Setelah nama suci Tuhan, di dalam sejarah agama-agama tauhid tidak ada kata yang lebih penting daripada kata wahyu; jika tidak ada wahyu maka:
1. Tuhan dengan segala sifat-sifat dzat dan dzati-Nya akan tersembunyi di balik tirai gaibnya segala kegaiban bagi semua ciptaan, termasuk di antara mereka adalah manusia yang areanya jadi sangat sempit sehingga dia tidak lebih hanya memiliki satu kaki lemah seakan terbuat dari kayu yaitu akal. [1]
2. Kendati keberadaan alam metafisik, alam malakut, dan hirarki di atasnya sampai batas tertentu dapat diketahui, begitu pula urgensitas hari kiamat dan alam di balik kematian dapat dibuktikan melalui berfikir dan argumentasi; [2] akan tetapi ciri-ciri dan partikular-partikular alam semesta secara detail berada di luar jangkau pengetahuan dan eksperimen manusia.
3. Jika Tuhan tidak menjelaskan Diri-Nya kepada manusia melalui wahyu besar kemungkinan manusia hanya dapat mengira-ngira tentang keberadaan Tuhan atau minimalnya mereka terbagi pada dua kelompok yakni kelompok pertama menerka-nerka bahwa Tuhan ada dan permulaan juga ada, alam gaib ada dan gaib alam juga ada. Sedangkan kelompok kedua mengira segala sesuatu hanya ada di dunia ini saja, tidak ada Tuhan sebelum penciptaan maupun setelah akhir dari alam natural. Bahkan mungkin mereka melewati batas perkiraan sebagaimana bisa disaksikan dalam sejarah pemikiran dan filsafat bahwa mereka mencoba berargumentasi untuk membuktikan tidak adanya permulaan atau sumber alam keberadaan!!. [3]
4. Manusia dengan cahaya wujud dan keabadian ruh sama sekali tidak memiliki sumber informasi tentang alam di balik kematian dan dia tidak punya kesanggupan untuk memprediksi kebutuhan-kebutuhan pokok dalam perjalanan panjang tanpa arah kembali.
5. Tanpa adanya wahyu, mayoritas perselisihan yang terjadi di antara manusia tidak mungkin terselesaikan sehingga mereka dihadapkan pada berbagai keraguan yang serius dalam masalah-masalah pengetahuan seperti antropologi atau mengenal manusia, mengenal tujuan dari penciptaan dan kehidupan sosial, awal dan akhirnya alam, tugas-tugas manusia terhadap Tuhan, masyarakat, dan terhadap tabiatnya sendiri.
6. Tanpa ada wahyu, banyak sekali kapasitas fitrah dan akal manusia yang tak dikenal atau minimalnya tidak berkembang secara normal. Wahyu Ilahi membuka puncak-puncak tinggi hakikat pada manusia dan memotivasinya untuk berpikir serta merenungkan hakikat-hakikat tersebut, dan tentunya dengan cara ini manusia tertolong untuk mengembangkan akal dan fitrahnya.
7. Manusia tidak memiliki potret yang transparan mengenai kesempurnaan dan kebahagiaan dirinya sendiri, petualangan intelektual manusia terdahulu kala menjadi bukti bagaimana manusia tanpa mempunyai potret yang jelas mengenai kesempurnaan dan kebahagiaannya sendiri bingung, tersesat, dan kehabisan modal utama hidupnya! Cacat ini kembali kepada kelemahan sarana pengetahuan manusia. Sedangkan wahyu Ilahi selain dia memberi keterangan tentang Pencipta, alam semesta, manusia dan kapasitas-kapasitas yang dimilikinya, dia juga membuka jalannya perkembangan manusia secara stabil, seimbang dan harmonis, serta menerangkan jalannya menuju kebahagiaan yang abadi.
8. Wahyu Ilahi jangan dibatasi hanya pada rasul-rasul atau kitab-kitab suci dari langit. Menurut keterangan al-Qur’an wahyu mencakup juga ilham-ilham khusus untuk para wali atau kekasih Tuhan dan menurut laporan hadis sepanjang sejarah ada sekitar 124 ribu nabi yang muncul tapi hanya sebagian kecil dari mereka yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Tuhan kepada masyarakat, adapun mayoritas mereka memperoleh wahyu atau petunjuk-petunjuk istimewa untuk menyempurnakan kapasitas-kapasitas akal dan fitrah mereka serta menemukan jalan yang benar di tengah lingkungan yang kotor.
Di dalam al-Qur’an disinyalir juga kisah ibu nabi Musa as. yang berkat pertolongan wahyu Ilahi dia rela meletakkan puteranya di keranjang dan melemparkannya ke sungai:
وَ اَوحَینَا اِلَی اُمِّ مُوسَی اَن اَرضِعِیهِ فَاِذَا خِفتِ عَلَیهِ فَاَلقِیهِ فِی الیَمِّ وَ لَا تَخَافِی وَ لَا تَحزَنِی اِنَّا رَادُّوهُ اِلَیکِ وَ جَاعِلُوهُ مِنَ المُرسَلِینَ ﴿ القصص: 7 ﴾
Artinya: “dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, hendaklah engkau menyusuinya maka apabila engkau khawatir terhadapnya maka hanyutkanlah dia (dalam keranjang) ke sungai dan janganlah khawatir dan bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikan kepadamu dan menjadikannya salah seorang rasul.” (QS. al-Qashash: 7).
Contoh lain dalam al-Qur’an adalah perhatian khusus yang diberikan kepada Siti Maryam as. dan malaikat berbincang-bincang dengannya:
وَ اِذ قَالَت المَلَائِکَةُ یَا مَریَمُ اِنَّ اللهَ اصطَفَاکِ وَ طَهَّرَکِ وَ اصطَفَاکِ عَلَی نِسَاءِ العَالَمِینَ. یَا مَریَمُ اقنُتِی لِرَبِّکِ وَ اسجُدِی وَ ارکَعِی مَعَ الرَّاکِعِینَ ﴿ آل عمران: 42-43 ﴾
Artinya: “Dan ingatlah ketika malaikat berkata hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih engkau, mensucikan dan mengutamakan engkau atas sekalian perempuan yang ada di alam semesta. Hai Maryam, patuhlah engkau pada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Ali Imran: 42-43).
Tentunya wahyu risalah mempunyai posisi yang istimewa dibandingkan wahyu-wahyu lainnya, dan di sinilah al-Qur’an memainkan peran yang sangat istimewa, dia melebihi kitab-kitab suci langit sebelumnya dalam mengatur daya tarik dan tolak, menyeimbangkan nafsu dan emosi, serta meluruskan cinta dan benci pada diri manusia, dia adalah pembawa berita gembira sekaligus peringatan. [4]
Tanpa adanya al-Qur’an, besar kemungkinan manusia hanyut dalam kelalaian dan menghabiskan umurnya di sana; karena dia mengurung pandangannya dalam dunia materi dan melihatnya sebagai rumah hakikat sehingga bagi dia alam tidak mengandung makna yang lebih tinggi di balik apa yang dia saksikan, melainkan apa saja yang dia lihat tidak lain menurut dia adalah wujud-wujud yang terpotong-potong, hampa awalan dan akhiran, tidak dari satu tempat! dan juga tidak menuju ke tempat tertentu. Tapi al-Qur’an membangunkannya dari kelalaian dan memaksanya untuk berpikir. [5]
Singkat kata, filsafat turunnya al-Qur’an adalah kebutuhan manusia itu sendiri dan selama kebutuhan ini ada – yang pasti ada sampai kapan saja manusia ada – maka al-Qur’an juga harus ada untuk memenuhi kebutuhannya.
Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah)
Referensi:
1. Sayid Muhammad Husein Thaba’ Thaba’I, Qur’on dar Islom, (Daftar_e Intisyorot_e Islomi, Qom, cetakan ketujuh, tahun 1374 S.), hal. 91-92.
2. Murtadza Mutahhari, Ushul_e Falsafeh wa Rawesy_e Realisme, jilid 5.
3. Bahauddin Khuramsyahi, Qur’on Syenokht Tarhe Nuw, Teheran, cetakan ketiga, tahun 1375 S., hal. 45-46.
4. Lihatlah al-Qur’an, surat ke41 (Fusshilat), ayat 2 dan 4; begitu pula surat ke19 (Maryam), ayat 97.
5. Lihatlah al-Qur’an, surat ke38 (Shad), ayat 29; begitu pula surat ke47 (Muhammad), ayat 24. Dan untuk mendapatkan penjelasan lebih luas dalam hal ini Anda bisa lihat pada kitab Maqolot karya Muhammad Syuja’I (percetakan Syurusy, cetakan ke2, tahun 1371 S., jilid 1,) hal 89-98.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar