Sembilan belas hari setelah KAA, CIA menerima perintah dari Gedung Putih untuk menghabisi Sukarno secara politik.
Komisi Church mendapatkan sejumlah petunjuk bahwa CIA pernah berencana membunuh Presiden Sukarno. Rencana tersebut terungkap dari kesaksian Richard Bissel, mantan wakil direktur bidang perencanaan CIA, kepada Komisi Church.
Richard Bissel menyatakan, “pembunuhan atas Sukarno ‘pernah dipertimbangkan’ oleh CIA. Rencana tersebut berkembang sampai pada upaya mengidentifikasi aset –seorang pembunuh–yang diperkirakan akan direkrut untuk melaksankan pembunuhan itu.”
Menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA, Bissell mengakui bahwa rencana pembunuhan Sukarno tidak terlaksana dan tidak pernah disempurnakan sampai pada titik ketika upaya itu dianggap layak.
“Kesulitan itu berhubungan dengan kemungkinan menciptakan situasi bahwa agen yang akan melaksanakannya mempunyai akses ke sasaran,” kata Bissel, dikutip Weiner, dari kesaksiannya kepada Komisi Kegiatan-kegiatan CIA bentukan Presiden (Komisi Rockefeller), 21 April 1975, top secret, dinyatakan bukan rahasia (declassifed) pada 1995.
Menurut Weiner, CIA kali pertama menunjukkan kekhawatiran terhadap rezim Sukarno dalam sebuah laporan yang disampaikan Dewan Keamanan Nasional pada 9 September 1953. Setelah mendengar penjabaran CIA tentang situasi Indonesia yang menakutkan, Harold Stassen, yang ketika itu menjabat direktur Dinas Keamanan Bersama (Mutual Security Agency), organisasi bantuan militer dan ekonomi yang menggantikan Marshall Plan, mengatakan kepada wakil presiden Nixon dan Dulles bersaudara (Menteri Luar Negeri John Foster Dulles dan Direktur CIA Allen Dulles), bahwa mereka “sebaiknya memberikan pemikiran terhadap langkah-langkah pemerintah, yang akan menyebabkan jatuhnya rezim baru di Indonesia, karena rezim itu ternyata sangat buruk. Kalau rezim itu sampai disusupi dengan hebatnya oleh pihak komunis seperti yang diyakini oleh CIA, akan lebih bijaksana untuk menyingkirkan rezim itu daripada harus mendukungnya.”
Namun, setelah Richard Nixon bertemu Sukarno di Jakarta pada Oktober 1953, dia menyatakan kepada para perwira CIA, bahwa Sukarno “mendapat dukungan luar biasa dari rakyat, sama sekali antikomunis, dan tidak ada keraguan bahwa dia adalah ‘kartu’ utama Amerika Serikat.”
Dulles bersaudara sangat meragukan Nixon. “Sukarno telah menyatakan dirinya sebagai noncombatant (tidak ikut berperang) dalam perang dingin, dan tidak ada yang netral di mata mereka,” tulis Weiner. Oleh karena itu, “CIA dengan serius mempertimbangkan pembunuhan terhadap Sukarno pada musim semi tahun 1955.”
Namun, rencana pembunuhan tersebut tidak terlaksana. AS kemudian memilih cara politik untuk mengalahkan Sukarno. Menurut Weiner, sembilan belas hari setelah KAA, CIA menerima sebuah perintah aksi-rahasia dari Gedung Putih, bernomor NSC 5518, yang dinyatakan tak lagi rahasia pada 2003 (declassified).
Perintah itu memberikan wewenang kepada CIA untuk menggunakan “semua cara rahasia yang layak termasuk memberikan uang untuk membeli para pemilih dan politisi Indonesia, melakukan peperangan politik untuk mendapatkan kawan dan merongrong calon-calon musuh…untuk menjaga agar Indonesia tidak menoleh ke kiri.”
“CIA memompakan sekitar $1 juta ke kantong musuh politik paling kuat Sukarno, Partai Masjumi, pada pemilihan pertama yang diadakan di Indonesia setelah penjajahan,” tulis Weiner. Operasi CIA tersebut gagal: partai Sukarno, PNI menang, Masyumi menduduki tempat kedua, dan PKI menduduki posisi keempat yang membuat cemas Washington.
“CIA terus membiayai partai-partai politik pilihannya dan ‘sejumlah tokoh politik’ di Indonesia seperti disampaikan Bissel dalam sebuah kesaksian lisan,” tulis Weiner.
CIA tak berhenti menguntit Sukarno. Pada 1957, kepala divisi CIA untuk kawasan Timur Jauh, Al Ulmer, dalam wawancara dengan Weiner, menyatakan bahwa dia mengimbau kepada para perwira CIA untuk memonitor Sukarno selama turnya di Asia, dengan pesawat jet carteran Pan Am.
“Hasil misinya hanya terbatas pada sampel kotoran Sukarno untuk analisis medis, yang didapat oleh kepala CIA stasiun Hong Kong, Peter Sichel, dengan bantuan seorang awak pesawat Pan Am yang dibayar CIA. Dengan ketiadaan pengetahuan, semua bukti relevan,” tulis Weiner.
CIA berusaha menjatuhkan Sukarno mulai dari merencanakan membunuhnya, melawannya secara politik, sampai membuat film porno yang seakan-akan dimainkan oleh Sukarno.
CIA baru berhasil menjatuhkan Sukarno setelah terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Presiden Sukarno dan Richard Nixon, wakil presiden Amerika serikat, di sebuah warung kopi di Cipanas, Bogor, 1953. (Foto: majalah American Miscellany, No. 64, 1953).
Komisi Church mendapatkan sejumlah petunjuk bahwa CIA pernah berencana membunuh Presiden Sukarno. Rencana tersebut terungkap dari kesaksian Richard Bissel, mantan wakil direktur bidang perencanaan CIA, kepada Komisi Church.
Richard Bissel menyatakan, “pembunuhan atas Sukarno ‘pernah dipertimbangkan’ oleh CIA. Rencana tersebut berkembang sampai pada upaya mengidentifikasi aset –seorang pembunuh–yang diperkirakan akan direkrut untuk melaksankan pembunuhan itu.”
Menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA, Bissell mengakui bahwa rencana pembunuhan Sukarno tidak terlaksana dan tidak pernah disempurnakan sampai pada titik ketika upaya itu dianggap layak.
“Kesulitan itu berhubungan dengan kemungkinan menciptakan situasi bahwa agen yang akan melaksanakannya mempunyai akses ke sasaran,” kata Bissel, dikutip Weiner, dari kesaksiannya kepada Komisi Kegiatan-kegiatan CIA bentukan Presiden (Komisi Rockefeller), 21 April 1975, top secret, dinyatakan bukan rahasia (declassifed) pada 1995.
Menurut Weiner, CIA kali pertama menunjukkan kekhawatiran terhadap rezim Sukarno dalam sebuah laporan yang disampaikan Dewan Keamanan Nasional pada 9 September 1953. Setelah mendengar penjabaran CIA tentang situasi Indonesia yang menakutkan, Harold Stassen, yang ketika itu menjabat direktur Dinas Keamanan Bersama (Mutual Security Agency), organisasi bantuan militer dan ekonomi yang menggantikan Marshall Plan, mengatakan kepada wakil presiden Nixon dan Dulles bersaudara (Menteri Luar Negeri John Foster Dulles dan Direktur CIA Allen Dulles), bahwa mereka “sebaiknya memberikan pemikiran terhadap langkah-langkah pemerintah, yang akan menyebabkan jatuhnya rezim baru di Indonesia, karena rezim itu ternyata sangat buruk. Kalau rezim itu sampai disusupi dengan hebatnya oleh pihak komunis seperti yang diyakini oleh CIA, akan lebih bijaksana untuk menyingkirkan rezim itu daripada harus mendukungnya.”
Namun, setelah Richard Nixon bertemu Sukarno di Jakarta pada Oktober 1953, dia menyatakan kepada para perwira CIA, bahwa Sukarno “mendapat dukungan luar biasa dari rakyat, sama sekali antikomunis, dan tidak ada keraguan bahwa dia adalah ‘kartu’ utama Amerika Serikat.”
Dulles bersaudara sangat meragukan Nixon. “Sukarno telah menyatakan dirinya sebagai noncombatant (tidak ikut berperang) dalam perang dingin, dan tidak ada yang netral di mata mereka,” tulis Weiner. Oleh karena itu, “CIA dengan serius mempertimbangkan pembunuhan terhadap Sukarno pada musim semi tahun 1955.”
Namun, rencana pembunuhan tersebut tidak terlaksana. AS kemudian memilih cara politik untuk mengalahkan Sukarno. Menurut Weiner, sembilan belas hari setelah KAA, CIA menerima sebuah perintah aksi-rahasia dari Gedung Putih, bernomor NSC 5518, yang dinyatakan tak lagi rahasia pada 2003 (declassified).
Perintah itu memberikan wewenang kepada CIA untuk menggunakan “semua cara rahasia yang layak termasuk memberikan uang untuk membeli para pemilih dan politisi Indonesia, melakukan peperangan politik untuk mendapatkan kawan dan merongrong calon-calon musuh…untuk menjaga agar Indonesia tidak menoleh ke kiri.”
“CIA memompakan sekitar $1 juta ke kantong musuh politik paling kuat Sukarno, Partai Masjumi, pada pemilihan pertama yang diadakan di Indonesia setelah penjajahan,” tulis Weiner. Operasi CIA tersebut gagal: partai Sukarno, PNI menang, Masyumi menduduki tempat kedua, dan PKI menduduki posisi keempat yang membuat cemas Washington.
“CIA terus membiayai partai-partai politik pilihannya dan ‘sejumlah tokoh politik’ di Indonesia seperti disampaikan Bissel dalam sebuah kesaksian lisan,” tulis Weiner.
CIA tak berhenti menguntit Sukarno. Pada 1957, kepala divisi CIA untuk kawasan Timur Jauh, Al Ulmer, dalam wawancara dengan Weiner, menyatakan bahwa dia mengimbau kepada para perwira CIA untuk memonitor Sukarno selama turnya di Asia, dengan pesawat jet carteran Pan Am.
“Hasil misinya hanya terbatas pada sampel kotoran Sukarno untuk analisis medis, yang didapat oleh kepala CIA stasiun Hong Kong, Peter Sichel, dengan bantuan seorang awak pesawat Pan Am yang dibayar CIA. Dengan ketiadaan pengetahuan, semua bukti relevan,” tulis Weiner.
CIA berusaha menjatuhkan Sukarno mulai dari merencanakan membunuhnya, melawannya secara politik, sampai membuat film porno yang seakan-akan dimainkan oleh Sukarno.
CIA baru berhasil menjatuhkan Sukarno setelah terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar