Di mana pun intelek meninggalkan sebuah harta tak ternilai
Dengan Nama Tuhan kau akan membuat darinya sebuah kunci
(Nizhami)
Mereka yang diberi julukan hakim oleh masyarakat Iran berarti telah mengenal hikmah (teosofi),[1] serta filsafat,[2] dan bukanlah suatu kebetulan bahwa julukan tersebut diberikan kepada mereka. Ini adalah sebuah kasus, bahkan jika orang-orang tersebut tidak dapat disebut sebagai filosof atau teosof dalam pengertian yang ketat dari peristilahan ini. Tidak ada yang lebih sah dalam hal ini ketimbang kasus Hakim Nizhami Ganjawi,[3] seorang penggubah syair liris tiada tara yang telah menciptakan beberapa syair paling indah dalam kesusasteraan Persia. Meskipun ia tidak menulis karangan-karangan filosofls, ia telah menguasai pemikiran diskursif dan berbagai pengetahuan intelektual pada masanya, dan juga telah benar-benar mengenal tasawuf, khususnya al-'ilm al-hudhuri,[4] sebuah unsur kunci tradisi esoterik yang merupakan suatu ekspresi filsafat perenial paling utama.
Nizhami muncul pada saat ilmu-ilmu keislaman terbagi menjadi beberapa mazhab pemikiran. Ketika ia memulai kajian-kajiarmnya, teologi Mu'tazilah (kalam) telah melewati puncaknya dan sedang menurun. Teologi Asy'ari, yang menjadi matang melalui tokoh-tokohnya seperti Al-Juwayni dan-Al-Ghazali, telah mulai merintis babak baru dalam perjalanan hidupnya.
Dalam tradisi Syi'ah, beberapa karya utama di bidang hukum dan prinsip-prinsip yurisprudensi, yakni keempat buku Syi'ah Duabelas Imam, memberikan dasar bagi berbagai kegiatan intelektual masa depan.[5] Teologi dan filsafat Isma'iliyah juga telah mencapai puncaknya dengan munculnya sosok-berpengaruh seperti Abu Hatim Al-Razi, Hamid Al-Din Al-Kirmani, dan Nashir-i Khusraw.
Di bidang filsafat, menyusul berbagai usaha awal Al-Kindi, Iransyahri dan lainnya, mazhab peripatetik telah mengungguli berbagai mazhab lainnya. Mazhab ini kemudian mencapai kesempurnaannya di tangah para tokoh besar seperti Al-Farabi, Abu Al-Hasan Al-'Amiri, Ibn Sina dan para komentator mereka. Dapat dikatakan bahwa mazhab peripatetik telah melampaui pengaruh kaum Hermetik dan Neo-Phytagorean.
Ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir Al-Quran dan tradisi kenabian (hadits), dalam mazhab Syi'ah maupun Sunni, telah melewati periode aktivitas yang subur. Pada abad keenam/keduabelas, aktivitas kesarjanaan yang serius (serious scholarship) dapat dijumpai di semua cabang ilmu keagamaan, dan khususnya ilmu-ilmu hermeneutika yang, sebagai tambahan terhadap berbagai interpretasi filosofis dan teologis, telah menimbulkan berbagai interpretasi dan penafsiran gnostik yang sangat luas.[6]
Di bidang matematika dan ilmu-ilmu kealaman, suatu periode aktivitas yang sangat bersemangat telah berlalu dan karya para tokoh semacam Ibn Sina dan Al-Biruni dengan mudah dapat diperoleh oleh para penuntut ilmu. Para penuntut ilmu-ilmu intelektual yang serius dapat memanfaatkan berbagai prestasi astronomi dan matematika yang telah mencapai puncaknya pada abad kelima/kesebelas.[7]
Ketika Nizhami, seorang anak yang terberkahi, memulai pendidikan formalnya, ia menghadapi lautan luas ilmu-ilmu keislaman ini. Ia memulai dengan ilmu-ilmu keagamaan, menguasai seni penafsiran Al-Quran dan hadis, dan beberapa dasar ilmu-ilmu keislaman. Ia mengenal baik filsafat dan teologi, serta berbagai macam gagasan intelektual dan mazhab-mazhab filsafat. Ia menggunakan beberapa tahun untuk belajar matematika, dan sangat tertarik di bidang astronomi “ bidang yang sangat jarang digeluti oleh kalangan sastrawan besar berbahasa Persia. Dalam disiplin ilmu semacam tata bahasa, genealogi, dan sejarah, ia telah meraih kompetensi yang cocok buat seorang tokoh semacamnya.
Pada tahun-tahun ketika Nizhami hidup dan mencipta puisi-puisinya, filsafat peripatetik di dunia Islam sebelah Timur sedang menurun tatkala teologi filosofis Al-Juwayni dan Al-Ghazali sedang naik daun. Seorang anggota terkemuka mazhab ini, Imam Fakhr Al-Din Al-Razi, adalah tokoh semasa dengan Nizhami. Tetapi, di dunia Islam bagian Barat, filsafat peripatetik tetap hidup, dan tokoh-tokoh seperti Ibn Thufayl dan Ibn Rusyd telah menambah cabang baru dari pohon tradisi filosofis dalam Islam, suatu cabang yang darinya Barat mengambil manfaat dan yang telah menjadi sumber inspirasi bagi beberapa tokoh intelektual di sana.
Di Persia sendiri, aktivitas filosofis paling penting pada masa Nizhami adalah berdirinya sebuah aliran filsafat dan teosofi baru yang dibangun oleh "tokoh iluminasi", Syihab Al-Din Suhrawardi. Kedua tokoh ini hidup semasa dan sebuah karya semacam Makhzan Al-Asrar karya Nizhami mungkin ditulis pada saat yang sama dengan penulisan cerita-cerita mistik Persia oleh Suhrawardi. Sedangkan karya-karya terakhir Nizhami ditulis bersamaan dengan ditulisnya Hikmat Al-Isyraq (Teosofi Cahaya Timur) dan beberapa karya terakhir Suhrawardi. Jika Hakim Nizhami memotret pandangan-dunia Persia-Islam melalui bakat puitisnya, maka Suhrawardi memetakan sebuah jalan baru menuju Realitas Akhir dengan menggunakan wacana filosofis dan intuisi-intelektual. Hadirnya dua pemikir agung ini merupakan suatu indikasi akan kekayaan lingkungan intelektual abad keenam/keduabelas, dan ini merupakan jawaban terhadap mereka yang mengklaim bahwa aktivitas intelektual telah terhenti setelah serangan polemis Al-Ghazali yang gencar terhadap peripatetik.
Sekalipun Nizhami telah mengenal baik hampir semua aspek ilmu-ilmu keislaman, kita tidak dapat menganggapnya sebagai salah seorang pengikut suatu aliran filsafat dan teologi. Kita dapat mengatakan bahwa ia mengikuti suatu hikmah yang didasarkan atas keimanan, suatu bentuk kebijaksanaan yang berurat-berakar dalam Al-Quran, dengan perhatian penuh terhadap berbagai aliran filsafat dan teologi dalam Islam.
Tentang berbagai topik seperti Esensi Tuhan, Sifat-sifat, dan asal-usul manusia, Nizhami berbicara sebagai seorang ulung yang berjalan jauh melalui jalan-jalan spiritual, dan mampu menyaksikan dunia ukhrawi dengan mata batin. Untuk menerangkan Esensi Tuhan yang murni dan transendental serta manifestasi Tuhan dalam segala aspek dan tingkat eksistensi ini, dengan bebas ia menggunakan bahasa seperti yang dipakai oleh tokoh-tokoh filsafat gnosis dalam tulisan mereka. Ketika mengantarkan Makhzan Al-Asrar (Perbendaharaan Rahasia),[8] karya filsafat dan gnostiknya yang paling penting, ia menyatakan:
Ada sebelum segala ciptaan, lebih abadi dari segala keabadian
Tuhan Qadim bagi dunia abadi,
Penghias leher Pena dengan sebuah kalung.
Pewahyu segala rahasia surgawi yang gaib,
Tujuan Rahasia orang yang mengenal misteri Ilahi.
Sumber segala sumber kebebasan, Perancang segala wujud.[9]
Tuhan bukan hanya pencipta dunia, tapi juga asal-muasal wujud dan sumber segala theophanies (makhluk Tuhan) sebagaimana dinyatakan oleh kaum gnostik. Di dunia ini, sebagaimana juga di alam wujud lainnya, segala yang benar-benar wujud beremanasi dari wujud Tuhan dan tidak lain adalah teofani dari Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya.
Jika ia kepala mesin pemintal, ia penuh dengan benang-Nya,
Jika ia hati suatu benda, ia penuh luapan kegembiraan terhadap-Nya
Apa yang dapat ditangkap dari berbagai metafor puitis Nizhami yang agung dan imajinatif tentang masalah-masalah metafisika dan teologi tidak lain adalah kebenaran-kebenaran perenial yang telah dibicarakan oleh para gnostik dan hakim Muslim. Kenyataannya, jauh sebelum Nizhami, mereka yang memiliki ma’rifah (gnosis) seperti Ahmad dan Muhammad Al-Ghazali, serta 'Ayn Al-Qudhat Al-Hamadani telah mengelaborasi secara luas tentang tema-tema yang sama.
Setelah memuji Tuhan Yang Mahaagung dan menafsirkan tentang Asal dan berbagai manifestasi-Nya, Nizhami, di dalam Makhzan Asrar-nya, memberikan keterangan yang luas tentang keadaan lahir dan batin dari Nabi Muhammad saw. Nizhami mengidentifikasikan realitas batin Nabi sebagai teladan yang paling agung bagi ciptaan yang oleh Ibn Arabi kemudian disebut sebagai "manusia sempurna" (insan kamil). Nizhami menunjukkan pengetahuannya yang luas tentang tafsir Al-Quran dan hadis ketika menguraikan berbagai karakteristik Nabi saw.
Ada segelintir penyair Persia yang menguraikan karakter spiritual Nabi saw. dari sudut pandang gnostik (irfani) sebagaimana Nizhami. Di dalam MakhzanAl-Asrar sendiri, ia mendeskripsikan pendakian Nabi pada malam hari (mi'raj) dalam empat bagian, masing-masing melukiskan potret status Nabi yang sang at agung dan karya ini merupakan masterpiece dalam kesusasteraan Persia. Di dalam karya-karyanya yang lain, seperti Syaraf-Namah (Risalah tentang Kebajikan),[10] Iqbal-Namah (Risalah tentang Nasib),[11] Khusraw wa Syirin,[12] dan Layli wa Majnun,[13] Nizhami menulis puisi-puisi agung tentang keindahan yang mahadahsyat, tatkala ia melukiskan tentang mi'raj Nabi ke langit. Mungkin bukanlah suatu kebetulan bahwa miniatur paling indah tentang mi'raj Nabi yang ada dalam Khamsah karya Nizhami kini tersimpan di British Museum.
Pendakian malam hari bukan hanya pengalaman paling dahsyat dalam kehidupan Nabi, tapi juga merupakan pola dasar perjalanan spiritual bagi mereka yang berjalan menuju Realitas Akhir dalam agama Islam. Antropologi spiritual Islam juga berdasarkan peristiwa ini karena kedalaman dan keluasan eksistensi manusia merebak melalui suatu keadaan yang dialami oleh Nabi melalui mi'raj-nya.
Setelah mengemukakan penafsiran gnostik tentang realitas mi'raj. Nizhami menguraikan tentang tabiat manusia dari sudut pandang gnostik, dengan memakai konsep-konsep Qurani. Dalam sebuah kumpulan puisi indah, ia menyebut manusia sebagai wakil Tuhan, akan tetapi keunggulannya atas makhluk-makhluk lain – khususnya binatang yang lebih dekat kepadanya dalam hirarki wujud ketimbang makhluk lainnya – bukan karena inteligensianya, tapi merupakan akibat kemampuannya menguasai egonya sendiri. Di dalam Makhzan Al-Asrar, ia menyinggung hal ini, demikian:
Suatu saat egomu tunduk kepadamu,
Mata kesucian pasti melekat dalam namamu.
Mengingkari ego adalah tanda keunggulan,
Menolak ego adalah kuasa kenabian.
Penekanan Nizhami terhadap perlunya meraih kebajikan dan memperindah jiwa batin telah memberikannya citra sebagai pemikir etis dan pembaharu sosial. Orang yang tidak memperhatikan pandangan-pandangan gnostiknya selalu melihat signifikansi ajaran-ajaran etisnya dan memperhatikan karakter moralnya sebagai alasan untuk menyebutnya sebagai hakim.
Nizhami tidak hanya menguasai berbagai aspek intelektual gnosis, tetapi juga mengikuti praktik spiritual aliran gnostik. Karena alasan inilah ia tetap berada di dalam arus-utama tradisi Islam hikmah, suatu tradisi yang menganggap bentuk tertinggi filsafat sebagai hasil penyucian ego seseorang, yang merupakan syarat utama untuk mempelajari filsafat dan gnosis (ma'rifah) secara benar.
Pandangan-gnostik terhadap dunia, yang melihat dunia badani sebagai dunia temporal dan pengejawantahan dari dunia nonbadani, sangat jelas di dalam karya-karya Nizhami. Ia melihat tanda-tanda kekuasaan dan keadilan Ilahi di mana-mana, dan ia mengkritik mereka yang menolak Kehadiran Ilahi. Dalam beberapa puisinya, ia bahkan berdoa kepada Tuhan agar membukakan aturan dunia dan mewahyukan kekuasaan-Nya ke seluruh wujud. Katanya:
Menolak bentuk dan membentuk yang zhahir,
Perputaran roda, dalam gerak atau diam.
Hapuskan tanda dari bulan sabit,
Bukakan tabir dari alam khayal.
Mengakui keilahian-Mu adalah,
Mengakui ketidak-maujudan seseorang.
Nizhami lebih dari sekadar menyebarkan pandangan gnostik terhadap dunia. Ia memuji tasawuf dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Dalam sebuah puisi yang mengilhami Hafizh, ia berucap:
Kelompok ini berdasarkan pandangan jauh
Kekuasaan adalah mengabdi kepada darwisy (pemimpin)
Di dalam puisi-puisinya, Nizhami seringkali mengacu kepada berbagai praktik zuhud dan zikir orang yang sedang menuju jalan (ilahi). Dalam sebuah bab berjudul “Kebajikan Pengasingan Spiritual†dalam Makhzan Al-Asrar, ia melukiskan bayangan-bayangan batin dan mengungkapkannya dalam sebuah puisi yang indah:
Aku tak tahu buah yang kumakan Malam itu,
Bagaimana kutahu bahwa bulan baru, yang terang cahayanya, akan menjauh dari pencintanya?
Ia cinta pada pencintanya; rindunya seratus kali lebih besar dari rinduku,
Rindu hatinya berkata: "Bahaya apa pun yang akan datang hari ini, tak mungkin membakar kelambu malam kita."
"Ia kan ciptakan malam nan tenteram dan abadi hingga hari kebangkitan."
Kucari di mana pun cahaya malam itu yang mewujud bak mentari, dan tak kutemukan walau dalam mimpi.[14]
Introspeksi dan penjelajahan batin ini yang akhirnya menyinarkan kebenaran dalam hati sang pencari (kebenaran). Nizhami menyatakan bahwa orang yang telah mengembara di atas jalan akan menyaksikan realitas keilahian. Sebaliknya, ia mengkritik mereka yang menolak keadaan melihat Tuhan:
Menyaksikan-Nya adalah tanpa kebetulan dan hakikat,
Sebab Dia di luar kebetulan dan hakikat.
Karena pantas bagi yang mutlak,
Tuhan terlihat dan "dapat dilihat,"
Memandang-Nya mestilah kasat mata,
Si buta adalah yang berkata Dia tak dapat dipandang.
Penglihatan batin terhadap dunia nonragawi inilah yang menghilhamkan watak berubah-ubah dan temporal dari dunia ragawi dan memancarkan cahaya hakikatnya yang, berbeda dari keyakinan awam, bukanlah realitas bebas tetapi sebuah cermin yang memancarkan realitas dunia awal.
Tegak dan koyaklah langit,
Tiada kesetiaan dalam permainan ini.
Jangan cari bayangan Yang Tercinta dengan penyatuan diri,
Jangan cari keadilan dari Sifat-Nya.
Puisi-puisi Nizhami merupakan komentar-komentar terhadap berbagai bentuk doktrin gnostik dan kesufian Islam. Dalam pengertian ini, ia dapat dianggap sebagai seorang penyair sufi yang sikap batinnya terhadap dunia memungkinkan dirinya untuk memotret wujud-wujud ragawi dari dunia asal. Dari sudut pandang filosofis, gambaran karya-karyanya yang patut diperhatikan adalah pemakaian terminologi filosofisnya yang sangat mengagumkan. Dalam puisi-puisinya, ia seringkali membicarakan struktur logis kaum peripatetik. Pengetahuannya yang tajam tentang filsafat peripatetik dapat dilihat ketika ia mengemukakan konsep-konsep seperti hakikat dan kebetulan, kepastian dan kemungkinan dalam pengertian kaum peripatetik.
Nizhami juga sangat memperhatikan filsafat Phytagoras dan signifikansi simboliknya. Dalam berbagai puisinya, ia seringkali mengacu kepada signifikansi simbolik angka-angka. Misalnya tentang penghancuran dunia, ia berkata:
Lima ratus lima puluh cukup untuk tidur,
Hari adalah panjang, tergesa-gesa ke perkumpulan.
Ia memandang penting angka tujuh dan dua belas yang memiliki makna simbolik. Dengan angka-angka ini, yang merupakan kunci memahami keseimbangan batin dari berbagai tingkat wujud, ia berusaha mengungkap hubungan batin antarmakhluk yang berbeda-beda. Ia membandingkan tujuh bagian tubuh dengan tujuh khalifah dan tujuh hikayat Isfandiyar serta tujuh siksaannya yang memiliki signifikansi kosmologis.
Tujuh khalifah dalam satu rumah.
Tujuh hikayat dalam satu kisah.
Perhatian terhadap simbolisme angka tujuh itu mencapai klimaksnya di dalam hikayat Haft Paykar (Tujuh Tubuh).[15] Di dalam kisah simbolik inilah Nizhami menyinggung angka tujuh sebagai kunci untuk memahami dunia (cosmos) dan mengungkap kaitan antara tujuh langit, tujuh wama, dan tujuh iklim dalam suatu bentuk liris dan dramatis. Hal ini sama dengan Ikhwan Al-Shafa yang, selain memperhatikan pandangan filsafat alam peripatetik, merupakan komentator filsafat Pythagoras yang dipercaya. Ketika Nizhami memasuki dunia filsafat dan teologi dalam tradisi Ibn Sina, secara khusus ia tertarik kepada filsafat Pythagoras.
Sebagai tambahan terhadap berbagai tradisi filosofis, Nizhami menguasai beberapa cabang ilmu yang bermacam-macam: khususnya astronomi, astrologi, sejarah alam, dan anatomi. Dapat dikatakan bahwa mengenal dasar-dasar berbagai ilmu ini, tidak mungkin memahami puisi secara keseluruhan. Penggunaan astronomi tradisional oleh Nizhami ketika menguraikan tentang perangai-perangai di dalam Makhzan Al-Asrar-nya atau pengacuan terhadap prinsip-prinsip astronomi dalam Khamsah-nya merupakan kekhasan di kalangan para penyair dalam bahasa Persia.
Sekalipun Nizharni menguasai ilmu-ilmu intelektual, setiap urat dalam tahap-tahap lahir dan manusiawinya menuju Cinta Ilahi. Ketika karya-karyanya mengungkap tentang tingkatan cinta manusia dan bius-bius puisinya mengandung realitas duniawi yang menakjubkan ini, ia melihat cinta tidak sekadar dalam pengertiannya yang terbatas. Cinta baginya dalah cinta dalam ketundukan dan akhirnya adalah peleburan (fana) dalam Cinta Ilahi. Dalam pandangan Nizhami, Majnun mencari keindahan abadi dan Layli adalah keindahan itu yang melambangkan Rahasia-Rahasia Ilahi. Ia adalah cahaya yang menyinari malam, cahaya yang manifestasi ragawinya adalah Layli. Di dalam kisah-kisah cintanya seperti Khusraw wa Syirin dan Layli wa Majnun, seseorang melihat karya-karya agung dalam kesusasteraan Persia tentang filsafat cinta. Nizhami menciptakan jembatan antara dunia ruhani dan bentuk-bentuk indah dari dunia di bawahnya, dunia yang merupakan tangga menuju dunia yang lain.
Di samping menguasai gnosis, filsafat dan ilmu-ilmu lain, Nizhami sangat mengenal sejarah filsafat. Ia mengambil manfaat dari warisan para sarjana Muslim yang sangat kaya seperti Abu Sulayman Sijistani, Abu Al-Hasan Amari, Ibn Hindu dan Ibn Fatak yang menghimpun kisah dan kata-kata para filosof kuno. Pengenalannya terhadap sejarah filsafat dapat disimak dari beberapa karyanya seperti Iskandar-Namah (Risalah yang Didekasikan untuk Iskandar yang Agung).[16] Deskripsinya tentang orang-orang bijak Yunani dan India Kuno adalah indikasi penguasaannya terhadap sejarah pemikiran. Misalnya, dalam Iskandar-Namah-nya, ketika menguraikan tentang makhluk ia berkata atas nama Hermes:
Kukagumi kubah ini, pujaan laut,
Dalam kebimbangan bagai asap di atas gunung.
Di atas asap yang menakutkan,
Ada cahaya, murni dan terang.
Di depan cahaya, awan hitam ini adalah tabir,
Permulaan sungguh jauh dari pembukaan.
Di mana pun awan berembus,
Seberkas cahaya pasti mengendus.
Langit di antara bulan dan mentari,
Hanya cahaya bersinar menembus tabir.
Mulanya penciptaan, sungguh kutahu,
Bagaimana dunia tercipta pada mulanya, aku tak tahu.
Pada masa yang sama dengan Nizhami, Suhrawardi juga menganggap bintang-bintang bukan sebagai benda-benda bersinar di atas langit, tapi sebagai nyala dari dunia terang melalui lubang-lubang di atas langit. Suhrawardi juga menisbatkan pandangan ini kepada kaum iluminasionis Persia kuno, Hermes, dan kaum Hermetisis Yunani.[17] Deskripsi puitis Nizhami tentang pandangan Hermes merupakan pengulangan pandangan Suhrawardi dan menunjukkan sumber umum. Di dalam Iskandar-Namah, dalam satu bagian berjudul "Akhir Aristoteles" yang ditulis sebelum meninggal, ia menulis:
Ia bersihkan minyak dari lentera,
Dan menyuruh sebuah apel di kebun dibawa.
Sang pemain membawa apel di tangan,
Dengan sekali cium sang hantu ia taklukkan
Menurut cerita ini, pada saat-saat terakhir kehidupannya, Aristoteles menjawab pertanyaan-pertanyaan para muridnya tatkala ia memegang sebuah apel. Percapakannya direkam dalam sebuah karangan berjudul The Treatise of the Apples (Kitab Al-Thuffahah, Risalah tentang Apel). Penerjemah karya Neo-Platonis ini ke dalam bahasa Persia, Baba Afdhal Kasyani, juga mengacu kepada kisah yang sama. Dua kasus ini merupakan indikasi tegas bahwa Nizhami mengenal sejarah filsafat bukan hanya sebagai seorang sejarahwan tetapi juga sebagai seorang hakim yang sangat memperhatikan filsafat para pendahulunya dan mempergunakan ide-ide mereka untuk tujuan-tujuan filosofisnya sendiri.
Dalam hal ini, Iskandar-Namah, jika ditafsirkan pada tarafnya yang paling dalam, menguraikan tentang pengembaraan batin manusia melalui beberapa alam yang berbeda dan pencapaian kebijaksanaan perenial yang diejawantahkan oleh para hakim dalam berbagai peradaban. Iskandar, menurut penafsiran ini, adalah sama dengan akal-hati manusia dan pusat pengetahuan yang, menurut ajaran orang-orang bijak, meraih kebijaksanaan perenial. Akhirnya, ia minum dari sumber kehidupan dan menjadi seorang nabi karena jika intelek mampu membebaskan diri dari ikatan duniawi, ia menjadi terang dan jalan bagi penyatuan manusia dengan dunia Ruh. Kemudian ia menjadi seperti seorang nabi batini yang mengabsahkan wahyu-wahyu yang dibawa oleh para nabi di dalam diri manusia.
Kegandrungan Nizhami terhadap kebijaksanaan perenial, sebuah kebenaran tunggal yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk, periode sejarah, dan tradisi sejarah yang berbeda-beda, mendorongnya untuk mempelajari dan menghormati agama-agama lain. Dalam beberapa kesempatan ia menunjukkan jalan yang sama kepada seorang Muslim, seorang Zoroaster, dan seorang Kristen dan memperingatkan mereka dalam bertindak.
Ketika pandangannya mendapat Karunia Ilahi,
Ia mulai mengenal diri dan kemudian mengenal Tuhan.
Hai orang yang bukan Muslim atau Zoroaster,
Kau teguk sumber air tanpa segumpal awan.
Nizhami bukanlah seorang filosof seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Suhrawardi, atau seorang penjelas tasawuf teoretis seperti Ibn Arabi dan Abd Razzaq Al-Kasyani. Namun demikian, ia harus dianggap sebagai seorang filosof dan gnostik yang menguasai berbagai bidang pemikiran Islam yang kemudian ia sintesiskan dalam sebuah bentuk yang mengingatkan kepada tradisi para hakim setelah dia, seperti Quthb Al-Din Al-Syirazi dan Baba Afdhal Kasyani. Mereka, selain menguasai berbagai aliran pengetahuan, berusaha mensintesiskan berbagai tradisi filsafat, gnosis, dan teologi yang bermacam-macam.
Selain sebagai salah seorang penyair terbesar dalam bahasa Persia, Nizhami juga seorang penafsir dunia spiritual. Pemikir besar ini adalah seorang seniman unik yang, dalam banyak hal, memberikan struktur formal bagi Matsnawi-nya Rumi. Tambahan lagi, Nizhami sendiri pada saat yang sama berhasil merefleksikan kebenaran-kebenaran gnostik dan filosofis tertinggi dalam cermin perpuisian Persia, dan mengungkap berbagai misteri dunia yang tersembunyi dalam pakaian dunia nyata, yakni dalam bentuk puisi-puisi yang sangat indah.
Al-Hikmah, jurnal studi-studi Islam; No. 11 Rabi' At-Tsani-Rajab 1414/Oktober-Desember 1993; hal. 101 " “ 111.
*. Diterjemahkan oleh Suadi Sa'ad dari Seyyed Hossein Nasr, "The World-View and Philosophical Perspective of Hakim Nizhami Ganjawi," yang dimuat dalam The Muslim World, No 3-4, Vol. LXXXII, Juli-Oktober 1992. Tulisan ini aslinya berbahasa Persia den diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mehdi Aminrazawi.
Referensi:
1. S.H. Nasr menerjemahkan hikmah sebagai "teosofi." Secara etimologis ia harus dipahami sebagai "Kebijaksanaan Ilahi" dan bukan suatu gerakan di Inggris pada abad kesembilan belas dengan nama yang sama.
2. Dalam konteks ini, filsafat mengacu kepada filsafat rasionalistik kaum peripatetik. Rasionalisme dalam maknanya yang asli dianggap tidak konsisten dengan hikmah yang mendukung sintesis akal ('aql) dan intuisi intelektual (dzawq).
3. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ilyas bin Yusuf, yang dikenal dengan nama Nizhami. Ia lahir di Ganjah, sebuah kota di Republik Azerbaijan sekarang, pada 539 H dan meninggal pada 614 H. Informasi lebih lanjut, lihat Pengantar pada Dastan-i Khusraw wa Syirin, ed. A. Ayati, Amirkabir Press, Teheran, 1974.
4. Al-'ilm al-hudhuri (terjemahan bebasnya adalah "ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah SWT" ,“Red.) adalah sebuah teori epistemologis yang pertama kali diformulasikan dalam suatu bentuk filosofis yang utuh oleh Suhrawardi pada abad ke-6/12. Keterangan lebih lanjut, lihat Medi Ha'iri Yazdi, Epistemology in Islamic Philosophy Knowledge by Presence, SUNY Press, Albany, 1992.
5. Naskah yang menjadi sumber lengkap hadis Syi'ah adalah: Al-Kulayni, Hadits Ushul Al-Kafi; Syaikh Al-Qummi, Man la Yahdhuruh Al-Faqih; Al-Thusi, Al-Ishtibshar; dan Tahdzib Al-Kalam.
6. Bentuk interpretasi spiritual ini dikenal dengan nama Ta'wil, yang secara harfiah berani membawa sesuatu kepada asalnya, dan merupakan bentuk yang dipakai secara ekstensif oleh Nizhami untuk menawarkan interpretasi esoterik terhadap ayat-ayat Al-Quran.
7. Keteraogan lebih lanjut, lihat S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, Islamic Text Society, Cambridge, 1987.
8. Makhzan Al-Asrar adalah sebuah naskah mistik dan gnostik yang juga menguraikan tentang isu-isu moral. Ia mencakup lebih dari 3.250 bait yang dipersembahkan kepara raja Arzanjan, Malik Bahram Syah Ibn Dawud. Karya ini telah mempengaruhi banyak penyair.
9. Ini terjemahan oleh G.H. Darab, The Treasury of Mysteries, Arthur Probsthain, Londan, 1945, hlm. 89.
10. Syaraf-Namah, juga dikenal sebagai Muqbil-Namah, adalah bagian pertama dari Iskandar-Namah dan mengandung 6.800 bait. Nizhami menyelesaikan karya ini pada 597 H.
11. Iqbal-Namah yang juga disebut Khirad-Namah adalah bagian kedua dari karyanya yang terakhir Iskandar-Namah. Iqbal-Namah yang mengandung lebih dari 2.800 bait selesai pada 603 H ketika Nizhami berumur tujuh puluh empat tahun.
12. Khusraw wa Syirin adalah sebuah contoh sastra Persia yang indah dan mengandung lebih dari 6.500 bait. Ditulis pada 580 H dan dipersembahkan pada Sultan Tughrul ibn Arsalan, dengan harapan memperoleh perlindungan darinya.
13. Layli wa Majnun ditulis setelah Khusraw wa Syirin pada 584 H, dan mengandung 4.700 bait Nizhami hanya membutuhkan empat bulan untuk menyelesaikan karya ini. Syirwan Syah-lah yang meminta Nizhami menulis karya ini berdasarkan versi Arab aslinya dan ia menerimanya dengan berat hati. Keberathatiannya itu disebabkan karena kisah aslinya terjadi di Arabia. Nizhami memandang bahwa lingkungan alam di sana tidak begitu puitis baginya. Namun, Nizhami mem-Persia-kan kisah tersebut seperlunya.
14. Terjemahan Darab dalam The Treasury aof Mystics, hlm. 145.
15. Karya ini disebut juga Bahram-Namah dan Haft-Gunbad yang mengandung lebih dari 5.000 bait puisi dan dipersembahkan kcpada 'Ala' Al-Din Kirap Arsalan, gubernur Maraqha. Dengan memakai simbolisme tradisional orang yang dicintai, angka tujuh dan simbolisme astronomis. Nizhami menawarkan suatu pemaparan yang simbolik alegoris tentang kisah cinta Bahram Gur, salah seorang raja Sassaniyyah.
16. Iskandar-Namah adalah karya lerakhir Nizhami yang memiliki aturan khas, di mana setiap sajak memiliki awalan.
17. Lihat S.H. Nasr, Three Muslim Sages, Caravan Book, Delmar, 1975, hlm. 69.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar