Soekarno Pro Palestina, Anti Israel


Sukarno terus menyokong perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina dari kolonialisme Israel. Perjuangan Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel telah dilakukan sejak era Presiden Sukarno. Baginya, tiap bangsa punya hak menentukan nasibnya sendiri tanpa melalui pengaturan dan campur tangan negara lain.

Sedari awal, Indonesia tak mau mengakui Israel yang diproklamasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Pemerintah Indonesia tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion tak pernah ditanggapi serius pemerintah Indonesia. Mohammad Hatta hanya mengucapkan terimakasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik. Sukarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel.

Sewaktu Sukarno mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1953, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Keikutsertaan Israel bakal menyinggung perasaan bangsa Arab, yang kala itu masih berjuang memerdekakan diri. Sementara Israel adalah bagian dari imperialis yang hendak dienyahkan Sukarno dan pemimpin-pemimpin dunia ketiga lainnya.

Dalam pidato pembukannya di KAA pada 1955 yang juga dihadiri pejuang Palestina Yasser Arafat, Sukarno menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya.

Maka dari itu, tulis Ali Sastroamidjojo dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Bung Karno mengajak supaya bangsa-bangsa Asia dan Afrika di dalam Konperensi ini membentuk satu front anti-kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika.

“Imperialisme yang pada hakikatnya internasional hanya dapat dikalahkan dan ditundukkan dengan penggabungan tenaga antiimperialisme yang internasional juga,” ujar Sukarno dalam pidato hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai.


Palestina Lebih Penting Ketimbang Piala Dunia

Pasca KAA, solidaritas Asia-Afrika menguat dan semangat antikolonialisme makin membara di dada rakyat kedua benua. Sukarno makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Hal itu dia lakukan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui olahraga. Maulwi Saelan, pengawal Sukarno, masih ingat betul pengalamannya tatkala sepakbola menjadi salahsatu alat perjuangan Indonesia di pentas politik internasional. Menurutnya, pada 1958 Indonesia tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Di penyisihan wilayah Asia Timur, Indonesia berhasil menundukkan Tiongkok. Indonesia tinggal memainkan pertandingan penentuan melawan Israel sebagai juara di wilayah Asia Barat. Namun, Sukarno melarangnya. “Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan omongan Sukarno, kepada Historia. “Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” lanjut mantan penjaga gawang tim nasional yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956.

Peristiwa itu terjadi usai Ramang dkk lolos sebagai juara grup 1 zona Asia. Timnas kemudian segrup dengan Mesir, Israel dan Sudan di putaran kedua yang mempertemukan juara grup dari zona Asia dan Afrika. Pertandingan dijadwalkan berlangsung akhir Juli 1957.

Keberadaan Israel di grup tersebut lah yang menjadi sebab. Senada dengan negara sahabatnya kala itu, Mesir, Bung Karno menyatakan Indonesia menolak tampil di fase ini. Menolak sebagai bentuk solidaritas kepada Palestina. Format kandang tandang akan membuat penjajah macam Israel dengan leluasa menginjakkan kakinya di tanah Indonesia yang baru saja merdeka.

Jagad sepakbola tanah air dan PSSI pun kalang kabut. Kesempatan tampil di Piala Dunia untuk pertama kalinya sebagai bangsa Indonesia sejati –bukan Hindia Belanda- musnah di depan mata. Kongres ke-19 PSSI yang digelar 26-28 Juli di Padang pun menyusun agenda utama terkait keputusan Bung Karno tersebut.

Berdasarkan beberapa literasi koran berbahasa Belanda yang kami temukan, mereka menuliskan bahwa hasil kongres meminta agar Presiden mencabut kembali larangan tersebut. Secara aklamasi, hasil kongres memutuskan untuk membuat proposal kepada presiden dan pemerintah agar menemukan resolusi. Yang penting gimana caranya Israel dan Indonesia tetap main. Mau ‘Home-Away’ atau apa pun.

Entah mengapa Bung Karno kemudian sedikit melunak, bisa saja karena kecintaannya kepada sepakbola. Timnas asuhan Antony Pocganick itu pun boleh tampil melawan Israel. Tapi dengan syarat: Israel haram menginjakkan kakinya di Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Menlu dan Menpora, memberikan resolusi kepada PSSI.

“Kementrian telah menasihati PSSI untuk mengajukan proposal resmi kepada FIFA,” kata wakil Ketua Umum PSSI, Mr. Kosasih Purwanegara, kala itu.

Dalam proposal yang disiapkan ke FIFA itu disebutkan kesanggupan Indonesia tampil melawan Israel pada tanggal 31 Juli di Tel Aviv. Namun untuk pertemuan kedua pada tanggal 18 Agustus yang sedianya di Jakarta, PSSI memberikan opsi; bisa di tanah netral atau kembali dilangsungkan di Tel Aviv.

Sebagai organisasi tertinggi, FIFA menolak proposal itu. Indonesia pun dinyatakan statusnya sama dengan Mesir, dan kemudian menyusul Sudan, diberi status mengundurkan diri. Kesempatan itu pun akhirnya benar-benar terbuang bagi Indonesia.

Israel keluar sebagai pemenang grup tanpa lawan. Tapi, meski melenggang ke babak play off, mereka gagal ke putaran final. Israel kalah dua kali dari Wales.

Dan akhirnya, yang membuat Bung Karno dan Indonesia tak lantas menyesal seumur hidup adalah: tak ada satu pun wakil Asia di Piala Dunia 1958.

Perlawanan terhadap Israel kembali dilakukan oleh Sukarno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan. Meski alasan resmi yang dikeluarkan adalah, Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, tapi alasan politik antiimperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut. Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah. Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos).

Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan. Alih-alih patuh, Sukarno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. Sukarno terus melawan.

“Sebagai jawabannya Sukarno membentuk Ganefo yang diadakan tahun 1963, yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik.

Semasa pemerintahan Sukarno pula Indonesia aktif mendukung perjuangan kemerdekaan di berbagai penjuru dunia dengan bantuan dana dan lain sebagainya. Tak hanya di tingkat pemerintahan, rakyat Indonesia juga aktif mendukung kemerdekaan Palestina dan bangsa-bangsa lain seperti Aljazair dan Afrika Selatan. Melalui OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setikawanan Rakyat Asia-Afrika) yang berdiri pada 1960 dan tergabung dalam AAPSO (Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika), kerjasama perjuangan tersebut diintensifkan.

Hingga saat kekuasaannya sudah direbut Jenderal Soeharto pada 1966, Sukarno tetap pada pendiriannya dalam hal perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Dalam pidatonya pada hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21, Sukarno menyatakan,

“Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”

Hubungan antara Indonesia dan Palestina adalah hubungan yang sudah sangat erat dan akrab. Indonesia menolak untuk mengakui negara Israel hingga kesepakatan damai tercapai antara Israel dan Palestina. Indonesia sangat membela hak-hak dan kebebasan rakyat Palestina dan mendukung perjuangan rakyat Palestina.


Indonesia Tetap Pro Palestina dan Anti Israel

Indonesia telah menyambut Deklarasi Kemerdekaan Palestina oleh Dewan Nasional Palestina di Aljir, Aljazair dan telah mengakui Negara Palestina pada 16 November 1988.

Setahun kemudian Indonesia dan Palestina menandatangani Kesepakatan Bersama pada Dimulainya Hubungan Diplomatik Indonesia-Palestina di tingkat kedutaan besar, pada 19 Oktober 1989. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Ali Alatas, dan pejabat PLO, Farouk Kaddoumi. Setelah upacara penandatanganan, Menteri Luar Negeri Palestina menugaskan Kedutaan Besar Negara Palestina di Jakarta. Dengan demikian, Indonesia menugaskan Kepala Misinya ke Republik Tunisia sebagai Duta Besar non-residen Palestina hingga 1 Juni 2004, ketika penugasan tersebut diturunkan ke Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Yordania di Amman. Selama kunjungan ke Yordania pada bulan Mei 2006, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan dukungan Indonesia untuk kemerdekaan Palestina termasuk melalui dimulainya kembali pembicaraan damai, serta mengungkapkan keprihatinan Indonesia atas kondisi Palestina, termasuk dalam hal keuangan, di tengah-tengah sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh Israel.

Pemimpin PLO, Yasser Arafat telah mengunjungi Indonesia beberapa kali; pada tahun 1984 menemui Presiden Suharto, pada September 1992 untuk menghadiri Konverensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok ke-10 di Jakarta, pada tahun 1993 dan pada bulan Agustus 2000 untuk menemui Presiden Abdurrahman Wahid di Jakarta.

Pada 21-23 Oktober 2007, Presiden Palestina Mahmoud Abbas melakukan kunjungan kenegaraan resmi pertamanya ke Indonesia. Dalam kunjungannya Presiden Abbas telah menandatangani beberapa perjanjian kerjasama dengan Indonesia. Perjanjian kerjasama termasuk di bidang komunikasi dan pendidikan. Abbas kembali mengunjungi Indonesia pada bulan Mei 2010 dan Februari 2014.

Selama Konflik Gaza 2008-2009, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah Indonesia tetap konsisten dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mempertahankan hak dan kedaulatannya. Beliau mengatakan bahwa,

“Perang habis-habisan Israel terhadap Hamas yang tak seimbang dengan sejumlah besar korban jiwa adalah tragedi kemanusiaan yang tak terlupakan. Kami mengundang semua pihak untuk membantu menghentikan serangan Israel dan kami akan terus mendukung perjuangan Palestina. Indonesia merasa perlu untuk Dewan Keamanan PBB untuk membuat pertemuan formal dan mengeluarkan resolusi untuk memaksa Israel menghentikan agresinya”.

Setelah bentrokan armada Gaza pada 31 Mei 2010, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengutuk tindakan Israel. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa juga mengutuk tindakan tersebut dan mengatakan bahwa blokade Israel di Gaza merupakan pelanggaran hukum internasional.

Selama konflik Israel-Gaza 2014, Pemerintah Indonesia mengutuk agresi militer Israel yang sedang berlangsung di daerah Gaza Palestina, mengatakan serangan seperti itu dapat merusak kondisi menuju terciptanya perdamaian antara Palestina dan Israel.

“Langkah Israel harus ditentang. Sebuah agresi militer yang memperburuk penderitaan yang telah diderita oleh warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat hingga saat ini karena pengepungan yang sebenarnya adalah sebuah ‘hukuman kolektif’ terhadap orang-orang Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa.

(My-Repro/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Kamis, 28 Juli 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Soekarno Pro Palestina, Anti Israel. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/07/soekarno-pro-palestina-anti-israel.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS