Pembelaan
Ada banyak bukti sejarah yang menjelaskan keimanan Muhammad Rasulullah saw. sebelum diutus menjadi nabi, di antaranya:
1. Rasulullah saw. menjalani masa kecilnya selama lima tahun di sahara dan di tengah suku Bani Sa’ad. Halimah, pengasuh beliau, menceritakan: “Ketika itu Muhammad masih berusia tiga tahun, beliau bertanya kepadaku: “Kenapa aku tidak melihat saudara-saudaraku di siang hari?”, aku jawab: “Mereka pergi ke luar daerah untuk menggembala kambing”, lalu beliau berkata: “Aku juga ingin pergi bersama mereka”, dan aku balik bertanya kepadanya: “Apa betul kamu ingin pergi keluar?”, beliau menjawab: “Iya”.
Keesokan harinya, ketika anak-anakku hendak keluar untuk menggembala, aku celaki kedua mata Muhammad, aku usapkan sedikit minyak di rambutnya, dan kemudian aku kalungkan benang yang mengikat tanah Yaman agar dia terjaga dari sengatan binatang, tapi ketika dia menyaksikan perbuatanku itu dia langsung berkata kepadaku: “Tidak, ibu!, jangan khawatir, ada yang selalu bersamaku dan menjagaku dari sengatan-sengatan itu”.[1]
Kata-kata berbobot yang keluar dari mulut anak yang baru berusia tiga tahun menunjukan sebuah kenyataan bahwa dia memiliki pendidik gaib yang senantiasa memperkenalkannya dengan ajaran-ajaran Tuhan dan budi pekerti yang mulia, dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh pembesar-pembesar pada waktu itu.
2. Ibnu Sa’ad di dalam Thobaqotnya menceritakan perjalanan Rasulullah saw. bersama pamannya ke Syam, di tengah perjalanan seorang pendeta bernama Buhaira melihat beliau dan menemukan tanda-tanda kenabian pada diri beliau, dia langsung menghampiri beliau dan berkata: “Aku menyumpahmu dengan Latta dan Uzza, jawablah apa yang akan kutanyakan kepadamu”, mendengar kata-kata itu Rasulullah saw. berkata: “Sesuatu yang paling kubenci adalah dua berhala yang kamu bersumpah dengannya”, maka pendeta itu mengubah sumpahnya dan berkata: “Aku menyumpahmu dengan nama Tuhan, jawablah apa yang akan kutanyakan kepadamu”, beliau berkata: “Tanyalah apa saja yang kamu inginkan”.
3. Ibnu Sa’ad juga mencatat pada waktu Muhammad saw. menerima tanggungjawab managemen bisnis Khadijah dan memperdagangkan kekayaannya dia menugaskan Maysarah untuk selalu membantu beliau. Maysarah menceritakan suatu hari di Syam terjadi perselisihan antara Muhammad saw. dan pedagang Syam tentang barang dagangan, dan untuk membuktikan kejujuran beliau dia hendak menyumpah beliau dengan Latta dan Uzza, beliau menjawab “Aku tidak akan pernah bersumpah dengan dua hal itu, sebaiknya kamu juga berpaling dari keduanya”, maka pedagang Syam itu bangkit dan membenarkan beliau seraya berkata: “Haq bersamamu” lalu berkata kepada Maysarah: “Demi Tuhan, lelaki ini adalah Nabi”. [2]
4. Bukti paling jelas atas iman dan tauhid beliau adalah selama empat puluh tahun hidup di tengah masyarakat beliau tidak pernah terlihat sujud di hadapan berhala atau keluar dari garis tauhid, sebaliknya selama bertahun-tahun sebelum diutus menjadi Nabi beliau rutin beri’tikaf di gua Hira dan beribadah kepada Tuhan di sana, dan pada kondisi itu pula malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu Allah swt. kepada beliau dan mengutus beliau sebagai Nabi. [3]
5. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. di khotbah Qoshi’ahnya memberitahukan bahwa semenjak Rasulullah saw. dipisahkan dari ASI beliau dibimbing oleh malaikat Allah swt. yang paling agung, dialah yang kemudian memberi hidayah kepada beliau dan mengajari, Amirul Mukminin berkata:
و لقد قرن الله من لدن ان كان فطيما اعظم تلك من ملائكته يسلك به طريق المكارم و محاسن اخلاق العالم ليله و نهاره [4]
Artinya: “Semenjak beliau dipisahkan dari ASI (dua tahun lamanya beliau menyusu), Allah swt. menyertakan malaikat-Nya yang paling agung bersama beliau agar beliau menempuh jalan budi pekerti yang mulia baik di waktu malam maupun siang”.
Seorang yang senantiasa disertai dan dibimbing oleh malaikat Allah swt. yang paling besar bagaimana mungkin keluar dari garis tauhid, sebaliknya dia selalu berada di garis itu dan bahkan terhindar dari dosa, kriminal, dan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Syari’at yang Diikuti Oleh Nabi saw.
Setelah terbukti tauhid dan keimanan beliau sebelum diutus menjadi Nabi, persoalan yang berikutnya muncul lebih serius adalah selama empat puluh tahun sebelum diutus menjadi Nabi syari’at apa yang beliau ikuti dalam ibadah dan muamalah. Tentunya pembuktian tauhid dan keimanan beliau tidak cukup untuk menjawab persoalan apa syari’at yang dia amalkan dalam pekerjaan-pekerjaan individual dan sosial serta dalam menentukan halal dan haram.
Ada banyak pendapat tentang masalah ini yang umumnya diutarakan begitu saja tanpa mengajukan bukti, dan para ulama sudah menukil pendapat-pendapat itu di dalam kitab mereka sehingga tidak perlu kita perpanjang tulisan ini dengan menukil pendapat-pendapat tersebut. [5] Berikut ini kami hanya mengkaji sebagian darinya:
Nabi saw. Tidak Mengikuti Syari’at Apapun
Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Husein Bashri, akan tetapi sejarah kehidupan Nabi saw. menolak pendapat ini karena sebelum diutus menjadi nabi beliau rutin beri’tikaf di gua Hira’ sampai kemudian turun wahyu Ilahi kepada beliau di tempat penyepian diri tersebut, dan jelas tidak mungkin ibadah yang berkesinambungan itu dilakukan tanpa mengikuti syari’at tertentu.
Selain itu, sebelum bi’tsah (pelantikan menjadi nabi) beliau menunaikan ibadah haji selama dua puluh kali [6], sementara ibadah haji memiliki standar tersendiri yang harus diperhatikan.
Memang benar di beberapa persoalan akal berperan sebagai petunjuk bagi manusia dan memberi pencerahan kepadanya tentang hal-hal yang baik dan buruk, tapi pengetahuan rasional itu tidak mampu untuk menerangi seluruh dimensi kehidupan manusia. Nabi saw. menyisihkan sebagian umurnya untuk memperdagangkan harta Khadijah, dan sudah barang tentu perdagangan mempunyai hukum-hukumnya yang halal dan yang haram, dengan demikian apa benar seorang berpendapat bahwa selama perdagangan itu bagi beliau halal dan haram adalah sama?!
Kehidupan personal dan sosial masyarakat Mekkah dan sekitarnya pada waktu itu sarat dengan judi dan minuman keras, tapi Nabi saw. menghindarkan diri dari maksiat itu dan sebaliknya terkenal sebagai orang yang bertakwa, dari sini saja kita sudah bisa tahu beliau pasti memiliki petunjuk dan teladan yang senantiasa beliau ikuti. Atas dasar itu, pendapat Abu Husein Bashri tidak sesuai dengan kenyataan hidup Nabi saw.
Sehubungan dengan masalah ini, Ahmad di dalam kitab Musnadnya meriwayatkan hadis dari Sa’id bin Zaid yang di dalam hadis itu perawi mengarang keutamaan bagi ayahnya yang tidak dimiliki oleh Nabi saw., itulah sebabnya hadis ini tidak bisa dinyatakan sebagai hadis yang sahih. Dia mengatakan: “Suatu saat Nabi saw. menggelar makanan bersama Zaid bin Harisah, ketika mereka sedang asyik makan Zaid bin Amr bin Nufail lewat di antara mereka, Nabi saw. mengajaknya untuk makan bersama tapi Zaid menjawab wahai anak saudaraku, aku tidak makan daging dari binatang yang disembelih dengan nama berhala. Maka sejak hari itu Nabi saw. tidak pernah mengkonsumsi daging dari binatang yang disembelih dengan nama berhala. [7]
Hadis yang diriwayatkan oleh Sa’id putra Zaid ini tidaklah bernilai apa-apa. Karena hadis itu berarti dari sisi pengetahuan tentang halal dan haram seorang yang akan diutus menjadi nabi kalah dengan orang biasa.
Nabi saw. Mengikuti Syari’at yang Sebelumnya
Sekelompok ahli berpendapat bahwa orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah, menghindari makan bangkai, dan memakan daging binatang yang disembelih dengan nama Tuhan pasti mengikuti syari’at yang turun sebelum itu. [8]
Namun, pada hakikatnya perbuatan-perbuatan itu bisa muncul karena seseorang mengikuti syari’at yang sebelumnya dan bisa muncul juga karena hal yang lain, itu berarti bukti yang diajukan lebih umum dari klaim yang ingin dibuktikan. Di samping itu, ada berbagai problem untuk beramal dengan syari’at yang lampau, di antaranya adalah:
a. Boleh beramal sesuai dengan syari’at yang lampau apabila memang syari’at itu bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk kawasan atau kaum tertentu, dan pembuktian universalitas sebuah syari’at bukanlah hal yang mudah. Tentang masalah ini kami membahasnya secara argumentatif dan panjang-lebar di dalam kitab Mafahimul Qur’an. [9]
b. Hanya orang yang tahu saja yang bisa beramal sesuai dengan syari’at yang lampau, oleh karena itu harus dilihat dari mana Nabi saw. mengetahui hukum-hukum syari’at tersebut. Ada dua kemungkinan yang muncul:
1. Nabi mengetahui syari’at itu melalu pergaulan dengan Ahli Kitab. Kemungkinan ini jelas tertolak, karena selama hidupnya beliau tidak pernah bergaul dengan kelompok-kelompok Ahli Kitab, apalagi di Mekkah tidak ada pendeta-pendeta yang bisa diminta untuk mengajarkan syari’at yang lampau.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Nabi Isa as. tidak membawakan syari’at yang luas melainkan hanya untuk menyelesikan perselisihan-perselisihan Yahudi dan untuk menghalalkan sebagian hal-hal yang diharamkan oleh Bani Israil, buktinya adalah ayat al-Qur’an:
وَمُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلِأُحِلَّ لَكُم بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَطِيعُونِ / آل عمران: 50
Artinya: “Dan (aku) membenarkan Taurat yang datang sebelumku dan untuk menghlalalkan bagi kalian sebagian dari apa yang telah diharamkan atas kalian dan aku bawakan kepada kalian suatu tanda (mukjizat) dari Tuhan kalian maka bertaqwalah kalian kepada Allah dan taatlah kepadaku”. (QS. 3: 50).
Poin berikutnya yang perlu diperhatikan adalah menurut banyak hadis Nabi saw. adalah manusia yang paling mulia dan utama, maka tidaklah masuk akal apabila orang yang utama mengikuti orang yang di bawahnya.
2. Nabi mengetahui syari’at yang lampau itu melalui wahyu dan beliau beramal sesuai dengan wahyu tersebut.
Jika demikian tidak bisa dibuktikan beliau mengikuti syari’at yang lampau atau nabi yang sebelumnya. Hal yang bisa dibuktikan dari kenyataan itu adalah beliau mendapatkan wahyu tentang hukum-hukum yang pernah ada di syari’at sebelumnya dan beliau beramal sesuai dengan wahyu tersebut, Allah swt. berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ / المائدة: 44
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah”. (QS. 5: 44).
Apabila petunjuk Nabi saw. adalah ilham maka harus dikatakan bahwa beliau beramal sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan gaib yang beliau terima, dan –sebagian– dari pengtahuan itu sesuai dengan syari’at yang lampau. Dan pada hakikatnya ini adalah pendapat ketiga yang akan kami jelaskan sebagai berikut.
Nabi saw. Beramal Sesuai dengan Ilham Gaib
Inti dari pendapat ini adalah Nabi saw. mengetahui tugas-tugas beliau sebelum diutus menjadi nabi melalui ilham gaib dan beliau beramal sesuai dengan apa yang diilhamkan dari alam gaib. Tugas-tugas ini tidak harus sama dengan syari’at sebelumnya dan juga tidak harus sama dengan syari’at yang akan diturunkan kepada beliau melalui wahyu Ilahi setelah menjadi nabi.
Pendapat ini lebih kuat dari dua pendapat sebelumnya dan didukung pula oleh pernyataan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan akan kami jelaskan dalam poin-poin berikut:
1. Kenabian adalah kedudukan tertinggi yang diberikan oleh Allah swt. kepada manusia, dan untuk sampai pada kedudukan ini seseorang membutuhkan kesiapan ruhani yang secara bertahap berkembang dalam dirinya, kesiapan itu membuat dia mampu untuk melihat malaikat, mendengar wahyu Ilahi, dan menjalin hubungan langsung dengan metafisik. Potensi ini diperoleh melalui proses irfan dan pengenalan di bawah bimbingan guru gaib yang menggandeng tangannya sampai tingkat-tingkat kesempurnaan. Al-Qur’an menggambarkan hal ini dengan firman Allah swt.:
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى / النجم: 5
Artinya: “–Jibril– yang sangat kuat mengajarinya”. (QS. 53: 5).
Maka dari itu, sebelum diutus menjadi nabi beliau tidak lepas dari guru gaib dan bimbingan Ilahi, sebaliknya beliau senantiasa mendapat dukungan Ilahi sampai dengan kedudukan yang layak untuk menerima wahyu "اقرأ باسم ربک الذي خلق" . Masalah ini disampaikan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. di dalam khutbah Qashi’ah seraya berkata:
و لقد قرن الله من لدن ان كان فطيما اعظم تلك من ملائكته يسلك به طريق المكارم و محاسن اخلاق العالم ليله و نهاره
Artinya: “Semenjak beliau dipisahkan dari ASI (dua tahun lamanya beliau menyusu), Allah swt. menyertakan malaikat-Nya yang paling agung bersama beliau agar beliau menempuh jalan budi pekerti yang mulia baik di waktu malam maupun siang”.
2. Urwah bin Zubair meriwayatkan dari Aisyah bahwa tahap pertama turunnya wahyu kepada Nabi saw. adalah mimpi-mimpi yang jujur dan benar, apa saja yang beliau saksikan dalam mimpi adalah benar bagaikan fajar sodiq, selanjutnya beliau suka menyendiri dan sehari-harinya beliau lalui di gua hira dan sesekali menjenguk keluarganya di rumah, rutinitas itu berlangsung sampai akhirnya wahyu turun dan mengutus beliau sebagai nabi. [10]
3. Kulaini menjelaskan perbedaan antara nabi dan rasul dengan hadis dari Imam Baqir as.: “Nabi adalah orang yang menyaksikan hakikat dalam mimpi sebagaimana Ibrahim as. menyaksikan dalam mimpinya dan juga sebagaimana Rasulullah saw. menyaksikan faktor-faktor pendukung kenabian sebelum turunnya wahyu, kondisi itu terus beliau alami sampai akhirnya Jibril menyampaikan misi risalah dan kenabian kepada beliau”. [11]
Hadis-hadis seperti ini menerangkan bahwa Nabi saw. sebelum bi’sah (pengutusan) dibimbing oleh malaikat dan selalu menyaksikan hakikat di alam mimpi serta mendengar suara-suara yang memanggil sampai akhirnya beliau memperoleh kesiapan untuk berhadapan dengan malaikat penyampai wahyu dan menerima al-Qur’an.
Selang waktu itu beliau menjalani hidup dengan ibadah kepada Allah swt. dan memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya, di saat yang sama beliau menjaga tugas-tugasnya terhadap anak dan istri, dan satu-satunya petunjuk atau pedoman beliau pada tahapan ini adalah sambungan-sambungan gaib yang memberitahukan ajaran-ajaran Allah swt., baik ajaran itu sesuai dengan syari’at yang lampau ataupun tidak, dan baik ajaran itu sesuai dengan syari’at yang nantinya akan disampaikan kepada beliau ataupun tidak.
Hakikat ini bisa lebih mudah untuk dimengerti apabila dengan memperhatikan nabi-nabi seperti Yahya dan Isa yang pada masa kecilnya sudah diutus sebagai nabi dan menjalin hubungan dengan alam gaib, al-Qur’an mensinyalir:
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا / مریم: 12
Artinya: “—Allah berfirman— Hai Yahya ambillah Kitab itu dengan sunggu-sungguh, dan Kami telah memberikan kepadanya hikmah pada masa kanak-kanak”. (QS. 19: 12).
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا / مریم: 30
Artinya: “—Isa yang masih bayi— berkata sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Allah memberiku Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi”. (QS. 19: 30).
Oleh karena itu, sebelum bi’sah (pengutusan) Nabi saw. mempunyai beberapa tahapan dari kenabian dan beliau sudah menjalin satu bentuk hubungan dengan alam gaib, dalam tempo itu beliau menjalani proses kesempurnaan dan di usia yang keempat puluh beliau diangkat menjadi rasul yang bertugas untuk menyampaikan firman-firman Allah swt. kepada masyarakat.
Dari pembahasan di atas dan berdasarkan indikasi-indikasi yang mudah dicerna, kita dapat melirik kenyataan Rasulullah saw., dan konklusi yang bisa kita tarik dari pembahasan itu adalah:
1. Rasulullah saw. lahir di tengah keluarga yang umumnya mereka bertauhid, beriman, bertakwa dan menjaga kesucian, selain itu pembesar-pembesar keluarga beliau mengikuti ajaran murni Ibrahimi.
2. Rasulullah saw. sudah punya jalinan khusus dengan alam gaib mulai sebelum bi’sah (pengutusan), dengan kata lain beliau sudah mempunyai beberapa tahapan kenabian pada waktu itu, dan di usia keempat puluh beliau diutus sebagai nabi dan rasul yang bertugas menyampaikan firman-firman Allah swt.
3. Dalam kehidupan personal dan sosial, beliau beramal sesuai dengan apa yang beliau terima dari alam yang lebih tinggi, terlepas apakah itu sesuai dengan syari’at yang lain ataupun tidak.
Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah)
Referensi:
1. Al-Muntaqo, dinukil oleh Biharul Anwar, jilid 15, hal. 392.
2. Thobaqot, Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 154; Siroh, Ibnu Hisyam, jilid 1, hal. 182.
3. Thobaqot, Ibnu Sa’d, jilid 1, hal. 156.
4. Nahjul Balaghoh, Khutbah Qashi’ah, nomor 187.
5. Anda bisa lihat referensi berikut: Dzari’ah, Sayid Murtadha, jilid 2, hal. 595; Uddah, Syekh Thusi, jilid 2, hal. 60; Ma’arij, Muhaqiq Hilli, hal. 60; Mabadi, Allamah, hal. 30; Biharul Anwar, jilid 18, hal. 271; Qowanin, Qummi, jilid 1, hal. 491.
6. Wasa’ilus Syi’ah, jilid 8, bab ke45 (Babu Tikroril Hajji wal Umroh), hal. 87; Biharul Anwar, jilid 11, hal. 280.
7. Musnad Ahmad, jilid 1, hal. 189-190.
8. Dzari’ah, Sayid Murtadha, jilid 2, hal. 596.
9. Mafahimul Qur’an, jilid 4, hal. 77-116.
10. Shohih Bukhori, jilid 1, hal. 3 “babu bad’il wahyi ila Rosulillah”; Siroh, Ibnu Hisyam, jilid 1, hal. 234-236.
11. Al-Kafi, jilid 1, hal. 176.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar