MUI terbelah, sebagian berpendapat pemberi jasa hukum wajib bersertifikat halal, sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
Pemberian jasa hukum oleh advokat atau konsultan hukum memang tidak secara tegas disebut dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagai pelaku jasa yang wajib melakukan atau memohonkan permohonan sertifikat halal. Namun, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah berkata lain.
Ia mengatakan, jasa hukum yang diberikan oleh advokat atau konsultan hukum juga diwajibkan memiliki sertifikat halal sebagaimana pelaku usaha untuk industri makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik dalam UU Jaminan Produk Halal. “Oh iya, jasa hukum, notariat, arsitektur, termasuk apapun itu termasuk produk kan, produk jasa,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (29/12).
Menurut Ikhsan, ketentuan dalam UU Jaminan Produk Halal tak hanya mencakup pelaku usaha dalam bidang produk barang atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik saja. Melainkan, mencakup produk jasa hukum yang diberikan oleh konsultan hukum.
Ia merujuk pada frasa ‘produk’ sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal yang di dalamnya termasuk jasa hukum. “Itu semua diatur dalam UU JPH karena sudah menjadi ketentuan maka implikasinya semua produk jasa wajib disertifikasi,” tegasnya.
Ikhsan mencontohkan, bentuk sertifikasi yang dilakukan terhadap pemberi jasa hukum. “Misalnya dalam hal perjanjian. Anda kan seorang lawyer pasti ada kaitannya dengan membuat perjanjian. Perjanjian yang disyaratkan kan harus halal itu. Di BW (KUH Perdata) disebutkan harus dengan klausa halal,” tuturnya.
Wakil Sekretaris Pengurus Pleno Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Asrorun Ni’am mengatakan DSN-MUI telah berupaya melakukan sosialisasi ke sejumlah advokat atau konsultan hukum terkait dengan kewajiban sertifikat ini. Meski sosialisasi itu tidak dilakukan secara khusus dan menyeluruh, ia berharap peran organisasi profesi advokat, seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) bisa membantu dan mendorong anggotanya membantu mensosialisasikan hal ini.
“Parsial lah, kalau secara menyeluruh dan khusus belum. Lebih baik internal PERADI memberikan penyadaran kepada para advokat. PERADI kan asosiasi. Jangan semua itu dibebankan dan ekspektasi berlebih kepada lembaga, itu yang paling penting,” katanya.
Hal berbeda diutarakan Ketua Pengurus Pleno DSN-MUI, Ma’ruf Amin. Ia mengatakan, UU Jaminan Produk Halal hanya diperuntukan untuk produk berupa makanan, minuman, serta produk lainnya yang berkaitan. “Itu kaitannya nanti dengan hal yang lain, itu produk,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.
Menurut Ma’ruf, UU Jaminan Produk Halal tidak mengatur mengenai kewajiban sertifikasi bagi pemberi jasa hukum. Atas dasar itu, sertifikasi bagi pemberi jasa hukum, dalam hal ini advokat atau konsultan hukum belum menjadi domain dari DSN-MUI. Bahkan, aturan yang mewajibkan pemberi jasa hukum mesti bersertifikat dari DSN-MUI pun hingga saat ini masih belum ada.
Meski begitu, jika ada seorang advokat atau konsultan hukum yang secara sukarela ingin mengajukan sertifikasi ke DSN-MUI, Ma’ruf mempersilakan. “Dan itu belum ada aturan kewajibannya, belum ada aturannya, masih sukarela. Seperti notaris, tapi notaris syariah sudah ada pendidikannya, aturannya belum bahwa notaris syariah harus syariah itu belum ada. Ya termasuk pengacara,” paparnya.
Menurut Ma’ruf, pembicaraan mengenai aturan kewajiban pemberi jasa hukum untuk bersertifikat ini belum ada kelanjutan pembahasannya lagi. Meski begitu, ia berharap, ke depan aturan mengenai kewajiban bagi advokat atau konsultan hukum untuk bersertifikat bisa segera direalisasikan.
“Sementara ini belum diatur keharusan daripada sertifikasi atau bersertifikat syariah. Nanti mungkin akan ada dari pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) itu akan ada. Nanti lewat OJK, kalau syariah mungkin konsultannya, notarisnya, akan diatur. Tapi saat ini belum diatur. Nanti kalau tidak menguasai syariah bagaimana dia menyelesaikan persoalan,” tandasnya.
Sekedar diketahui, ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai ‘jasa hukum’. Begitu juga dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal pun hanya dikatakan ‘cukup jelas’. Untuk ketentuan lengkap Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal adalah “Produk adalah barang dan/atau jasa terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.”
(NNP/Hukum-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Diskusi Halal Watch di Jakarta, Selasa (29/12). Foto: NNP
Pemberian jasa hukum oleh advokat atau konsultan hukum memang tidak secara tegas disebut dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagai pelaku jasa yang wajib melakukan atau memohonkan permohonan sertifikat halal. Namun, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah berkata lain.
Ia mengatakan, jasa hukum yang diberikan oleh advokat atau konsultan hukum juga diwajibkan memiliki sertifikat halal sebagaimana pelaku usaha untuk industri makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik dalam UU Jaminan Produk Halal. “Oh iya, jasa hukum, notariat, arsitektur, termasuk apapun itu termasuk produk kan, produk jasa,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (29/12).
Menurut Ikhsan, ketentuan dalam UU Jaminan Produk Halal tak hanya mencakup pelaku usaha dalam bidang produk barang atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik saja. Melainkan, mencakup produk jasa hukum yang diberikan oleh konsultan hukum.
Ia merujuk pada frasa ‘produk’ sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal yang di dalamnya termasuk jasa hukum. “Itu semua diatur dalam UU JPH karena sudah menjadi ketentuan maka implikasinya semua produk jasa wajib disertifikasi,” tegasnya.
Ikhsan mencontohkan, bentuk sertifikasi yang dilakukan terhadap pemberi jasa hukum. “Misalnya dalam hal perjanjian. Anda kan seorang lawyer pasti ada kaitannya dengan membuat perjanjian. Perjanjian yang disyaratkan kan harus halal itu. Di BW (KUH Perdata) disebutkan harus dengan klausa halal,” tuturnya.
Wakil Sekretaris Pengurus Pleno Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Asrorun Ni’am mengatakan DSN-MUI telah berupaya melakukan sosialisasi ke sejumlah advokat atau konsultan hukum terkait dengan kewajiban sertifikat ini. Meski sosialisasi itu tidak dilakukan secara khusus dan menyeluruh, ia berharap peran organisasi profesi advokat, seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) bisa membantu dan mendorong anggotanya membantu mensosialisasikan hal ini.
“Parsial lah, kalau secara menyeluruh dan khusus belum. Lebih baik internal PERADI memberikan penyadaran kepada para advokat. PERADI kan asosiasi. Jangan semua itu dibebankan dan ekspektasi berlebih kepada lembaga, itu yang paling penting,” katanya.
Hal berbeda diutarakan Ketua Pengurus Pleno DSN-MUI, Ma’ruf Amin. Ia mengatakan, UU Jaminan Produk Halal hanya diperuntukan untuk produk berupa makanan, minuman, serta produk lainnya yang berkaitan. “Itu kaitannya nanti dengan hal yang lain, itu produk,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.
Menurut Ma’ruf, UU Jaminan Produk Halal tidak mengatur mengenai kewajiban sertifikasi bagi pemberi jasa hukum. Atas dasar itu, sertifikasi bagi pemberi jasa hukum, dalam hal ini advokat atau konsultan hukum belum menjadi domain dari DSN-MUI. Bahkan, aturan yang mewajibkan pemberi jasa hukum mesti bersertifikat dari DSN-MUI pun hingga saat ini masih belum ada.
Meski begitu, jika ada seorang advokat atau konsultan hukum yang secara sukarela ingin mengajukan sertifikasi ke DSN-MUI, Ma’ruf mempersilakan. “Dan itu belum ada aturan kewajibannya, belum ada aturannya, masih sukarela. Seperti notaris, tapi notaris syariah sudah ada pendidikannya, aturannya belum bahwa notaris syariah harus syariah itu belum ada. Ya termasuk pengacara,” paparnya.
Menurut Ma’ruf, pembicaraan mengenai aturan kewajiban pemberi jasa hukum untuk bersertifikat ini belum ada kelanjutan pembahasannya lagi. Meski begitu, ia berharap, ke depan aturan mengenai kewajiban bagi advokat atau konsultan hukum untuk bersertifikat bisa segera direalisasikan.
“Sementara ini belum diatur keharusan daripada sertifikasi atau bersertifikat syariah. Nanti mungkin akan ada dari pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) itu akan ada. Nanti lewat OJK, kalau syariah mungkin konsultannya, notarisnya, akan diatur. Tapi saat ini belum diatur. Nanti kalau tidak menguasai syariah bagaimana dia menyelesaikan persoalan,” tandasnya.
Sekedar diketahui, ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai ‘jasa hukum’. Begitu juga dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal pun hanya dikatakan ‘cukup jelas’. Untuk ketentuan lengkap Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal adalah “Produk adalah barang dan/atau jasa terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetic, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.”
(NNP/Hukum-Online/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar