Meski telah lama dikenal dalam dunia tasawuf kontemporer, nama Fethullah Gulen kembali meledak pasca ‘kudeta gagal’ di Turki Juli lalu. Tanpa tedeng aling-aling, Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan menuding Gulen sebagai aktor di belakang percobaan kudeta itu. Jaringan sosial, media hingga pendidikan yang terkait dengan Gulen pun disisir penguasa Turki untuk ditutup. Tidak hanya itu, Gulen beserta pengikutnya itu dicap teroris (FETO) oleh sang presiden.
Siapa sangka, kebijakan Erdogan itu pun berdampak langsung di Indonesia dimana 9 sekolah, termasuk di Yogyakarta, dituding sebagai jaringan ‘teroris’ Gulen. Lewat Dubes Turki di Jakarta, penguasa Turki itu meminta semua sekolah itu ditutup. Pemilik sekolah hingga wali murid menanggapi bahwa tudingan itu tak mendasar. Hingga pemerintah melalui Menteri Luar Negari Retno Marsuadi angkat bicara.
“Kita, Indonesia, selalu menghormati hukum dan kedaulatan negara lain. Oleh karena itu, Indonesia juga meminta negara lain untuk menghormati hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia,” sindir Menlu Retno.
Nah, siapakah sebenarnya Gulen? Apakah benar Gulen mengajarkan praktik kekerasan? Alih-alih teroris, jika dilihat rekam jejaknya, pria kelahiran 1941 ini dikenal sebagai master sufi yang menghabiskan separuh hidupnya untuk membangun dialog antargolongan yang mewakili beragam ideologi, budaya, agama dan negara.
Sosok bernama lengkap Muhammed Fethullah Gulen ini berpendapat, dialog yang tulus dalam rangka meningkatkan saling pengertian sangatlah diperlukan. Karena itu, pada 1994, ia membantu lahirnya Yayasan Wartawan dan Penulis yang kegiatannya mempromosikan dialog dan toleransi antar semua lapisan masyarakat.
Dalam buku ‘Berislam Secara Toleran’ (Mizan, 2011) makalahnya bertajuk ‘The Necessity of Interfith Dialogue’ telah disampaikan ke Parlemen Agama Dunia di Cape Town. Bukan sekedar wacana, tokoh kelahiran Desa Koucuk – Turki Timur ini aktif berdialog dengan sejumlah tokoh, sebut saja Paus Yohannes Paulus III di Vatikan, Uskup Agung New York Jhon O’Connor, Kepala Rabi Komunitas Yahudi di Turki, dan lain-lain.
Ketika tragedi 11 September di New York dikait-kaitkan dengan Islam, Gulen menegaskan bahwa teror tidak pernah bisa digunakan atas nama Islam karena seorang Muslim yang sejati tidak mungkin menjadi teroris. Bagi penulis buku ‘Toward a Global Civilization of Love and Tolerance’ ini, sosok Muslim seharusnya menjadi representasi dan simbol perdamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Atas dedikasinya pada perdamaian dunia, dalam acara The Peaceful Heroes Symposium di Universitas Texas, Gulen diberi penghargaan sebagai salah satu ‘peacemakers’ selama 5.000 tahun sejarah manusia. Nama Gulen pun masuk dalam deretan yang di dalamnya terukir nama seperti Yesus, Budha, Gandhi, Martin Luther King dll.
Di usianya yang cukup sepuh ini, Gulen telah melahirkan sejumlah karya buku seperti, Muhammad: Aspects of His Life, Pearls of Wisdom, Key Consepts in the Practice of Sufism dll. Adapun bukunya yang berjudul ‘Toward a Global Civilization of Love and Tolerance’, merupakan kumpulan pidato dan artikel Gulen. Karya ini terbit ketika dialog antarperadaban dan agama semakin dibutuhkan sebagai alternatif bagi kemungkinan terjadinya ‘benturan peradaban’.
Pemikiran Gulen yang tersebar melalui pidato, kajian, buku hingga artikel di media menjadi inspirasi bagi berbagai lapisan masyarakat lintas golongan. Dari inspirasi ini, mereka tergerak untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasan Gulen hingga mereka disebut ‘Gulen Movement’ atau ‘Gulenism’. Gerakan ini menawarkan pandangan dunia Islam yang ramah di tengah-tengah ancaman terorisme dan radikalisme.
Gulen sendiri menyerukan toleransi yang terinspirasi dari Al-Qur’an, hadist, dan pandangan-pandangan inklusif para sufi seperti Al-Ghazali dan Jalaluddin Rumi. Toleransi, cinta, dan kasih sayang, bagi Gulen, adalah benar-benar nilai Islam yang mana seorang Muslim wajib menerapkannya di dunia modern.
“Mari, datanglah dan bergabunglah dengan kami, karena kami adalah pecinta! Ayo, datanglah melalui pintu cinta. Bergabunglah dan duduk bersama kami. Ayo, mari kita berbicara satu sama lain melalui hati kita. Mari kita berbicara diam-diam, tanpa telinga dan mata. Mari kita tertawa bersama tanpa bibir atau suara, marilah kita tertawa seperti mawar. Mari kita memanggil satu sama lain dari hati kita.”
Demikian kutipan pesan cinta Rumi yang sangat mempengaruhi Gulen sebagaimana ajaran Nabi Muhammad mengilhaminya; “Bantulah saudaramu baik mereka penindas atau korban. Engkau dapat membantu penindas dengan membuat mereka menghentikan penindasan mereka (kepada orang lain).”
Karena itu, jika dikaji dari akar katanya, Islam artinya adalah penyerahan diri, membimbing kepada kedamaian, dan membangun keamanan. Islam bukan agama kekerasan. Adapun konsep ‘Jihad’, di mata Gulen, ialah upaya untuk membela diri atau penyucian jiwa dalam rangka menghilangkan rintangan antara Allah dan pilihan bebas manusia. Sejarah Islam penuh dengan contoh yang menunjukkan bagaimana prinsip ini telah diterapkan dalam kehidupan nyata.
Sayangnya, ayat jihad dalam Al-Qur’an dipahami secara reduktif dan tekstual oleh para teroris yang dangkal pola pikirnya. Akhirnya, jihad yang dasarnya merupakan upaya defensi membela diri dirubah menjadi upaya ofensif yang tak manusiawi. Gulen menyebut, orang-orang radikal tidak memahami makna sebenarnya spirit Islam. Mereka gagal menetapkan keseimbangan yang tepat antara apa yang primer (perdamaian) dan apa yang sekunder (perang dalam keadaan darurat).[]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar