Keadilan Ilahi (1)
Oleh: Arif Mulyadi
Dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengutip sebuah hadis Nabi saw. yang berbunyi : Takhallaqu bi akhlaqillah yang artinya "berakhlaklah dengan akhlak Allah". Pada dasarnya manusia memiliki ego yang hidup, berkembang dan mempunyai kekuatan sendiri.
Dalam pandangan Iqbal, ego merupakan suatu kekuatan yang akan mengantarkan manusia ke tingkat hidup yang lebih tinggi dan mulia, hingga ia mencapai tahap insan. Ego dalam diri insan inilah yang menghantarkan manusia menjadi pribadi.
Dengan memperkuat pribadi (ego), manusia dapat mendekati Ego Mahabesar, Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya. Dengan kekuatan ego ini, manusia akan mengejawantahkan (sifat-sifat) Tuhan dalam dirinya.
Tatkala dibenturkan dengan kenyataan sosialnya-- dalam sebuah realitas sosial yang absurd yakni saat modus interaksi sosial di tingkat kultur dan struktur, sumber -sumber otentik Islam (Al-Quran dan Sunnah) tidak dijadikan bingkai rujukan- manusia Muslim seringkali berada pada noktah krisis eksistensial. Terlebih lagi ketika idealita yang menjadi obsesi dan dambaan hidup begitu paradoks dengan kenyataan yang ada.
Di sini, penjara kenyataan masyarakat telah menjauhkan manusia dari misi sucinya, yakni tatkala ia tidak mampu membuktikan sosoknya sebagai aktor sejarah. Alih-alih menjadi aktor sejarah, ia terpola dengan persepsi dan formalitas masyarakat -yang karena dibentuk dengan sistem nilai yang lain- dengan sifatnya yang nisbi.
Bagi seorang Mukmin sejati persoalan-persoalan tersebut takkan menjadi keniscayaan jika hubungan-hubungan simbiotik-organik -baik di antara sesama Mukmin sebagai aktor sejarah maupun rumusan-rumusan gagasan interpretatifnya atas kenyataan sosial- begitu terjalin secara tegas dan erat. Bentuk-bentuk hubungan ini akan terjadi melalui silaturahim.
Secara harfiah, silaturahim tidak hanya bermakna menyambungkan tali kasih sayang. Akan tetapi, lebih jauh mempunyai potensi untuk mengubah bangunan-bangunan sosial yang ada bila dilakukan secara intensif, memiliki kekuatan informatif, dan teratur.
Menempatkan silaturahim secara signifikan dalam aktivitas kesejarahan komunitas Syi’ah -secara khusus, dengan meminjam ujaran Ali Syari’ati (1993) ihwal tanggung jawab sejarah- berarti mendudukkan silaturahim secara fungsional yakni:
(1) sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah;
(2) sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai;
(3) sebagai proses aktualisasi sunnah yang hidup.
Berikut penjelasan secara sederhana ihwal fungsi -fungsi silaturahim :
1. Sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah Kepentingan pertama silaturahim adalah menjadikannya sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah. Ada hubungan dialektis pada silaturahim dalam budaya khas dengan bingkai masyarakat Muslim.
Pertama, silaturahim terwujud karena kesadaran mendalam akan eksistensi diri, yaitu kesadaran yang dibangun atas dasar pembuktian akan kebenaran secara rasional Islam vis a vis sistem keyakinan ideologi lain -baik secara normatif maupun historis- dalam bentuk manifestasinya ke tingkat praksis kehidupan.
Kedua, silaturahim akan membangun kesadaran setiap individu akan beban sejarah -dalam ujaran Syari’ati, ini disebut tanggung jawab sosial Syi’ah- yang karenanya maka hidupnya akan menyejarah dan bukan menyerah pada sejarah.
Proses integrasi ini tercapai karena terjadinya diskursus intelektual dan spiritual yang harmonis, sehingga mampu mengatasi kebekuan dan berbagai krisis eksistensial yang mungkin terjadi, dan akan menjadikan kenyataan sosial sebagai tantangan, peluang, dan harapan untuk meraih buah spiritual. Silaturahim, dengan demikian, berfungsi sebagai "ice-breaker" (pemecah kebekuan) atas kenyataan sosial. Ringkasnya, elan vital (semangat dasar) silaturahim sebagai proses integrasi ini akan menjadikan bangunan masyarakat Muslim sebagai sebuah keniscayaan.
2. Sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai. Silaturahim sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai akan mengukuhkan sistem nilai itu sendiri sehingga tidak pernah memberi ruang terjadinya akumulasi secara teoretis, namun secara tepat akan mengatasi seluruh bentuk ikatan primordial.
Dengan silaturahim, sistem nilai yang dibangun para pecinta Ahlulbayt Nabi as. seperti tawhid, keadilan Ilahi, kenabian, imamah, dan qiyamah menjadi terpelihara. Secara pasti, silaturahim akan menyatukan komunitas Syi’ah pada visi dan orientasi yang jelas. Hal ini dimungkinkan mengingat platform Imamah dalam paham Syi’ah memiliki ketegasan dan kejelasan dibandingkan dengan konsep-konsep kepemimpinan mazhab manapun.
Bagi komunitas Syi’ah, silaturahim dalam makna fungsional ini menuntut sikap kritis agar pemihakan (berwilayah) kepada Ahlulbayt Nabi as. dapat dibuktikan secara rasional. Menempatkan silaturahim sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai bermakna adanya tuntutan untuk membuka ruang dialog kritis dan pertanyaan yang serius: sejauh mana sistem nilai Syi’ah mampu diterapkan dalam dunia kehidupan (lebenswelt) masyarakat secara optimal.
Apresiasi terhadap pertanyaan ini selayaknya dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Dengan pertanyaan instrospektif ini, diharapkan seorang Syi’ah tidak terpaku pada masa lalu, tanpa mengemban suatu tanggung jawab sosial di masa depan.
Dengan demikian, ia akan melepaskan klaim kebenaran (truth claim) secara historis an sich dan bergerak menuju suatu intizhar (penantian Imam Zaman) yang positif. Ia tidak hanya hapal sejarah berdarah para Imam Ahlulbaytas. namun ia akan menciptakan sejarah --dengan kepemimpinan Al-Mahdi as.-- guna menegakkan keadilan dan kebenaran.
3. Sebagai proses aktualisasi sunnah yang hidup Islam sebagai sistem gagasan yang serba mencakup menuntut pembumian atau realisasi.
Jika kedua dimensi fungsional silaturahim tersebut bermuara pada fungsi baik pada kekuatan sejarah maupun sistem nilai, maka silaturahim sebagai proses aktualisasi ini menjadi jabaran nyata dalam realitas sosio-kultural masyarakat kita.
Seluruh tema Al-Quran Suci yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat Muslim -seperti fastabiqul khairat, ta’awun, tawshiyah dsb- menjadi aktual. Silaturahim, dengan demikian, akan mengajak kita untuk mewarisi tradisi Para Nabi dan Para Imam as.
Inilah sunnah yang hidup yakni tradisi yang mengharuskan terjadinya perubahan (transformasi) baik secara individual maupun sosial. Ketiga dimensi fungsional inilah yang penulis pandang akan menjadikan silaturahim memenuhi makna hadis yang dikutip di muka yakni proses menciptakan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Selanjutnya, makna silaturahim ini akan terefleksikan secara khas dan sakral baik secara individual maupun sosial yang akan penulis coba elaborasi dalam dua sub tema berikut .
Silaturahim dan Transendensi Ketiga dimensi fungsional silaturahim tersebut penulis anggap sebagai premis-premis utama dalam membicarakan titik artikulasi yang tegas antara silaturahim dan transendensi. Seperti yang telahdisebutkan, ketiga dimensi tadi berarak menuju pada satu muara yaitu menghadirkan Tuhan dalam diri manusia. Pertama-tama ini harus dipahami lebih bercorak individual yaitu bagaimana silaturahim ini menjadi manifestasi agung sebagai bukti penyerahan total kepada Tuhan Yang Penyayang (Al-Rahim).
Di sini jelas, silaturahim bersifat habluminallah (transenden) dan sakral dan bukan aktivitas interaksi fisis dan mekanis. Keadaan seperti ini amat bergantung kepada pengalaman spiritualitas dan pencerahan ruhani seseorang yang tentu perlu latihan terus menerus.
Dalam hadis qudsi, misalnya, disebutkan bahwa Allah menisbatkan diri-Nya sebagai orang yang sakit, orang yang lapar, yang menegur manusia yang tidak menengok-Nya. Menengok orang yang sakit, memberi makan orang yang lapar seolah -olah merupakan perjumpaan antara seorang manusia dengan Tuhan. Seluruh gerak psiko-motorik manusia pada hakikatnya merupakan manifestasi dari kecenderungan batin manusia, demikian Iqbal ketika menjelaskan relasi antara gerak manusia dengan ego-nya.
Berarti di sini, dengan meminjam ungkapan Iqbal tadi, terdapat relasionitas antara pemikiran (pengetahuan) dengan perspektif dirinya (eksistensinya). Teori ini penulis pandang mampu menjabarkan fenomena-fenomena sosial yang nampak dalam masyarakat kita seperti keterasingan (alienasi), krisis eksistensial, rasa pesimis antara cita dan harapan yang kesemuanya jelas diakibatkan pemikiran yang dihasilkan dari pergulatan dengan realitas sosialnya. Intensitas pergulatan dengan pemikiran dalam konteks pemihakan yang jelas (berwilayah) kepada Ahlul bayt Nabi as. akan mengeliminasi berbagai problem-problem tersebut.
Secara normatif, hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi Islam Saw. yang menyatakan bahwasanya berpegang kepada Ahlulbaytnya akan menyelamatkan manusia dari bencana dan kebinasaan. Sejauh mana pemihakan (berwilayah) kepada Ahlulbayt Nabi Saw. mampu memecahkan persoalan amat tergantung kepada kemampuan untuk membisosiasikan (:menafsirkan dan mengaitkan antara teks/fakta yang satu dengan teks/fakta yang lain) realitas dengan pijakan normatif dari mereka - alaihimussalam.
Silaturahim akan meyelaraskan pemikiran setiap individu, karena wacana spiritual dan intelektual yang terjadi akan memberikan kerangka yang jelas bagi setiap interpretasi kehidupan. Dengan silaturahim, landasan gerak individu mempunyai tarikan yang jelas dengan konsep kepemimpinan (Imamah) yang hakiki, karena pemihakan yang dilakukannya. Silaturahim dalam spektrum yang lebih luas, baik dari makna silaturahim gagasan maupun silaturahim emosional akan mengantarkan individu pada pengenalan yang lebih dalam tentang Tuhan.
Silaturahim yang ditempatkan pada kenyataan hidup ini pada gilirannya akan mengajak setiap individu untuk mengabdi dan melayani secara total seluruh kehidupannya kepada Yang Mutlak. Silaturahim dan Ummah Al-Quran meletakkan amanah kepada kaum Muslimin dua hal : transedensi dan ummah.
Dengan mengutip Roger Garaudy, Ummah merupakan suatu masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai (kepercayaan), dan bukannya dalam arti yang terdapat dalam komunitas keagamaan. Ummah adalah masyarakat yang tidak saja bersifat religius, namun di dalam masyarakat itu keimanan memasuki segala tindakan --dan karenanya sistem tindakan mengandung dimensi esoterik.
Kehidupan menjadi bukan kehidupan pribadi semata tetapi par excellence kehidupan sosial dan kehidupan politik. Senada dengan Garaudy, adalah penting untuk kita mengutip pendapat dari Muthahhari ihwal ciri-ciri Ummah.
Dalam bukunya yang berjudul Masyarakat dan Sejarah (1992:21-24), Muthahhari menyebutkan bahwasanya Ummah (society) merupakan : Suatu senyawa sejati, sebagaimana senyawa-senyawa alamiah. Tetapi, yang disintesis di sini adalah jiwa, pikiran, kehendak, serta hasrat, sintesisnya bersifat kebudayaan, bukan kefisikan.
Unsur-unsur bendawi, yang dalam proses aksi dan reaksi, saling susut dan lebur, menyebabkan munculnya suatu wujud baru, dan berkat reorganisasi ini, mewujudlah suatu senyawa baru, dan unsur-unsur itu terus maujud dengan identitas baru.... yang diistilahkan sebagai "jiwa kemasyarakatan". Pendeknya, dalam Ummah terdapat : gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan-bersama perbuatan, kesadaran, pengertian, perasaan, dan perilaku bersama. Silaturahim, sekali lagi, akan mampu melahirkan konsep Ummah yang ideal sesuai dengan pandangan Al-Quran.
Dari sana, akan terlahir suatu gagasan sejarah bersama, cita-cita bersama, damn sampai pada akhirnya timbul perilaku bersama.
Tentu ini tidak berarti mengingkari adanya perbedaan yang bersifat inheren pada setiap manusia. Khulasah Dari paragraf-paragraf tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya silaturahim tidak semata-mata bersifat kontak fisik. Akan tetapi, ia memiliki makna spiritual dan historis yang tinggi.
Dalam silaturahim terdapat tiga dimensi fungsional yang akan bermuara pada dua noktah yakni transendensi dan ummah. Ketiga dimensi fungsional tersebut adalah sebagai:
(1) proses kekuatan sejarah;
(2) proses tranformasi dan pelembagaan sistem nilai dan;
(3) proses aktualisasi sunnah ang hidup.
Semoga dengan ibadah puasa Bulan Ramadhan silam serta Hari Raya Iedul Fitri yang baru saja kita laksanakan mampu menyegarkan kembali makna silaturahim dan menghidupkan silaturahim terus menerus dengan seluruh makna yang terkait.
Wallahu 'alam
(Al-Jawad/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar