Krisis Saudi, Harga Minyak, dan Visi Ekonomi 2030

(Ilustrasi) Salah satu kilang minyak milik Aramco di gurun Arab Saudi (Foto: AFP)

Setelah 84 tahun menerapkan sistem kalender hijriyah dalam pembayaran gaji pegawai negeri, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi membuat keputusan besar: beralih kepada sistem penanggalan masehi mulai 1 Oktober 2016. Ini salah satu langkah drastis untuk efisiensi ekonomi Saudi yang tengah diterpa krisis.

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz memutuskan langkah itu setelah rapat kabinet yang membahas penghematan sejumlah pengeluaran di sektor pelayanan publik. Mulai dari memotong gaji menteri sebesar 20% dan 15% gaji Dewan Syuro (Dewan Penasihat).

Sebagai negara Islam yang telah lama melekatkan syariat di dalam pemerintahan, Saudi memutuskan untuk sayonara terhadap kalender Hijriah dalam pembayaran gaji. Dengan menggunakan skema kalender Masehi, jumlah hari libur pelayanan publik menyusut sepertujuhnya.

“Saudi memang mengalami perlambatan ekonomi. Ini terkait menurunnya jumlah permintaan minyak saat harga turun,” ucap Kepala Pusat Riset Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Hendra Kurniawan, kepada Metrotvnews.com, Rabu (5/10/2016).

Arab Saudi serius menghemat keuangan negara setelah harga minyak mentah di bursa komoditas global anjlok hingga ke level terendah, USD26 per barel, pada Maret 2016. Menurut Hendra, penurunan harga berdampak besar pada negara produsen besar minyak dunia.


Wall Street Journal mencatat pada 2015 pendapatan minyak berkontribusi terhadap 73% anggaran Pemerintah Arab Saudi. Instabilitas harga minyak sejak dua tahun terakhir membuat defisit anggaran Arab Saudi membengkak dari 3,4% dari PDB pada 2014 menjadi 16,3% pada 2015. Cadangan devisa terkikis hingga USD116 miliar pada 2015.

Kejadian serupa juga menimpa Brazil dan Venezuela. Hendra menilai apa yang terjadi pada negara-negara produsen minyak ini tidak menimpa negara non-produsen besar, seperti Indonesia.

Pengamat energi Kurtubi mengamini. Anjloknya harga minyak di satu sisi memukul negara produsen yang ekonominya bergantung ekspor minyak. Tapi negara importir justru tertolong karena dapat meningkatkan daya beli masyarakat atas kebutuhan lain.

“Negara (seperti Indonesia) tidak dibebani subsidi yang besar. Kemudian jika harga minyak diturunkan, ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Kurtubi, Kamis (6/10/2016)


Konflik Timur Tengah dan permainan harga

Gejolak harga minyak dunia dipengaruhi banyak hal. Mulai pasang surut permintaan hingga konflik di Timur Tengah. Ekonom Indef Enny Sri Hartati menengarai ketegangan di Timur Tengah selama tahun 2015, seperti Arab Saudi kontra Iran, sengaja diciptakan untuk mendongkrak harga minyak dunia.

Menurut Enny, Arab Saudi yang mengandalkan penerimaan negara dari sektor minyak sudah frustrasi ketika harga minyak dunia terus melemah. “Kalau saya sebagai Raja Arab, saya akan mendesain konflik kalau tidak mau fiskalnya jebol," kata Enny di Jakarta, Kamis (7/1/2016).

(AFP/Wall-Street-Journal/Metro-TV-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Senin, 31 Oktober 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Krisis Saudi, Harga Minyak, dan Visi Ekonomi 2030. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/10/krisis-saudi-harga-minyak-dan-visi.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS