Judul buku : Menjawab Dakwah Kaum Salafi
Penulis : Prof. Dr. Ali Jum’ah
Penerbit : Khatulistiwa Press
Cetakan : Pertama, Jumadil Awal 1434 H. / Februari 2013 M.
Abu Ubadah Nuruddin Ali bin Jum’ah bin Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salim bin Abdullah bin Sulaima , al-Azhari al-Syafi’I al-Asy’ari, yang masyhur dikenal dengan Syeikh Ali Jum’ah, lahir pada tanggal 7 Jumadal Akhir 1371 H. / 3 Maret 1952 M. di kota Bani Suwayf.
Ia terlahir dari keluarga terhormat. Ibunya adalah Fathiyah Hanim binti Ali bin ‘Id, seorang wanita yang dikenal dengan akhlaknya yang mulia. Adapun ayahnya Syeikh Jum’ah bin Muhammad, seorang ahli fikih lulusan Fakultas Hukum Universitas Kairo.
Semasa kecil, Ali Jum’ah mulai mendapatkan pelajaran di kota kelahirannya melalui bimbingan langsung dari kedua orang tuanya. Ali Jum’ah kecil, telah menunjukkan keseriusan mendalam untuk belajar ilmu-ilmu dasar agama. Selain itu, ia juga diajarkan prinsip-pinsip dasar akhlak dan kemuliaan diri.
Setelah menamatkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah, pada tahun 1966 ia melanjutkan ke jenjang Aliyah di Kairo, kemudian masuk ke Universitas Ainu Syams dan mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Perdagangan pada tahun 1973.
Setelah mendapatkan gelar sarjana, Ali Jum’ah masuk ke Universitas al-Azhar. Di sanalah ia memulai pengembaraan intelektualnya dalam bidang ilmu agama, hingga menghafal berbagai kitab ilmu-ilmu dasar, diantaranya; Tuhfatul Athfal, Alfiyah Ibnu Malik, Al-Rahabiyah, Al-Ghayah wa al-Taqrib, Al-Mandzumah al-Bayquniyah, dibawah bimbingan langsung Syeikh Abdullah bin Siddiq al-Ghumari, Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Syeikh Muhamamd Abunnur Zuhair, Syeikh Jadurrabi Ramadhan Jum`ah, Syeikh Abdul Jalil al-Qaransyawi al-Maliki, Syeikh Abdul Aziz al-Zayyat, dan sejumlah Ulama lainnya yang diakui kefaqihannya di kalangan umat Islam, khususnya di lingkungan Universitas Al Azhar.
Tidak sampai disitu, setelah menamatkan pendidikan sarjana, ia melanjutkan ke tingkat pascasarjana dengan konsentrasi kajian Usul Fiqih hingga mendapat gelar Master pada tahun 1985. Kemudian mendapat gelar Doktor pada bidang yang sama pada tahun 1988 dengan peringkat summa cumlaude. Pada tahun 2003-2013, ia dipercaya menjadi Mufti Agung Republik Arab Mesir, dan hingga saat ini juga menjadi rujukan agama dalam Madzhab Sunni, terutama sekali bagaimana menghidupkan semangat persatuan diantara Madzhab dan kelompok-kelompok Islam.
Al-Mutasyaddiduun Manhajuhum wa Munaaqasyatu Ahummi Qhaadayaahum, yang dialih bahasakan “Menjawab Da’wah Kaum ‘Salafi’” oleh Abdul Ghafur adalah diantara karya intelektualnya yang sangat representatif untuk dijadikan rujukan ilmiah dalam membangun ukhuwah Islamiyah dan membantah pemahaman kaum yang mengatasnamakan dirinya “Salafi”, terutama kebiasaan memvonis, menghujat dan melabelisasi kelompok muslim lain yang berbeda pemahaman sebagai kafir, sesat, dan pelaku bid’ah tanpa disertai kajian menyeluruh terhadap literatur Islam yang otoritatif, bahkan cenderung merujuk kepada fatwa “Ulama” yang tidak diakui otoritasnya oleh kelompok Ahlusunnah kebanyakan.
“Kaum ‘Salafi’ Ekstrim berpegang teguh dengan beberapa masalah yang sebenarnya tidak mewakili mayoritas umat (Islam). Lagi pula, semua masalah tersebut bersifat furu’iyyah (cabang). Ironisnya, mereka justru menjadikannya sebagai barometer pengelompokkan kaum muslimin, kemudian meneriakkan kepada seluruh masyarakat bahwa masalah itu sudah punya rumusan pasti dan tidak ada pertentangan di dalamnya. Tidak kalah anehnya, mereka juga mengklaim bahwa kebenaran hanya ada di tangan mereka. Orang yang mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan mereka akan diklaim sebagai pemberontak, fasik dan menyimpang, …” (Hal. 18)
Tentang Persatuan Umat
Prof. Dr. Ali Jum’ah adalah diantara ulama yang hadir pada penandatanganan Risalah Amman pada tanggal 9 November 2004. Risalah Amman adalah sebuah deklarasi yang memuat seruan Toleransi dan Persatuan dalam tubuh umat Islam yang dihadiri oleh 500 lebih ulama dan umara dari 83 Negara.
Petikan Deklarasi Amman:
Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali),dua mazhab Syiah (Ja’fari danZaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan. Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti akidah Asy’ari atau siapa saja yang mengamalkan tasawuf (sufisme). Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti pemikiran Salafi yang sejati. Sejalan dengan itu, tidak diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada Allah, mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (saw) dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam.
Ada jauh lebih banyak kesamaan dalam mazhab-mazhab Islam dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Para pengikut kedelapan mazhab Islam yang telah disebutkan di atas semuanya sepakat dalam prinsip prinsip utama Islam. Semua mazhab yang disebut di atas percaya pada satu Allah yang Mahaesa dan Makakuasa; percaya pada al-Qur’an sebagai wahyu Allah; dan bahwa Baginda Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul untuk seluruh manusia. Semua sepakat pada lima rukun Islam: dua kalimat syahadat (syahadatayn); kewajiban shalat; zakat; puasa di bulan Ramadhan, dan Haji ke Baitullah di Mekkah. Semua percaya pada dasar-dasar akidah Islam: kepercayaan pada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk dari sisi Allah. Perbedaan di antara ulama kedelapan mazhab Islam tersebut hanya menyangkut masalah-masalah cabang agama (furu’) dan tidak menyangkut prinsip-prinsip dasar (ushul) Islam. Perbedaan pada masalah-masalah cabang agama tersebut adalah rahmat Ilahi. Sejak dahulu dikatakan bahwa keragaman pendapat di antara ulama adalah hal yang baik.
Mengakui kedelapan mazhab dalam Islam tersebut berarti bahwa mengikuti suatu metodologi dasar dalam mengeluarkan fatwa: tidak ada orang yang berhak mengeluarkan fatwa tanpa keahlihan pribadi khusus yang telah ditentukan oleh masing-masing mazhab bagi para pengikutnya. Tidak ada orang yang boleh mengeluarkan fatwa tanpa mengikuti metodologi yang telah ditentukan oleh mazhab-mazhab Islam tersebut di atas. Tidak ada orang yang boleh mengklaim untuk melakukan ijtihad mutlak dan menciptakan mazhab baru atau mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak bisa diterima hingga membawa umat Islam keluar dari prinsip-prinsip dan kepastian-kepastian Syariah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh masing-masing mazhab yang telah disebut di atas.
Esensi Risalah Amman, yang ditetapkan pada Malam Lailatul Qadar tahun 1425 H. dan dideklarasikan dengan suara lantang di Masjid Al-Hasyimiyyin, adalah kepatuhan dan ketaatan pada mazhab-mazhab Islam dan metodologi utama yang telah ditetapkan oleh masing-masing mazhab tersebut. Mengikuti tiap-tiap mazhab tersebut di atas dan meneguhkan penyelenggaraan diskusi serta pertemuan di antara para penganutnya dapat memastikan sikap adil, moderat, saling memaafkan, saling menyayangi, dan mendorong dialog dengan umat-umat lain.
Kami semua mengajak seluruh umat untuk membuang segenap perbedaan di antara sesama Muslim dan menyatukan kata dan sikap mereka; menegaskan kembali sikap saling menghargai; memperkuat sikap saling mendukung di antara bangsa-bangsa dan negara-negara umat Islam; memperkukuh tali persaudaraan yang menyatukan mereka dalam saling cinta di jalan Allah. Dan kita mengajak seluruh Muslim untuk tidak membiarkan pertikaian di antara sesama Muslim dan tidak membiarkan pihak-pihak asing mengganggu hubungan di antara mereka.
Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Maka damaikanlah hubungan di antara saudara-saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah sehingga kalian mendapat rahmat-Nya.” (Al-Hujurat[49] : 10)
Sekilas Isi Buku
Meski telah diurai panjang lebar betapa pentingnya mengedepankan kearifan dalam melihat perbedaan diantara madzhab dan kelompok dalam Islam, bahwa perbedaan yang ada lebih hanya terdapat pada persoalan yang bersifat furu’iyah, namun kalangan ekstrim salafi tetap saja ingin memandang selain mereka adalah sesat, mengkafirkan dan mengharamkan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ‘titah’ kelompoknya.
Dengan kefaqihan dan keluasan ilmunya, Syeikh Ali Jum’ah mengurai secara rinci lemahnya dalil yang digunakan oleh Salafi ekstrim dalam membangun keimanan terhadap ajaran Islam yang kemudian dijadikan hujjah untuk menghakimi kelompok lain yang berbeda dengannya.
Buku ini didahului dengan ulasan panjang tentang makna sesungguhnya Salafi, akar kesejarahannya, benang merah Salafi dan Wahabi, bagaimana maknanya dirampas oleh sekelompok orang dengan membingkainya pada ruang yang sempit dan kaku untuk kemudian mengindetikkan diri sebagai pengikut salaf sebenarnya, dan usaha keras Syeikh Ali Jum’ah untuk mengajak kaum muslimin bagaimana seharusnya menempatkan makna salafi secara proporsional dan melihat perselisihan diantara salaf dan generasi sesudahnya dalam bingkai ukhuwah Islamiah.
“Salafiyah (pengikut salaf) tiada lain adalah gelar atau bentuk umum bagi seluruh kaum muslimin, yaitu kepada setiap orang yang mencontoh perilaku, mengambil ilmu mereka (salaf) dan berusaha mempraktekkannya secara benar. Berangkat dari itu, maka boleh-boleh saja bagi yang mengikuti manhaj salaf berselisih pendapat selama dalam naungan yang satu. Dengan alasan itu pula adalah wajar bila ada seseorang setelah mereka berbeda pendapat di bawah naungan manhaj yang sama..” (Hal. 6-7)
Bagaimanapun di kalangan salaf tidaklah berada dalam satu pemahaman yang sama. Mereka pun banyak berbeda pendapat di dalam masalah furu’ hingga bermuarah pada hukum yang bersifat amali, maupun masalah akidah (furu’iiyah) yang melahirkan munculnya madzhab kalam. Bercermin dari ini, maka tidaklah tepat bahwa hukum masalah furu’iiyah yang benar itu adalah kalangan salaf dengan hanya merujuknya pada personifikasi salaf tertentu, dengan tanpa mempertimbangkan seorang salaf lain yang berbeda dengannya.
Pada bab berikutnya, Syeikh Ali Jum’ah menyoal 17 persoalan terhadap pandangan salafi ekstrim:
1. Mensifati Allah dengan ruang;
2. Menghina pengikut madzhab Asy’ariyah;
3. Mengingkari praktek taklid dalam madzhab fiqih yang empat;
4. Lancang mengobral fatwa tanpa didasari keahlian dan ketentuan;
5. Memperluas pemahaman bid’ah, yang berakibat pada kecendrungan membid’ahkan praktek ibadah yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin;
6. Mengharamkan tawasul kepada Rasulullah saw, dengan memandangnya sebagai perbuatan syirik kepada Allah;
7. Mengharamkan shalat di mesjid yang didalamnya terdapat makam, dan memerintahkan untuk membongkarnya;
8. Menganggap tabarruk (mengambil berkah) dengan atsar peninggalan Nabi saw. dan orang saleh lainnya sebagai termasuk perbuatan syirik kepada Allah;
9. Mengharamkan peringatan maulid Nabi Muhammad dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah;
10. Mengharamkan safar (perjalanan) untuk menziarahi makam Rasulullah saw., dan juga makam-makam Nabi yang lain, maupun orang-orang shaleh lainnya;
11. Menuduh orang yang mengharapkan sesuatu dengan berkata ‘demi Nabi saw.’ sebagai tindakan syirik kecil;
12. Mengklaim kedua orangtua Rasulullas saw. sebagai ahli Neraka di hari kiamat kelak;
13. Mengingkari adanya perasaan apa-apa terhadap orang yang telah meninggal dunia disaat mengziarahi kuburannya;
14. Mengingkari berbagaimacam zikir dan wirid;
15. Memandang biji tasbih sebagai bid’ah;
16. Berpedoman pada penampilan lahir, dan menjadikan bentuk pakaian tertentu sebagai bagian dari ibadah;
17. Berdakwah tanpa bekal yang cukup, dan mencampuradukkan antara nasehat dan ilmu.
Kini, dengan meningkatnya eskalasi gerakan dakwah ekstrim salafi telah semakin menciptakan prahara dan keresahan massif di tengah kerukunan umat Islam. Bahkan tidak lagi hanya melemahkan simpul persatuan umat namun telah sampai pada merusak pondasi agama yang telah menjadi konsensus bersama.
Karenanya sudah menjadi kewajiban bagi semua untuk terus melawan gerakan ini dan menggunakan segala upaya untuk mengeluarkan umat dari cengkraman ajaran esktrim salafi, sebab fenomena ini tidak hanya membahayakan Islam dan generasi umat Islam, tetapi bahkan merusak diri mereka sendiri.
“Mereka menyibukkan kaum muslimin dengan persoalan Furu’iyah dan Khilafiyah, sekalipun mayoritas pendapat mereka hanyalah dalil lemah, bahkan cacat…” (Hal. 18)
Tentang Buku Ini
Setelah membaca halaman demi halaman didalamnya, hingga membuat saya larut tenggelam dalam kekaguman, kemudian diminta untuk menyampaikan pandangan kritis terhadapnya, jujur mengakui bahwa saya merasa kebingungan dari sisi mana saya harus melakukannya. Selain karena terbatasnya wawasan pengetahuan saya juga dikarenakan waktu yang diberikan untuk menela’ah sangat singkat. Ditambah karena buku ini adalah karya intelektual dari seorang arif yang sangat dikangumi kefaqihannya, terutama dalam khasanah pemikiran Islam. Akan tetapi, demi melengkapi tulisan ini sebagai sebuah resensi utuh, beberapa hal yang ingin saya sorot di dalamnya. Pertama, tidak dimasukkannya tradisi filsafat dan tasawwuf sebagai khasana pemikiran yang berterima di mayoritas madzhab Ahlu Sunnah yang juga mendapat label sesat dari salafi ekstrim terasa kurang melengkapi kajian buku ini. Kedua, dengan transformasi gerakan salafi ekstrim yang telah mulai berinteraksi dengan komunitas masyarakat kebanyakan di beberapa Negara, sebut saja misalnya Wahda Islamiah di Indonesia yang secara tegas mendasarkan diri dengan manhaj Salafi Wahabi ‘memaksa’ kajian buku ini untuk mengklarifikasi dan merevisi sejumlah informasi yang disampaikan di dalamnya. Bagaimanapun objektifitas dan akuritas sebuah fakta ketika digeneralisasi harus mampu merepresentasikan seluruh yang dimasukkan didalamnya, meski mungkin Syeikh Ali Jum’ah ketika mengurai data yang disajikan tidak memaksudkan pada perkembangan transformasi gerakan Salafi Wahabi di sebuah wilayah tertentu. Ketiga, khusus kepada penerjemah, bagaimana semua simpul-simpul kata yang digunakan terangkai menjadi sebuah kalimat utuh demi menghindari kesalahapahaman pada maksud yang mungkin sebenarnya ingin disampaikan oleh Syeikh Ali Jum’ah,
Lagi-lagi, Terlepas dari kritik diatas, usaha yang disuguhkan penulis dan semangat tulus sang penerjemah untuk mengetengahkan alam raya pemikiran Syeikh Ali Jum’ah untuk membangunkan umat dari lena panjang dalam pertikaian yang tak berkesudahan ini adalah langkah yang sangat patut mendapat apresiasi mendalam. Bagaimanapun menampilkan gagasan seorang tokoh sekualitas Syeikh Ali Jum’ah ke dalam sebuah buku terjemah menunjukkan kecakapan berbahasa, keluasan wawasan, dan keakraban sang penerjemah terhadap pemikaran Syeikh Ali Jum’ah.
Akhirnya, menyadari besarnya manfaat buku ini, maka dengan panggilan jujur mengajak para pembaca budiman untuk menela’ahnya secara seksama. Kiranya buku ini, paling tidak dapat dijadikan perahu kecil untuk mengapung di permukaan dan melihat-melihat keluasan pemikiran Syeikh Ali Jum’ah , sebelum akhirnya menyelam ke kedalaman samudra pemikirannya melalui orisinilitas sumbernya yang pertama.
Sabda Nabi saw: “Sesiapa yang mengajarkan bab petunjuk, maka baginya pahala dari setiap pahala orang yang mengamalkannya, dan pahala orang yang mengamalkannya tidak berkurang sedikitpun.” (H.R. Muslim: 1390)
(ABI-Press/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar