Sejak dulu, masyarakat Bali mengakui dan menoleransi keberagaman seksualitas. Kampanye homofobia mengakhiri zaman keemasan Eropa di Bali.
Sejak berabad silam, hubungan seks sesama jenis bukan hal yang ditabukan dalam masyarakat Bali. Ia sudah menjadi bagian kehidupan sehari-sehari. Ini setidaknya dapat dilihat dari catatan perjalanan Dr Julius Jacobs, Eenigen Tijd Onder de Baliers: Eene Reisbeschrijving Met Aantekeningen Betreffende Hygiene, Land—En Volkenkunde Van Eilanden Bali en Lombok. Jacobs adalah seorang pejabat kesehatan Belanda yang datang ke Bali awal 1880-an dengan tujuan mempromosikan penggunaan imunisasi cacar air.
Dalam catatan perjalanannya, Jacobs sebagaimana dikutip D.F Janssen dalam tulisan tentang Indonesia pada jurnal Growing Up Sexually, Volume I mencatat beberapa bentuk hubungan seks sesama jenis di masyarakat Bali, yang disebut menyelit. Dalam bukunya Jacobs menulis, “Menyelit (pederasti) dipraktikkan nyaris di sebagian besar Pulau Bali dan hubungan semacam ini sama sekali tak dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.”
Jacobs juga mencatatkan tradisi mirip gemblakan dalam kesenian Gandrung di Bali. Biasanya, usai menari selama berjam-jam, para bocah itu diharapkan “melayani” kebutuhan seks para penampil yang lebih dewasa. Selain itu, dia juga menjumpai fenomena bocah laki-laki berusia sepuluh hingga duabelas tahun yang berpakaian seperti perempuan, “menawarkan” diri kepada laki-laki dewasa.
Sementara hubungan seks sesama jenis di kalangan perempuan menurut Jacobs, sebagaimana dikutip Havelock Ellis dalam tulisannya Sexual Inversion, sesungguhnya sama umumnya dengan seks sesama jenis di kalangan laki-laki, namun cenderung lebih dirahasiakan. Bentuk hubungan seks ini bisa menggunakan tangan, lidah, atau mempertemukan organ seksual (tribadism).
Menurut Jacobs, praktik tribadisme di kalangan perempuan itu oleh masyarakat Bali disebut mecengceng juuk. Dia juga menulis, sebagaimana dikutip Adrian Vickers dalam Bali A Paradise Created, “alat reproduksi perempuan Bali, yang menurut banyak ahli amatlah istimewa, adalah salah satu sebab meluasnya praktik (lesbianisme) ini.”
Pada masa prakolonial, masyarakat Bali diatur oleh hukum yang amat dipengaruhi tradisi legal Sanskerta, terutama Manavadharmasastra (Hukum Manu). Hukum ini memberikan banyak penekanan pada seksualitas dan pernikahan, juga sanksi yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran norma seperti kawin lari atau penculikan pengantin perempuan. Helen Creese dalam tulisannya The Regulation of Marriage and Sexuality in Precolonial Balinese Law Codes menulis bahwa hukum Bali di masa prakolonial cenderung tak menyinggung homoseksualitas. “Hubungan nonheteroseksual tak dianggap sebagai masalah yang harus diselesaikan dengan hukum. Tindakan itu lebih dianggap sebuah pelanggaran biasa (assault) alih-alih sebuah kejahatan seksual,” tulis Creese.
Hanya satu peraturan yang menyinggung langsung homoseksualitas, sebuah pelanggaran di mana seorang lelaki tidur dengan lelaki lain (disebut badawasa). Hukuman terberat perbuatan ini adalah hukuman mati. Hukuman itu bisa diperingan jika lelaki itu membayar sejumlah uang kepada lelaki yang jadi “korbannya”.
Di sisi lain, aktivitas seksual sesama perempuan mendapat lebih banyak perhatian dalam hukum Bali masa prakolonial. Bentuk hukumannya pun jauh lebih spesifik. “Jika seorang perempuan menyentuh alat kelamin seorang perawan tanpa alasan maka dia didenda sebanyak delapan pana, dan dia harus membayar biaya pengobatannya. Jika perempuan itu telah bertunangan maka perempuan yang ‘menyerangnya’ harus membayar tiga kali lipat harga maharnya dan klitorisnya dipotong. Apabila seorang perempuan yang telah menikah menyentuh alat kelamin seorang perawan, maka vaginanya dipotong, begitu juga dengan dua jari tangannya.”
Homoseksualitas tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali saat Belanda menguasai Bali sepenuhnya pada 1906. Ketika Belanda mempromosikan Bali sebagai tujuan wisata di samping Pulau Jawa, berkembang pula citra Bali sebagai surga bagi kaum homoseksual. Pencitraan Bali yang demikian berkembang pada 1920-an.
Menurut Adrian Vickers dalam Bali: A Paradise Created, persepsi itu merupakan konsekuensi tak disengaja dari pengidentikkan Bali dengan (kemolekan raga para) perempuan(nya). Ini dilakukan orang-orang yang “berjasa” membentuk citra Bali bagi Barat semisal Julius Jacobs, W.O.J Nieuwunkamp, dan Gregor Krause. Muncul persepsi para pelancong Barat bahwa lelaki Bali memiliki keelokan rupa yang setara dengan perempuannya.
Keindahan rupa ditambah dengan “ketersediaan” para pemuda Bali inilah yang, menurut Dennis Altman dalam “Global Gaze/Global Gays“ yang masuk bungarampai Sexual Identities, Queer Politics karya Mark Blasius, menarik para homoseksual kaya-raya dari Eropa untuk tinggal di Bali.
Sama seperti masa-masa sebelumnya, masyarakat Bali tak terlalu memusingkan homoseksualitas. Miguel Covarrubias dalam Island of Bali menulis “ secara umum, homoseksualitas dianggap tak penting oleh orang Bali. Seorang remaja laki-laki yang sebelumnya dikenal sebagai “homoseksual profesional” pada akhirnya akan jatuh cinta pada seorang gadis, menikah dengannya dan kemudian menjadi normal.”
Mulai 1920-an para homoseksual seperti pelukis Rudolf Bonnet, musikolog Colin McPhee, dan seniman Walter Spies datang dan tinggal di Bali untuk beberapa lama. Orang-orang cemerlang itu amat mencintai Bali, dan mereka melakukan banyak hal untuk kemajuan dan promosi Bali. Colin McPhee membuat penelitian yang serius tentang musik tradisi Bali, Bonnet dan Spies bersama-sama membentuk kelompok kesenian Pita Maha yang punya kontribusi besar meghidupkan kembali berbagai aspek kesenian Bali.
Pada akhir 1930-an sentimen homofobia merebak di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mengadakan penangkapan besar-besaran orang-orang yang dicurigai homoseksual di berbagai daerah.
Sesungguhnya, di Belanda, homoseksualitas sendiri tak lagi dianggap sebagai perbuatan kriminal sejak 1811. Namun, sebagaimana ditulis Maarten Salden, “the Dutch Penal Law and Homosexual Conduct”, dalam bungarampai Interdisciplinary Research on Homosexuality in the Netherlands karya A.X van Naerssen, ada batasan umur yang harus dipenuhi dalam sebuah hubungan homoseksual. Pada 1911 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetboek van Strafecht), yang disempurnakan dengan pasal 248bis, mengkriminalisasi orang dewasa yang berhubungan seks sesama jenis dengan mereka yang berusia di bawah 21 tahun. Hukum inilah yang dipakai untuk menuntut homoseksual di Belanda dan Hindia Belanda pada 1930-an.
Di Bali, pemerintah menangkap Spies juga Roelof Goris dan Herman Noosten. Colin McPhee meninggalkan Bali dan kembali ke New York pada 1939. Sementara Bonnet cukup beruntung, dia tetap bisa tinggal di Bali hingga 1957.
Masa kejayaan Bali sebagai surga kaum homoseksual berakhir. Menurut Vickers dalam Bali A Paradise Created, sebagaimana dikutip Dennis Altman dalam Global Gaze/Global Gays, dalam kumpulan tulisan Sexual Identities, Queer Politics yang diedit Mark Blasius, “Bukan Perang Dunia I tapi reputasi Bali sebagai surga kaum homoseksual yang mengakhiri zaman keemasan Eropa di Bali.” Namun menurut Altman, pasca-Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia, terjadi semacam kebangkitan kembali Bali sebagai pilihan tempat tinggal ideal bagi laki-laki homoseksual.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Sejak berabad silam, hubungan seks sesama jenis bukan hal yang ditabukan dalam masyarakat Bali. Ia sudah menjadi bagian kehidupan sehari-sehari. Ini setidaknya dapat dilihat dari catatan perjalanan Dr Julius Jacobs, Eenigen Tijd Onder de Baliers: Eene Reisbeschrijving Met Aantekeningen Betreffende Hygiene, Land—En Volkenkunde Van Eilanden Bali en Lombok. Jacobs adalah seorang pejabat kesehatan Belanda yang datang ke Bali awal 1880-an dengan tujuan mempromosikan penggunaan imunisasi cacar air.
Dalam catatan perjalanannya, Jacobs sebagaimana dikutip D.F Janssen dalam tulisan tentang Indonesia pada jurnal Growing Up Sexually, Volume I mencatat beberapa bentuk hubungan seks sesama jenis di masyarakat Bali, yang disebut menyelit. Dalam bukunya Jacobs menulis, “Menyelit (pederasti) dipraktikkan nyaris di sebagian besar Pulau Bali dan hubungan semacam ini sama sekali tak dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.”
Jacobs juga mencatatkan tradisi mirip gemblakan dalam kesenian Gandrung di Bali. Biasanya, usai menari selama berjam-jam, para bocah itu diharapkan “melayani” kebutuhan seks para penampil yang lebih dewasa. Selain itu, dia juga menjumpai fenomena bocah laki-laki berusia sepuluh hingga duabelas tahun yang berpakaian seperti perempuan, “menawarkan” diri kepada laki-laki dewasa.
Sementara hubungan seks sesama jenis di kalangan perempuan menurut Jacobs, sebagaimana dikutip Havelock Ellis dalam tulisannya Sexual Inversion, sesungguhnya sama umumnya dengan seks sesama jenis di kalangan laki-laki, namun cenderung lebih dirahasiakan. Bentuk hubungan seks ini bisa menggunakan tangan, lidah, atau mempertemukan organ seksual (tribadism).
Menurut Jacobs, praktik tribadisme di kalangan perempuan itu oleh masyarakat Bali disebut mecengceng juuk. Dia juga menulis, sebagaimana dikutip Adrian Vickers dalam Bali A Paradise Created, “alat reproduksi perempuan Bali, yang menurut banyak ahli amatlah istimewa, adalah salah satu sebab meluasnya praktik (lesbianisme) ini.”
Pada masa prakolonial, masyarakat Bali diatur oleh hukum yang amat dipengaruhi tradisi legal Sanskerta, terutama Manavadharmasastra (Hukum Manu). Hukum ini memberikan banyak penekanan pada seksualitas dan pernikahan, juga sanksi yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran norma seperti kawin lari atau penculikan pengantin perempuan. Helen Creese dalam tulisannya The Regulation of Marriage and Sexuality in Precolonial Balinese Law Codes menulis bahwa hukum Bali di masa prakolonial cenderung tak menyinggung homoseksualitas. “Hubungan nonheteroseksual tak dianggap sebagai masalah yang harus diselesaikan dengan hukum. Tindakan itu lebih dianggap sebuah pelanggaran biasa (assault) alih-alih sebuah kejahatan seksual,” tulis Creese.
Hanya satu peraturan yang menyinggung langsung homoseksualitas, sebuah pelanggaran di mana seorang lelaki tidur dengan lelaki lain (disebut badawasa). Hukuman terberat perbuatan ini adalah hukuman mati. Hukuman itu bisa diperingan jika lelaki itu membayar sejumlah uang kepada lelaki yang jadi “korbannya”.
Di sisi lain, aktivitas seksual sesama perempuan mendapat lebih banyak perhatian dalam hukum Bali masa prakolonial. Bentuk hukumannya pun jauh lebih spesifik. “Jika seorang perempuan menyentuh alat kelamin seorang perawan tanpa alasan maka dia didenda sebanyak delapan pana, dan dia harus membayar biaya pengobatannya. Jika perempuan itu telah bertunangan maka perempuan yang ‘menyerangnya’ harus membayar tiga kali lipat harga maharnya dan klitorisnya dipotong. Apabila seorang perempuan yang telah menikah menyentuh alat kelamin seorang perawan, maka vaginanya dipotong, begitu juga dengan dua jari tangannya.”
Homoseksualitas tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali saat Belanda menguasai Bali sepenuhnya pada 1906. Ketika Belanda mempromosikan Bali sebagai tujuan wisata di samping Pulau Jawa, berkembang pula citra Bali sebagai surga bagi kaum homoseksual. Pencitraan Bali yang demikian berkembang pada 1920-an.
Menurut Adrian Vickers dalam Bali: A Paradise Created, persepsi itu merupakan konsekuensi tak disengaja dari pengidentikkan Bali dengan (kemolekan raga para) perempuan(nya). Ini dilakukan orang-orang yang “berjasa” membentuk citra Bali bagi Barat semisal Julius Jacobs, W.O.J Nieuwunkamp, dan Gregor Krause. Muncul persepsi para pelancong Barat bahwa lelaki Bali memiliki keelokan rupa yang setara dengan perempuannya.
Keindahan rupa ditambah dengan “ketersediaan” para pemuda Bali inilah yang, menurut Dennis Altman dalam “Global Gaze/Global Gays“ yang masuk bungarampai Sexual Identities, Queer Politics karya Mark Blasius, menarik para homoseksual kaya-raya dari Eropa untuk tinggal di Bali.
Sama seperti masa-masa sebelumnya, masyarakat Bali tak terlalu memusingkan homoseksualitas. Miguel Covarrubias dalam Island of Bali menulis “ secara umum, homoseksualitas dianggap tak penting oleh orang Bali. Seorang remaja laki-laki yang sebelumnya dikenal sebagai “homoseksual profesional” pada akhirnya akan jatuh cinta pada seorang gadis, menikah dengannya dan kemudian menjadi normal.”
Mulai 1920-an para homoseksual seperti pelukis Rudolf Bonnet, musikolog Colin McPhee, dan seniman Walter Spies datang dan tinggal di Bali untuk beberapa lama. Orang-orang cemerlang itu amat mencintai Bali, dan mereka melakukan banyak hal untuk kemajuan dan promosi Bali. Colin McPhee membuat penelitian yang serius tentang musik tradisi Bali, Bonnet dan Spies bersama-sama membentuk kelompok kesenian Pita Maha yang punya kontribusi besar meghidupkan kembali berbagai aspek kesenian Bali.
Pada akhir 1930-an sentimen homofobia merebak di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial mengadakan penangkapan besar-besaran orang-orang yang dicurigai homoseksual di berbagai daerah.
Sesungguhnya, di Belanda, homoseksualitas sendiri tak lagi dianggap sebagai perbuatan kriminal sejak 1811. Namun, sebagaimana ditulis Maarten Salden, “the Dutch Penal Law and Homosexual Conduct”, dalam bungarampai Interdisciplinary Research on Homosexuality in the Netherlands karya A.X van Naerssen, ada batasan umur yang harus dipenuhi dalam sebuah hubungan homoseksual. Pada 1911 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetboek van Strafecht), yang disempurnakan dengan pasal 248bis, mengkriminalisasi orang dewasa yang berhubungan seks sesama jenis dengan mereka yang berusia di bawah 21 tahun. Hukum inilah yang dipakai untuk menuntut homoseksual di Belanda dan Hindia Belanda pada 1930-an.
Di Bali, pemerintah menangkap Spies juga Roelof Goris dan Herman Noosten. Colin McPhee meninggalkan Bali dan kembali ke New York pada 1939. Sementara Bonnet cukup beruntung, dia tetap bisa tinggal di Bali hingga 1957.
Masa kejayaan Bali sebagai surga kaum homoseksual berakhir. Menurut Vickers dalam Bali A Paradise Created, sebagaimana dikutip Dennis Altman dalam Global Gaze/Global Gays, dalam kumpulan tulisan Sexual Identities, Queer Politics yang diedit Mark Blasius, “Bukan Perang Dunia I tapi reputasi Bali sebagai surga kaum homoseksual yang mengakhiri zaman keemasan Eropa di Bali.” Namun menurut Altman, pasca-Perang Dunia II dan kemerdekaan Indonesia, terjadi semacam kebangkitan kembali Bali sebagai pilihan tempat tinggal ideal bagi laki-laki homoseksual.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar