Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid memberikan paparan saat seminar dan sosialisasi rekomendasi kebijakan mempromosikan kerukunan sosial keagamaan di Jakarta, Senin 28 November 2016 (Foto: Republika)
Direktur The Wahid Institute, Zannuba Yenny Wahid mengatakan, NKRI tidak mungkin diubah dengan sistem kenegaraan lainnya, termasuk Khilafah. Berdirinya khilafah dan mengubah bentuk negara hanya bersifat utopia atau khayalan semata.
Hal itu dikatakan Yenny dalam Seminar dan Sosialisasi Rekomendasi Kebijakan Mempromosikan Kerukunan Sosial-Keagamaan oleh The Wahid Institute di Cikini, Senin 28 November 2016.
Alasan pengusung khilafah kata Yenny, bahwa Indonesia masih belum dapat menyejahterakan rakyatnya dan mereka beralasan sistem Khilafah dirasa solusi yang tepat.
“Banyak yang mengatakan, Indonesia sudah menerapkan banyak sistem tapi belum mensejahterakan warganya. Tinggal konsep Islam dengan khilafah yang belum. Tapi itu hanya utopia yang dibangun,” tambah Yenny.
Yenny menunjukkan contoh banyak negara yang menggunakan konsep seolah-olah islam, tapi tak menjamin masyarakatnya bisa maju dan sejahtera. Tidak sedikit bahkan, banyak yang menghambat kebebasan warganya.
Pandangan bahwa Islam harus diwujudkan dalam bentuk negara, kata Yenny, merupakan potensi radikalisme meski radikalisme tak bisa dilekatkan pada satu agama tertentu. Radikalisme terjadi karena persoalan cara pandang terhadap agama.
”Radikalisme tak bisa dilekatkan pada satu agama karena ini soal sikap dan cara pandang. Kalau soal cara pandang, berarti masalah besar,” katanya
Yenny mengatakan, bahaya radikalisme diantaranya menolak kebebasan berkeyakinan dan menuding pihak lain sebagai musuh. Menurutnya, sudah tujuh tahun Wahid Institute merilis laporan Kebebasan Keyakinan Beragama tapi sedikit yang memerhatikan.
Sayangnya, hari ini Indonesia dikejutkan aneka ekspresi kebencian. Padahal, kata Yenny, itu fenomena lama yang belum dianggap masalah besar dan belum ada penyelesaian komprehensifnya. Sampai akhirnya mencuat Aksi 4 November sebagai puncak gunung es.
Karena itu, Indonesia harus mempertahankan budaya toleransi. Ini yang mendorong Wahid Institut terus meneliti dan mendalami persoalan toleransi agar masyarakat tetap mempertahankan budaya bangsa yang kental dengan ciri toleransi.
Terkait intoleransi, saat ini menjadi masalah dunia dan pelakunya tidak hanya Muslim dan korbannya tidak selalu non-Muslim. Pew Research menyebut intoleransi meningkat secara global terhadap semua agama. Yenny mencontohkan kasus Rohingnya,
“Muslim yang diserang kelompok radikal Buddha dan pembakaran gereja di India yang dilakukan kelompok radikal Hindu,” katanya.
Nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam Pancasila, sebagaimana juga kebhinekaan mendapat tantangan berat yang memicu terjadinya tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas yang lebih jauh lagi justru menginspirasi tindak terorisme.
Ia mengatakan, Wahid Foundation merekomendasikan beberapa hal kunci. Pertama, kerjasama antar pemerintah dan masyarakat terutama CSO yang bergerak penuh dalam upaya mencegah radikalisme, menguatkan tolerasi bahkan menolak terorisme.
Kedua, melakukan pendekatan kegiatan dan program yang mengedepankan konteks toleransi, anti radikalisme dan antiterorisme sesuai dengan bidang masing-masing. Terakahir, mereview dan memperbaharui kebijakan untuk mendukung perbaikan kondisi dalam hal toleransi, anti radikalisme dan anti terorisme.
(Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar