Dalam launching buku “Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta” karya Fadli Zon di UGM Yogyakarta (12/8), Prof. Dr. Dawam Rahardjo hadir sebagai salah satu pembahas. Meski ‘ekonomi kerakyatan’ tidak ditemukan dalam karya-karya Bung Hatta tapi secara konseptual, menurut Dawam, telah ditulis sejak 1931.
“Bukunya tentang pedagang kecil. Mengapa pedagang kecil? Ini ada latar belakangnya,” katanya memulai menanggapi pemikiran Bung Hatta dari sudut pandang budaya.
Bung Hatta itu orang Minang, dan orang Minang itu terkenal dengan pedagang kecilnya. Ekonom senior ini lalu menjelaskan sejarah bagaimana pedagang Minang mewarnai pasar-pasar tradisional, termasuk pedagang kaki lima yang menjual jamu dan pintar ‘ngomong’ itu.
“Kalian pedagang Minang itu, ya dirikan-lah koperasi. Tapi jangan koperasi dagang. (Buatlah) koperasi produksi,” katanya mengutip kata-kata Bung Hatta pada pedagang-pedagang kecil kala itu.
Menyinggung sebuah riset, Dawam menyebut tiga budaya Minang yang begitu kuat dimasa pertumbuhan sosok seperti Bung Hatta. Ketiganya ialah budaya Surau, Lapau dan Rantau. Budaya Lapau ialah cermin dari warung kopi tempat orang-orang diskusi intelektual mengenai banyak hal termasuk politik.
“Ini mengingatkan kita pada revolusi Prancis yang lahir dari café-café,” katanya sembari menghubungkan asal konsep ‘Islam Berkemajuan’ yang kini menjadi slogan Muhammadiyah.
Dari ketiga simbol budaya itu, Eks Ketua ICMI ini menjelaskan, “Pertama, religi atau etika simbolnya adalah Surau. Budaya intelektual, pemikiran, diskusi, musyawarah simbolnya Lapau. Budaya ekonomi yang disimbolkan dengan Rantau.”
Budaya ekonomi dengan rantau-nya itu, Dawam mencontohkan Restoran Padang yang hingga kini tersebar di berbagai daerah. Sedemikian sehingga, ada lelucon yang mengatakan Restoran Padang juga sudah ada di bulan. Selain warung, Minang kala itu juga terkenal dengan penjahitnya dan tukang cukur.
Dari sisi religi, tidak tidak sedikit juga orang Minang yang berdakwah sembil berdagang. Di perantauan, mereka masuk di kampung-kampung, menjadi bagian dari pengurus kampung lalu mendirikan masjid atau menjadi pengurus masjid. Tak lupa Dawam mengingatkan tentang Buya Hamka dengan aktivitas dakwahnya di Masjid Al Azhar Jakarta.
Budaya intelektual Minang termanifestasi dalam bentuk lembaga pendidikan. Dawam lalu menjelaskan bagaimana sejarah Minangkabau sebagai pusat pendidikan yang berkualitas. Tak heran, dari Minang lahirlah para intelektual hebat seperti Tan Malaka, Syahrir, Natsir hingga Bung Hatta.
“Nalar Minangkabau itu penting sekali dalam pembentukan bangsa Indonesia.”
Selain Dawam Rahardjo, hadir juga Prof. Sri Edi – menantu Bung Hatta, sejarawan Taufik Abdullah, dan beberapa pembahas atas buku yang merupakan adaptasi dari desertasi doktoral Fadli Zon di Universitas Indonesia.
Pada kesempatan ini, Dawam tidak sependapat dengan ekonom Sri Mulyani yang menafikan ekonomi kerakyatan hanya karena tidak terdapat dalam literatur ilmu ekonomi.
“Memang betul (tidak ada ekonomi kerakyatan), jika Anda melihatnya dari kacamata ilmu ekonomi. Namun jika yang digunakan kacamata ekonomi-politik atau ekonomi-sosiologi, Anda akan melihatnya dengan jelas. Jelas sekali,” katanya.
Dawam memberi contoh sederhana bagaimana ekonomi kerakyatan itu bisa dilihat secara langsung di akar rumput masyarakat. Mulai dari wiraswasta dalam bentuk kuliner hingga tabloit mingguan, dan berbagai bentuk ekonomi kreatif yang dibentuk oleh kelompok-kelompok masyarakat. []
(Islam-Indoenesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar