Raden Mas Sudiro tentu tidak pernah membayangkan suatu ketika nanti dia akan menggubah komposisi gamelan dan dikirim terbang ke antariksa. Bukan hanya ‘sekadar’ antariksa, sekarang komposisi gamelan Jawa itu bahkan sedang mengarungi ruang interstellar atau ruang antar bintang. Seandainya benar ada alien di luar sana, karya Sudiro bakal menjadi salah satu komposisi pertama dari bumi yang bakal mereka simak.
Lahir pada 3 Maret 1811, Sudiro merupakan cucu dari penguasa Puro Mangkunegoro di Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro II. Selain menikmati pendidikan Jawa ala bangsawan Mangkunegaran, Raden Sudiro juga mendapatkan pendidikan Belanda dari para guru pribadi yang didatangkan oleh kakeknya.
Seperti yang dikutip dari detik.com, Setelah KGPAA Mangkunegoro III berpulang pada 1853, Raden Mas Sudiro diangkat sebagai penggantinya dan menjadi KGPAA Mangkunegoro IV. Dialah — konon bersama Ronggowarsito — yang menulis karya legendaris Serat Wedhatama. Dia pulalah yang menulis komposisi gamelan Ketawang Puspowarno Laras Slendro Pathet Manyuro. Komposisi Ketawang Puspowarno ini lah – dimainkan oleh kelompok gamelan Paku Alaman Yogyakarta dengan pengarahan Kanjeng Raden Tumenggung Wasitodipuro – yang direkam oleh Robert E. Brown, etnomusikolog dari Amerika Serikat.
Ketika Komite Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang dipimpin oleh profesor astronomi Universitas Cornell, Carl Sagan, diminta menyaring musik, suara dan gambar, yang bakal menyertai perjalanan wahana Voyager 1 ke antariksa, komposisi Ketawang Puspowarno sepanjang 4 menit 43 detik tersebut terpilih. Komposisi Puspowarno direkam di atas cakram emas bersama Brandenburg Concerto No. 2 karya Johann Sebastian Bach, The Magic Flute, karya Mozart, Melancholy Blues yang dilantunkan oleh Louis Armstrong, Symphony no. 5 karya Beethoven, dan puluhan komposisi lain dari seluruh dunia.
“Rekaman itu hanya akan dimainkan jika Voyager bertemu dengan peradaban yang sudah maju di ruang antar bintang. Tapi peluncuran “pesan dalam botol” ke lautan kosmis ini memberikan harapan tentang kehidupan di planet sana,” kata Sagan, kala itu, seperti dikutip Space.
Selain komposisi Puspowarno, dalam cakram emas itu juga tersimpan foto penari Bali hasil jepretan Donna Grosvenor dan ucapan dalam bahasa Indonesia,”Selamat malam hadirin sekalian, selamat berpisah dan sampai bertemu lagi di lain waktu,” bersama ucapan lain dalam 55 bahasa di dunia. Total ukuran file semua rekaman itu – musik, suara dan gambar – hanya sekitar 68 kilobita. Jauh lebih kecil dari kapasitas iPod paling kecil sekalipun.
Pada bagian muka cakram emas, juga ditambahkan material radioaktif Uranium-238 yang memiliki umur paruh 4,51 miliar tahun. Harapannya, jika suatu saat ada yang menemukan rekaman itu, dia bisa menghitung berapa umur piringan emas tersebut. “Ini lah hadiah dari kami, satu dunia kecil, memuat rekaman suara, sains, gambar, pemikiran dan perasaaan kami,” Presiden Amerika Serikat kala itu, Jimmy Carter, berpidato dalam rekaman cakram emas.
Wahana tanpa awak Voyager 1 berbobot 722 kilogram, terbang meninggalkan bumi dari Cape Canaveral Air Force Station, Florida, pada 5 September 1977. Setelah meluncur dari bumi dengan roket Titan IIIE-Centaur, dua tahun kemudian, Voyager memasuki orbit Planet Jupiter. Setahun kemudian, Voyager 1 ‘bertemu’ dengan ‘Dewa Pertanian’ Saturnus.
Setelah lebih dari 38 tahun mengangkasa, hari ini pukul 11.47 WIB, jarak Voyager 1 dengan bumi mencapai 20,02 miliar kilometer. Voyager 1 menjadi wahana pertama dari bumi yang keluar dari tata surya dan mencapai interstellar atau ruang antar bintang. Tapi sampai detik ini, belum ada kabar atau bukti ada kehidupan di luar sana yang telah menyimak rekaman komposisi Raden Mas Suryo, Bach, dan Beethoven itu.
****************************
Pada pertengahan Agustus 1977, nyaris semua orang di Amerika tengah membicarakan kematian Raja Rock and Roll, Elvis Aaron Presley. Namun Jerry Ehman, seolah-olah tidak peduli.
Alih-alih memelototi berita kematian Elvis di televisi, Jerry, kala itu 37 tahun, malah asyik mencermati cetakan hasil “penyadapan” Observatorium Radio Universitas Negeri Ohio di Columbus, Ohio. Teleskop radio tipe Kraus di kampus Universitas Negeri Ohio mulai dibangun pada 1956 dan beroperasi sejak 1961 untuk “menguping” sinyal-sinyal radio dari luar tata surya.
Pada 15 Agustus pukul 10.16 malam, sehari sebelum kematian Elvis, Big Ear alias Si Kuping Besar, julukan bagi Observatorium di Columbus itu, menangkap sinyal tidak biasa. Pada satu kolom vertikal tertulis “6EQUJ5″. Biasanya, data-data dari Big Ear hanya memuat angka-angka dari 1 dan 2. Semakin besar angka, berarti semakin besar intensitas sinyal radio itu. Huruf U kurang lebih nilainya setara angka 31.”Aku tidak pernah menemui sinyal radio sekuat itu sebelumnya,” kata Jerry, kepada Discovery.
Setelah dihitung, sumber sinyal selama 20 detik itu diperkirakan berasal dari konstelasi bintang Sagittarius, sekitar 2,5 derajat ke arah selatan dari kelompok bintang Chi Sagittarii. Jerry girang tidak kepalang saat membaca sinyal radio itu – dengan pena merah dia menulis Wow di samping kertas cetakan sinyal. John Krauss dan Bob Dixon, dua bosnya di Big Ear, juga sama senangnya.
Mereka menduga ada “sesuatu” di luar angkasa sana yang mengirimkan pesan ke bumi. Selama bertahun-tahun, Ehman dan kawan-kawannya di Big Ear meneliti adakah kemungkinan sumber sinyal lain yang tertangkap teleskop radio Kuping Besar: satelit atau pesawat. Ehman meyakini transmisi pada frekuensi 1420,4556 MHz itu tidak berasal dari pesawat atau satelit yang mengorbit bumi.
Lalu dari mana sumber sinyal Wow tersebut? Hingga hari ini, sinyal Wow tetap jadi misteri. Walaupun sudah berulangkali mencoba mencari kembali dengan teleskop yang lebih canggih, sinyal serupa tidak pernah lagi tertangkap teleskop radio di muka bumi sampai detik ini. “Data-data itu masih kelewat sedikit untuk mengambil kesimpulan. Aku harus mengatakan, asal muasal sinyal itu masih menjadi satu pertanyaan terbuka,” kata Ehman, lima tahun lalu.
Dengan meminjam persamaan astronom Frank Drake, menurut Brian Cox, fisikawan kondang dari Inggris, ditaksir ada dua hingga 50 ribu zona di alam semesta yang bisa jadi ditinggali makhluk cerdas seperti manusia. Mengutip Paradoks Fermi, Profesor Brian, bertanya : Jika ada ribuan peradaban di alam semesta, mengapa tidak sekalipun kita bisa mendeteksi tanda-tanda kehidupan dari luar bumi?
“Sebab hanya satu peradaban dengan teknologi maju di alam semesta dan hanya akan ada satu…yakni kita, manusia. Kita unik,” kata Profesor Cox, seperti dikutip IBTimes. Paling tidak, sampai detik ini, tidak ada bukti meyakinkan bahwa ada alien di atas sana.
(Detik/Terselubung/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar