Cover buku Kearifan lokal Pancasila.
Oleh: ST Sularto
Dari sejumlah buku tentang Pancasila yang terbit belakangan ini, pasca 1998, bunga rampai ini kalah tebal dibandingkan dengan ”Negara Paripurna” karya Yudi Latif (2011), lebih tebal ketimbang bunga rampai ”Lima Gagasan yang Dapat Mengubah Indonesia” karya M Sastrapratedja SJ (2013), hampir sama tebal dengan ”Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014)” karya Yudi Latif, ataupun bunga rampai Daniel Dhakidae (ed), ”Soekarno. Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar” (2013).
Berbeda dengan ketebalan dua karya Yudi Latif di atas, bukan bunga rampai, buku ini memang sudah seharusnya tebal karena himpunan 35 tulisan.
Tidak seperti umumnya kumpulan tulisan, dalam buku ini tidak dijumpai tumpang tindih
Serangkaian pertemuan dilakukan pada saat akan melakukan penelitian, ketika proses penulisan berlangsung, dan sebelum diterbitkan.
Menurut Armada Riyanto, salah satu editor, dalam Pengantar, pertemuan diselenggarakan pada 2011, 2013, serta persiapan secara sistematis di Yogyakarta pada 2014 dan Kuta pada 2015
Pertemuan-pertemuan dalam koridor tema ”Merevitalisasi Pancasila” itu dimaksudkan untuk saling memperkaya demi kedalaman dan fokus.
Hasil penelitian mereka dipresentasikan dalam tataran disiplin ilmu filsafat, bukan sejarah, sosiologi, antropologi, ataupun disiplin lainnya.
Tuntutan kedalaman dan fokus itu masuk akal. Sebab, buku ini dirancang dan ditulis oleh mereka yang mendalami ilmu spekulatif itu yang tergabung dalam Asosiasi Filosof-filosof Katolik Indonesia (AFKI).
Tanpa bermaksud mengunggulkan kelebihan ilmu filsafat dibandingkan dengan disiplin lain, buku ini menyorongkan pertanyaan seberapa jauh kearifan lokal sebagai realitas Indonesia diserap dalam sila-sila Pancasila.
Mengingat keragaman dan kondisi geografis, diakui oleh Armada Riyanto, tidak semua kelompok masyarakat terwakili menampilkan kearifan lokalnya. Senyampang maksud merevitalisasi dan mengaktualisasi Pancasila, buku ini diharapkan jadi pelecut penelitian-penelitian dalam topik dan tema yang berlainan.
Introduksi Armada Riyanto serta Epilog oleh Philipus Tule, Franz Magnis-Suseno, dan J Kristiadi, membingkai 31 tulisan tentang hubungan kearifan lokal dan Pancasila.
Introduksi dan epilog membantu pembaca memiliki kerangka berpikir tentang status persoalan dan memungutnya sebagai solusi operasional yang aktual.
Dalam dekonstruksi aktual Pancasila, Philipus Tule mengajak perlunya perhatian terhadap daerah-daerah terpinggir dan tersisihkan, tempat para founding fathers Indonesia, di antaranya Soekarno, sebagai penggali Pancasila.
Perlu diembuskan semangat dan nilai-nilai Pancasila yang sejati ke pusat-pusat kekuasaan (hal 583).
Franz Magnis-Suseno menegaskan kaitan simbiose mutualisme antara demokratisasi dan Pancasila. Melepaskan, mengebiri, mengubah, mencairkan Pancasila berarti membatalkan kesepakatan bersama-sama mendirikan Republik ini (hal 587).
Operasionalisasi lima sila, di antaranya dalam sila pertama, perlu dirumuskan dengan tegas secara legal dan implementatif negara menjamin kebebasan beragama dan pluralisme ekspresi keagamaan (hal 588).
Kristiadi—satu-satunya kontributor berlatar belakang ilmu politik—menariknya ke tataran lebih praktis-aktual dengan menunjukkan tiga agenda mendesak (hal 621-630), yakni perwujudan pemerintahan yang efektif, reformasi partai politik, dan kontrol dana parpol. Pendidikan ideologi Pancasila harus dilakukan bagi kader parpol yang akan menjadi pemegang otoritas politik (hal 630).
Butir-butir ”emas”
Merujuk pada pidato penggali Pancasila, Ir Soekarno—Proklamator dan Presiden pertama RI—tanggal 1 Juni 1945, diandaikan nilai-nilai Pancasila dihayati oleh bangsa Indonesia.
Kearifan lokal merupakan roh nilai-nilai Pancasila yang mengejawantah dalam hidup masyarakat Indonesia. Kearifan lokal bangsa ini menurut, Armada Riyanto, adalah akar nilai-nilai Pancasila sekaligus juga pohon yang kokoh rimbun (hal 13).
Roh, akar, pohon dan buah nilai-nilai Pancasila itu ditemukan dalam tradisi kearifan atau kebijaksanaan hidup sehari-hari bangsa ini.
Tesis itulah yang menggerakkan para pembelajar ilmu filsafat menemukan pesan kearifan sebagai sumbangsih revitalisasi makna Pancasila.
Relasi kearifan lokal, Pancasila dan filsafat keindonesiaan sangat kental, saling berkelindan. Kearifan lokal, menurut para penulis buku, ini tidak berkonotasi dengan tempat (locus), tetapi tata hidup bersama.
Itulah filsafat keindonesiaan yang digali dari pengalaman hidup sehari-hari dalam segala aspeknya, termasuk daerah terpencil, terpinggir, miskin, bahkan peta geografisnya kerap tidak dikenal (hal 18).
Para editor memilih nomenklatur filsafat keindonesiaan dan bukan filsafat Indonesia dengan argumentasi yang pertama sebagai “sudah jadi” sedangkan yang kedua “dalam rangka” (hal 32).
Oleh karena itu, penggalian butir-butir kearifan lokal adalah bumbu masak sajian pemikiran filsafat yang kontributif bagi pendasaran filosofis Pancasila.
Studi-studi antropologis dan sosial budaya masyarakat Indonesia, taruhlah yang dilakukan Koentjaraningrat atau penelitian sosial budaya kelompok masyarakat oleh LIPI di bawah Mochtar Buchori, mendapatkaan fokus dari buku ini.
Data-data lapangan yang sifatnya fisik dan psikis memperoleh pendasaran atas alam pikiran yang terejawantah dalam kehidupan sehari-hari, terutama sebagai kearifan.
Kesimpulan studi-studi antropologi dan sosial budaya kemasyarakatan diperdalam dan tidak berpretensi sebagai kesimpulan umum, tetapi dalam konteks lokal sebagai tata bersama.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan Jawa, misalnya, mencerminkan kejawaan bagian dari keindonesiaan.
Tidak semua kelompok masyarakat atau suku bisa dipungut kearifan lokalnya dalam penelitian berkaitan dengan lima sila dan eksistensi Pancasila.
Padahal, sesuai dengan premis buku, para perindu (yang rindu) dan pengagum Pancasila ini ingin tetap dalam jalur menangkap sebanyak mungkin kearifan lokal.
Namun, buku ini bisa dikelompokkan sebagai pelengkap buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011) dan Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014)—keduanya karya Yudi Latif, salah seorang pengagum dan peneliti Pancasila pasca Reformasi.
Sekaligus juga memperkaya, mendorong, dan menstimulasi upaya terus menggali, merevitalisasi, dan mengaktualisasi Pancasila dalam berbagai lembaga studi.
Buku ini menyodorkan butir-butir ”emas” filsafat keindonesiaan bagi pengayaan nilai-nilai Pancasila.
Sejumlah pertanyaan diskursif perlu dijelaskan dalam edisi revisi. Sebagai contoh arkeologi kata patriotisme berasal dari pater=ayah yang bisa dijelaskan juga berasal dari kata patria=tanah air (hal 37).
Atau, bukankah lebih ringkas dilakukan penggabungan kearifan dalam upacara sadranan di Gunung Kidul dan sadranan di Pedukuhan Sorowajan yang memiliki kemiripan sehingga memudahkan diambil kesimpulan dan fokus (hal 541-564).
Berpikir positif, kerangka dasar, dan kesimpulan prima tercantum dalam Introduksi, sehingga beberapa kearifan lokal—belum seluruh kearifan lokal dari setiap kelompok masyarakat dan suku—sekadar jadi obyek penelitian yang memperkuat argumentasi dan narasi Introduksi.
Berpikir negatif, tarikan kesimpulan yang dilakukan dalam Introduksi, terlalu jauh karena mengandaikan begitu saja kearifan-kearifan lokal lain yang tidak tertangkap dalam penelitian.
(Warta-Kota/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar