Pintu masuk kompleks makam Imam Ali bin Musa Rida di Kota Masyhad, Iran, pada 4 Juni 2016. (Faisal Assegaf/Albalad.co)
Kompleks makam Imam Ali bin Musa Rida, salah satu dari imam kaum Syiah, begitu megah dan amat luas. Pelatarannya saja diperkirakan seukuran tiga kali lapangan sepak bola. Luas lahannya saya tidak bisa mengira.
Bagian dalamnya begitu megah dan cantik. Tiang, dinding, hingga plafonnya dilapisi kristal. Saat rombongan saya tiba di sana kemarin, ribuan peziarah sudah memenuhi kompleks kubur Imam Ali bin Musa. Seorang pemandu wisata bilang saban hari liang lahat sang imam dikunjungi sekitar 200 ribu orang, seperti dilaporkan wartawan Albalad.co Faisal Assegaf dari Kota Masyhad, Iran.
Rasanya seperti dalam istana kristal. Pilar, dinding, dan langit-langit serba bening. Bahkan ada seorang peziarah bilang kompleks makam Imam Ali bin Musa lebih wah ketimbang Masjid Al-Haram di Kota Makkah, Arab Saudi.
Rombongan peserta peringatan haul ke-27 Imam Khomeini memang mendapat sambutan khusus sejak mendarat di bandar udara di Masyhad. Jejeran gadis berjilbab dan berabaya serba hitam di kiri dan kanan berdiri memberikan sebuah mawar merah kepada masing-masing peserta.
Di samping Qum, pusat teologi Syiah, kota berpenduduk sekitar tiga juta orang ini juga lokasi ziarah di Iran. Selain makam Imam Ali bin Musa Rida, sekitar sejam bermobil dari Masyhad terdapat kubur Imam Ghazali, penulis kitab masyhur Ihya Ulumuddin.
Sebelum berziarah ke makam Imam Ali bin Musa, kami dibawa melihat-lihat kebun raya terbesar kedua di Iran. Luasnya sekitar 160 hektare.
Sebagai tamu khusus, konvoi bus peserta hal ke-27 Imam Khomeini dari beragam negara langsung parkir di pintu masuk kompleks makam Imam Ali bin Musa. Bangunan khas Persia itu memiliki sejumlah pintu masuk dan seingat saya tiga pelataran.
Panitia penyambut - ada yang mengipas pakai kemoceng, memegang bakaran buhur terus mengepulkan asap, dan memompa teko minyak wangi - menyambut kedatangan kami. Panitia lalu mengarahkan kami ke dalam sebuah ruangan dan di sanalah para peziarah bersalawat dan meminta wasilah lewat Imam Ali bin Musa. Di tengah ritual ini, saya menyaksikan ada seorang peziarah menangis mengucurkan air mata sambil mendekap kedua wajahnya. Satunya lagi terisak-isak.
Selepas itu, kami dibawa memasuki ruang dalam tempat kubur Imam Ali berada. Di sinilah kepadatan amat terasa. Sepanjang jalan berdesak-desakan ke arah makam, saya melihat para peziarah khusyuk dengan ritual masing-masing. Ada yang bersalawat dan membaca Al-Quran, mirip tradisi kaum Sunni saat berziarah.
Saya mencoba mendekat ke arah makam, di atasnya tergantung lampu kristal mewah berwarna hijau. Namun saya memutuskan mundur ketika jarak dengan pagar kubur tinggal semeter lagi. Saya merasa tidak sanggup karena peziarah di pagar kubur tidak mau pindah, sedangkan yang dari belakang terus merangsek.
Di sinilah bedanya peziarah di Masyhad dengan di Najaf (makam Imam Ali bin Abi Thalib) dan Karbala (kubur Imam Husain bin Ali). "Kalau di Masyhad, mereka memegang pagar kubur dan tidak mau pergi, tapi di Najaf dan Karbala para peziarah cukup menyentuh pagar makam lalu pindah," kata Muhammad Najm, peziarah Syiah asal Kuwait. "Jadi Anda punya kesempatan mendekat ke arah makam."
Sehabis berziarah, kami diajak naik ke lantai dua menunggu datangnya salat zuhur. Di sinilah saya mulai melihat perbedaan antara Sunni dan Syiah. Saat azan berkumandang, setelah lafaz "Asyhadu anna Muhammadar rasulullah", ada tambahan "Asyhadu anna Aliyan hujjatullah".
Kami pun salat zuhur dan asar digabung. Saya tadinya ragu untuk ikut sebab saya Sunni dan tidak memahami tata cara salat orang Syiah. Karena tidak mau menjadi sorotan jamaah lainnya, saya pun ikut salat. Jumlah rakaat dan rukunnya sama.
Tapi saya tetap nggak sreg. Karena itu saya memutuskan tidak lanjut ikut salat asar dan mengganti kedua salat jamak itu di hotel.
Baru kali ini saya merasakan salat menjadi makmum Sunni diimami Syiah.
(Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar