"Saya dapat mengatakan budaya film di negara ini bisa berkembang dengan atau tanpa bioskop," kata produser film Muhanna Abdullah.
Dengan langkah mantap disertai senyum lebar, produser Faisal al-Utaibi, melangkah ke atas panggung buat menerima penghargaan Pohon Palem Emas untuk film "Pernikahan Agung". Tepuk tangan riuh hadirin mengiringi jejak kakinya.
Gambaran itu berlangsung dalam Festival Film Saudi digelar Februari lalu di Kota Damaam, sebelah timur negara itu. Ini adalah pagelaran film kedua disetujui pemerintah Arab Saudi, satu-satunya negara di dunia mengharamkan bioskop.
"Pembuatan film adalah mencoba hal baru, bereksperimen, dan pantang menyerah," kata Muhammad Baqir, salah satu anggota panitia festival. "Jadi kami tidak akan menyerah soal gagasan tentang perubahan. Tengoklah para pemenang dalam ajang itu."
Dua perempuan, Hana al-Umair dan Syahid Amin, adalah bintangnya. Umair menerima penghargaan untuk drama pendek dia bintangi berjudul "Keluhan", bercerita soal kehidupan menyedihkan seorang karyawan rumah sakit. Amin di posisi kedua dalam film "Mata dan Putri Duyung", kisah fantasi tentang seorang gadis mengetahui ayahnya menyiksa putri duyung buat mengambil permata hitam.
Segera setelah festival film itu berakhir, kecaman membanjiri Twitter. Kaum konservatif marah lantaran lelaki dan perempuan bukan muhrim berkumpul bareng.
"Saya tidak bilang perubahan akan mudah," ujar Baqir, 25 tahun. Dia pernah membikin dokumenter berjudul Nepal, menceritakan perjalanan sekelompok fotografer Saudi di pegunungan Himalaya.
Reaksi atas penyelenggaraan festival film di Dammam itu menggambarkan kontradiksi internal sekaligus ketegangan antar generasi, faktor membikin sulit memprediksi mengenai perubahan di negeri kerajaan ini.
Para pemimpin Saudi melarang bioskop pada 1980-an untuk menentramkan kaum Islam garis keras. Hanya satu bioskop Imax dibolehkan beroperasi di Kota Khobar untuk keperluan ilmu pengetahuan dan ongkos perjalanan.
Saudi membasmi film-film di televisi, Internet, dan bahkan tempat-tempat penyewaan kepingan video digital (DVD). Saluran-saluran televisi berbayar memang menyajikan film-film produksi Hollywood dan Bollywood, tentu dengan banyak sensor di sana sini.
Meski nihil bioskop, sekelompok lelaki Saudi bulan ini asyik menonton Fast and Furious 6 di sebuah kedai kopi di Dammam. Mereka menikmati film itu di televisi berlayar lebar sambil mengisap syisya beraroma tembakau.
Anehnya, Pangeran Al-Walid bin Talal, keponakan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz, adalah raja media. Dia pemilik Rotana, perusahaan patungan bareng 21st Century Fox kepunyaan Rupert Murdoch. Rotana memiliki beberapa stasiun radio, perusahaan rekaman, dan lebih dari selusin stasiun televisi. Salah satu yang terbesar di Timur Tengah.
Pangeran Al-Walid sangat tertarik dengan perkembangan perfilman di negaranya. Karena itu, dia ikut membikin film terbaik Saudi berjudul Wajda, berkisah soal perjuangan gadis Arab Saudi berumur sebelas tahun untuk memperoleh sepeda. Usahanya itu menghadapi ganjalan budaya dan masalah pribadi.
Saat dirilis pada 2012, Wajda menjadi film resmi pertama Arab Saudi dilombakan dalam Piala Oscar berkategori film berbahasa asing. Penghargaan bergengsi itu diterima oleh film produksi Iran "A Separation". Meski begitu, Wajda menjadi nominasi dalam penghargaan BAFTA di Inggris.
"Saya pikir Saudi tengah membuka diri dan ini kesempatan luas bagi orang-orang untuk menyebarkan konsep-konsep baru kepada masyarakat," tutur sutradara film Haifa al-Mansyur tiga tahun lalu kepada Screen Daily. "Saudi akan melewati perubahan sangat penting dalam sejarahnya."
Produser film Muhanna Abdullah, 42 tahun, tidak bisa mengira kapan bioskop boleh berdiri di Saudi. "Saya dapat mengatakan budaya film di negara ini bisa berkembang dengan atau tanpa bioskop," katanya. "Kami memiliki orang-orang membikin film, berbicara soal film, beradegan dalam film. Ini adalah generasi baru berbicara."
Tapi dia mengakui, "Akan lebih enak jika dapat pergi ke bioskop ketimbang harus terbang ke Bahrain atau Dubai (buat menonton di bioskop)."
(Washington-Post/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS
Sebuah adegan dalam film berjudul Wajda bikinan Arab Saudi dan dirilis pada 2012. (Foto: haaretz.com)
Dengan langkah mantap disertai senyum lebar, produser Faisal al-Utaibi, melangkah ke atas panggung buat menerima penghargaan Pohon Palem Emas untuk film "Pernikahan Agung". Tepuk tangan riuh hadirin mengiringi jejak kakinya.
Gambaran itu berlangsung dalam Festival Film Saudi digelar Februari lalu di Kota Damaam, sebelah timur negara itu. Ini adalah pagelaran film kedua disetujui pemerintah Arab Saudi, satu-satunya negara di dunia mengharamkan bioskop.
"Pembuatan film adalah mencoba hal baru, bereksperimen, dan pantang menyerah," kata Muhammad Baqir, salah satu anggota panitia festival. "Jadi kami tidak akan menyerah soal gagasan tentang perubahan. Tengoklah para pemenang dalam ajang itu."
Dua perempuan, Hana al-Umair dan Syahid Amin, adalah bintangnya. Umair menerima penghargaan untuk drama pendek dia bintangi berjudul "Keluhan", bercerita soal kehidupan menyedihkan seorang karyawan rumah sakit. Amin di posisi kedua dalam film "Mata dan Putri Duyung", kisah fantasi tentang seorang gadis mengetahui ayahnya menyiksa putri duyung buat mengambil permata hitam.
Segera setelah festival film itu berakhir, kecaman membanjiri Twitter. Kaum konservatif marah lantaran lelaki dan perempuan bukan muhrim berkumpul bareng.
"Saya tidak bilang perubahan akan mudah," ujar Baqir, 25 tahun. Dia pernah membikin dokumenter berjudul Nepal, menceritakan perjalanan sekelompok fotografer Saudi di pegunungan Himalaya.
Reaksi atas penyelenggaraan festival film di Dammam itu menggambarkan kontradiksi internal sekaligus ketegangan antar generasi, faktor membikin sulit memprediksi mengenai perubahan di negeri kerajaan ini.
Para pemimpin Saudi melarang bioskop pada 1980-an untuk menentramkan kaum Islam garis keras. Hanya satu bioskop Imax dibolehkan beroperasi di Kota Khobar untuk keperluan ilmu pengetahuan dan ongkos perjalanan.
Saudi membasmi film-film di televisi, Internet, dan bahkan tempat-tempat penyewaan kepingan video digital (DVD). Saluran-saluran televisi berbayar memang menyajikan film-film produksi Hollywood dan Bollywood, tentu dengan banyak sensor di sana sini.
Meski nihil bioskop, sekelompok lelaki Saudi bulan ini asyik menonton Fast and Furious 6 di sebuah kedai kopi di Dammam. Mereka menikmati film itu di televisi berlayar lebar sambil mengisap syisya beraroma tembakau.
Anehnya, Pangeran Al-Walid bin Talal, keponakan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz, adalah raja media. Dia pemilik Rotana, perusahaan patungan bareng 21st Century Fox kepunyaan Rupert Murdoch. Rotana memiliki beberapa stasiun radio, perusahaan rekaman, dan lebih dari selusin stasiun televisi. Salah satu yang terbesar di Timur Tengah.
Pangeran Al-Walid sangat tertarik dengan perkembangan perfilman di negaranya. Karena itu, dia ikut membikin film terbaik Saudi berjudul Wajda, berkisah soal perjuangan gadis Arab Saudi berumur sebelas tahun untuk memperoleh sepeda. Usahanya itu menghadapi ganjalan budaya dan masalah pribadi.
Saat dirilis pada 2012, Wajda menjadi film resmi pertama Arab Saudi dilombakan dalam Piala Oscar berkategori film berbahasa asing. Penghargaan bergengsi itu diterima oleh film produksi Iran "A Separation". Meski begitu, Wajda menjadi nominasi dalam penghargaan BAFTA di Inggris.
"Saya pikir Saudi tengah membuka diri dan ini kesempatan luas bagi orang-orang untuk menyebarkan konsep-konsep baru kepada masyarakat," tutur sutradara film Haifa al-Mansyur tiga tahun lalu kepada Screen Daily. "Saudi akan melewati perubahan sangat penting dalam sejarahnya."
Produser film Muhanna Abdullah, 42 tahun, tidak bisa mengira kapan bioskop boleh berdiri di Saudi. "Saya dapat mengatakan budaya film di negara ini bisa berkembang dengan atau tanpa bioskop," katanya. "Kami memiliki orang-orang membikin film, berbicara soal film, beradegan dalam film. Ini adalah generasi baru berbicara."
Tapi dia mengakui, "Akan lebih enak jika dapat pergi ke bioskop ketimbang harus terbang ke Bahrain atau Dubai (buat menonton di bioskop)."
(Washington-Post/Al-Balad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS
0 komentar:
Posting Komentar