalib banyak sekali membela Rasulullah Saw. Pada masa para Imam juga menjadi pembela para Imam As dalam banyak hal.
Keluarga Bani Abbas, salah satu keluarga terpenting Bani Hasyim telah berkuasa atas negara-negara Islam pada beberapa abad. selain itu, di pelbagai kawasan dunia Islam, keluarga lainnya dari Bani Hasyim juga berkuasa dalam pelbagai periode sejarah. Orang-orang Bani Hasyim (Hasyimiyan) karena penisbatan mereka kepada Rasulullah Saw sangat dihormati oleh kaum muslimin.
Pra Islam
Qushai bin Kilab adalah salah seorang keturunan Nabi Ismail (As). Dia yang hidup kurang lebih satu abad sebelum kelahiran Rasulullah Saw, melalui kiprah-kiprahnya, ia menjadi pembesar Quraisy. Dia memegang kedudukan-kedudukan penting Mekah dan rumah Ka’bah.
Sepeninggalnya, kedudukan-kedudukan tersebut jatuh ke tangan keturunannya. Namun sepeninggal Abdi Manaf dan Abd al-Dar (keturunan Qushai) terjadi persengketaan yang sengit antara Hasyim dan saudaranya (Bani Abdi Manaf) dengan para sepupunya mengenai kedudukan Ka’bah, yang hal tersebut mengakibatkan Hilful Muththayyibin (kelompok harum) dan Hilful Ahlaf (kelompok sekutu). Setelah perselisihan mereda, dua kedudukan rifadah (pemberi makan para jemaah haji) dan siqoyah (pemberi minum para jemaah haji) dipegang oleh Bani Abdi Manaf yang diantara mereka adalah Hasyim.
Hasyim
Hasyim, setiap tahun dalam melaksanakan tanggung jawab memberi makan para penziarah Ka’bah mendapat keuntungan dari partisipasi dan bantuan keuangan dari keluarga-keluarga Quraisy. [1]
Demikian juga, dengan menggali sumur, dia mempermudah pemberian air kepada para penyelenggara haji. [2]
Hasyim juga meningkatkan perdagangan Quraisy dan dengan pakta perdagangan (dimana dalam Al-Quran dikenang dengan Îlaf al-Qurasiy) [3] mampu memperbaiki rute perdagangan Quraisy menjadi dua perjalanan; musim panas menuju Syam dan musim dingin menuju Yaman dan Habasyah. [4]
Demikian juga, dia mampu menyediakan makanan untuk Quraisy pada salah satu tahun-tahun paceklik dan menyelamatkan mereka dari kelaparan. [5] Sekumpulan ini semua membuat Hasyim memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan para Quraisy.
Hasyim memiliki empat putra, yang bernama Syaibah (Abdul Muththalib), Asad, Amr (Abu Saifi), Nadla dan juga memiliki lima putri. [6]
Abdul Mutthalib
Sepeninggal Hasyim, saudaranya Muththalib bin Abdi Manaf mengemban kedudukannya dan setelah Abdul Muththalib (putra Hasyim) menjadi pengganti Muththalib. [7]
Abdul Muththalib karena karakter besarnya, selain memiliki kedudukan memberi minum dan makan, ia juga memiliki kemuliaan di sisi penduduk Mekah.
Demikian juga, galian sumur Zamzam juga telah melipat gandakan kedudukan besarnya dalam pandangan para pelaksana haji. Bani Abdi Manaf, termasuk Bani Hasyim merupakan kebanggaan untuk selain Quraisy dan menganggap pemberian air dari sumur ini merupakan kebanggaan terbesar untuk dirinya. [8]
Kedudukan Abdul Muththalib dalam peristiwa serangan pasukan Abrahah ke Mekah di tahun Gajah semakin meningkat; karena kedudukan khususnya di sisi Quraisy, ia hadir sebagai wakil dari orang-orang Mekah mendatangi Abrahah.
Pertemuan Abdul Muththalib dengan Abrahah dan kemudian bimbingannya kepada penduduk Mekah supaya menuju gunung-gunung di sekitar kawasan dan penjagaannya atas mereka dari penindasan pasukan Abrahah menyebabkan Quraisy dalam peristiwa ini menjulukinya sebagai Ibrahim kedua. [9]
Sebagian keturunan Abdul Muththalib hanya dikenal sebagai sisa keturunan dari keturunan Hasyim, mereka menganggap sama antara Bani Hasyim dengan Bani Abdul Muththalib; [10] sementara dengan adanya keturunan dari Nadhlah bin Hasyim dan Amr bin Hasyim klaiman semacam ini tidaklah benar. [11]
Hubungan dengan Marga-marga Quraisy Lainnya
Gang Bani Hasyim, Madinah
Dengan memperhatikan superioritas dan kebesaran Quraisy di kalangan semenanjung Arab, persaingan di kalangan marga-marga Quraisy juga memiliki prioritas tersendiri; karena inilah setiap dari marga-marga yang ada ini berusaha dengan segala cara yang mungkin dengan mendahului para lawan meraih kepemimpinan dan kedudukan istimewa di kalangan pelbagai kabilah Quraisy.
Akar permusuhan Bani Umayyah dengan Bani Hasyim juga harus dirunut dalam persaingan kabilah tersebut. Meskipun sebagian laporan-laporan sejarah (yang masih juga diragukan) [12] akar permusuhan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim dikaitkan terhadap masalah-masalah yang lebih mendetail. Permasalahan seperti kedengkian Umayyah bin Abd asy- Syam (keponakan Hasyim) kepadanya dan percekcokan-percekcokan diantara keduanya; [13] atau “Munafaroh” (berbangga dengan kedudukan dan keturunan) Harb bin Umayyah dengan Abdul Muththalib. [14]
Bahkan sebagian riwayat-riwayat sejarah peristiwa menjustifikasikan perselisihan dan persaingan-persaingan berikutnya Bani Umayyah dengan Bani Hasyim terkait pada masa kelahiran Hasyim dan Abd asy-Syam (nenek moyang Bani Umayyah) [15].
Sepeninggal Abdul Muththalib, dan terutama dikarenakan lemahnya keuangan, kedudukan Bani Hasyim semakin merosot; namun dengan pengutusan Rasulullah Saw dikabarkan persaingan dan pelbagai percekcokan dari pihak para pesaing Bani Hasyim yang dipimpin oleh Bani Makhzum dan kemudian Bani Umayyah dengan mereka terulang kembali.
Dengan yakin bahwa hal ini diambil dari perspektif orang-orang ini mengenai kenabian dan risalah Rasulullah Saw; karena menurut pandangan orang-orang ini, mereka menganggap pengutusan kenabian dari Bani Hasyim bukanlah sebuah kategori terpisah dari persaingan antar kabilah dan hal itu merupakan sebuah dalih untuk kepemimpinan Bani Hasyim dan hasil dari permainan mereka; [16] dengan demikian mereka berupaya sehingga dengan mengingkari kenabian dan konfrontasi dengan para pengikut beliau akan merintangi perkembangan kedudukan Bani Hasyim.
Demikian juga, sumber-sumber dari Bani Abd al-Dar dan Bani Makhzum dapat dikategorikan sebagai marga-marga saingan lain dan musuh Bani Hasyim. Bani Abd al-Dar, dimana memiliki perselisihan pertama kalinya dengan Hasyim bin Abdi Manaf dalam peristiwa pengelolaan kedudukan Mekah (lihat: Hilful Ahlaf) dengan pengutusan Rasulullah Saw mereka berada di samping Bani Umayyah. [17]
Bani Makhzum juga yang dalam Hilful Ahlaf berada di samping Bani Abd al-Dar [18] dengan dimulainya ajakan terang-terangan kepada Islam, mereka termasuk dalam pentolan penentang Rasulullah; karena dengan memperhatikan kedudukan kemuliaan Abu Jahal (pembesar Bani Makhzum) dan kepemimpinannya atas Mekah, melihat bahwa pengutusan kenabian dari Bani Hasyim merupakan sebuah ancaman untuk kemuliaan dan kedudukannya.
Dari sisi lain, termasuk marga-marga yang dapat dikategorikan sebagai koalisi dan sekutu Bani Hayim, yang mana dikalangan ini harus dianggap sebagai koalisi terbesar dan tercinta Bani Hasyim adalah dari marga Bani Muththalib bin Abdi Manaf.
Mereka dengan ditemani marga-marga seperti Bani Zuhrah bin Kilab, Bani Taim bin Murrah, Bani Harits bin Fahr, dan Bani Asad bin Abdul ‘Izzi dalam Hilf al-Muththayyibin berada di samping Hasyim dan Bani Abdi Manaf dan berhadapan dengan Bani Abd al-Dar. [19]
Kemudian dalam perjanjian Hilful Fudhul (perjanjian yang disertai sumpah yang utama) yang dipimpin oleh Zubair bin Abdul Muththalib juga bersumpah dengan Bani Hasyim untuk membela orang-orang tertindas. [20]
Setelah munculnya Islam, Bani Muththalib dalam banyak peristiwa juga berada disamping Bani Hasyim dengan membela Rasulullah Saw. Hadir dalam Syi’ib Abu Thalib dan pengembanan tiga tahun yang sangat sukar nan pahit disamping Bani Hasyim merupakan salah satu contoh koalisi mereka dengan Bani Hasyim. [21]
Khuza’ah juga dapat dikenal sebagai koalisi lain Bani Hasyim. Sebagian referensi mengabarkan partisipasi Khuza’ah dengan Abdul Muththalib dan persekutuannya setelah peristiwa pertikaian Abdul Muththalib dan Naufal bin Abdi Manaf. [22]
Kemunculan Islam
Rasulullah Saw dalam langkah pertamanya memulai dakwah seruan Islam secara terang-terangan dari kalangan sanak keluarganya dan mengumpulkan Bani Abdul Muththalib (keluarga terpenting Bani Hasyim dan kerabat tingkat pertamanya) pada hari Indzar dan mengajak mereka supaya menerima Islam. [23]
Dikabarkan, muncul pelbagai reaksi dari pihak Bani Hasyim terhadap agama baru ini; sedikit sekali dari mereka dengan menerima Islam berada dalam barisan penolong Rasulullah Saw, yang mana sebagian di antara mereka adalah orang-orang seperti Abu Thalib yang menyembunyikan keimanannya. Abu Thalib melihat kemaslahatan dalam diamnya, sehingga dapat menjaga sebagai pembesar Quraisy dan juga pengaruh ucapannya; namun dengan dukungannya senantiasa selalu merintangi penganiayaan dan pelecehan terhadap Rasulullah Saw. [24] (lihat: Iman Abu Thalib)
Sekelompok kecil dari Hasyimi juga memusuhi dan berkonfrontasi terhadap Rasulullah, mereka di jalan ini tidak melakukan suatu tindakan apapun; Abu Lahab paman nabi [25] dan di antara orang-orang ini adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muththalib yang melakukan pencercaan terhadap Rasulullah Saw. [26]
Penampakan salah satu gambar dari gang Bani Hasyim di Madinah
Meskipun banyak sekali dari Bani Hasyim beriman setelah penaklukan Mekah, akan tetapi mayoritas dari mereka membela Rasulullah Saw di hadapan reaksi negatif para pembesar Quraisy dan di hadapan penyiksaan orang-orang Mekah terhadap Rasulullah dan kaum muslimin. Hadirnya Abu Thalib, paman Rasulullah Saw, dimana pada masa itu dianggap sebagai pembesar Bani Hasyim dan Quraiys dalam pembelaan ini memiliki pengaruh yang signifikan. [27]
Bahkan, ketika para pemuka marga Quraisy mengharap bahwa Bani Hasyim akan berlepas diri dari melindungi Rasulullah Saw, mereka melakukan embargo ekonomi dan sosial kepada Bani Hasyim. Orang-orang Bani Hasyim dengan permintaan Abu Thalib meminta dari orang-orang kafir dan muslim (kecuali Abu Lahab [28] dan Abu Sufyan bin Harits) [29] menuju Syi’ib Abi Thalib dan selama tiga tahun hidup dalam krisis keuangan dan sosial, namun mereka senantiasa tetap membela Rasulullah Saw. [30]
Sepeninggal Abu Thalib, Abu Lahab memegang kepemimpinan Bani Hasyim. [31]
Pada masa ini, para pemimpin Bani Hasyim seperti sedia kala tidak membela Rasulullah (Saw), sehingga beliau kembali dari Thaif dengan dukungan Muth’im bin ‘Adi, salah seorang ketururan Naufal bin Abdi Manaf memasuki Mekah. [32]
Dengan hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah, sebagian dari Bani Hasyim seperti Hamzah dan Ali As juga lebih memprioritaskan hijrah ke Madinah ketimbang terus tinggal di Mekah; akan tetapi mayoritas Bani Hasyim tetap tinggal di Mekah.
Mayoritas Bani Hasyim tidak bersedia mengiringi peran kaum musyrikin Mekah guna memerangi kaum muslimin; namun sejumlah dari orang-orang ini dengan terpaksa ikut hadir dalam pasukan kaum musyrikin dalam perang Badar, yang mana pada akhirnya menjadi tawanan kaum muslimin. [33]
Sebelum dimulainya perang, Rasulullah Saw sudah mengabarkan kaum muslimin akan terpaksannya kehadiran sebagian Bani Hasyim dalam pasukan Musyrikin, beliau melarang pembunuhan kelompok ini. Dengan berakhirnya perang dan pembebasan tawanan musyrik, para tawanan Hasyimi dalam tempo singkat tinggal di Madinah, di samping Rasulullah. [34]
Sesuai dengan yang tertera dalam referensi, banyak sekali dari Bani Hasyim pada tahun-tahun sebelum hijrah telah memeluk Islam, khususnya dalam pembukaan kota Mekah, sebagaimana Aqil bin Abi Thalib sebelum perjanjian Hudaibiyah [35] atau pada tahun ke delapan Hijriah, Abu Sufyan bin Harits dalam penaklukan Mekah [36], Abbas bin Abdul Muththalib juga menjadi perselisihan, memeluk Islam sebelum perang Badar atau sebelum penaklukan Khaibar. [37]
Sebagian lainnya juga seperti Abu Lahab [38] mati dalam keadaan kafir dan tidak beriman kepada Rasulullah.
Periode Para Imam
Sepeninggal Rasulullah Saw, persaingan kabilah sebelum Islam, bahkan dikalangan para sahabat Rasulullah Saw dalam bentuk penentangan terhadap pengganti, Ali As semakin mencuat. Banyak dari para penentang kekhilafahan Imam Ali As menganggap kekhilafahan beliau dalam arti kelanjutan kepemimpinan Bani Hasyim atas Arab; sebagaimana perbincangan Umar dengan Ali As dan demikian juga Abbas bin Abdul Muththalib mengemukakan bahwa: Arab tidak menerima kenabian dan kekhilafahan berkumpul bersama-sama dalam satu keluarga!!! [39]
Sebaliknya, Imam Ali As melalui penegasan kekhilafahan Rasulullah Saw harus berasal dari Quraisy dan Bani Hasyim menegaskan bahwa hanya orang-orang tertentu dari Bani Hasyim saja yang memiliki kelayakan atas kedudukan dan tanggung jawab ini. [40]
Penentangan dengan berkumpulnya kenabian dan kekhilafahan dalam Bani Hasyim menyebabkan koalisi seluruh marga-marga Arab lainnya; dikarenakan marga-marga Quraisy lainnya, warga Madinah dan koalisi mereka beranggapan jika Ali As menjadi khalifah, maka kekhilafahan sama sekali tidak akan pernah keluar dari Bani Hasyim. [41]
Dengan dalil inilah, sebagian dari para sahabat, ketika jasad Rasulullah Saw belum dikebumikan telah berkumpul di Saqifah dan memilih seorang khalifah dari kalangan diri mereka sendiri, dengan tanpa tanpa terlebih dahulu bermusyawarah kepada Bani Hasyim dan meskipun ada pengumuman kewashian dan pengganti Ali As dari Rasulullah Saw.
Meskipun penentangan-penentangan dengan kepemimpinan Bani Hasyim dan sampainya kekhilafahan kepada mereka, Bani Hasyim sangat menjaga kedudukan tingginya.
Semisalnya, dalam peristiwa pembagian ghanimah (pembagian diwan), Umar, memprioritaskan Bani Hasyim sebagai keluarga Rasululllah Saw ketimbang lainnya dan menyebut mereka sebagai Arab termulia, dikarenakan kekerabatan dengan Rasulullah. [42]
Fanatisme Bani Umayyah
Dengan terpilihnya Utsman sebagai khalifah, maka perselisihan Bani Umayyah dengan Bani Hasyim kembali mencuat; dikarenakan dalam periode ini Bani Umayyah mendapatkan kekuatan dan menemukan lahan untuk menghidupkan fanatisme etnis dan balas dendam; semisalnya, Abu Sufyan meminta kepada Utsman supaya mewariskan kekhilafahan dikalangan Bani Umayyah saja, karena tidak ada surga dan neraka. [43]
Dalam melawan pendekatan ini, Imam Ali dengan menolak sentimen-sentimen etnis mengenalkan unsur-unsur seperti iman, ikhlas, kebenaran dan hijrah sebagai tolok ukur keutamaan Bani Hasyim atas Bani Umayyah. [44]
Namun, dalam periode tiga khalifah, Imam Ali As dan Bani Hasyim juga memiliki peran dalam mengatur pemerintahan Islam; sebagaimana Harits bin Naufal bin Harits bin Abdul Muththalib sebagai pemimpin Mekah pada masa kekhilafahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. [45]
Pemerintahan Amirul Mukminin As dan Imam Hasan As
Dengan dimulainya pemerintahan Amirul Mukminin As (35-40 H), Bani Hasyim ikut menyertai beliau dalam semua peristiwa dan meskipun pada masa ini, Madinah merupakan tempat tinggal Bani Hasyim; akan tetapi dengan perubahan markas pemerintahan dan pemindahan ke Kufah, sekelompok dari Bani Hasyim juga ikut pergi ke kota ini. Terlihat juga nama-nama sebagian dari Bani Hasyim dalam sekumpulan para pekerja beliau. [46]
Sepeninggal beliau, dalam pemerintahan singkat Imam Hasan As (40-41 H) meskipun adanya dukungan dan pembelaan Bani Hasyim terhadap Imam, namun sebagian para pembesar Bani Hasyim seperti Ubaidullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, panglima perang pasukan imam, dengan bergabung ke pasukan Muawiyah, memaksa imam untuk melakukan perdamaian. [47]
Muawiyah dan Penghidup Fanatisme
Pada masa pemerintahan Muawiyah, persaingan kabilah lebih terlihat kental ketimbang sebelumnya; semisalnya Muawiyah dalam peperangan melawan Imam Ali As memperkenalkan pasukan Kufah sebagai para pendukung Bani Hasyim. [48]
Perspektif ini, pada masa pengganti Muawiyah juga terus berlanjut.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, terdapat upaya serius untuk menciptakan persengketaan etnis dan pengingkaran atau meremehkan peran pandangan dan motifasi-motifasi ideologi dalam peristiwa-peristiwa sejarah permulaan Islam, dan bahkan kemunculan Islam.
Contoh riil peristiwa ini adalah ucapan Yazid bin Muawiyah setelah peristiwa Asyura. Yazid dalam sebuah syair yang menceritakan akan kebahagiaan dan kemenangan, dengan tegas mengingkari wahyu dan kenabian dan menyebut Islam sebagai hasil permainan-permainan politik Bani Hasyim di hadapan Bani Umayyah. [49]
Sewaktu Imam Husein As di Madinah tidak mau berbaiat dengan Yazid, maka Bani Hasyim pun mendukung beliau [50] dan sebagian dari Hasyimi (keluarga Aqil dan keluarga Ali) juga menyertai beliau saat bangkit menentang Yazid. [51]
Meskipun Bani Hasyim memusuhi pemerintahan lalim Bani Umayyah, namun ketika Abdullah bin Zubair pada tahun 63 H menguasai Mekah dan memberikan banyak kerusakan terhadap pemerintahan Bani Umayyah, mereka tetap tidak mau berbait dengannya, sampai-sampai Abdullah melakukan pengasingan dan menurut sebagian riwayat pemenjaraan orang-orang seperti Muhammad bin Hanifah dan Abdullah bin Abbas. [52]
Dengan tumbangnya kebangkitan Abdullah bin Zubair, Bani Umayyah kembali lagi mengarah ke Bani Hasyim dan melakukan pelecehan dan penyiksaan kepada para pendukung mereka. Perintah Hisyam bin Abdul Malik untuk memotong tangan dan lidah Kumait bin Zaid Asadi dengan kesalahan lantunan kidung untuk Zaid bin Ali bin Husein merupakan contoh dari realita ini. [53]
Meskipun pembalasan dendam Bani Umayyah menyempitkan ranah Bani Hasyim, namun pengaruh mereka di kalangan masyarakat tidaklah berkurang; semisalnya, termasuk dalil-dalil yang dituturkan untuk mengalahkan Abdullah bin Zubair adalah sikap ketidak pantasnya dengan Bani Hasyim [54] dan atau ketika Ziyad bin Shalih sewaktu memberontak melawan Bani Umayyah (133 H) mengajak masyarakat kepada Bani Hasyim. [55]
Demikian juga, para pendukung Bani Abbas di daerah Khorasan menyeru masyarakat kepada pemerintahan Bani Hasyim. [56]
Bani Abbas
Pada masa Bani Umayyah, Bani Hasyim di samping keragaman marga, namun memberikan satu baris irama politik. Namun pada akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, Hasyimi memiliki pembaharuan sosial dalam dua marga penting keturunan Imam Ali As dan keturunan Abbas bin Abdul Muththalib.
Melonjaknya ketidakrelaan kaum muslimin terhadap pemerintahan Bani Umayyah mengakibatkan munculnya fraksi-fraksi dan gerakan-gerakan anti Umayyah pada masa pertengahan pertama abad kedua. Tendesi peninggkatan masyarakat kepada Ahlulbait nabi Saw dan keengganan Ahlulbait As untuk menerima permintaan mereka untuk bangkit, memunculkan kesempatan untuk orang-orang dari keturunan Abbas, paman Rasulullah, yang mengklaim memiliki hak pemerintahan.
Abbasiah dengan memperhatikan kehormatan sosial Bani Hasyim, sejak semula berupaya memperbesar penisbahan mereka kepada Hasyim dan sejak tahun 111 H aktif dibawah panji “Seruan Hasyimi”. [57]
Ranah sosial perselisihan Bani Umayyah dan Bani Hasyim juga telah terprovokasi, dalam pemaparan tema “Hasyimi” juga efektif. Menurut sumber-sumber sejarah, baiat Abbasiah dilakukan dengan bersandar pada topik Baiat Hasyimi, dengan justifikasi bahwa khilafah adalah haknya Bani Hasyim dan Abbasiah juga termasuk bagian dari keluarga ini. [58]
Hasilnya, dengan pemaksaan Abbasiah dalam penyisipan dirinya sebagai keluarga Rasulullah Saw, pemerintahan Bani Abbas dikenal dengan nama “Pemerintahan Bani Hasyim”. Dan sebaliknya, orang-orang Syiah yang tidak tahan dengan pemanfaatan semacam ini, menyebut mereka dengan ungkapan “Bani Abbas”. [59]
Secara bersama-sama, sampai periode Bani Abbasiah, Istilah Bani Hasyim lebih banyak digunakan untuk orang-orang Bani Abbas, sampai-sampai maksud dari Bani Hasyim adalah orang-orang Bani Abbas di hadapan keluarga Abi Thalib dan keluarga Ali. [60] (namun sebelum periode ini, sewaktu Kumait bin Zaid Asadi (w. 126 H) melantunkan ke-Hasyimiannya, maksudnya adalah menuturkan musibah-musibah dan bencana keluarga Ali As. Sekarang ini juga di Iran, istilah Bani Hasyim dipakai dengan makna ini).
Persengketaan politik Abbasiah dengan Alawi juga mengakibatkan perbedaan dua cabang Hasyimi ini dalam perkara ideologi. Alawi populer dengan tasyayyu’ dan Abbasiah dengan keyakinan kaum muslim sunni selaras dalam bab keimamahan. [61]
Abad-abad Berikutnya
Abbasiah memegang tampuk pemerintahan sampai pada tahun 656 H. [62] Disamping mereka, silsilah keturunan Hasyimi lainnya juga memegang kendali pemerintahan, seperti Fathimiyyun di Mesir, Adrisiyyun di Maroko, dan Alawiyyun di Tabristan.
Dari abad keempat sampai pertengahan pertama abad keempat belas (1343 H) keluarga dari sadat Bani Hasan di Mekah mendapatkan kepemimpinan, yang menisbatkan dirinya kepada nenek moyang mereka, Hasyim bin Abdi Manaf. Pemerintahan Hasyimi Hijaz, Irak, dan Jordan juga berasal dari keluarga ini.
Hukum Fikih Khusus
Bani Hasyim dalam fikih juga menjadi topik sebagian hukum. Sebagian dari khumus diberikan kepada keturunan Hasyim, dari jalur Abdul Muththalib dan sebaliknya, kecuali dalam beberapa hal khusus, zakat tidak diberikan kepada mereka. [63]
Dalam sebuah riwayat yang juga masyhur di kalangan Ahlusunah, dalil adanya pelarangan semacam ini karena martabat mereka yang tinggi . [64]
Sifat-sifat Bani Hasyim
Sifat-sifat terpuji seperti dermawan dan pemberi, jauh dari kehinaan dan keburukan dan kesatria untuk keturunan Hasyim dan Abdul Muththalib (Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib) juga dapat terlihat dalam laporan-laporan. [65] Hilful Fudhul (dimana di situ Bani Hasyim beserta beberapa kelompok lainnya komitmen untuk membela orang-orang lalim sampai mendapatkan haknya) merupakan contoh logis atas kedermawanan dan kesatria Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib.
Ibnu Abbas menuturkan 7 sifat untuk Bani Abdul Muththalib, di antaranya adalah: tampan, fasih, dermawan dan kesatria, pemberani, berilmu, sabar, dan memuliakan para wanita. [66]
Ibnu Habib Baghdadi menuturkan dari Kalbi, yang juga menanyakan kepada Imam Ali As tentang keistimewaan Bani Hasyim dan Bani Umayyah; beliau menjawab bahwa Bani Hasyim adalah orang-orang yang tampan, fasih, dan kesatria. [67]
Demikian juga, Hasyimiyah terkenal dengan pemilik kemuliaan; [68] sifat lainnya, merasa cukup meskipun dalam kondisi paling susah, dengan adanya semua problem menganggap dirinya sebagai pemilik kedudukan dan tidak menghilangkan martabat sosialnya. [69]
Bani Hasyim dalam Riwayat-riwayat Rasulullah Saw
Gang Bani Hasyim
Dalam hal ini juga diriwayatkan dari Rasulullah Saw; bahwa suatu ketika Rasulullah keluar dari rumahnya, Ia keluar dengan sangat gembira dan masyarakat kemudian mempertanyakan penyebab kegembiraan itu, Ia menjawab, "Jibril datang sebagaimana perintah Allah Swt dan menyampaikan, Allah memilih tujuh orang dari Bani Hasyim yang mana Dia tidak menciptakan seperti mereka pada masa silam dan di masa mendatang: Engkau wahai Rasulullah, Ali washimu, Hasan dan Husain cucumu, Hamzah pamanmu, Ja’far anak pamanmu, dan Qaim (Af) yang mana Nabi Isa salat di belakangnya. [70]
Demikian juga terdapat dalam riwayat, dikarenakan kaum Muhajirin, Anshar dan Bani Hasyim berselisih manakah diantara mereka yang lebih dicintai di sisi Rasulullah, Rasululllah menyebut dirinya sebagai saudara Anshar dan di kalangan Muhajirin, akan tetapi mengenai Bani Hasyim beliau bersabda: “Kalian dariku dan bersamaku.” [71]
Banyak pula dari referensi-referensi Ahlusunnah yang menegaskan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasululah Saw yang berupaya memperkenalkan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muththalib sebagai Arab terbaik dan bahkan sebaik-baik manusia. [72]
Namun, dengan memperhatikan bahwa biasanya riwayat-riwayat ini dinukilkan pada masa pemerintahan Bani Abbas, maka bisa jadi riwayat ini dinukilkan dalam rangka membela penguasa Abbasiah; khususnya Abbasiah berupaya menonjolkan penisbatan dirinya kepada Bani Hasyim. Dengan demikian harus dimengerti reaksi-reaksi Rasulullah Saw di hadapan sebagian orang-orang Bani Hasyim diartikan dari sudut pandang penghormatan beliau kepada orang-orang mukmin Hasyimi dan para penolongnya. [73]
Kedudukan Bani Hasyim dikalangan Kaum Muslimin
Bani Hasyim dikarenakan kedudukan agung mereka sebelum Islam dan juga penisbahan mereka kepada Rasulullah Saw, mereka memperoleh kedudukan terhormat dalam pandangan kaum muslimin. Kecintaan dengan keluarga Hasyim sebagai keluarga Rasulullah Saw dalam dunia Islam merupakan kebudayaan yang marak.
Contoh dari hal ini adalah pembelaan kaum muslimin terhadap Abbasiah sebagai Bani Hasyim atau banyak dari pemerintahan-pemerintahan muslim terbentuk dengan nama Hasyimi.
Termasuk karakteristik budaya hal ini adalah banyaknya madah-madah seperti hasyimiyah Kumait bin Zaid Asadi, yang dilantunkan dalam mensifati keluarga ini. [74]
Dan manifestasi lainnya adalah banyaknya penghormatan kalangan Ahlusunnah untuk kelompok-kelompok dalam dunia Islam yang masyhur dengan sifat Hasyimi; di antaranya adalah banyaknya penghormatan kepada para Habaib (anak cucu keturunan Rasulullah Saw) di Iran.
Catatan Kaki:
1. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 63-64.
2. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 98.
3. Q.S. Quraisy.
4. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 312; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 62.
5. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62.
6. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62; Ibn Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 201-201.
7. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 251, 253.
8. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 99.
9. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 364.
10. Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 21; Syaikh Thusi, Al-Tibyan, jld. 5, hlm. 123; Thabarsi, Majma’ al-Bayan, jld. 4, hlm. 836.
11. Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, “Bani Hasyim”, jld. 6, hlm. 330.
12. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, pada pembahasan “Bani Hasyim”; Muntazar Qaim, Tārīkh Sadre Islām, hlm. 95.
13. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 62; Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 252.
14. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 253.
15. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 311.
16. Muqrizi, Al-Niza’ wa al-Takhashum, hlm. 56; Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghānī, jld. 6, hlm. 360-365.
17. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 63.
18. Ya’Qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 372.
19. Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 189-190.
20. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 103; Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 53.
21. Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 163-164; Ya’qubi, Tārīkh, jld. 1, hlm. 389.
22. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 248.
23. Ibid., hlm. 319.
24. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, prolog Abu Thalib, jld. 5, hlm. 619.
25. Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 386; Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 265.
26. Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyūn al-Atsar, jld. 2, hlm. 74.
27. Semisalnya lihat, Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 321-324.
28. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 1, hlm. 221; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 163; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, jld. 1, hlm. 94.
29. Waqidi, Al-Maghazi, hlm. 617; Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, jld. 1, hlm. 94.
30. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 336-339.
31. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, prolog Abu Lahab.
32. Thabari, Tārīkh, jld. 3, hlm. 348; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt, jld. 1, hlm. 165.
33. Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm. 333.
34. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 2, hlm. 29; Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 4, hlm. 194.
35. Thabari, Dzakhāir al-‘Uqbā, hlm. 191.
36. Ibid., hlm. 241.
37. Ibid., hlm. 191.
38. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad, jld. 2, hlm. 45.
39. Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 223; Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 5, hlm. 209.
40. Nahjul Balāghah, Khotbah 144.
41. Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 223.
42. Al-Baladzuri, Futūh al-Buldān, hlm. 627-628; Thabari, Tārīkh, jld. 5, hlm. 209.
43. Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 6, hlm. 371; Muqrizi, Al-Niza’ wa Al-Takhashum, hlm. 9.
44. Nahjul Balāghah, surat 17.
45. Thabari, Dzahāir al-‘Uqbā, hlm. 244; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 4, hlm. 59.
46. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 1, hlm. 265.
47. Ya’qubi, Tārīkh, jld. 2, hlm. 141; Abul Faraj Ishfahani, Maqātil al-Thālibin, hlm. 42.
48. Ibn A’tsam, Al-Futūh, jld. 3, hlm. 153.
49. Syaikh Abbas Qommi, Nafs al-Mahmūm, hlm. 443.
50. Ibid., hlm. 68.
51. Abul Faraj Ishfahani, Maqātil al-Thālibīn, hlm. 52, 60-61.
52. Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 9, hlm. 21; Ya’qubi, Tārīkh, jld. 2, hlm. 205.
53. Abul Faraj Ishfahani, Al-Aghāni, jld. 17, hlm. 6.
54. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 4 (1), hlm. 317
55. Khayath bin Khalifah, Tārīkh, jld. 2, hlm. 616.
56. Ya’qubi, Tārikh, jld. 2, hlm. 317, 319, 322.
57. Ibid., hlm. 319.
58. Thabari, jld. 10, hlm. 336; jld. 11, hlm. 427.
59. Semisalnya, Nu’mani, Al-Ghaibah, hlm. 146 dan 258; Ibn Babawaih, hlm. 41.
60. Semisalnya, Rujuk Thabari, jld. 11, hlm. 423 dan 571.
61. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī., jld. 12, dalam pembahasan “Bani Hasyim”.
62. Ibn Katsir, Al-Bidāyah wa Al-Nihāyah, jld. 13, hlm. 171.
63. Najafi, jld. 15, hlm. 406-415; jld. 16, hlm.104.
64. Thusi, Tahdzīb al-Ahkām, jld. 4, hlm. 57 dan seterusnya.
65. Habib, Al-Qaul al-Jāzim, hlm. 157; Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 75.
66. Thabari, Dzakhāir al-‘Uqbā, hlm. 15; Habib, Al-Qaul al-Jāzim, hlm. 157.
67. Ibn Habib, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, hlm. 41.
68. Ibn A’tsam, Al-Futūh, jld. 3, hlm. 48.
69. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld 4 (1), hlm. 111-112 dan 143.
70. Kulaini, Al-Kāfi, jld. 8, hlm. 50; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 51, hlm. 77-78.
71. Ibnu Syahr Asyub, Al-Manaqib, jld. 3, hlm. 379; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 22, hlm. 312.
72. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 19, hlm. 210; Suyuthi, Al-Dur al-Mantsūr, di bawah surat Al-Nisa’: 125 dan surat Al-Isra’: 70; Habib, Al-Qaul al-Jāzim, hlm. 153.
73. Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, jld. 6, hlm. 343.
74. Semisalnya, lihat, Amini, Al-Ghadīr, jld. 2, hlm. 181 dan seterusnya.
Daftar Pustaka
1. Prolog Bani Hasyim dalam Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī.
2. Prolog Bani Hasyim dalam Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm.
3. Ibnu Abil Hadid Mu’tazili, Syarh Nahjul Balāghah, disusun oleh A’lami, cet. 1, Beirut, Muassasah A’lami, 1415 H.
4. Ibn A’tsam Kufi, Ahmad, Al-Futūh, administrator Ali Syiri, Beirut, 1411 Q./1991.
5. Ibn Babawaih, Muhammad, Kamaluddin wa Tamam al-Ni’mah, administrator Ali Akbar Ghaffari, Qom, 1405 Q.
6. Ibn Habib, Muhammad, Al-Munammaq fī Akhbār Quraisy, administrator Ahmad Faruq, cet. 1, Beirut, Alim al-Kutub, 1405 Q.
7. Ibn Sa’ad, Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ al-Hasyimi al-Bashri, Al-Thabaqāt al-Kubrā, tahkik Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, cet. 1, 1410/1990.
8. Ibn Syahr Asyub, Muhammab bin Ali, Manāqib Ali Abi Thālib, administrator Yusuf Al-Buqa’I, cet. 2, Beirut, Darul Adhwa’, 1412 Q.
9. Ibn Katsir, Abul Fida’ Ismail bin Umar al-Damisyqi, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, administrator Ali Muhammad Mu’awwidh dan Adil Ahmad, cet. 2, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, 1418 Q.
10. Ibn Hisyam, Zendegānī Muhammad Saw Payombare Islām (Al-Sirah Al-Nabawiah), ter. Sayid Hasyim Rasuli, Tehran, Intisyarat Kitabci, cet. 5, 1374 S.
11. Abul Faraj al-Ishfahani, Al-Aghani, administrator Ali Muhanna dan Samir Jabir, cet. 2, Beirut, Darul Fikr (Bi Ta).
12. Abul Faraj al-ishfanai, Maqātil al-Thālibin, disusun Kadzim Mudzaffar, cet. 2, Qom, Darul Kitab, 1385 Q.
13. Amini, Abdul Husein, Al-Ghadīr, Beirut, 1379 Q.
14. Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Futūh al-Buldān, ter. Muhammad Tawakkul, Tehran, Nasyre Nuqreh, cet. 1, 1337 S.
15. Al-Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Ansab al-Asyraf, jld. 1, administrator Muhammad Hamidullah, Kairo, 1959, jld. 4 (1), disusun Ihsan Abbas, Beirut, 1400 Q/1979.
16. Habib, Jamil Ibrahim, Al-Qaul al-Jazim fī Nasabi Banī Hāsyim, Baghdad, Maktabah Darul Kubub al-Ilmiah, 1987.
17. Khalifah bin Khayath, Tarikh, administrator Suhail Zakar, Damaskus, 1968.
18. Dāirat al-Ma'ārif Buzurg Islāmī, dibawah pengawasan Kazim Musavi Bujnurdi, Tehran, Markas Dairat al-ma’arif Buzurg-i Islami, 1383 S.
19. Dairat al-Ma'ārif Qurāne Karīm, Dairat al-Ma’arif Qurane Karim, jld. 6, disusun oleh Markas Farhang wa Ma’arfi Quran, Qom, Muassasah Bustan Kitab, 1386.
20. Suyuthi, Jalaluddin, Al-Dur al-Mantsūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, Beirut, Darul Fikr, 1414 Q.
21. Syaikh Abbas Qummi, Nafsul Mahmum fi Mushibat Sayyidinā al-Husein al-Mazlūm, tahkik Ridha Ustadi, Qom, Maktabah Bashirati, 1405 Q.
22. Thabarsi, Fadhl bin al-Hasan, Majma’ al-Bayān fī Tafsīr al-Qurān, Beirut, Darul Ma’rifah, Afsat, Tehran, Nashir Khosro, 1406 Q.
23. Thabari, Ahmad bin Abdullah, Dzahāir al-‘Uqbā fī Manāqib Dawil Qurbā, Beirut, Darul Ma’rifah, 1974 M.
24. Thabari, Muhammad bin Jurair, Tārīkh Thabari, terj. Abul Qasim Payandeh, cet. 5, Teheran, Asathir, 1375 S.
25. Thusi, Muhammad bin al-Hasan, Al-Tibyān fi Tafsīr al-Qurān, administrator Ahmad Habib al-Amuli, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi (Bi Ta).
26. Thusi, Muhammad, "Tahdzīb al-Ahkām, administrator Hasan Musavi Khorasan, Tehran, 1364 S.
27. Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Al-Kāfi, disusun Ali Akbar Ghaffari, cet. 3, Beirut, Darut Ta’aruf, 1401 Q.
28. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, cet. 3, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1403 Q.
29. Muhammad bin Sayid al-Nas, ‘Uyūn al-Atsar fī Funūn al-Maghāzi wa al-Syamāil wa al-Sair, Beirut, Muassasah ‘Izzuddin, 1406 Q.
30. Muqrizi, Taqiyuddin Ahmad bin Ali, Al-Niza’ wa al-Takhashum baina Bani Umayyah wa Bani Hāsyim, disusun Husein Munis, Qom, Intisyarat Syarif Radhi, 1412 Q.
31. Muntazar Qaim, Ashghar, Tārīkh Sadre Islām, Ishfahan, Intisyarat Danesgah Ishfahan, 1377 S.
32. Najafi, Muhammad Hasan bin Baqir, Jawāhir al-Kalām fi Syarh Syarā’I al-Islām, Beirut, 1981.
33. Nu’mani, Muhammad, Al-Ghaibah, administrator Faris Hasun Karim, Qom, 1422 Q.
34. Nahjul Balāghah, cet. Shubhi Shalih, Beirut, (Tarikh Muqaddimah), cet. Afsat-Qom (Bi Ta).
35. Waqidi, Muhammad bin Umar, Maghāzi Tārikh Janghāye Payāmbar (Saw), ter. Mahmud Mahdavi Damghani, cet. 2, Tehran, Markas Nasyr Danesgahi, 1369 S.
36. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub bin Wadhih, Tārikh Ya’qubi, Terjmh. Muhammad Ibrahim Ayati, cet. 6, Tehran, Intisyarat Ilmi wa Farhanggi, 1371 S.
==========================
Kepemimpinan Dua Belas Imam
Kepemimpinan Dua Belas Imam (Bahasa Arab: إمامة الأئمة الاثني عشر عليهم السلام) adalah tampuk kepemimpinan dan wewenang khusus dari Allah Swt yang dimiliki 12 manusia suci pengganti Nabi Muhammad Saw.
Menurut ajaran Syiah Imamiah, Allah Swt mengangkat dua belas manusia suci keturunan tertentu Nabi Saw (yang disebut Ahlulbait) sebagai Imam dan menganugerahi mereka wewenang mutlak atas umat manusia. Sebab itu, Syiah Imamiah juga disebut dengan Syiah Dua Belas Imam.
Urutan Nama-nama Dua Belas Imam Syiah Imamiah
Ali, Hasan, Husain, Ali, Muhammad, Ja’far, Musa, Ali, Muhammad, Ali, Hasan – alaihimussalam- dan Muhammad –‘ajjalallah farajahu al-Syarif-.
Dalil Imamah Ahlul Bait As
Ada banyak dalil sebagai bukti keimamahan para Imam Ahlul Bait As. Namun secara garis besar, ada dua jenis dalil, riwayat dan kriteria khusus mereka.
Dalil Pertama: Riwayat tentang 12 Khalifah
Di antara dalil yang membuktikan Imamah dua belas Imam adalah hadis-hadis yang menjelaskan tentang para pengganti Nabi Saw yang berjumlah 12 orang dan seluruhnya keturunan Quraisy.
Di samping termuat dalam kitab Syiah, hadis-hadis tersebut juga terdapat di dalam kitab-kitab rujukan Ahlusunnah seperti Shahih Muslim, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Daud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad Bin Hanbal, Musnad Bin Ja’di, Musnad Abu Ya’la, Kanzul ‘Ummal dan lain sebagainya. Dalam sebagian hadis, Nabi Saw menyebut kedua belas orang tersebut dengan sebutan ‘itsna ‘asyar khalifah’ (dua belas khalifah).
Seperti hadis yang berbunyi: “Setelahku nanti akan ada dua belas khalifah, seluruhnya dari Quraisy”. [1]
“Agama (Islam) ini akan selalu kukuh dan tak terkalahkan sampai (berlalu) dua belas khalifah, seluruhnya dari Quraisy”. [2]
“Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh hingga dua belas khalifah dari Quraisy. [3]
Dalam riwayat lain Nabi Saw menjelasan tentang para Imam setelahnya dengan sebutan ‘itsna ‘asyar amiran’ (dua belas pemimpin), seperti hadis: “Setelahku nanti akan ada dua belas pemimpin… seluruhnya dari Quraisy”. [4]
Dalam hadis lain disebutkan bahwa jumlah pengganti Rasulullah Saw itu seperti jumlah pemimpin Bani Israil, contohnya, “Sesungguhnya jumlah khalifah setelahku nanti jumlahnya (sama dengan) pemimpin (di zaman) Musa.” [5]
“Khalifah setelahku nanti ada dua belas, seperti para pemimpin Bani Israil”. [6]
Riwayat-riwayat tersebut Hanya Relevan dengan Ahlulbait
Sebagian peneliti Ahlusunnah mengakui, maksud dari dua belas orang yang disebut dalam hadis Nabi Saw adalah dua belas orang dari Ahlulbait As. Karena hadis-hadis tersebut tidak sesuai dengan orang lain, baik para khalifah setelah Nabi Saw, karena jumlah mereka kurang dari dua belas, maupun para penguasa Bani Umayyah, karena jumlah mereka lebih dari dua belas.
Di samping itu, para penguasa Bani Umayyah adalah orang-orang zalim. Begitupun jika diterapkan dengan para khalifah Bani Abasiah juga tidak cocok karena jumlah mereka lebih dari dua belas orang.
Karena itu, hadis Nabi Saw tersebut hanya relevan dan sesuai dengan dua belas Imam yang seluruhnya merupakan Ahlulbait Nabi Saw. Sebab dari segi keilmuan, kemuliaan, wara’, ketakwaan dan nasab, mereka lebih unggul dibanding siapapun.
Hal itu didukung oleh Hadis Tsaqalain dan hadis-hadis semisal yang menerangkan bahwa maksud Nabi Saw dengan dua belas Imam adalah dua belas orang dari pihak Ahlul Bait Nabi Saw. [7]
Dalil kedua: Riwayat yang Menyebutkan Nama-nama para Imam
Hadis-hadis Nabi Saw yang menerangkan tentang dua belas orang pengganti Rasulullah Saw yang seluruhnya dari pihak Ahlul Bait mempunyai beberapa kelompok, di antaranya:
Hadis yang menyebutkan bahwa Amirul Mukminin Ali As adalah Imam pertama dan Imam Mahdi Aj adalah Imam terahir. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Imam setelahku ada dua belas orang. Yang pertama Ali dan yang terakhir al-Qaim (Imam Muhammad al-Mahdi). Mentaati mereka berarti mentaatiku, dan menentang mereka berarti menentangku. Barang siapa mengingkari mereka berarti mengingkariku.” [8]
Dalam kesempatan lain Nabi Saw bersabda: “Imam setelahku ada dua belas orang. Yang pertama Ali dan yang terakhir al-Qaim. Mereka adalah penggantiku, washiku, kekasihku, hujjah Allah untuk umatku setelahku. Yang mengakui kepemimpinan mereka adalah mukmin, dan yang mengingkarinya adalah kafir.” [9]
Hadis yang menyebutkan bahwa sembilan dari dua belas Imam setelah Nabi Saw merupakan keturunan Imam Husain As, dan yang terakhir adalah al-Qaim (Imam Mahdi Af).
Abu Dzar meriwayatkan, Rasulullah Saw bersabda: “Imam setelahku ada dua belas orang. Sembilan di antaranya adalah keturunan al-Husain, (keturunan) kesembilannya adalah al-Qaim-nya mereka (yang bangkit). Ketahuilah! Perumpamaan mereka bagi kalian bagaikan bahtera Nuh. Barang siapa menaikinya maka akan selamat, dan yang meninggalkannya akan celaka.” [10]
Hadis yang menerangkan tentang beberapa nama Imam, misalnya:
“Imam setelahku ada dua belas orang. Yang pertama Ali, yang kedelapan Ali, yang kesepuluh Ali dan yang terakhir al-Mahdi Af.” [11]
“Sesungguhnya Imam setelahku ada dua belas. Mereka berasal dari keluargaku. Yang pertama Ali, yang tengah Muhammad, dan yang terakhir Muhammad, ia adalah Mahdi-nya umat ini. Kelak, Isa putra Maryam akan shalat di belakangnya.” [12]
Hadis yang menyebutkan keseluruhan dua belas Imam beserta nama dan julukan masing-masing. [13]
Dalam Hadis Lauh juga disebutkan nama-nama dua belas Imam beserta kriteria masing-masing dari mereka. [14]
Dalil ketiga: Kemaksuman (kesucian dari dosa) para Imam As
Dalil ketiga tentang Imamah para Imam As adalah kemaksuman mereka. Banyak hadis yang menerangkan kemaksuman para Imam Ahlulbait As. [15]
Hadis-hadis tersebut pada hakikatnya adalah arahan bagi kita untuk menggunakan rasio menyangkut masalah Imamah para Imam Ahlulbait As. Sebab logisnya, Imam harus maksum. Sedangkan di antara umat manusia tidak ada maksum selain para Imam Ahlulbait As, Karena itu dapat dipastikan bahwa mereka adalah Imam.
Dalil keempat: Keutamaan para Imam
Dengan melihat keutamaan spiritual yang dimiliki para Imam Ahlulbait As kita bisa mengetahui dan meyakini bahwa mereka adalah Imam penerus Rasulullah Saw. Para Imam Syiah As memiliki berbagai kesempurnaan dan keutamaan spiritual yang lebih tinggi dibanding siapapun, seperti ilmu, kemaksuman dan sebagainya.
Karena itu mereka layak memegang tampuk Imamah dan kepemimpinan mutlak bagi umat manusia. Dengan keberadaan Ahlulbait yang memiliki kriteria husus tersebut, sangat tidak logis jika kita lebih mengutamakan orang lain sebagai pemimpin dibanding mereka. Menurut akal sehat hal itu adalah perbuatan buruk. [16]
Falsafah Imamah menuntut bahwa Imam sebagai penjaga risalah Nabi Saw dan pemberi hidayah sekaligus pemimpin agama dan dunia itu harus lebih utama dan layak dari siapapun. Itu supaya orang lain mentaatinya dan menjadikannya sebagai teladan dalam segala hal.
Karena itu, Imam mesti memiliki kepribadian luhur dan kesucian jiwa yang sempurna. Dan ternyata, dua belas Imam Ahlulbait adalah manusia-manusia yang memiliki kepribadian paling sempurna di setiap zamannya. Semua pihak mengakui keagungan mereka. Bahkan pihak-pihak yang pernah mendebat mereka pun merasa kecil di hadapan mereka karena luasnya ilmu dan agungnya spiritual mereka.
Pengakuan para Pemuka Ahlusunnah akan Keutamaan Dua Belas Imam
Para ulama dan pemuka Ahlusunnah mengakui keutamaan yang dimiliki para Imam Ahlul Bait As. Bentuk pengakuan mereka memiliki dua jenis: Sebagian mengakui keutamaan Ahlul Bait Nabi Saw secara umum.
Sebagian lainnya mengakui keutamaan masing-masing dari tiap Imam Ahlul Bait As, misalnya: Muhyiddin Arabi ketika membicarakan kemuliaan dan kedudukan Ahlul Bait As ia menyebutkan, “Di dunia ini tidak ada mahluk yang sebanding dengan Ahlul Bait Nabi Saw. Mereka layak menjadi pemimpin. Memusuhi mereka adalah kerugian yang nyata. Mencintai mereka adalah ibadah sejati.” [17]
Abdullah Bin Muhammad al-Syabrawi, salah seorang fakih Ahlusunnah, berkata, “Ahlul Bait Rasulullah Saw memiliki segenap keutamaan. Siapapun yang ingin menutup-nutupi keutamaan mereka, sama saja ingin menutupi sinar matahari. Siapapun yang bertanya kepada mereka pasti menerima jawaban yang logis dan memuaskan. Dan tiap orang yang berdebat dengan mereka pasti kalah. [18]
Imam Syafi’i, imam mazhab Syafi’i, menyampaikan ungkapan yang ditujukan kepada Ahlul Bait Nabi Saw, “Wahai keluarga Nabi Saw, dalam al-Qur’an Allah mewajibkan untuk mencintai kalian. Kewajiban mambaca shalawat untuk kalian sebagai syarat diterimanya shalat itu cukup sebagai bukti bahwa kalian adalah manusia agung dan mulia.” [19]
Muhammad Husain al-Dzahabi, pengajar di Universitas al-Azhar dan pengarang kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun, ketika berbicara tentang keutamaan Amirul Mukminin Ali As, menyampaikan “Ali adalah samudra ilmu dan pengetahuan tak bertepi. Ia memiliki argumentasi kuat. Kefasihan dan balagahnya tak tertandingi. Memiliki ketajaman pemikiran dan akal yang sempurna. Sering kali para sahabat bertanya padanya untuk menyelesaikan problem dan untuk memahami masalah ilmu dan agama”. [20]
Ibnu Shabag al-Maliki (wafat 855 H) dalam kitab al-Fushul al-Muhimmah berkata, “Ali menguasai seluruh masalah tentang halal dan haram. Ia mengetahui hukum-hukum yang sangat rumit dan hakikat segala hal. Ia mengetahui tiap hukum beserta tempat penerapannya dengan jelas.” [21]
Muhammad Bin Muslim al-Zahri (wafat 124 H), salah seorang tabi’in dan fakih, berkata mengenai tingkatan ilmu Imam Ali Zainal Abidin As, “Saya tidak melihat ada orang yang lebih fakih dari Zainal Abidin”. [22]
Abdullah Bin Atha, seorang ulama besar yang sezaman dengan Imam Baqir As, menjelaskan tentang kedalaman ilmu Imam Baqir As, ia berkata, “Tidak pernah kudapati ada ulama yang merasa dirinya lebih rendah di hadapan orang dibanding saat di hadapan Abu Ja’far. Ulama besar sekelas Hakam Bin Utaibah dengan segala level keilmuannya pun ketika berada di hadapan Abu Ja’far (Imam Baqir As) itu seperti anak kecil yang baru belajar.” [23]
Ketika Abu Hanifah, salah satu imam empat mazhab Ahlus Sunnah, ditanya tentang siapa ulama yang paling berilmu, ia menjawab, “Aku tidak melihat ada ulama yang lebih berilmu dibanding Ja’far Bin Muhammad al-Shadiq”. ref>Dzahabi, Sair I’lam Nubala’, jld. 6, hlm. 258. Hamu, Tarikh al-Islam, jld. 9, hlm. 89. </ref>
Malik Bin Anas (174 H), Imam mazhab Maliki, berkata, “Tidak pernah terlihat, terdengar dan terasa ada orang yang ilmu, ibadah dan wara’nya lebih utama dibanding Ja’far Bin Muhammad al-Shadiq”. [24]
Abu Utsman umar Bin Bahr (wafat 255 H) berkata, “Ja’far Bin Muhammad adalah orang yang mengisi dunia dengan ilmu dan fikih. Para ulama besar seperti Abu Hanifah, Sufyan al-Tsauri dan lainnya merasa bangga menjadi muridnya”. [25]
Dan masih banyak lagi pengakuan dan penjelasan yang disampaikan para pembesar Ahlus Sunnah berkenaan dengan keutamaan dan kebesaran para Imam Syiah As.
Dalil kelima: Mukjizat/karamah
Di antara bukti Imamah dua belas Imam Syiah adalah mukjizat yang mereka miliki. Mukjizat mereka nampak dengan berbagai bentuk, di antaranya:
1. Memberi tahukan tentang kejadian di masa depan yang ternyata di kemudian hari benar-benar terjadi.
2. Memberi tahukan tentang hal-hal gaib yang tidak dapat diketahui dengan cara wajar.
3. Menampakkan keilmuan di masa kecil yang dapat mencngangkan semua orang bahkan tidak ada yang dapat menandinginya.
4. Menyembuhkan mata buta Abu Bashir hingga dapat melihat sempurna oleh Imam Muhammad Baqir As. [26]
5. Mempraktikkan kemampuan supernatural dengan izin Allah, misalnya:
a. Membuat Hajar Aswad dapat berbicara, sebagaimana yang dilakukan Imam Ali Zainal Abidin As ketika memerintahkannya berbicara dan bersaksi atas kebenaran Imamah beliau. [27]
b. Berbuahnya pohon kurma kering atas perintah Imam Hasan Mujtaba As. [28]
Dan ratusan contoh mukjizat lainnya yang tercantum dalam kitab-kitab hadis dan sejarah muktabar seperti Ushul Kafi, Manaqib Ibn Syahr Asyub, Isbat al-Washiah Mas’udi, Dalail al-Imamah Thabari, dan lain sebaginya.
Munculnya mukjizat dari para Imam maksum yang disertai dengan klaim imamah merupakan bukti bahwa mereka adalah Imam. Sebagaimana mukjizat yang dimiliki para Nabi juga bukti kebenaran klaim kenabian yang mereka sampaikan.
Catatan Kaki:
1. Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 92. Musnad Ibnu Ja’di, hlm. 390. Shahih Ibnu Habban, jld. 5 hlm. 44.
2. Shahih Muslim, jld. 6, hlm. 4. Musnad Abu Daud, hlm. 105. Ibnu Abi Ashim, al-Ahad wa al-Mutsana, jld. 3, hlm. 126.
3. Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 86. Musnad Abu Ya’la, jld. 13, hlm. 456.
4. Shahih Bukhari, jld. 8, hlm. 127. Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 94. Sunan Tirmidzi, jld. 3, hlm. 340.
5. Suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, jld. 1, hlm. 350. Muttaqi Hindi, Kanzul ‘Ummal, jld. 6, hlm. 89.
6. Qanduzi, Yanabi’ al-Mawaddah, jld. 2, hlm. 315. Shaduq, Amali, hlm. 387. Sayid Hasyim Bahrani, Ghayah al-Muram, jld. 2, hlm. 271.
7. Qanduzi, Yanabi’ al-Mawaddah, jld. 3, hlm. 292-293.
8. Shaduq, al-I’tiqadat Fi Din al-Imamiah, hlm. 104. Hamu, ‘Uyun Akhbar al-Ridha As, jld. 2, hlm. 62.
9. Shaduq, Man La Yahdhuruh al-Faqih, jld. 4, hlm. 180.
10. Sayid Hasyim Bahrani, Ghayah al-Muram, jld. 3, hlm. 22.
11. Sabzewari, Ma’arij al-Yaqin, hlm. 62.
12. Sayid Hasyim Bahrani, Ghayah al-Muram, jld. 2, hlm. 238.
13. Shaduq, Kamal al-Din Wa Tamam al-Ni’mah, hlm. 258. Thabarsi, al-Ihtijaj, jld. 1, hlm. 87. Khazaz Qommi, Kifayah al-Atsar, hlm. 145.
14. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 8. Ibnu Babawaih Qummi, al-Imamah Wa al-Tabshirah, hlm. 104. Mufid, al-Ikhtishash, hlm. 210.
15. Shaduq, Kamal al-Din, hlm. 280. Hamu, ‘Uyun Akhbar al-Ridha As, jld. 2, hlm. 66. Sayid Hasyim Bahrani, Ghayah al-Muram, jld. 1, hlm. 195. Khazaz Qommi, Kifayah al-Atsar, hlm. 135. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 36, hlm. 331.
16. Hilli, Kasyfu al-Murad, hlm. 539.
17. Arabi, Futuhat Makkiah, jld. 4, hlm. 139.
18. Syafi’i Syabrawi, al-Ittihaf, hlm. 17.
19. Qanduzi, Yanabi’ al-Mawaddah, jld. 3, hlm. 103.
20. Dzahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, jld. 1, hlm. 89.
21. Ibnu Shabag, al-Fushul al-Muhimmah, hlm. 30-34.
22. Dzahabi, Tadzkirah al-Huffaz, jld. 1, hlm. 75.
23. Ibnu Azakir, Tarikh Madinah Dimashq, jld. 54, hlm. 278. Syafi’i, Mathalib al-Su-ul, hlm. 430.
24. Qismat al-Tarikh, hlm. 197.
25. Rasail Jahidz, hlm. 106.
26. Thabarsi, I’lam al-Wara, jld. 1, hlm. 503.
27. Halabi, Taqrib al-Ma’arif Fi al-Kalam, hlm. 119-123.
28. Ibid.
Daftar Pustaka:
1. Ibnu Bababaih Qommi, Abu al-Hasan Bin Ali Bin al-Husain (329 H), al-Imamah Wa al-Tabshurah Min al-Hirah, penelitian Ali Akbar Gaffari, Dar al-Kutub al-Islamiah, Tehran, 1363 Hs.
2. Ibnu Habban (739 H), Shahih, Muassasah al-Risalah, 1414 H/1993 M.
3. Ibnu Shabag, Ali Bin Muhammad Bin Ahmad (855 H), al-Fushul al-Muhimmah Fi Ma’rifah Ahwal al-Aimmah As, cetakan al-Adl, Najaf.
4. Ibnu Asakir, Ali Bin al-Husain (571 H), Tarikh Madinah Dimashq, penelitian Ali Syubairi, Dar al-Fikr, Bairut, 1415 H.
5. Abu al-Ja’di Jauhari Bagdadi, Ali Bin al-Ja’di, Musnad, Bairut, Muassasah Nadir.
6. Ahmad Bin Hanbal, Musnad, Dar Shadir, Bairut, tanpa tahun.
7. Bahrani, Sayid Hasyim, Ghayah al-Muram Wa Hujjah al-Khisham Fi Ta’yin al-Imam ‘An Thariq al-Khash Wa ‘Am, penelitian Sayid Ali Asyur, tanpa tahun.
8. Bukhari, Muhammad Bin Ismail, Shahih, penelitian DR. Musthafa Raib al-Bagha’, Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arab, Bairut.
9. Tirmidzi, Muhammad Bin Isa Bin Surah, al-Jami’ al-Shahih, penelitian Muhammad Fuad, Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arab, Bairut.
10. Halabi, Abu al-Shalah Taqi al-Din Bin Ubaidillah (374 H), Taqrib al-Ma’arif Fi al-Kalam, penelitian Reza Ustadi, 1363 Hs/1404 H.
11. Hilli, Hasan Bin Yusuf, Kashf al-Murad Fi Syarh Tajrid al-I’tiqad, penelitian Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, Muassasah al-Nashr al-Islami al-Tabi’ah Li Jami’ah al-Mudarisin, Qom, 1425 H.
12. Khazaz Qommi Razi, Abu al-Qasim Ali Bin Muhammad, Kifayah al-Atsar Fi al-Nash ‘Ala al-Aimmah al-Itsna ‘Asyar, penelitian Sayid Abdul Latif Husaini Kuh Kamari, terbitan Bidar, Qom, 1401 H.
13. Dzahabi, Tarikh al-Islam, penelitian Umar Abdussalam Turmari, Dar al-Kitab al-Arabi, Bairut, 1407 H/1987 M.
14. Dzahabi, Syamsu al-Din Muhammad Bin Ahamad Bin Utsman (748 H), Tadzkirah al-Huffaz, Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, Bairut.
15. Dzahabi, Syamsuddin Muhammad Bin Ahamad Bin Utsman, Sair I’lam Nubala’, Muassasah al-Risalah, Bairut, 1413 H/1993 M.
16. Sabzewari, Muhammad Bin Muhammad (abad ke-7), Ma’arij al-Yaqin Fi Ushul al-Din, penelitian ‘Ala Aali Ja’far, Muassasah Aali al-Bait As Li Ihya al-Turats, Qom, 1410 H/1993 M.
17. Suyuthi, Jalaluddin (911 H), al-Jami’ al-Shagir Fi Ahadits al-Basyir al-Nadzir, Dar al-Fikr, Bairut, 1401 H/1981 M.
18. Syafi’i, Kamaluddin Muhammad Bin Thalhah (652 H), Mathalin al-Su-ul Fi Manaqib Aali al-Rasul Saw, penelitian Majid Ahmad al-Athiah.
19. Syafi’i Syabrawi, Abdullah Bin Muhammad (1172 H), al-Ittihaf, Mesir.
20. Shaduq, Muhammad Bin Ali Bin Babawaih Qommi (381 H), al-Amali, penelitian dan terbitan Muassasah al-Bi’sah, Qom, 1417 H.
21. Shaduq, Muhammad Bin Ali Bin Babawaih Qommi, Kamal al-Din Wa Tamam al-Ni’mah, penelitian Ali Akbar Gaffari, Muassasah al-Nashr al-Islami al-Tabi’ah Li Jami’ah al-Mudarisin, Qom, 1416 H.
22. Shaduq, Muhammad Bin Ali Bin Babawaih Qommi, Man La Yahdhuruh al-Faqih, revisi Ali Akbar Gaffari, terbitan Jamiah Mudarrisin, Qom, 1404 H/1363 Hs.
23. Shaduq, Muhammad Bin Ali Bin Babawaih Qommi, ‘Uyun Akhbar al-Ridha As, penelitian Syaikh Husain al-A’lami, Muassasah al-A’lami, Bairut, 1404 H/1984 M.
24. Dhahhak, Ibnu Abi Ashim, al-Ahad Wa al-Mutsanna, penelitian Faisal Ahmad al-Jawabirah, Dar al-Dirasah, 1411 H/1991 M.
25. Thabarsi, Abu Ali Fadl Bin Husain, I’lam al-Wara Bi I’lam al-Huda, Muassasah Aali al-Bait As Li Ihya’ al-Turats, Qom, 1417 H.
26. Thabarsi, Abu Manshur Ahmad Bin Ali Bin Abu Thalib (548 H), al-Ihtijaj, penelitian Sayid Muhammad 27. Baqir Khurasani, Dar al-Nu’man, Najaf al-Asyraf, 1386/1966 M
28. Arabi, Muhyiddin Muhammad Bin Ali (638 H), al-Futuhat al-Makkiah, Dar Shadir, Bairut.
29. Qanduzi, Sulaiman Bin Ibrahim Bin Muhammad (1294 H), Yanabi’ al-Mawaddah, Muassasah al-A’lami Li al-Mathbu’at, Bairut.
30. Kulaini, Abu Ja’far Muhammad Bin Ya’qub (329 H), al-Kafi, Dar al-Kitab al-Islamiah, Tehran, 1363 Hs.
31. Muttaqi Hindi, Ali Bin Husamuddin, Kanzul ‘Ummal Fi Sunan al-Aqwal Wa Af’al, penelitian Syaikh Kubra Hayati, Muassasah al-Risalah, Bairut, 1409 H/1989 M.
32. Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar, penelitian Yahya Abidi dan Abdurrahim Rabbani, Muassasah al-Wafa’, Bairut, 1403 H/1983 M.
33. Muslim Bin Hajjaj Neisyaburi, Shahih, Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, Bairut.
34. Mufid, Muhammad Bin al-Nu’man al-Abkari (413 H), al-Ikhtishash, Dar al-Mufid, Bairut, 1414 H/1993 M.
34. Tamimi, Ahmad Bin Ali, Musnad Abu Ya’la, Dimashq, Dar al-Makmun Li al-Turats.
35. Shaduq, Muhammad Bin Ali, al-I’tiqad Fi Din al-Imamiah, Dar al-Mufid Li al-Thaba’ah Wa al-Nasyr, Bairut.
==========================
Syi'ah dan Sunnah Nabawiyyah Dalam Hadith al-Safinah
Hadith al-Safinah (Hadith Bahtera)
Sabda Nabi SAW:"Umpama Ahlu l-Baitku samalah seperti bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya berjaya. Dan siapa yang enggan atau terlambat akan tenggelam."
Para ulama Islam telah bersepakat tentang kesahihan hadith ini. Ianya telah diriwayatkan oleh para ulama Sunnah dan Syi'ah di mana lebih seratus daripada para penghafal, ahli Hadith,Sirah, Sejarah telah mencatatnya di dalam buku-buku mereka, mengakui kepentingannya kerana kepatuhan kepada kebesaran Allah SWT. Mereka menerimanya dengan senang hati.
Nas Hadith
Di sini diperturunkan sebahagian daripada nama-nama ulama Ahlu s-Sunnah yang meriwayatkan hadith ini seperti berikut:
Al-Hakim di dalam al-Mustadrak dengan sanadnya daripada Hunsy al-Kinani berkata: Aku mendengar Abu Dhar yang sedang berpegang di pintu Ka'bah berkata: Siapa yang mengenaliku, maka akulah orang yang kalian kenali dan siapa yang tidak mengenaliku, maka akulah Abu Dhar. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Umpama Ahlu l-Baitku seperti bahtera Nuh siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang enggan atau terlambat akan tenggelam. Hadith ini adalah sahih menurut pensyaratan Muslim.
Al-Tabrani telah mencatatkan di dalam al-Ausat daripada Abu Sa'id, Nabi SAW bersabda: Umpama Ahlu l-Baitku pada kalian sepertilah bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang enggan atau terlambat akan tenggelam. Dan umpama Ahlu l-Baitku pada kalian sepertilah pintu pengampunan bagi Bani Isra'il. Siapa yang memasukinya akan diampun.
Ibn Hajr dalam al-Sawa'iq al-Muhriqah mengemukakan beberapa riwayat yang menyokong satu sama lain bahawa Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya umpama Ahlu l-Baitku pada kalian sepertilah bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya berjaya. Di dalam riwayat Muslim:'Dan siapa yang membelakanginya akan tenggelam. Sesungguhnya umpama Ahlu l-Baitku pada kalian sepertilah pintu pengampunan bagi Bani Isra'il. Siapa yang memasukinya akan diampun.' Dan dalam riwayat yang lain:'Dosa-dosanya akan diampun.'
(Kemudian dia berkata) selepas mengemukakan hadith ini dan hadith-hadith yang seumpamanya dan membentangkan perumpamaan mereka dengan bahtera bahawa sesungguhnya orang yang mencintai mereka, dan menghormati mereka kerana mensyukuri nikmat yang dikurniakan dan berjaya daripada kegelapan perselisihan. Dan sesiapa yang membelakanginya, nescaya akan tenggelam di lautan kekufuran nikmat dan binasa di dalam arus kezaliman. Sehingga dia berkata: Cinta kepada Ahlu l-Bait adalah menjadi sebab ummat ini dijadikan.
Al-Hamawaini di dalam Fara'id al-Simtin dengan membuang sanad-sanadnya daripada Sa'id bin Jubair daripada Ibn 'Abbas, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada 'Ali AS: Wahai 'Ali, aku adalah bandar hikmat, dan anda adalah pintunya, dan tidak akan memasuki bandar melainkan melalui pintunya. Dan berbohonglah orang yang menyatakan bahawa dia mencintaiku sedangkan dia memarahi anda, kerana anda adalah daripadaku, dan aku adalah daripada anda. Daging anda adalah dagingku. Darah anda adalah darahku. Jiwa anda adalah jiwaku. Batin anda adalah batinku. Zahir anda adalah zahirku. Anda adalah imam umatku dan khalifahku ke atasnya selepasku. Berbahagialah orang yang mentaati anda. Celakalah orang yang menderhakai anda. Beruntunglah orang yang mewalikan anda. Rugilah orang yang memusuhi anda. Beroleh kemenanganlah orang yang berada di samping anda. Dan binasalah orang yang menjauhi anda. Anda samalah seperti para imam daripada anak-anak lelaki anda selepasku seperti bahtera Nuh siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang membelakanginya akan tenggelam. Dan kalian sepertilah bintang-bintang setiap kali satu bintang tidak kelihatan, timbul pula bintang yang lain sehingga ke hari kiamat.
Ibn al-Maghazili al-Syafi'i meriwayatkan tentang kelebihan-kelebihan Ahlu l-Bait AS dengan sanadnya daripada Harun al-Rasyid daripada al-Mahdi daripada al-Mansur daripada bapanya daripada datuknya daripada Ibn 'Abbas RD berkata: Rasulullah SAW bersabda: Umpama Ahlu l-Baitku sepertilah bahtera Nuh, siapa yang menaikinya berjaya. Dan siapa yang enggan atau terlambat akan binasa. Tetapi apa yang menghairankan ialah tindakan kekerasan mereka terhadap Ahlu l-Bait AS meskipun mereka mempercayai kelebihan 'mereka.'
Al-Syablanji di dalam Nur al-Absar meriwayatkan bahawa sekumpulan pengarang-pengarang Sunan telah meriwayatkan daripada para sahabat bahawa Nabi SAW bersabda: Umpama Ahlu l-Baitku pada kalian samalah seperti bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang membelakanginya binasa. Di dalam riwayat yang lain 'tenggelam.'
Hadith ini bukan sahaja mutawatir di kalangan Ahlu l-Sunnah malah ianya menjadi mutawatir di kalangan Syi'ah. Aku berkata: Ini adalah ringkasan tentang hadith al-Safinah yang banyak. Walau bagaimanapun aku kemukakan sebahagian daripada nama-nama ulama Ahlu l-Sunnah yang meriwayatkan hadith al-Safinah di dalam buku-buku mereka:
Muslim di dalam Sahihnya, Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, al-Tabari di dalam Tarikhnya, al-Hakim di dalam al-Mustadrak, Muhibuddin al-Tabari di dalam Dhakha'ir al-'Uqba, Abu Nua'im al-Asfahani di dalam al-Hilyah dan Dala'il al-Nubuwwah, Ibn 'Abd Birr di dalam al-Isti'ab, al-Khatib di dalam Tarikh Baghdad, Ibn al-Athir al-Jazari di dalam Usd al-Ghabah, Fakhruddin al-Razi di dalam Mafatih al-Ghaib, Ibn Talhah al-Syafi'i di dalam Matalib al-Su'ul, Muhibb al-Tabari di dalam Riyadh al-Nadhirah, Sibt Ibn al-Jauzi di dalam al-Tadhkirah, Ibn al-Sabagh al-Maliki di dalam al-Fusul al-Muhimmah, al-Suyuti di dalam al-Jami' al-Saghir, Ibn Hajr di dalam al-Sawa'iq, al-Syblanji di dalam Nur al-Absar, al-Siban di dalam al-Is'af, al-Qunduzi al-Hanafi di dalam Yanabi' al-Mawaddah, al-Kanji al-Syafi'i di dalam Kifayah al-Talib, dan lain-lain.
Di antara orang yang mengakui kesahihannya ialah Imam al-Syafi'i sendiri. Al-Ujaili telah mengaitkan kata-kata Syafi'i di dalam Dhakhirah al-Mal:
Manakala aku melihat manusia telah berpegang kepada mazhab yang bermacam-macam di lautan kebodohan dan kejahilan
Aku menaiki dengan nama Allah bahtera kejayaan mereka itulah Ahlu l-Bait al-Mustafa dan penamat segala Rasul.
Wahai pembaca yang budiman, sesungguhnya hadith yang mulia ini datangnya daripada Nabi SAW. Beliau telah menutup jalan-jalan yang banyak. Justeru itu beliau tidak meninggalkan selain daripada jalan Ahlu l-Bait yang terang seperti matahari di siang hari. Beliau telah memimpin mereka ke jalan yang benar dengan hujah yang terang yang akan membawa mereka ke syurga.
Dan perumpamaan Ahlu l-Baitnya dengan bahtera Nuh adalah jelas menunjukkan bahawa mengikuti mereka, mematuhi kata-kata dan perbuatan-perbuatan mereka adalah wajib. Dan untuk mendapat kejayaan adalah dengan menaiki bahtera, nescaya mereka berjaya daripada tenggelam kerana bahtera itu terselamat daripada keaiban.
Sekiranya terdapat kecacatan, nescaya binasalah orang yang berada di dalamnya tanpa syak lagi. Kerana ombak-ombak taufan begitu kuat memukul seperti bukit sebagaimana diceritakan oleh al-Qur'an tentang kesengsaraan yang menakutkan. Nuh menyeru anak lelakinya dari jauh:"Wahai anakku! Naiklah bersama kami dan janganlah anda berada bersama orang yang kafir. Anaknya berdegil tidak mahu menaikinya sambil berkata: Aku akan berlindung di bukit yang dapat memeliharaku daripada air. Maka Nuh menjawab: Tidak ada pemeliharaan di hari ini (sesuatupun) dari suruhan Allah (selama-lamanya) selain daripada orang yang dirahmati Allah (dengan menaiki bahtera). Lantas orang yang ingkar tetap berkeras dengan penuh penentangannya. Maka ombak telah memisahkan di antara keduanya, maka termasuklah dia dari golongan orang yang tenggelam yang berdegil di atas kekufuran mereka. Maka ombak-ombak tadi memukul mereka, lalu mereka pun binasa. Wa l-Hamdulillah 'Ala Halaki Ahli l-Kufr.
Demikianlah para imam Ahlu l-Bait AS dengan ummat ini. Siapa yang berlindung kepada mereka dan berjalan menurut jalan mereka yang lurus, berpegang kepada ikatan kukuh yang tidak akan berpisah buat selama-lamanya, mengambil daripada mereka asas-asas agamanya serta cabang-cabangnya, berakhlak dengan akhlak mereka yang mulia, berpegang kepada kewalian mereka, benar-benar mencintai mereka di dalam ertikata orang lain tidak mendahului mereka, nescaya dia akan berjaya dari tenggelam dan akan mendapat ganjaran yang sewajarnya.
Selamat daripada siksaan Allah di hari akhirat dan akan mendapat ganjaran daripada Allah dan Nabi SAW. Dan sesiapa yang membelakangi mereka adalah seperti orang yang berlindung di hari Taufan kepada bukit untuk menyelamatkannya daripada urusan Allah. Maka dia disambar oleh ombak lalu tenggelam dan binasa. Demikian juga ombak-ombak fitnah telah melanda (mereka) bertubi-tubi samalah seperti ombak-ombak Taufan Nuh. Tidak ada beza di antara kedua-duanya menurut nas hadith. Ombak mengambilnya dan menenggelamkannya kemudian dia tinggal di neraka. Perbezaan yang pertama tenggelam di air sementara yang kedua tenggelam di neraka jahannam (Wa l-'Iyadhubillah).
Begitu juga hadith ini mewajibkan mukmin berpegang kepada Ahlu l-Bait AS bagi mendapat kejayaan yang abadi dan menjauhi siksaan di hari hisab.
Al-Sayyid al-Muhsin al-Amin al-'Amili berkata: Manakah kata-kata yang lebih jelas daripada sabdanya:"Siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang membelakanginya binasa atau tenggelam" sebagaimana orang yang menaiki bahtera Nuh berjaya daripada tenggelam. Dan siapa yang tidak menaikinya tenggelam dan binasa. Begitu juga dengan orang yang mengikuti Ahlu l-Bait AS berada di dalam kebenaran dan selamat daripada kemurkaan Allah SWT serta mendapat kemenangan dengan keridhaanNya. Dan siapa yang menyalahi mereka akan binasa dan jatuh ke dalam kemurkaan Allah dan siksaanNya. Ini menunjukkan kemaksuman mereka. Jikalau tidak, bagaimana orang yang mengikuti mereka berjaya dan orang yang menyalahi mereka binasa.
Ini adalah secara umum dan khusus sebagaimana telah diterangkan di dalam hadith Thaqalain. Apa yang dimaksudkan di dalam hadith itu ialah para imam Ahlu l-Bait yang telah disepakati kelebihan mereka. Dikenali dengan keilmuan, kezuhudan dan kewarakan mereka. Dan ummat juga bersepakat selain daripada mereka tidaklah maksum. Orang yang tidak maksum tidak menjamin kejayaan pengikutnya, dan penentangnya pula tidaklah binasa dalam setiap keadaan.
Justeru itu memadailah mereka dinamakan pintu pengampunan kerana kejayaan terletak pada mengikuti mereka dan pelepasan dosa serta kemaksiatan, adalah dengan mengambil jalan mereka.
Aku berkata: Hadith ini yang mulia ini merupakan hujah yang pemutus dan dalil yang kuat terhadap dakwaan Syi'ah al-Abrar dan pengikut-pengikut Ahlu l-Bait AS bahawa khalifah adalah untuk 'Ali Amirul Mukminin AS. Selepas Rasulullah SAW secara langsung dan selepasnya adalah zuriatnya yang terpilih berdasarkan kepada nas hadith bahawa orang-orang yang berpegang kepada 'itrah yang suci akan berjaya. Dan orang yang membelakangi mereka akan binasa. Lantaran itu tidak ada ruang bagi seseorang untuk menentang hujah mereka dan mengambil selain daripada mereka serta mendakwa kejayaan bagi dirinya. Aku memohon kepada Allah supaya menunjukkan Muslimin kepada jalan yang benar dan menyatukan pemikiran mereka bagi mengikuti kebenaran dan mengilhamkan mereka percakapan yang benar.
==========================
Syi'ah dan Sunnah Nabawiyyah Dalam Hadith Thaqalain
Hadith Thaqalain (Hadith dua perkara yang berharga)
Sabda Nabi SAW:"Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian thaqalain (dua perkara yang berharga) Kitab Allah dan itrah Ahlu l-Baitku. Sekiranya kalian berpegang kepada kedua-duanya nescaya kalian tidak akan sesat selepasku selama-lamanya."
Hadith ini telah mencapai kemuncak kemasyhurannya sehingga sumber-sumber rujukannya tidak dapat dipertikaikan lagi. Hadith ini telah diriwayatkan oleh Sunnah dan Syi'ah serta mereka mengakui kesahihannya. Malah ianya diketahui oleh segenap lapisan masyarakat dan dihafal oleh orang yang tua dan muda, alim dan jahil. Lantaran itu ianya hampir sampai had kemutawatirannya.
Meskipun perawi-perawinya tidak sepakat mengenai nas hadith ini, tetapi perselisihan pendapat itu tidak akan menambahkan matlamatnya sehingga ia tidak akan menjadi alasan bagi penakwilannya dan tidak akan menjadi sebab bagi melepaskan diri dari beban pengertiannya.
Tetapi perselisihan menyaksikan apa yang diperkatakan bahawa Rasulullah SAW telah bercakap mengenai pengertian hadith yang mulia ini di beberapa tempat dengan menjaga menyatuan makna serta matlamatnya.
Sebagaimana bilangan perawi-perawi di dalam hadith ini dan berbagai cara periwayatannya menggambarkan kepada kita bahawa ianya telah berlaku di beberapa tempat. Di antaranya berlaku di Haji Wida', di Hari Wida', di Hari Arafah ketika perhimpunan orang ramai, di Hari Ghadir Khum sebagaimana di dalam khutbahnya. Ianya berlaku ketika Nabi SAW sedang gering dan ketika berwasiat kepada ummatnya.
Di sini aku kemukakan kepada anda wahai pembaca yang budiman sebahagian daripada nama-nama pemuka Ahlu s-Sunnah yang meriwayatkan hadith thaqalain di dalam sahih-sahih, musnad-musnad, sunan-sunan, tafsir-tafsir, sirah-sirah, tarikh-tarikh mereka seperti berikut:
Muslim di dalam Sahihnya mengutip sabda Nabi SAW: Aku tinggalkan kepada kalian Thaqalain (dua perkara yang berharga) pertamanya Kitab Allah padanya petunjuk dan cahaya. Oleh itu ambillah kalian dengan Kitab Allah dan peganglah kepadanya. Aku peringatkan kalian kepada Allah tentang Ahlu l-Baitku ini.
Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya daripada Sa'id al-Khudri daripada Nabi SAW bersabda: Aku hampir dipanggil (oleh Tuhanku) dan aku segera menyahutinya. Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian al-Thaqalain (dua perkara yang berharga) Kitab Allah dan 'Itrahku. Kitab Allah adalah tali yang terbentang daripada langit ke bumi dan 'Itrahku Ahlu l-Baitku. Sesungguhnya Allah SWT memberitahuku tentang kedua-duanya. Sesungguhnya kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga dikembali kepadaku di Haudh. Maka kalian jagalah baik-baik kedua peninggalanku itu.
Al-Muttaqi al-Hindi meriwayatkan hadith ini di dalam Kanz al-Ummal. Sementara al-Turmudhi di dalam Sahihnya daripada Jabir bin Abdullah al-Ansari dia berkata: Aku melihat Rasulullah SAWAW di Haji Wida' hari Arafah ketika beliau berada di atas unta dan bersabda: Wahai manusia! Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian, jika kalian mengambilnya nescaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya: Kitab Allah dan 'Itrah Ahlu l-Baitku. Al-Turmudhi berkata: Hadith ini diriwayatkan oleh Abu Dhar, Abu Sa'id, Zaid bin Arqam dan Huzaifah bin Usayd.
Al-Turmudhi juga meriwayatkannya daripada Zaid bin Arqam bahawa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian selama kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat selepasku. Salah satunya lebih besar daripada yang lain: Kitab Allah merupakan tali yang terbentang daripada langit dan bumi dan 'Itrah Ahlu l-Baitku. Kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya dikembalikan di Haudh. Kalian jagalah baik-baik dan bagaimana kalian memperlakukan kedua-dua peninggalanku. Al-Turmudhi selepas mengeluarkan hadith ini menyatakan bahwa hadith ini adalah hadith Hasan.
Al-Tabari di dalam Dhakha'ir al-'Uqba, al-Hakim di dalam al-Mustadrak daripada Zaid bin Arqam, sesungguhnya Nabi SAW bersabda semasa Haji Wida': Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian Thaqalain (dua perkara yang berharga) salah satunya lebih besar dari yang lain; Kitab Allah dan Itrahku. Oleh itu jagalah kedua-duanya peninggalanku itu. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah sehingga dikembalikan di Haudh. Al-Hakim selepas mengemukakan hadith ini menyatakan bahawa hadith ini adalah sahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Juga al-Dhahabi di dalam Talkhisnya.
Al-Qunduzi al-Hanafi dalam Yanabi' al-Mawaddah meriwayatkan daripada Imam al-Ridha AS bahawa beliau berkata tentang itrah: Mereka disabdakan Rasulullah SAW: Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang berharga: Kitab Allah dan 'itrah Ahlu l-Baitku. Sesungguhnya kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya dikembalikan di Haudh. Dan jagalah baik-baik kedua-dua peninggalanku itu. Wahai manusia, janganlah kalian mengajar mereka kerana mereka lebih mengetahui daripada kalian. Ibn Kathir telah meriwayatkan hadith ini di dalam Tafsirnya.
Ibn Hajr di dalam Sawa'iqnya bab kesebelas menyatakan bahawa hadith ini telah diriwayatkan dengan banyak. Ketahuilah bahawa hadith Thaqalain telah diriwayatkan oleh lebih daripada dua puluh sahabat. Ada yang menyatakan ianya berlaku di Haji Wida' di Arafah, ada yang menyatakan di Madinah ketika Rasulullah SAW sedang gering di mana biliknya dipenuhi oleh para sahabat. Ada yang menyatakan ianya berlaku selepas beliau pulang dari Taif. Walau bagaimanapun ianya tidak menjadi halangan jika beliau mengulangi hadith tersebut di tempat-tempat yang berlainan kerana penekanan beliau yang serius terhadap Kitab Allah dan 'itrahnya yang suci.
Al-Ya'qubi di dalam Tarikhnya menyatakan bahawa Nabi SAW bersabda: Aku melintasi kalian ketika kalian dibentangkan di hadapan Haudh. Sesungguhnya aku akan bertanya kepada kalian ketika kalian dikembalikan kepadaku tentang Thaqalain. Dan lihatlah bagaimana kalian memperlakukan kedua-dua peninggalanku. Mereka bertanya: Apakah Thaqalain (dua perkara yang berharga) wahai Rasulullah SAW? Beliau menjawab: Yang pertama adalah yang paling besar iaitu Kitab Allah (berada) 'di tangan' Allah dan di tangan kalian. Justeru itu kalian berpeganglah dengannya. Janganlah kalian menjadi sesat, dan janganlah kalian menukarnya dan kedua 'itrah Ahlu l-Baitku.
Al-Darimi telah menyebutkannya di dalam al-Sunan, al-Nasa'i di dalam al-Khasa'is dan al-Khanji al-Syafi'i di dalam Kifayah al-Talib. Abu Nua'im al-Isfahani di dalam al-Hilyah, Ibn al-Kathir al-Jazari di dalam Usd al-Ghabah, Ibn Abd Rabbih di dalam al-Iqd al-Farid, Ibn al-Jauzi di dalam Tadhkirah al-Khawwas, al-Halabi al-Syafi'i di dalam Insan al-'Uyun, Fakhruddin al-Razi di dalam Mafatih al-Ghaib, al-Nisaburi di dalam Tafsirnya, al-Khazin di dalam Tafsirnya, Ibn Abi l-Hadid di dalam Syarh Nahj al-Balaghah, Syablanji di dalam Nur al-Absar, Ibn Sibaqh al-Maliki di dalam Fusul al-Muhimmah, dan al-Baghawi al-Syafi'i di dalam Masabih al-Sunnah.
Sayyid Syarafuddin RH menyatakan di dalam bukunya al-Muraja'at (Dialog Sunnah - Syi'ah) bahawa buku-buku sahih yang mewajibkan berpegang kepada Thaqalain (dua perkara berharga) adalah Mutawatir, dan ianya telah diriwayatkan oleh lebih dua puluh sahabat. Di mana Rasulullah SAW telah bersabda di tempat yang banyak, di hari Ghadir Khum, hari Arafah di Haji Wida', selepas kembalinya dari Taif, di atas mimbar masjidnya di Madinah dan akhirnya di dalam biliknya semasa sakitnya. Bilik di waktu itu dipenuhi oleh para sahabat. Beliau bersabda: Wahai manusia! Hampir nyawaku diambil dengan cepat, dia (Izra'il) sedang datang kepadaku. Dan sesungguhnya aku telah mengemukakan kepada kalian kitab Allah 'Azza Wa Jalla dan 'Itrah Ahlul Baitku. Kemudian beliau mengambil tangan 'Ali lalu mengangkatnya sambil bersabda: Ini 'Ali bersama al-Qur'an, dan al-Qur'an bersama 'Ali kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya kembali kepadaku di Haudh.
Anda mengetahui perkataan khutbah SAW di hari itu tidaklah berhenti dengan perkataan ini sahaja, tetapi sayangnya politik telah membelenggukan lidah-lidah pakar-pakar hadith, dan menahan pena penulis-penulis. Meskipun titisan yang sedikit (ini) dari lautan itu dan serpihan yang kecil dari keseluruhannya adalah memcukupi. al-Hamdulillah. Sayyid Hasyim al-Bahrani dalam Ghayat al-Muram menyatakan bahawa hadith Thaqalain telah diriwayatkan dengan tiga puluh sembilan cara menurut Ahlu l-Sunnah dan lapan puluh dua cara menurut Syi'ah daripada Ahlu l-Bait AS.
Ayatullah al-'Uzma Sayyid Mir Hamid Husain al-Nisaburi telah menyebutkan hadith Thaqalain di dalam bukunya 'Abaqat. Dia telah meriwayatkannya daripada hampir dua ratus para ulama yang besara daripada berbagai mazhab bermula tahun 102 Hijrah berakhir tahun 113 Hijrah, daripada para sahabat lelaki dan perempuan meriwayatkan hadith yang mulia ini daripada Nabi SAW.
Aku berkata: Seorang yang insaf akan membuat kesimpulan bahawa hadith Thaqalain jelas menunjukkan kekhalifahan Amiru l-Mukminin dan anak-anak lelakinya semua sebelas orang imam maksum AS kerana Nabi SAW telah menyamakan mereka dengan Kitab al-Qur'an. Al-Qur'an adalah rujukan yang pertama bagi ummat Islam, tanpa dipertikaikan lagi sejak permulaan dakwah sehingga akhir dunia. Demikian juga 'Ali dan kesebelas orang anak-anaknya AS akan mengakhiri dunia ini sepertilah al-Qur'an kerana beliau telah menjadikan dua khalifahnya di dunia ini. Dan kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya dikembalikan kepadanya di Haudh di hari kiamat. Dan beliau telah menjadikan berpegang kepada kedua-duanya sebagai syarat untuk tidak menjadi sesat. Dan sesiapa yang berpaling daripada kedua-duanya akan binasa kerana beliau menyamakan Ahlu -Baitnya dengan kitab Allah dan memerintahkan umatnya supaya berpegang kepada kedua-duanya sekali. Lantaran itu seorang itu tidak harus berpegang kepada salah satu daripada keduanya.
Justeru itu setiap mukallaf mesti berpegang kepada Thaqalain. Bukan hanya kepada Kitab Allah sahaja tanpa 'itrah dan bukan al-'itrah sahaja tanpa Kitab Allah. Oleh itu berpegang kepada kedua-dua sekali kerana ianya merupakan satu ikatan yang tidak dapat dipisahkan kerana 'itrah adalah lisan yang bercakap untuk kitab yang membisu. Justeru itu kita tidak dinilai sekiranya kita berpegang kepada Kitab Allah tanpa menurut cara mereka. Kerana mengetahui ayat-ayat muhkam, mutasyabih, nasikh dan mansukh dan lain-lain, tidak tepat selain daripada penerangan dan penjelasan mereka. Lantaran itu berpegang kepada kedua-duanya akan menjamin kejayaan seseorang. Dan penentang terhadap kedua-duanya atau salah satu daripadanya akan membawa kepada kebinasaan dan kerugian. Kerana Allah SWT telah memerintahkan orang ramai supaya berpegang kepada kedua-duanya. Rasulullah SAW tidak menyuruh orang ramai untuk melakukan sesuatu dengan sia-sia dan tidak menegah sesuatu dengan sia-sia. Kerana beliau tidak bercakap dengan hawa nafsunya malah dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Oleh itu berpegang kepada Kitab Allah dan 'itrah yang suci adalah satu kewajipan bagi menjamin kejayaan manusia seluruhnya dengan nikmat yang abadi.
Sayyid Syarafuddin al-Musawi di dalam Muraja'atnya menegaskan bahawa mafhum sabda Nabi SAW: Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian sekiranya kalian berpegang kepadanya, kalian tidak akan sesat selamanya; Kitab Allah dan 'itrahku. Iaitu orang yang tidak berpegang kepada kedua-duanya adalah berada di dalam kesesatan. Sebagaimana diperkuatkan oleh Hadith Nabi SAW: Janganlah kalian mendahului kedua-duanya nescaya kalian akan binasa dan janganlah kalian mengabaikan kedua-duanya nescaya kalian juga akan binasa. Dan janganlah kalian mengajar mereka kerana mereka itu lebih mengetahui daripada kalian.
Ibn Hajr berkata tentang sabdanya SAW di dalam al-Sawa'iqnya:"Janganlah kalian mendahului kedua-duanya, maka kalian akan binasa atau janganlah kalian mengabaikan kedua-duanya, nescaya kalian akan binasa. Dan janganlah kalian mengajar mereka kerana mereka lebih mengetahui daripada kalian, adalah dalil ke atas orang yang layak di kalangan mereka untuk memegang jawatan yang tinggi di dalam agama. Dan mereka diutamakan daripada orang lain. Aku berpendapat: Rasulullah SAW menamakan Thaqalain kerana kedua-duanya mempunyai nilai yang tinggi. Lantaran itu pakar-pakar bahasa mengatakan setiap yang bernilai tinggi itu thiqal. Kerana berpegang kepada kedua-duanya bukanlah perkara yang mudah. Atau kerana beramal dengan kedua-duanya adalah berat sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibn Hajr dalam al-Sawa'iq Muhriqah bab wasiat Nabi SAW. Ini menunjukkan bahawa khilafah dan imamah adalah untuk mereka Ahlu l-Bait AS. Sebagaimana kata seorang penyair:
Mereka menyamai Kitab Allah yang bisu, sedangkan mereka adalah kitab yang bercakap.
Dari hadith Thaqalain ini menunjukkan kemaksuman Ahlu l-Bait AS sepertilah kemaksuman al-Qur'an yang tidak syak pada kemaksumannya kerana perintah Nabi SAW kepada ummatnya supaya merujuk kepada mereka selepasnya. Oleh itu segala urusan tidak akan diselesaikan melainkan oleh orang yang telah dipelihara dari kesalahan dan dosa. Dan dalil kemaksuman mereka ialah sabitnya kekhalifahan dan imamah untuk mereka. Justeru itu kemaksuman adalah menjadi syarat di dalam Khilafah dan Imamah. Dan orang yang selain daripada mereka tidaklah maksum secara ijmak.
(Ahlul-Bayt-Ku/Alhassanain/Pustaka-Islam-Mesir/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar