Kisah Abu Raihan al-Biruni, salah satu ilmuwan Islam yang terkenal di dunia yang bila hidup di Indonesia pada jaman ini akan disesatkan oleh MUI jatim karena mazhab yang dianutnya
Abu Raihan al-Biruni, seorang ilmuwan yang menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan dan merupakan kebanggaan budya dan peradaban Islam-Iran. Tapi kebesarannya tidak banyak diketahui oleh masyarakat, bahkan kalangan terpelajar. Al-Biruni bermazhab Syiah, atau paling tidak punya kecenderungan Syiah, tapi seorang pemikir yang bebas dan tidak fanatik.
Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Biruni lahir di kota kuno Kats Kharazmi pada 362 Hq. Tanggal lahirnya tidak diketahui jelas, tapi ia meninggal dunia pada 440 Hq.
Dengan mencermati pentingnya ilmu dan mencari ilmu dalam Islam, kehadiran ulama dan ilmuwan di istana penguasa Islam waktu itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi raja yang berkuasa. Oleh karenanya, Mahmood Ghaznavi, ipar Sultan Mahmoud Ghaznavi mengirim para utusan untuk mengajak para ilmuwan bergabung dengan istana.
Menyusul peristiwa ini, Ibnu Sina melarikan diri ke daerah barat dan awalnya berlindung ke istana Ziarian, setelah itu ke dinasti Al-e Buye. Abu Sahl al-Masihi meninggal di gurun Kharazm, sementara Abu Nasr Mansur bin Irak, ahli matematika dan Abu al-Khair Khimar, dokter dan Abu Raihan al-Biruni pergi ke Ghaznain.
Kelebihan Abu Raihan al-Biruni adalah konsistensinya melakukan penelitian dan eksperimen dalam ilmu-ilmu alam. Ia ilmuwan pertama yang mengukur luas bumi dengan benar. Ia sepakat dengan teori Abu Said Sajazi tentang perputaran bumi pada porosnya. Teori ini terbukti lewat astrolabe (alat untuk mengamati dan menunjukkan posisi bintang-bintang). Atas dasar ini ia meragukan teori Ptolemaus. Al-Biruni juga perintis dalam menentukan letak obyek, bahkan untuk air raksa.
Kecenderungan al-Biruni kepada Syiah dapat ditelusuri dari bukunya Atsar al-Baqiyah an al-Qurun al-Khaliyah yang ditulisnya sebelum bergabung ke istana Ghaznavi. Kesyiahannya semakin jelas, khususnya ketika menjelaskan peristiwa Ghadir Khum, Asyura dan Mubahalah, tapi pada saat yang sama ia menukil waktu-waktu shalat dari Khalifah Umar bin Khatthab dan Imam Jakfar Shadiq as. Sementara di tempat lain, al-Biruni seperti membela pendapat Muktazilah. Sekalipun demikian, tidak ada yang meragukan kecintaannya kepada Imam Ali as. Mungkin saja penukilannya tentang Syiah dan Sunni berasal dari taqiyah agar selamat dari kejahatan dinasti Ghaznavi yang sangat fanatik. Al-Biruni yang memiliki kecenderungan rasionalitas dan melihat pentingnya akal dalam masalah akidah dan sains membela akidah Muktazilah di hadapan akidah Asyairan.
Al-Biruni dalam kasus-kasus tertentu menukil fatwa-fatwa Ahli Sunnah, khususnya Imam Syafii. Tapi pada saat yang sama ia melihat kelompok Muktazilah lebih sering menggunakan logika fallasi. Ia menyebut Abu Hasyim, ketua Muktazilah menolak buku al-Sama wa al-Alam, karangan Aristoteles dikarenakan ketidaktahuannya. Oleh karenanya ia menulis kritikan balik atas tulisan Abu Hasyim.
Dengan semua kondisi yang ada al-Biruni tidak pernah menunjukkan sikap fanatik buta terhadap satu masalah, atau melihat mazhab lainnya dengan pandangan permusuhan. Ia bahkan melakukan diskusi dengan kalangan ulama dan ilmuwan dari baik dalam mazhab-mazhab Islam sendiri, maupun dari kalangan Yahudi, Kristen, Shabiin, Budha dan lain-lainnya.
Al-Biruni bermazhab Syiah, atau setidaknya punya kecenderungan Syiah, tapi ia pribadi yang bebas dan tidak fanatik. Sebaliknya, Sultan Mahmoud Ghaznavi seorang Ahli Sunnah fanatik yang meluangkan waktunya untuk menumpas Syiah, Muktazilah, Ismailiyah dan Qaramithah. Dalam kondisi yang demikian, sangat rasional bila Abu Raihan al-Biruni berusaha menyembunyikan akidahnya demi menyelamatkan akidahnya.
(IRIB-Indonesia/Mehr-News/Saleh-Lapadi/Republika/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar