The King Kho: Kisah Etnis Tionghoa Veteran TNI yang Menjadi Korban Repatriasi ke RRT


Di tahun 1959, pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 1959 (atau yang dikenal sebagai PP 10 tahun ‘59). Legislasi ini menuntut Etnis Tionghoa di Indonesia yang memiliki kewarganegaraan ganda untuk memilih status mereka apakah sebagai WNI atau WN Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ini merupakan buntut permasalahan kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia yang baru merdeka. Bagi mereka yang memilih untuk menaggalkan kewarganegaraan Indonesia mereka, maka pemerintah akan merepatriasi mereka ke RRT. Kurang lebih sebanyak 100.000 Etnis Tionghoa dari Indonesia direpatriasi ke RRT dari kebijakan ini.

Berbagai macam literatur sejarah menyatakan bahwa Etnis Tionghoa yang direpatriasi ke Tiongkok memiliki dua ciri utama yakni:
(1) Pemegang dwi-kewarganegaraan yang merupakan generasi ke-dua atau ke-tiga Etnis Tionghoa-Indonesia
(2) Didorong oleh rasa sukarela untuk bermigrasi ke Tiongkok.

Namun, penulis menemukan beberapa saksi Etnis Tionghoa yang berebeda dalam hal ini, karena mereka :
(1) Etnis Tionghoa WNI yang sudah melebur dengan baik dengan kehidupan Indonesia
(2) Mereka direpatriasi bukan atas kehendak mereka. Berikut adalah kisah seorang Etnis Tionghoa bernama The King Kho, seorang Warga Negara Indonesia, veteran TNI AD dan tidak pernah memiliki keinginan untuk menetap di RRT. Namun, di tahun 1966, -suatu hal yang tidak pernah ia inginkan. Kisah berikut diceritakan oleh Rudi Suwandi, cucu The King Kho, mengingat informan utama sudah wafat sejak tahun 1975.

Kisah tragis dalam lembaran sejarah Indonesia ini menunjukkan bahwa terdapat pandangan umum bahwa Etnis Tionghoa di Indonesia –betapapun mereka melebur dengan kehidupan Indonesia– masih dianggap memiliki hubungan emosional/kultural dengan RRT. Sebuah pandangan stereotipikal yang terlalu menyederhanakan realita yang ada.


Korban Repatriasi: The King Kho (1933-1975)

The King Kho lahir di Tiongkok pada tahun 1933 (tahun dan bulan tidak diketahui informan). Selain itu, informan tidak tahu secara pasti nama desa/kota tempat kakeknya dilahirkan di daratan Tiongkok. Namun, besar kemungkinan bahwa The King Kho dilahirkan di Provinsi Fujian di bagian Selatan Tiongkok. Sebab, keluarganya memiliki nama marga The, atau yang dalam ejaan Bahasa Mandarin ditulis sebagai Zhèng (鄭). Ejaan The mengindikasikan bahwa keluarganya berasal dari kelompok lingustik Hokkien di Provinsi Fujian. Selain itu, Provinsi Fujian adalah daerah asal mayoritas pendatang Tionghoa di Indonesia. The King Kho adalah anak pertama dari tiga bersaudara, yang kesemuanya adalah laki-laki, oleh karena itulah, ayah The King Kho memiliki keinginan bagi ketiga anaknya untuk menjadi pewaris usahanya. Di sekitar akhir dekade 1930-an (kemungkinan tahun 1940), ayah The King Kho meninggalkan Tiongkok dan bermigrasi ke Hindia Belanda. Ia turut membawa istri dan ketiga anaknya ke negara tersebut. Kota tujuan keluarga The tak lain adalah Batavia. Seperti halnya dengan kebanyakan Etnis Tionghoa yang bermigrasi ke Asia Tenggara, alasan keluarga The King Kho untuk bermigrasi ke Indonesia adalah mencari kehidupan yang lebih baik lewat berdagang. Diceritakan bahwa Etnis Tionghoa dari desa/kota kelahiran The King Kho yang sudah lebih dulu bermigrasi ke Batavia membantu proses migrasi keluarga The. Kedekatan ini juga tetap dijaga hingga kedatangan keluarga The di Batavia. Komunitas Tionghoa di Batavia tersebut mengembangkan rasa persaudaraan dengan keluarga The. Salah satu alasan yang menarik mereka untuk bermigrasi ke Batavia adalah dukungan komunitas Tionghoa ini yang juga berasal dari tempat tinggal keluarga The di Tiongkok.

Di Batavia inilah, keluarga The menetap di daerah yang sekarang menjadi Kecamatan Pasar Senen (Kini masuk ke wilayah Jakarta Pusat). Pada awalnya, keluarga The King Kho dapat dikatakan sebagai Tionghoa Totok, mengingat ia dilahirkan dan sempat dibesarkan di Tiongkok. Selain itu, hal ini dapat dilihat dari fisik The King Kho yang masih merupakan murni keturunan Etnis Tionghoa, seperti yang dijelaskan oleh cucunya, Rudi Suwandi. Kedua, dari segi bahasa dan kebudayaan, keluarga The masih bisa menggunakan Bahasa Mandarin/dialek Tionghoa serta masih menjalankan ritual tradisional Tionghoa. Hingga kini, beberapa anggota keluarga besar The King Kho masih menetap di daerah Pasar Senen, namun Rudi Suwandi sudah tidak berhubungan karena jarak fisik dan sosial yang jauh. Beberapa ada juga yang menetap di daerah Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

The King Kho besar di lingkungan dimana penghuninya juga mencakup etnis-etnis pribumi. Rudi Suwandi menceritakan bahwa keluarga The kerap bekerja sama dengan beberapa pribumi dalam usaha perdagangannya. Meski menggeluti usaha dagang, The King Kho dan keluarga hidup pas-pasan, terlebih ketika Hindia Belanda jatuh ke Kekaisaran Jepang di tahun 1942. Kehidupan keluarga The semakin susah, karena minimnya bahan kebutuhan pokok yang mudah untuk didapat. Apalagi dengan statusnya sebagai Timur Asing, keluarga The menjadi sasaran kecurigaan Pemerintah Pendudukan Jepang.

Saat dibesarkan di Batavia ini, The King Kho menjadi saksi Perang Kemerdekaan ketika masih remaja. Tidak diketahui secara detail bagaimana peran keluarganya atau The King Kho sendiri dalam perang ini, namun keluarganya diceritakan memihak pasukan Indonesia. Setelah perang selesai dan kondisi sudah stabil, keluarga The King Kho mulai mengembangkan usaha mereka di Jakarta (berganti nama dari Batavia setelah kemerdekaan Indonesia). The King Kho yang sudah dewasa di akhir masa Revolusi Kemerdekaan, kemudian kmenjadi seorang pekerja di toko, dimana ia mengurusi keuangan sebuah toko di daerah Glodok (Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat). Toko tempat The King Kho bekerja adalah toko milik seorang kerabat jauh keluarga The. Kerabat ini sudah terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum keluarga The King Kho. Glodok sendiri adalah daerah Pecinan di Jakarta. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, The King Kho masih memiliki kewarganegaraan Tiongkok.

Momen penting dalam kehidupan The King Kho di Indonesia terjadi di sekitar awal tahun 1950’an, yakni antara 1950-1955. Dalam kurun waktu ini, The King Kho akhirnya menjadi Warga Negara Indonesia yang sah secara hukum. Di tahun inilah pula The King Kho melepas kewarganegaraan Tiongkok-nya secara bersamaan. Menurut kerabatnya yang masih hidup, secara keseluruhan The King Kho sudah melalui proses administrasi yang relatif mudah serta sudah memperoleh dokumen yang lengkap. Rudi Suwandi sendiri tidak mengetahui secara detail apa yang mendorong The King Kho untuk melepaskan kewarganegaraan Tiongkoknya. Namun yang pasti The King Kho tidak keberatan untuk diikutsertakan dalam wajib militer setelah ia melepaskan kewarganegaraan Tiongkoknya. Karena pada akhirnya The King Kho sudah memiliki satu kewarganegaraan –yakni Indonesia– ia diikutsertakan dalam mobilisasi nasional ketika Indonesia sedang mengalami masa darurat militer. Di masa ini, sedang terjadi konflik PRRI/Permesta, atau pergolakan daerah gerakan separatisme pulau-pulau luar Jawa untuk memisahkan diri dari Indonesia. Dalam masa wajib militernya, The King Kho ditugaskan di Palembang, Sumatra Selatan pada tahun 1958. The King Kho ditugaskan sebagai pasukan cadangan (reservist). Saat bertugas sebagai pasukan cadangan ini, pangkatnya hanya sebatas prajurit, karena masa tugasnya yang relatif singkat. Tidak dijelaskan secara detail operasi yang diikuti The King Kho selama penugasannya di Palembang. Namun yang pasti selama ditempatkan di Palembang inilah, The King Kho mengawini perempuan pribumi lokal yang bernama Djahro. Pertemuan ini bukan merupakan sebuah perkawinan yang diatur, namun atas inisiatif The King Kho dan Djahro. Persitiwa inilah yang memotong singkat masa bakti The King Kho sebagai wajib militer. Sebab setelah perkawinan ini, ia diceritakan mengundurkan (atau dinonaktifkan) dari dinas militer.

Reaksi keluarga The saat mengawini pribumi Palembang dikishakan tidak keberatan, namun dengan satu syarat bahwa The King Kho harus berada pada agama aslinya dan tidak boleh mengikuti agama istrinya, yakni Islam. Djahro pun boleh tetap memeluk Islam, asal The King Kho tetap beragama Buddha. Diceritakan bahkan pernikahannya dilangsungkan berdasarkan adat Tionghoa yang bernama Chio Tau. Pernikahan ini kemudian resmi diakui oleh pemerintah lewat catatan sipil. Di tahun 1959, Djahro dibawa oleh The King Kho ke Jakarta. Dari pernikahannya dengan Djahro, The King Kho memiliki empat orang anak –tiga diantaranya memiliki nama Tionghoa– yakni Muhammad Haris atau The Giok (Informan lupa nama belakang), The Giok Nio (Ibu informan Rudi Suwandi), The Giok Liang, dan Julia. Setelah itu ia tidak mau lagi kembali ke penugasan wajib militer dan hanya menekuni dunia perdagangan saja.


Rudi Suwandi lebih lanjut menceritakan bahwa The King Kho menikahi istri kedua (juga pribumi) yang berasal dari Karawang, Jawa Barat, ketika ia sampai ke Jakarta. Berbeda dengan istri pertamanya yang masih beragama Islam, istri kedua The King Kho mengikuti ajaran Buddha dari yang mulanya beragama Islam. Pernikahan dengan istri keduanya dikaruniai lima orang anak, yang semuanya memiliki nama Tionghoa, yakni The Giok Hwa, The Giok Siong, The Giok Liang, The Giok Tjhan dan The Giok Nie. Namun semuanya tidak mempermasalahkan itu, termasuk dalam hal beragama. Di Jakarta, The King Kho kembali bekerja di toko dan menetap di di Kapuk, Jakarta Utara. Penghasilannya dikatakan dapat mencukupi kebutuhan pokok keluarga The King Kho, meski ia dan keluarga hidup pas-pasan. Meski perkawinan ini berbeda agama, namun The King Kho tetap merupakan penganut taat Agama Buddha. Anak-anaknya dibesarkan dalam lingkungan agama yang berbeda-beda, beberapa kemudian berpindah ke Agama Kristen/Islam. Karena meninggali daerah Kapuk, The King Kho dekat dengan komunitas Cina Benteng. Meski merupakan kelahiran Tiongkok asli, namun warga sekitar pada akhirnya menganggap The King Kho sebagai bagian dari komunitas Cina Benteng lokal. Terlebih The King Kho memiliki istri yang merupakan etnis pribumi. Rudi Suwandi sendiri juga mengakui bahwa The King Kho adalah bagian dari Cina Benteng dan bersifat relatif terbuka terhadap kebudayaan dan gaya hidup pribumi.

Tahun 1959 menandakan gelombang pertama titik awal usaha repatriasi Etnis Tionghoa ke RRT. Gelombang yang sudah berangkat di tahun 1959 diceritiakan oleh kerabat The King Kho yang masih hidup sebagai orang-orang dari daerah Pecinan yang masih bersatatus sebagai WNA. Berdasarkan kebijakan yang sudah ada saat itu, The King Kho tidak tergolong ke warga yang bisa direpatriasi ke RRT. Sebab The King Kho adalah warga negara Indonesia. Terlebih status The King Ko sebagai veteran TNI AD. Namun, Rudi Suwandi menceritakan bahwa tahun 1966, The King Kho dimasukkan ke salah satu daftar warga Etnis Tionghoa yang akan direpatriasi ke RRT. Berbeda dengan tahun 1959, dimana Etnis Tionghoa yang direpatriasi adalah mereka yang berkeinginan untuk kembali ke Tiongkok, pejabat pemerintah justru mendaftarkan nama-nama penduduk untuk direpatriasi di tahun 1966 ini. Oleh karena itu, di tahun 1966 ia akan direpatriasi ke RRT, meski The King Kho sendiri tidak mendaftar. Keluarga besar The King Kho, termasuk kerabat pribuminya, memprotes keputusan pemerintah ini. Bukan hanya The King Kho, namun kedua adiknya juga menjadi sasaran pemulangan ke Tiongkok. Diceritakan bahwa ayahnya sangat marah hingga hilang kepercayaan kepada pemerintah Indonesia.

Menurut kerabat The King Kho, gelombang ke-2 repatriasi ini diceritakan sudah menjaring ribuan orang. Namun, pemerintah RRT menolak kedatangan warga tersebut ke tanah Tiongkok. Oleh karena itu, The King Kho tidak dipulangkan ke RRT, karena pemerintah RRT menolak pemulangan gelombang tahun 1966 ini. Kemungkinan salah satu penolakan RRT adalah bahwa warga tersebut hanya memiliki kewarganegaraan Indonesia saja dan bukan didasari atas keinginan pribadi. Meski hidup diantara komunitas Cina Benteng, The King Kho hanya segelintir warga lokal yang menjadi korban repatriasi ke RRT. Cina Benteng yang lain hampir tidak ada. Keturunan Tionghoa yang sudah hidup bergenerasi-generasi di Indonesia tidak dipulangkan, hanya mereka yang merupakan generasi baru –meski sudah melebur di kehidupan Indonesia dan hanya memiliki satu kewarganegaraan. The King Kho, meski sudah memiliki warga negara tunggal Indonesia, namun dijadikan sasaran repatriasi gelombang ke-2. Rudi Suwandi menyebutnya sebagai: ‘Aroma Warga Negara Asing-nya masih kental’. Direpatriasi karena berkas-berkas imigrasi dan bukti kelahiran The King Kho. Diperiksa oleh pihak pemerintah dan The King Kho didaftarkan sebagai salah satu yang akan direpatriasi ke RRT oleh pemerintah Indonesia. Meski merupakan seorang veteran wajib militer, The King Kho tidak bisa melawan. Keluarga digambarkan pasrah atas keputusan ini. Waktu itu keluarga menggugat ke pihak imigrasi, namun tidak bergeming.

Alasan mengapa The King Kho hendak direpatriasi ke RRT diyakini karena kejadian G 30 S. RRT yang merupakan negara Komunis dianggap menjadi ancaman. Lebih dari itu, Etnis Tionghoa bahkan juga dianggap menjadi penyebar ancaman tersebut, terlepas apakah Etnis Tionghoa tersebut sudah melebur dengan relatif baik. Menurut paham kebanyakan aparatur pemerintah saat itu, Tionghoa identik dengan komunis. Maka, jika paham Komunis ingin dihilangkan, maka Etnis Tionghoa juga harus dihilangkan. Keputusan akhir disampaikan RRT bahwa mereka menolak kedatangan Etnis Tionghoa yanga akan direpatriasi ini. The King Kho akhirnya tidak jadi dikirim ke RRT. Namun The King Kho merasa kecewa dengan keputusan pemerintah ini. Sebagai seorang warga negara yang pernah mengabdi di militer, ia merasa sulit menerima kenyataan bahwa pemerintah menanyakan loyalitasnya. The King Kho hanya menyimpan perasaannya dan sebatas menunjukkannya pada keluarganya saja. Berbeda dengan ayahnya yang digambarkan marah kepada pemerintah Indonesia. Namun kemarahan dan aksi protes keluarga The King Kho harus berakhir dengan semakin menguatnya sentiment anti-Tionghoa di Orde Baru. Terrlebih keluarga The King Kho dapat dikatakan sebagai keluarga yang hidupnya pas-pasan dan tidak memiliki kekuatan/pengaruh politik yang kuat. The King Kho menghabiskan sisa hidupnya dengan berdagang. Ia digambarkan menjadi lebih taat beribadah setelah kejadian ini, kemungkinan karena rasa kecewanya yang dipendam. The King Kho akhirnya meninggal dunia pada tahun 1975 dalam usia 42 tahun di Jakarta.


Tahun,Usia & Peristiwa Hidup

1933 (0 tahun)

Lahir di Provinsi Fujian, Tiongkok.


Sekitar 1940 (Sekitar 7 tahun)

Bermigrasi ke Hindia-Belanda dan menetap di Batavia.


1945-1949 (12-16 tahun)

Perang Kemerdekaan Indonesia. Keluarga The King Kho dikatakan memihak kemerdekaan Indonesia.


Sekitar 1950-1955 (Sekitar 17-22 tahun)

The King Kho menjadi Warga Negara Indonesia secara sah melalui hukum dan melepaskan kewarganegaraan Tiongkoknya.


1957 (24 tahun)

Mengikuti wajib militer dan ditempatkan di Palembang, Sumatra Selatan.


1960 (27 tahun)

Menetap di daerah Pasar Senen, Jakarta, setelah menikah dan mengundurkan diri dari wajib militer di Palembang, Sumatra Selatan.


1965 (32 tahun)

Peristiwa G 30 S terjadi. Merupakan buntut keputusan repatriasi warga keturunan Tionghoa, termasuk The King Kho.


1966 (33 tahun)

The King Kho direpatriasi oleh pemerintah RI, namun kemudian ditolak oleh pemerintah RRT.


1967-1975 (34-42 tahun)

The King Kho bekerja membantu toko seorang kerabat.


1975 (42 tahun)

The King Kho meninggal dunia di Jakarta.


Peneliti sedang mencari arsip imigrasi The King Kho, mengingat keluarganya tidak memiliki dokumen tersebut.

(Historia/Kompasiana/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Sabtu, 27 Agustus 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul The King Kho: Kisah Etnis Tionghoa Veteran TNI yang Menjadi Korban Repatriasi ke RRT. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : https://abnsnews.blogspot.com/2016/08/the-king-kho-kisah-etnis-tionghoa.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS