Seperti yang pernah aku janjikan kemarin untuk menceritakan bagaimana situasi dan kondisi saat terjadi “Aksi Bela Rohingya” di Masjid An-Nur Pemerintah Kabupaten Magelang. Aksi yang di pelopori oleh alumnus 212 dan GNPF MUI wilayah Jateng-DIY ini berlangsung pada Jum’at (8/09/2017) di Masjid An-Nur, Sawitan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Sejak pagi memang kondisi sekitar area candi Borobudur, area sekitar masjid An-Nur dan di beberapa titik masuk ke dua area tersebut dipenuhi dengan Polri yang sedang melakukan penjagaan ketat. Kawasan taman wisata candi Borobudur juga di sterilkan dari para pedagang dan wisatawan. Yang ada hanya rombongan aparat keamanan seperti TNI, Polri dan juga Satpam candi.
Tadi siang, setelah shalat Jum’at (12:30 WIB) aku berangkat menuju lokasi, yakni di masjid An-Nur. Akan tetapi, karena memang lokasinya jauh dan harus ditempuh dengan berjalan kaki sebab jalan ditutup Polisi, maka aku memutuskan untuk turun di Parkiran depan area pertigaan area PDAM Kabupaten Magelang.
Awalnya memang keadaan sekitar sangat ramai namun tetap kondusif. Menurut beberapa teman yang juga ikut memantau di sekitar area PDAM hingga Masjid An-Nur, masih banyak laskar pendatang yang telat dan akhirnya tidak mengikuti shalat Jum’at di Masjid An-Nur. Walau begitu, mereka tetap menunaikannya di mushola area PDAM.
Suasana masih tetap kondusif. Takbir terus berkumandang secara lantang di jalanan.
Sekitar pukul 13:00 WIB ada sebuah kericuhan di jalur hendak memasuki masjid An-Nur. Kericuhan ini mulanya dipengaruhi karena faktor bendera. Suara takbir semakin lantang, aku mendekat. Bahkan aku mendengar orang yang berdiri di depanku mengatakan “Polisinya Bajingan! Masa bendera Tauhid nggak boleh masuk ke area Masjid?. Polisi Laknatullah” katanya. Aku tidak tahu siapa dia, tapi dari ucapannya, itu sudah mencerminkan siapa dia sebenarnya.
“Perhatian semua, Bapak Polisi akan memberikan penjelasan kenapa bendera Tauhid tidak diperkenankan masuk ke area masjid?” teriak lantang seorang ditengah kerumunan. “Saya hanya mengatur lalu lintas, saya tidak bisa memberikan statment mengenai boleh tidaknya membawa bendera” jelas salah seorang anggota Polri yang dikerumuni masa saat itu. “Tapi kan Pak, ini bendera umat Islam. Negara Indonesia merdeka karena bendera ini, kenapa tidak boleh masuk?” teriak seorang wanita dengan nada lantang dari belakang.
Kemudian setelah mendengar penjelasan dari Polri, masa tersebut membubarkan diri namun tetap berteriak Takbir dan beberapa diantara mereka mengatakan “Polri, Laknatullah ’alaihim”. Pandanganku menyoroti kepada seorang Polisi yang agak “sepuh” (tua), beliau dikerumuni dua orang anggota laskar dari arah kanan dan kirinya yang kemudian berteriak Takbir dan perkataan “Laknatullah” dengan lantang tepat di depan telinganya. Sontak Bapak Polisi itu merasa kaget namun beliau mencoba pasrah. Tak lama kemudian Laskar tersebut membubarkan diri dan berjalan menuju Masjid. Aku mencoba mendekati Bapak Polisi yang diteriaki tadi, bersalaman sambil bertanya basa-basi “Pak, ada apa toh tadi itu?” tanyaku seolah sedang keheranan. “Tidak ada apa-apa, nduk. Lihat sendiri kan, tadi bagaimana respon mereka?” katanya. Aku haya menganggukkan kepala sambil berkata “Iya, Pak” seolah aku faham apa maksud dari Bapak ini.
Sambil berlalu, aku mengatakan kepadanya “Pak, mohon dimaafkan ya mereka semua. Tidak usah diambil hati”. Perasaan gelisah menyelimuti hatiku pada saat itu, rasanya hatiku tercincang-cincang dan telah remuk. Bagaimana tidak? aku tidak menyoroti apa permasalahannya, apa yang di inginkan para laskar tersebut. Akan tetapi aku menyoroti, mengapa ada orang berlaku seperti itu kepada orang yang umurnya lebih tua darinya. Apakah baik dan apakah pantas?. Rasanya sedih sekali mengingat momentum itu.
Sekitar pukul 13:30 acara sudah selesai, pasukan TNI dan beberapa laskar membubarkan diri dan berlalu didepanku. Ketika rombongan TNI lewat tepat di depan anggota Brimob yang berjaga menggunakan kendaraan motor. Beberapa orang berteriak lantang dan berkata “Hidup TNI !! Allahu Akbar !!! Hidup TNI” sontak aku reflek, aku mendekati pasukan Brimob Polri dan berkata, “Lha, wung disini juga ada Polri kok yang diteriakin cuma TNI”, salahsatu Brimob yang ada di sampingku tersebut menatapku dan berkata, “Alah sudah biasa mbak” dia berkata sambil tersenyum padaku. Ya Tuhan, rasanya tercincang kembali hatiku yang kecil ini.
Setelah semua laskar membubarkan diri, aku melihat beberapa orang anggota Kokam berjalan tepat didepanku. Dengan sengaja, aku memberanikan diri untuk mendekati mereka “Kokam mana, Pak?” tanyaku sambil basa-basi. “Klaten, mbak” katanya. “Owalah Klaten” tanggapku dengan sedikit berlagak sok tahu. “Iya mbak, sebenarnya masih banyak anggota yang ikut. Tapi sementara yang kelihatan hanya ini saja”. “Lho, Pak. Bukannya dari Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah tidak menginstruksikan anggotanya untuk ikutserta dalam aksi ini?” tanyaku dengan nada sedikit bingung. Tatapan mata para personil Kokam ini tertuju padaku, mungkin mereka heran mengapa aku bertanya seperti itu. “Kami tidak tahu” kata seorang yang ku tanyai tadi.
Setelah beberapa lama aku berada di tempat itu, aku pun langsung pulang karena waktu sudah hampir mendekati Ashar. Tiga hal yang aku ingat dalam momentum ini, yakni bendera Tauhid, Pak Polisi dan Kokam. Sudah itu saja. Sekian.
Vinanda Febriani, Judul asli: Cerita dari Aksi Bela Rohingya Laskar Se-Jateng DIY di Magelang
(Duta-Islam/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar