Mereka kini sudah melawan diskriminasi gender di negaranya. (Foto: STR/AFP/Getty Images)
Jutaan pasang mata masyarakat dunia dengan gegap gempita menyaksikan final Piala Dunia Putri 2015 (6/7) WIB, kamera TV menangkap senyum kebahagiaan dari semua umur, ras, dan jenis kelamin. Namun, hal tersebut ternyata tak berlaku bagi para perempuan-perempuan di Iran. Pasalnya, mereka dilarang oleh otoritas di negaranya untuk berhubungan dengan segala olahraga apa lagi sepak bola dunia.
Sejak tahun 1982, republik Islam Iran telah melarang perempuan untuk menyaksikan sepak bola dan acara olahraga lainnya. Meskipun diskriminasi ini merupakan pelanggaran terang-terangan dari anggaran dasar dan prinsip-prinsip FIFA, hal ini nyatanya masih terjadi selama lebih dari 30 tahun tanpa cela sedikitpun.
Kini, sudah saatnya kedua kubu, FIFA atau Iran saling bertemu dan mengakhiri diskriminasi gender ini. Tentu, pembatasan wanita memasuki stadion sepak bola adalah pelanggaran pasal tiga dari statuta FIFA, dan tak boleh adanya campur tangan pemerintahan.
Di sana tertulis: "Diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap setiap Negara, orang pribadi atau sekelompok orang karena ras, warna kulit, etnis, nasional atau asal sosial, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kekayaan, kelahiran atau status lainnya, orientasi seksual atau alasan lain sangat dilarang dan diancam dengan suspensi atau pengusiran."
Diskriminasi berbasis gender ini juga melanggar aturan FIFA yang diatur dalam Pasal 2 Anggaran Dasar, "(Mempromosikan permainan sepakbola) global sebagai pemersatu, nilai-nilai pendidikan, budaya dan kemanusiaan serta mengendalikan setiap jenis Asosiasi Sepakbola dengan mengambil langkah-langkah untuk mencegah pelanggaran Anggaran Dasar, peraturan atau keputusan dari FIFA.
"Anggota FIFA diwajibkan untuk mematuhi sepenuhnya dengan undang-undang sesuai dengan pasal 13. Pasal 14 dan 15 menuliskan untuk mensuspensi atau mengusir setiap anggota yang dengan serius melanggar Anggaran Dasar, peraturan atau keputusan dari FIFA itu."
Perempuan Iran Melawan
Perempuan Iran telah mengambil risiko besar untuk menarik permasalahan gender di acara olahraga. Offside, sebuah film tahun 2006 yang disutradarai oleh Jafar Panahi, menceritakan tentang perjuangan pedih beberapa gadis yang mencoba untuk menyelinap ke pertandingan sepak bola dengan berpakaian sebagai laki-laki. Pada tahun 2014, sekelompok perempuan, termasuk perempuan berusia 25 tahun, Ghoncheh Ghavami, ditangkap karena mencoba menghadiri pertandingan bola voli di Teheran. Ghavami dihukum satu tahun penjara, namun dibebaskan setelah beberapa bulan karena berita ini menyebar ke ranah internasional.
Dalam beberapa bulan terakhir, gerakan ini telah menjelma dan meluas pada dimensi global dunia. Ribuan pria dan wanita Iran telah membawa perjuangan ini ke acara media dan olahraga sosial di seluruh dunia, termasuk Piala Asia 2015. Hal ini tergambar pada pertandingan di Australia pada bulan Januari, pertandingan persahabatan Iran-Swedia di Stockholm pada bulan Mei, dan petandingan Liga Voli Dunia di Los Angeles dan Teheran pada bulan Juni lalu.
Semua itu semata-mata untuk menyerukan guna diakhirinya larangan perempuan Iran di stadion dan tempat olahraga lainnya. Pada bulan Februari, aktivis terkemuka Iran menulis surat kepada Presiden FIFA Sepp Blatter. Meskipun Blatter sempat menyatakan dukungan publik, tetapi situasi di Iran tetap tidak berubah.
Dalam mengatasi diskriminasi gender, FIFA dapat mengambil contoh seperti yang mereka lakukan dalam melawan rasisme. FIFA telah mempromosikan secara luas jargon "Say No to Racism", termasuk di pertandingan dan berbagai media. Resolusi FIFA pada saat melawan rasisme dan diskriminasi mungkin saja bisa diaplikasikan dengan baik dan seksama ke kasus ini. (IES)
Jadi, seperti tujuan Olahraga: Tanpa memandang kaum, umur, gender, ras, suku, dan budaya. Olahraga untuk semua!
(AFP/MS-Sport/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar