Menurut silsilah keturunan sultan-sultan Melayu yang dikeluarkan Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao. Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin seorang Pangeran dari Parsia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, diantaranya, Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan kerajaan lainnya. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi. Salah satunya Bireuen yang artinya kemenangan. Karena letak geografisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk persiapan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas dari Cina menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, memiliki banyak manfaat dan kegunaan sehingga melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam penangannya. Hal ini mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Aceh berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu.
Wajah mereka lebih kosmopolit, yang merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.Terkait dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan Arab lebih dominan, relatif lebih mudah dalam menerima kedatangan Islam. Tentu, dengan beberapa alasan, dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang di Aceh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia.
Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Aceh yang berdagang ke Arab ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus disebut bernama ”Barousai”, yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Aceh.Penyebaran Islam juga dilakukan para diplomat yang di utus para Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke Cina dan meninggal di sana.
Cina menjadi salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu kerajaan besar. Tentu, sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.Bukti-bukti ilmiah telah ditemukan bahwa perdagangan antara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat atau ”jalur sutra” (silk road), terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan Eropa, adalah jalur tertua yang di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (semenanjung Shantung) dan Nusantara, melalui Selat Malaka (Fansur) ke India.
Selanjutnya ke Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.Gangguan-gangguan keamanan sering terjadi pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka/Fansur) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya, pedagang-pedagang Fansur atau Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina, dan pantai timur Afrika.
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.Maka berdasarkan fakta sejarah ini pula, keberadaan Kerajaan Jeumpa Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada di sekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis.
Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan.Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi. Kerajaan itu berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.Istana Raja Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur besar, biasanya dilalui kapal-kapal dan perahu-perahu kecil.
Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar).Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan seperti, kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 meter, kaca jendela, porselin dan semacam cincin serta kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut maupun anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru serta mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya.
Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia beri nama Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak.Menurut silsilah keturunan sultan-sultan Melayu yang dikeluarkan Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao.
Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, diantaranya, Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.Sampai saat ini, belum ditemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah memeluk Islam.
Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal keturunannya. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Terlepas dari perbedaan nama raja pertama dari Kerajaan Islam Jeumpa tersebut, apakah Raja Abdullah atau Raja Salman, atau memang beliau menggunakan dua nama akibat menghindar dari kejaran para penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi, atau memang Pangeran Salman adalah bapak dari Raja Abdullah, yang penting disepakati adalah, Islam telah bertapak di Kerajaan Jeumpa yang dipimpin seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang muslim juga. Ini artinya, Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150-an Hijriah di wilayah Aceh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya.
Hal ini jelas bertentangan dengan teori yang berkembang selama ini bahwa Islam masuk ke Aceh pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan kerajaan besar.Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di kerajaan maju dan besar seperti Persia, karena telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam. Semua itu, tentu saja telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara, memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan kerajaan-kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat, di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen. Artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw.Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M, dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis, Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840-an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200-an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit.
Dikisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini.Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan.
Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantara pun berpindah ke wilayah ini.
Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan dari Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
Sumber tulisan adalah Serial Penelitian dan Penerbitan The Acheh Renaissance Movement, karya Al-Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty.
(Kuartil/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar