Catatan Mr. Hempher, Seorang Mata-mata Inggris di Negara-negara Islam
Catatan Mr. Hempher, Seorang Mata-mata Inggris di Negara-negara Islam
Kerajaan Britania Raya, sejak dari masa lampau dan dalam waktu yang panjang telah memikirkan tentang kelanggengan imperatur dengan kekuasaan yang luas dan besar, sebagaimana keadaannya sekarang dari timur sampai barat. Dulu negara kami kecil dibandingkan negara-negara jajahan yang kami kuasai sekarang, di India, Cina, Timur Tengah dan lainnya. Kami akui bahwa kami tidak pernah berkuasa secara nyata atas bagian-bagian besar dari negara-negara tersebut, sebab kekuasaan yang nyata berada di tangan para pemiliknya. Hanya saja politik kami di dalam negara-negara itu mengalami kesuksesan dan berpengaruh.
Dan di tangan kamilah jatuhnya negara-negara itu secara menyeluruh, dan yang harus kami tempuh ialah memecahkan dua langkah di bawah ini:
1. Bagaimana melestarikan kekuasaan kami dengan kekuasaan yang seutuhnya dan sesungguhnya.
2. Bagaimana menyempurnakan secara nyata kekuasaan kami yang masih belum sempurna menjadi otoritas dan jajahan kami.
Untuk mempelajari masalah yang penting ini, aku memasuki perwakilan di setiap bidang dan komisi di jajahan-jajahan kami. Dan aku sendiri sejak kami memasuki perwakilan ini mendapatkan sambutan yang baik, dipercaya oleh perdana mentri (India). Ia menyerahkan amanat yang penting (sebuah perserikatan di wilayah Timur India) kepadaku, yang mana kepentingan kami secara lahir terletak pada murni perniagaan, dan secara batin menguatkan tali-tali kekuasaan kami atas India. Yang kemudian membuka jalan bagi kami sampai pada wilayah-wilayah yang luas seluas benua.
Pemerintahan kami di India menjadi kuat, melihat bermacam-macamnya kaum, agama, bahasa yang berbeda-beda dan adanya perselisihan-perselisihan. Sebagaimana pemerintahan kami di Cina, melihat adanya agama Budha dan Konghucu yang menjadi mayoritas di negara ini, tidak pernah mengkhawatirkan kami dengan tegaknya dua agama tersebut. Sebab dua keyakinan ini adalah dua agama yang mati, yang hanya menyibukkan diri dengan masalah-masalah kerohaniaan dan mengesampingkan sisi kehidupan dunia. Maka jauhlah bila dalam hati mereka tertanam cinta tanah air.
Oleh karena itu dua keyakinan ini tidak mengkhawatirkan bagi pemerintahan Britania Raya. Jelas, kami tidak akan pernah lupa akan perkembangan dan kemajuan di masa datang, dan untuk itu telah kami persiapkan langkah-langkah panjang dan tetap untuk penguasaan kami dari perpecahan, kebodohan, kemiskinan dan bisa juga masalah penyakit. Dan kami tidak merasakan kesulitan dalam memenuhi niat-niat kami dengan topeng penyerupaan yang sama dengan mereka di negara ini, menyilaukan di luar dan kokoh dalam kenyataan. Kami lakukan itu mempraktekkan pepatah Budha kuno “Tinggalkan orang sakit, ia akan merasakan cintanya pada obat meskipun rasanya pahit”
Tetapi yang mengganggu pikiran kami adalah negara-negara Islam. Kalaupun kami telah mengadakan kesepakatan dengan seorang laki yang sakit (yang dimaksud adalah imperatur usmaniyah), maka beberapa perjanjian di dalamnya menguntungkan kami. Dan menurut pengamatan para ahli informasi perwakilan negara-negara jajahan kami, bahwa ‘orang laki’ itu akan mengakhiri dirinya kurang dari satu abad. Kami juga telah mengadakan kesepakatan dengan pemerintahan Parsi secara rahasia, dengan beberapa perjanjian.
Dan kami telah menaruh beberapa mata-mata dan pekerja kami di dua negara ini, di samping penyuapan, hasrat yang buruk dan sibuknya para pemerintah bermain perempuan-perempuan cantik, telah merebah dipermukaan dua negri ini. Tetapi kami masih belum puas dengan hasil-hasil yang tampak, dikarenakan beberapa sebab:
1. Kekuatan Islam ada dalam jiwa-jiwa para penganutnya, karena seorang laki yang muslim berpegang pada Islam dengan segala kekeuatannya, sehingga anda lihat bahwa Islam bagi jiwa seorang muslim kedudukannya seperti ajaran Kristen dalam jiwa-jiwa para pendeta, dan jiwa-jiwa mereka melebur dalam ajaran Kristen. Sedangkan kaum muslimin di negara Parsi (kaum Syi’ah) lebih berbahaya, di mana mereka melihat kaum Nasrani adalah kafir dan najis. Seorang nasrani dalam pandangan orang syiah, adalah najis. Kedudukannya seperti kotoran busuk yang ada di tangan kami dan harus dihilangkan dari tangan mereka. Pernah aku tanyakan pada salah seorang dari mereka: “Kenapa kalian memandang demikian terhadap seorang kristen?”
“Sesungguhnya Nabi Islam adalah seorang laki yang bijak. Beliau ingin membatasi setiap orang kafir dengan tekanan etika supaya merasa resah dan takut, dan agar menjadi salah satu faktor hidayah baginya kepada Allah dan memilih agama yang benar. Sebagaimana suatu pemerintahan jika merasakan bahaya dari seseorang, maka pemerintah akan membatasi orang itu dengan suatu pembatasan supaya ia kembali taat dan patuh. Dan mengenai najis yang anda singgung tadi adalah najis maknawi bukan najis materi dan lahiriyah, dan itu tidak hanya berlaku pada kaum masehi saja tetapi meliputi semua orang yang kafir, termasuk kaum majusi yang menjadi agama orang-orang Parsi kuno, mereka najis menurut Islam” jelasanya.
Aku berkata padanya, “Baiklah! Tetapi kenapa orang-orang kristen najis sedangkan mereka mengimani Allah, kerasulan dan hari kebangkitan?” Ia berkata, “Dikarenakan dua perkara: pertama, mereka mengingkari Nabi kami (Muhammad saw), kalian mengatakan bahwa Muhammad adalah pembohong. Dan kami dalam pandang itu adalah pencelaan, maka kami katakan kepada mereka: “Wahai orang-orang kristen! Kalian adalah najis, sebagaimana dalil akal yang bijak menyatakan bahwa “Barangsiapa yang telah menyakitimu maka anda boleh menyakitinya”. Kedua, mereka menuduh para Nabi Allah dengan tuduhan yang tak pantas, seperti pernyataan bahwa: “Isa al-Masih pernah minum khamar dan ia dikutuk lantaran menggantung di atas kayu”. Aku bantah ia dengan mengatakan: “Orang-orang kristen tidak mengatakan demikian?”. Ia berkata, “Anda tidak tahu bahwa di dalam kitab suci mereka mengatakan demikian!”. Aku terdiam, dan yakin bahwa orang laki itu berdusta soal perkara yang kedua, walaupun ia benar pada perkara yang pertama. Dan aku tidak pernah ingin berdebat panjang dengannya, karena aku takut diriku terpengaruh sehingga ragu. “Ketika aku berada di atribut Islami, aku selalu menjauhi keadaan yang tersudutkan”.
2. Islam pernah pada suatu hari adalah agama kehidupan dan kekuasaan, dan yang memberatkan ialah anda harus mengatakan kepada para pemimpin kalian bahwa “kalian adalah para budak”, sebab semangat kepemimpinan mendorong manusia pada kepercayaan yang tinggi meskipun keadaannya lemah dan terbelakang. Sedangkan kami tidak pernah mampu merubah sejarah Islam, supaya kami dapat menyampaikan kepada kaum muslimin bahwa kepemimpinan yang mereka anut adalah kepemimpinan yang menciptakan kondisi-kondisi khusus yang memalingkan dari kebenaran.
3. Kami tidak merasa tenang dengan bangkitnya kesadaran dalam jiwa-jiwa “keluarga ‘Utsman” dan para ulama Iran, yang menggagalkan langkah-langkah kami dalam memperoleh kekuasaan. Menurut pengamatan kami, memang benar bahwa dua pemerintahan ini telah mengalami kelemahan yang cukup besar, kecuali adanya sebuah basis pemerintahan yang memimpin umat, yang mana tampuk kepemimpinan, harat dan senjata ada di tangannya, membuat manusia resah.
4. Kami sangat gelisah dengan keberadaan ulama Islam antara lain: ulama Azhar (Mesir), ulama Iraq dan ulama Iran. Mereka betul-betul telah menghalangi langkah-langkah kami, mereka ini adalah orang-orang yang sangat bodoh tentang prinsip-prinsip kehidupan masa kini. Yang mereka angan-angankan hanyalah surga yang dijanjikan dalam al-Qur`an.
Mereka tidak akan menyerahkan prinsip-prinsip mereka sedikitpun. Rakyat mengikuti mereka sedangkan seorang raja merasa takut seperti tikus yang takut dengan kucing. Memang benar bahwa kaum Ahlus sunnah sangat sedikit mengikuti ulama mereka, mereka mengikuti antara seorang raja dan seorang syeikh Islam.
Sedangkan kaum Syi’ah sangat berpegang pada kepemimpinan ulama, karena mereka hanya mau dipimpin oleh seorang alim dan tidak percaya kepada seorang raja. Namun adanya perbedaan dua kelompok ini tidak cukup meringankan kegelisahan kami sedikitpun, kegelisahan yang mencekam perwakilan negara-negara jajahan bahkan para pemerintah Britania Raya.
Kami sudah mengadakan berbagai mu`tamar untuk memecahkan problem-problem yang meresahkan ini, namun pada setiap kesempatan kami tetap tidak menemukan jalan keluar. Sementara perkiraan-perkiraan yang sudah kami susun dengan rapi melalui para pekerja dan mata-mata kami, telah merusak harapan kami. Hasilnya nol bahkan di bawah nol. Tetapi kami tetap tidak pernah putus asa, selama kami bisa bernafas kami tetap bersabar yang tiada batas.
Pasukan Ibn Saud
Aku jadi teringat, pada suatu kesempatan kami mengadakan sebuah mu`tamar yang dihadiri perdana mentri, para pendeta dan beberapa perwakilan. Jumlah anggota kami saat itu dua puluh orang. Dalam muktamar itu terjadi perdebatan yang memakan waktu lebih dari tiga jam, dan selesai tanpa membuahkan hasil satu masalah pun. Seorang pendeta berkata: “Kalian jangan bingung, Isa al-Masih tidak pernah mencapai suatu keputusan kecuali setelah tiga ratus tahun ia bangkit, terusir dan terbunuh bersama para pengikutnya. Semoga Al-Masih melihat kita dari langit dan mengkaruniakan kita musnahnya orang-orang kafir dari basis-basis mereka, meskipun setelah tiga ratus tahun. Kita harus bersenjatakan iman yang kokoh dan kesabaran yang panjang, dan kita harus mengambil semua sarana dan jalan untuk kekuasaan dan menyebarkanj agama Masehi di tempat-tempat yang subur dengan orang-orang Islam, walaupun misalnya berhasil setelah beberapa abad. Sesungguhnya nenek moyang kita dahulu menanamkan berita-berita”
Di kesempatan lain, sebuah muktamar antar perwakilan yang dihadiri oleh para tokoh dari Britania, Perancis dan Rusia. Pertemuan saat itu menjadi sebuah muktamar tingkat tertinggi, karena yang hadir terdiri dari lembaga-lembaga diplomasi dan tokoh-tokoh agama. Dan di waktu itu aku bernasib baik, aku hadir muktamar itu lantaran hubunganku yang erat dengan perdana mentri. Para peserta muktamar dengan sempurna memaparkan problem-problem orang-orang Islam. Mereka menerangkan tentang cara-cara memporak-porandakan mereka, dan mengikis keyakinan mereka dan merusak iman mereka. Seperti kembalinya Spanyol pada keyakinan semula setelah berperang dengan orang-orang Islam yang barbar selama beberapa abad. Tetapi hasilnya tetap belum memuaskan, dan aku catat setiap perdebatan di dalam muktamar ini dalam buku catatanku (disaksikan al-Masih di langit).
Kesulitan kami ialah mencabut akar-akar pohon yang mengakar di Timur dan Barat Bumi. Tetapi manusia diharuskan menaklukkan kesulitan-kesulitan betapapun kadarnya. Dan sesungguhnya ajaran kristen tidak turun kecuali agar menyebar dan kami sudah berjanji dengan al-Masih sendiri. Adapun Muhammad akan mengalami kondisi kemunduran di Timur dan Barat. Dan akhirnya ia akan terpalingkan dan pengikutnya musnah bersamanya. Kami yakin bahwa suatu saat akan terbalik, para pengikut Muhammad akan jatuh sedangkan negri penganut al-Masih akan terangkat. Karena itu sekaranglah waktunya untuk membalas dan mengembalikan apa-apa yang hilang selama berabad-abad. Ialah pemerintahan kontemporer yang kokoh, yakni Britania Raya yang pada gilirannya akan berkuasa.
Ibn Saud Family
Pada tahun 1710 M, perwakilan negara-negara jajahan telah mengutusku ke Mesir, Iraq, Tehran, Hijaz dan Astana untuk mengumpulkan dokumen-dokumen lengkap yang akan memberi jalan keluar bagi kami untuk memporak-porandakan kaum muslimin dan meluaskan kekuasaan kami di atas negri-negri Islam. Pada waktu yang sama perwakilan mengutus sembilan pejabat yang terpilih, berjiwa patriot, disiplin dan pemberani. Mereka diutus untuk kekuasaan pemerintah ke selururuh bagian-bagian imperatur dan semua negara Islam. Kami dibekali harta yang cukup oleh perwakilan, maklumat yang diperlukan, peta-peta yang memadai dan nama-nama para hakim, ulama dan tokoh-tokoh tiap suku. Dan aku tidak senang dengan ucapan sekretaris di saat perpisahan ‘dengan nama al-Masih’, yang mengatakan: “Masa depan negri kita bergantung pada keberhasilan kalian, karena itu berjuanglah dengan sekuat tenaga kalian agar kalian berhasil”.
Ibn Saud Family
Maka aku berangkat menuju Astana sebuah basis khilafah Islam. Di sana ada beberapa pekerjaan pentingku sekaligus, ialah belajar bahasa Turki, bahasa kaum muslimin di sana. Di london aku pernah belajar tiga bahasa Turki, Arab (bahasa al-Qur`an) dan Parsi (bahasa pahlevi dan rakyat Iran). Namun belajar bahasa adalah sebuah perkara, sedangkan menguasai bahasa sampai batas mampu berbicara dengan bahasa suatu bangsa adalah perkara lain. Di mana perkara yang pertama tidak membutuhkan masa yang lama sedangkan perkara yang kedua lebih jauh lama lagi. Aku belajar bahasa dengan sedetailnya sehingga orang lain tidak menyangka asalku.
Tetapi aku tidak khawatir dengan masalah itu, sebab kaum muslimin mempunyai jiwa toleransi, lapang dada dan baik sangka, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi mereka. Jadi keraguan mereka tidaklah sama dengan keraguan yang ada pada kami. Di sisi lain, pemerintahan Turki belum sampai pada tahap yang berkemampuan untuk mengungkap mata-mata dan pekerja kami. Dan yang menyenangkan kami bahwa Turki adalah pemerintahan yang pasif dan tak serius.
Setelah perjalananku itu, kini aku sampai di Astana. Di sana aku punya nama Muhammad, dan aku harus pergi masjid (tempat ibadah kaum muslimin). Aku harus disiplin, rapi, bersih dan menjadi hamba yang taat sebagaimana yang mereka lakukan. Terlintas dalam benakku: “Mengapa kami memerangi mereka sebagai umat manusia? Mengapa kami berbuat mencerai-beraikan mereka dan mengambil apa yang mereka miliki? Inikah yang diajarkan al-Masih?”. Aku cepat-cepat kuasai diriku dan menghindar pikiran setan ini. Ku tuang minuman ke dalam gelas dan kuminum.
Di sana aku bertemu dengan seorang syeikh yang alim namanya, Ahmad Afandam. Dia orang baik, penyabar, tulus dan cinta kebaikan. Aku tidak menemukan orang baik sepertinya pada para pendeta kami. Dia selalu berusaha siang malamnya mencontoh dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad. Dan dia selalu menjadikan Nabinya sebagai figur yang luhur. Setiap disebut nama Nabinya maka tergenang air matanya. Mujur nasibku karena ia tidak pernah -sepatahpun- menanyakan di mana aku berasal dan apa bangsaku. Dia memanggilku dengan nama ‘Muhammad Afandi’. Dia selalu mengajariku, bila aku bertanya dia menjawab. Dia selalu menyambutku dan besar perhatiannya terhadapku, karena menyadari bahwa aku adalah tamu di negrinya. Aki datang untuk bekerja dan sebagai orang yang patuh di bawah naungan pemerintah, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad (ini yang aku jadikan alasan di Astana).
Pernah aku mengutarakan kepada Syeikh, “Aku seorang pemuda, ayah dan ibuku telah meninggal dan aku tak punya saudara. Mereka meninggalkan warisan kepadaku. Kemudian aku berfikir, aku bekerja dan belajar al-Qur`an dan sunnah. Maka aku mendatangi pusat Islam untuk memperoleh ilmu agama dan dunia”. Syeikh sangat gembira dan mendukung niatku itu. Lalu ia mengatakan kepadaku -dan aku mencatat kata-katanya-, “Wajib atas kami disebabkan beberapa hal:
1-Karena anda seorang muslim, dan antara muslimin adalah saudara.
2-Karena anda seorang tamu, dan Rasulullah saw bersabda, “Muliakanlah tamumu”.
3-Karena anda seorang penuntut ilmu dan Islam, dan memuliakan penuntut ilmu itu ditekankan.
4-Karena anda bermaksud bekerja, dan dalam hadis disebutkan bahwa “Orang yang bekerja adalah kekasih Allah”.
Sungguh aku takjub dengan keterangannya ini, dan aku katakan pada diriku, “andai saja orang-orang nasrani mempunyai jiwa mulia seperti ini”. Tetapi aku juga heran, bagaimana Islam yang begitu tinggi ini mengalami kelemahan dan terbelakang. Keadaan ini tentunya di tangan ulama yang su`, ulama yang bodoh akan kehidupan.
Kukatakan pada syeikh, “Aku ingin belajar al-Qur`an!”. Maka ia menyambutku dan mengajariku surat Hamdalah dan menafsirkan makna-maknanya. Aku mengalami kesulitan dalam melafazkan sebagian bacaannya dan terkadang saking sulitnya tak mampu kuatasi. Aku teringat, bacaan yang selalu kuulangi sampai berpuluh-puluh kali dalam seminggu ialah bacaan “wa ‘alâ imamim mimmam ma’ak”, tapi tetap aku tak bisa melafazkannya dengan benar. Dan syeikh mengatakan padaku, “Anda harus menguasai idghâm meskipun ada rentetan delapan huruf mim”. Aku membaca al-Qur`an mulai dari awal surat sampai khatam di hadapannya dalam masa dua tahun penuh. Dan ketika ia hendak mengajariku cara wudu, ia menyuruhku berwudu mengikuti ia berwudu, kemudian kami duduk menghadap kiblat.
Perlu aku sebutkan bahwa wudu menurut kaum muslimin, ialah membasuh dan mengusap. Cara mereka pertama, membasuh muka. Kedua, membasuh tangan yang kanan sampai sikut. Ketiga, membasuh tangan yang kiri sampai sikut. Keempat, mengusap kepala, telinga dan leher. Dan kelima, membasuh dua kaki. Mereka mengatakan dianjurkan sebelum wudu, berkumur dan menghirup air ke dalam hidung.
Dan aku sangat meragukan adanya anjuran miswâk, ialah sebuah amalan (kayu siwâk) yang mereka masukkan ke dalam mulut mereka untuk membersihkan gigi wudu. Dan aku yakin bahwa amalan ini merusak gigi dan mulut. Terkadang amalan ini melukai mulut dan mengeluarkan darah. Tetapi aku harus melakukannya, sebab menurut mereka adalah sunnah muakkadah dari Nabi mereka (Muhammad), dan mereka menyebutkan banyak manfaat dan keutamaan dari amalan ini.
Hari-hariku di Astana pada waktu itu, aku tidur di kamar penjaga masjid dan aku beri ia uang. Ia adalah orang yang berwatak fanatik, namanya Marwan Afandi, nama yang diambil dari salah satu nama sahabat Nabi Muhammad. Pembantu masjid itu bangga punya nama yang berkah itu. Ia pernah mengatakan padaku, “kalau anda punya anak laki namailah Marwan, sebab Marwan adalah seorang sahabat besar yang berjuang untuk Islam”.
Aku tinggal bersamanya, di mana ia selalu menyediakan untukku makanan. Dan tiap pada hari jum’at (hari besar kaum muslimin) aku libur bekerja. Adapun pada hari-hari biasa aku pergi bekerja sebagai tukang kayu. Gajiku kecil dan aku terima mingguan darinya. Dan bila aku bekerja di waktu pagi saja maka aku dapatkan separuh gaji. Juragan kayu itu bernama Khalid. Di waktu senggangnya ia banyak bicara tentang keutamaan Khalid bin Walid, sang pembuka Islam yang bersahabat dengan Nabi Muhammad dan mendapatkan nasib yang baik. Tetapi ia memisahkan diri ketika Umar bin Khathab menjabat khalifah.
Sedangkan Khalid si juragan kayu itu buruk perangainya dan sangat fanatik. Dan dia sangat percaya padaku, aku tak kenapa. Mungkin dia percaya lantaran aku penurut dan mendengarkan kata-katanya. Aku tak pernah aku membantahnya jika ia bicara soal agama atau bicara soal tokonya. Dan ketika ia berdua denganku (untuk memenuhi nafsu bejatnya), ia memintaku melakukan liwath denganku dan perbuatan ini menurut Islam adalah sangat terlarang dan haram hukumnya –seperti yang telah diterangkan oleh syeikh. Dan Khalid adalah seorang muslim yang baik di luar dan buruk di dalam. Ia bergaul dan hadir salat Jum’at, tapi apakah dalam seharinya ia salat lima waktu atau tidak, aku tidak tahu!. Aku tolak permintaannya, dan aku kira ia telah melakukan perbuatan keji ini dengan sebagian buruhnya. Melihat salah satu pekerjanya, seorang anak muda yang tampan wajahnya. Slanik namanya.
Seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Terkadang aku melihatnya bersama Khalid di belakang tokonya dalam gudang kayu. Mereka berdua menampakkan (pura-pura) menata kayu di gudang, tapi aku tahu yang sebenarnya bahwa mereka di belakang untuk memenuhi syahwat.
Saya Sultan Abdul Aziz Bin Abdul Rahman Al Saud al-Faisal dan saya mengakui dan mengakui seribu kali untuk Sir Percy Cox, utusan Inggris, bahwa saya tidak keberatan untuk memberikan Palestina kepada Yahudi miskin atau bahkan untuk non-Yahudi , dan saya tidak akan pernah melanggar perintah mereka.
Aku makan siang di toko, setelah itu aku pergi ke masjid untuk salat Dhuhur dan aku tidak keluar dari masjid sampai waktu Ashar. Usai salat Ashar aku pergi ke rumah Syeikh Ahmad untuk belajar al-Qur`an, ebelajar bahasa Turki dan bahasa Arab selama dua jam. Dan setiap hari Jum’at aku sedekahkan sebagian uang yang aku peroleh dari gaji mingguan. Pada hakikatnya sedekah yang aku bayar hanyalah sogokanku supaya hubunganku dengannya terus berlangsung dan langgeng. Dan supaya dia mengajariku pelajaran yang terpenting. Dia tidak hanya mengajariku al-Qur`an, prinsip-prinsip Islam dan bahasa Turki dan Arab saja (tetapi juga pelajaran-pelajaran yang lain).
Ketika Syeikh Ahmad tahu bahwa aku seorang bujangan, ia memintaku agar aku menikahi salah satu putrinya. Tetapi aku menolaknya dengan alasan bahwa aku lemah syahwat, tidak mempunyai kemampuan yang semestinya dimiliki seorang lelaki. Sebelum aku ungkapkan adanya uzur (kelainan), hubungan baikku dengannya nyaris terputus sampai-sampai ia mengatakan bahwa menikah itu sunnah Rasul. Dan beliau bersabda, “Barang siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku”. Saat itu aku terpaksa berterus terang (padahal bohong) punya penyakit tersebut. Maka Syeikh mengangguk dan selamatlah hubunganku dengannya seperti biasanya, dengan kecintaan dan ketulusan.
Setelah dua tahun lamanya aku tinggal di Astana, aku pamit kepada Syeikh untuk pulang ke tanah air. Tetapi ia menghalangiku sambil berkata, “Kenapa pulang? Di Astana ini sungguh menyenangkan di hati dan mempesona di mata, dan Allah menggabungkan dunia dan agama di sini. Bukankah kamu pernah bilang bahwa ayah dan ibumu telah mati dan kamu tidak punya saudara kandung? Karena itu jadikanlah Astanah ini tempat hidupmu”. Syeikh menyatakan bahwa ia senang sekali bila aku tinggal, dan aku juga merasakan demikian. Tetapi negriku memaksa untuk (pertama) aku kembali ke London untuk memberikan laporan tentang ihwal wilayah-wilayah di ibu kota pemerintahan ini. Kedua utnuk mengambil perintah-perintah penting yang selanjutnya.
Selama aku di Astana, misiku berjalan dengan baik. Setiap bulan aku kirim laporan ke kementrian negara-negara jajahan, tentang keadaanku dan perkembangan-perkembangan serta apa saja yang aku telah saksikan. Aku selipkan dalam catatan laporanku berita tentang juragan kayu yang memintaku melakukan liwath. Kemudian dijawab dengan nada protes, “Kenapa itu ditolak, jika perbuatan itu mengantarkan pada tujuan, maka no problem!”. Membaca jawaban ini, aku termenung dan berfikir, “Mengapa tokoh-tokoh kami tidak malu dengan perbuatan keji dan hina ini?”. Aku hanya bisa diam tanpa kata-kata dan tidak beranjak dari jamuan makan.
Di waktu aku berpisah dengan Syeikh, air matanya berlinang dan memelukku sambil berkata, “Allah bersamamu wahai anakku! Bila kau kembali ke negri ini dan aku telah mati maka ingatlah aku, kelak kita akan bertemu dengan Rasulullah saw di padang Mahsyar”. Ia benar-benar mengharukan dan menyentuh hatiku, sampai aku menangis, ah..ini perasaan yang berlebihan.
(Manhaj-Salafi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar