Pada 15 Juni 1948 pukul 12.45, pesawat Seulawah RI 002 yang membawa Presiden Soekarno dan rombongan mendarat di lapangan terbang Lhoknga. Sehari kemudian Soekarno mengadakan Rapat Samoedra di Esplanade Koetaradja.
Kedatangan Soekarno ke Aceh pada 15 Juni 1948 itu ikut membawa beberapa pejabat tinggi. Dalam rombongan presiden itu ikut serta Menteri Dalam Negeri Dr Soekiman, Komisaris Negara Mr T Mohammad Hasan, ikut pula Panglima TNI bagian Sumatera Djendar Major Soehardjo. Semuanya ada 17 petinggi negara yang dibawa Soekarno ke Aceh hari itu.
Di Lhoknga mereka disambut oleh Gubernur Sumatera Utara Mr S M Amin, Gubernur Militer Djendral Major Tgk M Daud Beureueh, Residen Inspektur Toekoe Mahmoed, Residen Aceh T M Daoedsjah, serta Djendral Major Amir Hoesin al Moejahid.
Dalam buku “Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh” terbitan Djabatan Penerangan Atjeh, Djoeli 1948. Ketika tiba di Lapangan Udara Lhoknga, Soekarno berpidato berpidato beberapa saat membakarkan semangat ribuan rakyat Aceh yang datang untuk melihat kedatangannya.
Dari Lhonga Sokearno diantar ke Kutaraja. Malamnya, ia memberikan kursus politik kepada para pejabat Aceh di Atjeh Bioskop di Kutaraja. Gedung yang kemudian berubah nama menjadi Garuda Theater. Di tempat itu Soekarno menyampaikan kuliah umum kepada 800 orang dari berbakai kalangan. Sementara di luar gedung sampai ke lapangan Blang Padang ribuan orang mendengar kursus politik Soekarno dari pengeras suara.
Kuliah umum Soekarno di Garuda itu disampaikan pada pukul 21.00 WIB, setelah Gubernur Sumatera Utara Mr S M Amin menyampaikan kata sambutan. Berbeda dengan pidato yang disampaikan siang hari di lapangan terbang Lhok Nga, kali ini Soekarno tampil tidak lagi berapi-api, tapi dengan sedikit datar dan canda. Pada halaman 18 buku itu ditulis pernyataan Soekarno seperti di bawah ini:
“Saudara-saudara saya ini malam mau berbicara, saya tidak harus berpidato secara agitatie, secara berkobar-kobar, tetapi terutama sekali harus berpidato secara yang menuju kepada ketenangan pikiran….jangan kita mendengar pidato yang bergelora-gelora saja, melainkan lihatlah akan isinya pidato, jikalau sekarang pada ini malam saya hendak berbicara kepada saudara-saudara tentang hal-hal yang penting sekali tentang perjuangan kita di saat sekarang ini,”
Usai membuka mukaddimah itu, Soekarno kemudian melanjutkan kursus politiknya tentang syarat-syarat untuk pemimpin. Ia menekankan bahwa seorang pemimpin harus berpikir panjang tanpa melupakan sejarahnya. Soekarno mengungkapkannya dalam istilah Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Di mata Soekarno, seorang pemimpin harus berpikir secara historisch feiten, berpikir dengan ukuran puluhan tahun, bukan dalam hitungan hari atau pekan. “Kita harus berpikir secara in decennia en in risch, berpikir secara garis sejarah, jangan berpikir secara kejadian sehari-hari,” tegasnya dalam kuliah umum di Garuda itu.
Rapat Samoedera di Esplanade Koetaradja
Pagi 16 Juni 1948, rakyat Aceh kembali datang berduyun-duyun ke lapangan Esplanade Koetaradja. Tapi mereka tidak bisa masuk ke lapangan, hanya berjubel di pinggiran saja. Pasalnya, di lapangan itu dilakukan defile angkatan perang dan persenjataan militer di Aceh.
Jam 09.00 WIB, Soekarno masuk ke lapangan dengan mobil pengantar. Di sana ia disambut Komandan Barisan Besar Kolonel H Sitompoel kemudian naik ke tribun. Di tribun itu, dibelakang presiden berdiri Komandan Divisi X TNI Kolonel Husin Jusuf, Gubernur Militer Aceh Langkah dan Tanah Karo Tgk Muhammad Daoed Beureueh, Panglima Sumatera Djendral major Soehardjo, dan Komisaris Negara Mr T M Hasan.
Komandan Barisan Besar Kolonel H Sitompoel kemudian melapor kepada presiden bahwa pasukan siap mengikuti rapat Samoedera. Usai menerima laporan itu, Presiden Soekarno bersama Tgk Muhammad Daoed Beureueh, Husein Jusuf dan Kolonel H Sitompoel melakukan pemeriksaan pasukan. Setelah itu kembali lagi ke tribun.
Jam 10.00 WIB, rapat kemudian dibuka oleh T Oesman Raliby dan dilanjutkan dengan sambutan dari Pejabat Tinggi Residen Aceh T M Daoedsjah. Ia meminta kepada seluruh rakyat Aceh yang hadir di lapangan Esplanade Koetaradja itu untuk mendengar baik-baik pidato-pidato yang akan disampaikan oleh beberapa pejabat tinggi negara dalam rapat Samoedera tersebut.
Setelah itu, naik ke podium utama untuk berpidato Mr Nazir DT Pamotjak. Ia berbicara tentang pentingnya membangun hubungan luar negeri. Untuk itu harus disiapkan dipolomat-diplomat ulung. Usaha meretas hubungan luar negeri itu sudah dirintis oleh sebuah tim diplomat Indonesia yang dikepalai Menteri Luar Negeri H Agoes Salim.
Ia menceritakan sambutan hangat dari beberapa negara yang dikunjungi para diplomat Indonesia itu. “Bukan main hebatnya sambutan dari luar negeri. Kita ketahui bahwa di India, telah begitu lama mereka memperhatikan perjuangan kita. Juga di India rombongan diplomat kita mendapatkan perhatian besar,” jelasnya dalam pidato itu.
Selanjutnya ia bercerita tentang sambutan Mufti besar Palestina yang menerima kunjungan tim diplomat Indonesia dan dijamu makan bersama. Begitu juga di Maroko, dan Sultan El Atras dari Syria. “Mesir juga mengakui negara kita sebagai negara yang merdeka,” katanya.
Giliran selanjutnya berpidato Menteri Dalam Negeri (Mendagri) DR Soekiman. Di hadapan ribuan rakyat di lapangan Esplanade Koetaradja ia mengelu-elukan patriotisme rakyat Aceh dalam melawan Belanda. Semangat yang masih diwarisi oleh rakyat Aceh untuk menentang politik deviden et impera yang dilakukan Belanda.
Setelah itu baru giliran Presiden Soekarno berpidato dalam rapat terbuka tersebut. Ketika Soekarno berdiri di depan mikrofon untuk berpidato, teriakan merdeka membahana di lapangan esplanade Koetaradja. Soekarno membalas teriakan merdeka itu dengan meneriakkan kata “Medeka” berkali kali. Ia kemudian membakar semangat rakyat Aceh untuk memekikkan kata “Merdeka” denan suara yang lebih lantang.
Di hadapan rakyat di lapangan itu Soekarno berkata, “Kata orang Amerika Let Freedom Ring. Kalimat pertama dari lagu Nasional Amerika bunyinya Let Freedom Ring, artinya gegap gempitakan pekikan kemerdekaan, jangan setengah-setengah, jangan tertahan-tahan jiwa,” katanya. Ia kemudian memekikkan kembali kata “Merdeka” yanmg dijawab dengan pekikan yang sama oleh ribuan rakyat Aceh.
Dalam pidatonya, Soekarno juga memuji Aceh sebagai pelopor dan kampium perjuangan kemerdekaan. Ia mengatakan kerinduannya yang sudah sangat lama untuk berkunjung dan bertatap muka langsung dengan rakyat Aceh. Kepada rakyat Aceh Soekarno berpesan untuk menjaga persatuan dan kesatuan dalam menghadapi imperialisme barat.
Di akhir pidatonya Soekarno mengingatkan rakyat Aceh bahwa revolusi belum selesai. “Aku meminta kepadamu hai pemuda-pemuda, pemudi-pemudi, ulama-ulama, saudara-saudara, anak-anakku dari angkatan perang, segenap pegawai, segenap rakyat jelata yang berkumpul di sini, di seluruh daerah Aceh, marilah kita terus berjuang, sebagai yang tadi malam telah kuceritakan jangan bercerai berai, jangan berpecah belah, jangan dengki mendengki, tetap perilahara persatuan bangsa, tetaplah bekerja bersama-sama, golongan Islam, golongan Pesindo, golongan apapun, tetap bersatu menyelesaikan kita punya Nationale Revolutie yang sekarang belum selesai, yang sekarang baru menghasilkan Republik, yang sekarang malah menjadi kecil, tapi cita-cita kita lebih besar dari pada itu,” pesan Soekarno.
(Iskandar-Norman/Kuartil/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar