Budayawan Banyumas Ahmad Tohari menterjemahkan Al Quran dalam bahasa Banyumasan, Selasa (10/12). Ia kini telah menyelesaikan 12 jus dari 30 jus Al Quran. Terjemahan ini diharapkan bisa mendekatkan ayat suci ke masyarakat pengguna Bahasa Banyumas yang diperkirakan mencapai 11 juta orang. (Foto: Aris Andrianto/Tempo)
Ini kabar gembira bagi muslim yang menggunakan Bahasa Banyumasan. Pekan lalu, Kementerian Agama baru saja meluncurkan terjemahan Alquran dalam bahasa yang kondang disebut bahasa Ngapak itu. Usaha penerjemahan itu dirintis sejak 3 tahun lalu.
Dikutip dari Liputan6.com, Ahmad Tohari (67) yang menjadi salah satu anggota tim penyusunnya mengatakan, penerjemahan Alquran menggunakan bahasa Ngapak itu upaya untuk lebih mendekatkan Alquran ke komunitas abangan. Selain itu juga sekaligus untuk melestarikan bahasa Ngapak yang disinyalir terancam punah.
Budayawan itu mengaku usaha penerjemahan ke bahasa Ngapak bukan hal mudah. Banyak kosakata bahasa Indonesia dan Arab yang sulit dicarikan padanannya dalam Bahasa Banyumasan.
Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu mengaku berat badannya sampai turun 1,5 kilogram. “Saya sempat stres, tapi karena niatnya ibadah saya jalani dengan nikmat,” ujar Tohari saat ditemui di rumahnya di Jatilawang, Banyumas, Senin 7 Desember 2015.
Tohari terpilih menjadi salah satu dari Tim 11 yang dibentuk Kementerian Agama untuk proyek penerjemahan itu. Ia terpilih karena selama ini dikenal sebagai penyusun kamus Jawa dialek Banyumasan.
Dimulai pada 2011, masing-masing anggota berbagi tugas menerjemahkan 1/11 Alquran. Mengingat tak semua anggota tim berasal dari Banyumas, proses penerjemahan terbagi dalam beberapa tahap.
Tahap pertama penerjemahan bisa diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun. Sebagai basis terjemahan digunakan Alquran terjemahan Indonesia keluaran Kemenag 2011. Namun, tim tetap kembali ke teks asli untuk bisa mencari akar makna dari teks asli.
Selanjutnya, seluruh hasil terjemahan diserahkan ke Tohari untuk diedit. Pada tahap ini, Tohari bisa menyelesaikannya dalam waktu 6 bulan.
Berikutnya ialah tahap validasi. Pada tahap ini, ujar Tohari, ikut dilibatkan ahli bahasa Arab, penghapal, pengasuh pondok pesantren dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) untuk lebih mendekatkan makna sesungguhnya. Terjadi perdebatan saat penyusunan itu meski akhirnya bisa diatasi.
“Misalnya, di dalam Alquran, kata ganti Allah itu ada dua, yakni aku dan kami. Dalam terjemahan Banyumasan, semua mendasarkan pada kata ganti aku atau ingsun,” ujar Tohari.
Selain itu, ada beberapa kosakata bahasa Indonesia yang di dalam bahasa Banyumasan tidak ada. Seperti, kata ganti orang pertama jamak kami dalam bahasa Jawa standar adalah kita. Namun, dalam bahasa Banyumasan tidak mengenal kata kita, mereka lalu menggantinya menjadi Inyong Kabeh.
Contoh lainnya, sambung dia, teks Wal Ashri atau yang berarti demi waktu atau demi masa. Di dalam bahasa Banyumasan tidak populer dan tidak ada padanan untuk kata demi. Lalu, mereka memilih kata Sekawit untuk mengganti kata demi walau kata itu saat ini sudah sangat jarang digunakan bahkan nyaris tidak dikenal.
Tohari menegaskan penerjemahan tersebut memang sejak awal bertujuan untuk mendekatkan Alquran kepada masyarakat abangan. Golongan itu, menurut dia, jumlahnya lebih besar dibanding pengikut NU maupun Muhamadiyah.
“Menurut penelitian, jumlah Islam abangan sekitar 62 persen,” kata Tohari.
Dalam penggunaan kosakata pun, ia lebih memilih kosakata awami atau populer di masyarakat, yang ia sebut kosakata kerakyatan. Tujuannya agar masyarakat lebih mudah untuk memahaminya. Ia menerangkan bahasa Banyumasan aslinya ialah bagian dari bahasa Jawa Kuno yang tidak memakai unggah-ungguh dan tidak ada dominasi vokal O. Namun, bahasa Banyumas saat ini sudah mulai mengenal unggah-ungguh karena lama menjadi daerah kekauasaan Mataram yang masuk dalam kategori Jawa Anyar.
Perubahan rasa bahasa itu berpengaruh pada terjemahan Banyumasan. Ia mencontohkan dialog antara Tuhan dengan manusia tetap menggunakan bahasa krama tapi dalam tingkatan yang sederhana.
Contoh lainnya, orang Banyumas mempunyai padanan kosakata ‘bagaimana‘ yang beragam, seperti kepriwe, kepriben, kepimen dan lainnya. Mereka sepakat untuk menggunakan standar kata kepriwe. Lainnya, kata ‘dimakan‘ dalam Banyumasan menggunakan ‘depangan‘ bukan ‘dipangan‘. Sebab, kata ‘dipangan’ merupakan kata yang lazim di daerah Jawa bagian wetan atau Surakartaan. ”Kami usahakan pakai bahasa yang khas Banyumas,” jelasnya.
(Tempo/Liputan-6/Satu-Islam/Islam-Nusantara/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar