Penampilan salah satu band Indorock, Black Dynamites, pada sebuah konser di The Hague, Belanda. (Courtesy: Frontaalnaakt.nl)
The Tielman Brothers sangat identik dengan genre musik Indorock, genre yang disebut-sebut sebagai cetak biru kelahiran musik pop Belanda. Indorock muncul dan besar di Belanda di pertengahan dekade ’50-an, dengan persebaran band yang organik dan puluhan rilisan piringan hitam. Musik ini mengadaptasi pola rock ‘n roll Amerika, namun diwarnai dengan campuran Hawaiian dan keroncong khas Indonesia. Selain warna musiknya yang unik, band-band Indorock juga terkenal dengan aksi panggung akrobatiknya.
Kemunculan musik Indorock memiliki sejarah menarik. Musik ini berasal dari para repatrian Indo yang terpaksa pindah ke Belanda akibat dampak dekolonisasi. Repatriasi (pemulangan) orang-orang Belanda terjadi sebagai buntut dari sengketa Irian Barat yang tak kunjung menemukan solusi. Sebagai puncak kekesalan Indonesia terhadap Belanda, Presiden Sukarno mengultimatum orang-orang Belanda untuk segera meninggalkan Indonesia. Bagi kaum Indo, kondisi ini sangat sulit. Sebagian besar dari mereka kemudian akhirnya memilih pindah dan menjadi warga negara Belanda.
Kaum Indo adalah sebutan bagi keturunan campuran hasil pernikahan pribumi Indonesia dan orang Belanda. Sebagai kaum percampuran, kaum Indo mewarisi dua kebudayaan: Timur dan Barat. Perpaduan dua budaya ini dapat dilihat dari ciri bahasa, makanan, kesenian, pakaian, dan arsitektur (Soekiman, 2011:20).
Tak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, orang Indo berada dalam posisi yang tak aman. Sentimen kebencian terhadap mereka yang sudah lama terpendam seketika menyeruak. Mereka dicari, ditangkap, dan dibunuh oleh kelompok pejuang pemuda ekstrimis. Darah campuran Belanda yang mengalir dalam tubuh mereka membuatnya dianggap berpihak pada Belanda ketimbang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Wajar saja jika teror semacam ini menjadi motif awal sebagian besar orang Indo menjalani repatriasi. Selain itu, harapan akan masa depan yang lebih baik karena kesempatan mereka bersentuhan dengan Eropa menjadi alasan lain. Peristiwa repatriasi Belanda terjadi dalam beberapa tahap dalam kurun waktu antara 1946-1968. Sebanyak 300.000 orang pindah ke Belanda, yang terdiri dari golongan orang Indo, orang totok Europeanen dan tentara KNIL (Vos, 2008).
Kenyataannya, kehidupan awal orang Indo di Belanda tak sesuai harapan. Mereka berhadapan dengan kebudayaan baru dan ketidakpastian jaminan kesejahteraan. Kedatangan repatrian Indo dipandang sebagai beban ekonomi dan sosial atas kondisi Belanda yang sedang terpuruk pasca Perang Dunia II sekaligus kehilangan wilayah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Belanda mau tidak mau harus ‘mengurusi’ warga negara baru ini dengan membuat suatu kebijakan. Sementara di lingkungan masyarakat, mereka dianggap sebagai pesaing kerja dan mengawali permasalahan multikultural. Kaum Indo pun berakhir sebagai minoritas dan tak jarang mengalami diskriminasi ras.
Usaha untuk berintegrasi kemudian diciptakan oleh sekelompok kecil dari repatrian Indo, yakni para musisi. Para musisi Indo ini berusaha menciptakan peluang untuk masuk ke dalam kehidupan masyarakat Belanda dengan mengolah kemampuan mereka: bermusik.
Di Belanda, partisipasi awal para musisi Indo ke dalam kehidupan sosial adalah dengan memainkan musik Hawaiian hingga rock ‘n roll. Sejak tahun 1930-an kultur Hawaiian digemari di Belanda dan dipandang sebagai representasi Timur yang eksotis dan membangkitkan atmosfer romantis (Mutsaers, 2001:679). Pada periode ini pula, di Hindia Belanda, musik Hawaiian menjadi musik populer bersamaan dengan keroncong, gambus, dan orkestra yang banyak diputar di radio-radio lokal (Yampolski, 2013:184). Oleh karena itu, sebagian dari kaum Indo awalnya bekerja sebagai pengiring musik pesta dansa Hawaiian di Belanda karena aliran ini telah akrab semenjak di tanah airnya dulu. Berlanjut hingga 1950-an ketika rock ‘n roll mengganti tren Hawaiian, para musisi Indo ikut terpengaruh pada musik ini dan ikut memainkannya.
Pada Oktober 1958 berlangsung Wereldtentoonstelling, suatu pameran berskala internasional di Belgia. “Kampung Hawaiian” menjadi tema dari zona Belanda di ajang tersebut. Musisi Indo seperti Guus Arends dan Rudi Wairata tampil untuk membawakan musik Hawaiian. Di samping mereka, turut tampil band The Tielman Brothers yang tak disangka-sangka.
Apa yang terjadi jika lagu Elvis Presley dimainkan dengan cara memetik gitar dengan kaki, kemudian para personil saling melempar dan bertukar gitarnya, dan kemudian berguling-gulingan? Aksi panggung The Tielman Brothers berhasil memukau penonton. Apa yang pengunjung Wereldtentoonstelling saksikan ketika itu adalah suatu momentum tersendiri karena secara perdana, publik disajikan kekuatan seni pertunjukkan yang sebenarnya. Hal seperti itu belum pernah terjadi di Belanda (Mutsaers, 2001: 675-676).
Kemunculan dan kesuksesan The Tielman Brothers menyebabkan terjadinya efek domino. Tumbuh band-band Indo sejenis yang mengadaptasi pola bunyi yang dilakukan The Tielman Brothers, yakni improvisasi aransemen rock ‘n roll yang dipadukan dengan elemen keroncong dan Hawaiian, berikut dengan aksi panggung akrobatiknya.
Muncullah idola baru anak muda lainnya seperti The Hot Jumpers, The Blue Diamonds, Black Dynamites, dan The Hurricane Rollers yang tak kalah berprestasi. The Hot Jumpers menjadi pembuka konser Cliff Richard & The Shadow pada 1962 di Rotterdam dan mendapat pujian dari bassisnya (Muys, 2002). Sementara The Tielman Brothers, Black Dynamites, dan The Hurricane Rollers malang melintang tak hanya di Belanda, namun juga di pub-pub malam Jerman (Brunings, 2007). Band-band Indo berhasil rekaman di label bergengsi sekelas Decca dan Imperial, serta menjadi sampul depan majalah Muziek Expres dan Toney Tunes. Suka cita kelahiran musik pop Belanda, berpesta.
Namun nyatanya, fenomena demam musik Indorock tak berlangsung lama. Aliran musik ini mulai meredup di dekade ’60-an. Banyak faktor dilematis yang mempengaruhinya. Masalah internal seperti cekcok antar pesonil menyebabkan band menjadi pecah dan perilaku mabuk-mabukkan seringkali merugikan manajemen. Begitu juga dengan tak adanya kreasi untuk menciptakan lagu baru, sehingga membuat mereka membawakan lagu dan aksi panggung yang sama. Penonton pun kemudian bosan. Mereka mencari hiburan baru (Brunings, 2007).
Kultur musik berputar dengan cepat. Pada 1964, di Inggris, muncul band baru bernama The Beatles yang mengusung jenis musik beatpop. Sementara popularitas The Beatles semakin naik dan menyebar hingga ke luar Inggris, termasuk Belanda, band-band Indorock malah tak satu pun menampakkan progres. Kondisi ini membuat popularitas Indorock semakin tergerus, tak mampu berkompetisi menandingi The Beatles. Dan seketika, British Invasion melalui The Beatles, melanda Eropa dan seluruh dunia.
Pada dekade 80-an, muncul semangat untuk kembali membangkitkan yang diprakasai oleh kolektor musik dan fans. Mereka mengadakan acara bernama De Haagse Beatnacht pada 30 Mei 1981, di mana para band-band Indo diundang untuk bermain. Di sanalah tercetus istilah “Indorock” untuk menamai genre musik hasil ciptaan musisi Indo yang menuai kesuksesan sepanjang dekade 1950-1960. Indorock adalah “pesta” kelahiran massal 308 band yang tersebar dari kota Groningen sampai Maastricht, bahkan di antaranya aktif di Jerman (Muys, 2002).
Indorock mencerminkan bagaimana musik dapat menjadi suatu pergerakan sosial pada konteks masyarakat tertentu. Dalam kasus ini, Indorock menjadi bentuk resistensi kaum Indo yang dihadapkan dengan kehidupan, kebudayaan, dan negara baru. Sebagai imigran, mereka bernegosiasi dengan nilai-nilai setempat dan menciptakan strategi bertahanan melalui musik. Musik Indorock berhasil menjadi sarana integrasi dan transformasi kelas sosial: dari warga negara kelas dua hingga menjadi rockstar.
Annayu Maharani
Lulus di jurusan Sastra Belanda Universitas Indonesia. Penyuka kajian sejarah dan kebudayaan. Musik adalah hal yang membuat dirinya disiplin menulis, dan tulisannya dapat ditemukan di Primitif Zine, Buletin NOT, dan buku Indorock Blitzkrieg! (2013). Pengasuh segmen Rabuku dan KamisKomik di situs PlotPoint Publishing (2012-2013). Saat ini bekerja di Koalisi Seni Indonesia, Divisi Penelitian dan Pengembangan. Turut berkedok sebagai manager band Dolphin Division dan pemburu buku murah.
(Loka-Majalah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar