Bolehkah Shalat dan Doa di Kuburan? [1]
Wahabisme melarang shalat dan doa di kuburan dan menyebutnya sebagai kesyirikan dan kekafiran. Ibnu Taimiyah berkata “Sesungguhnya para sahabat setiap kali mereka mengunjungi kuburan Rasulullah saw. mereka mengucapkan salam kepada beliau, tapi ketika mereka hendak berdoa mereka tidak berdoa kepada Allah swt. dengan menghadap kuburan mulia Rasulullah saw. melainkan mereka berpaling dan menghadap ke arah kiblat serta berdoa kepada Allah swt. sebagaimana mereka berdoa di belahan bumi yang lain ...
oleh karena itu tidak ada satu pun dari imam-imam salaf yang menyatakan bahwa shalat di kuburan dan di Masyhad (bangunan di atas kuburan) hukumnya sunnah. Mereka juga mengatakan shalat dan doa di sana lebih utama daripada shalat dan doa di selainnya, melainkan mereka semua bersepakat bahwa shalat di masjid dan di rumah lebih utama daripada shalat di kuburan para nabi atau orang saleh, baik itu disebut dengan masyhad atau bukan.” [2]
Klaim Wahabisme dan pernyataan Ibnu Taimiyah ini dapat dibantah dengan poin-poin yang tersebut di bawah ini
Pertama Keumuman bukti-bukti yang menunjukkan hukum diperbolehkannya shalat dan doa di semua tempat menjadi bukti pula atas pembolehan shalat dan doa di sisi kuburan Rasulullah saw. dan kuburan nabi-nabi lain serta kuburan orang saleh.
Kedua Shalat dan doa di kuburan-kuburan itu bukan saja diperbolehkan sebagaimana bukti-bukti pertama, bahkan ada juga bukti yang menganjurkan shalat dan doa di kuburan tersebut, karena menurut syariat Islam shalat dan doa bahkan ibadah secara mutlak dianjurkan sekali untuk dilakukan di tempat yang sudah terbukti kemuliaannya menurut syariat itu sendiri, dan sudah barang tentu sebuah tempat menjadi mulia karena yang menempatinya, dan yang menjadikan kuburan-kuburan itu menjadi mulia adalah terbenamnya jenazah-jenazah suci di dalamnya.
Ketiga Selain itu, firman Allah swt. juga menganjurkan doa di sisi kuburan Rasulullah saw.
وَ لَوا أَنَّهُم إِذ ظَلَمُوا أَنفُسَهُم جَاءُوکَ فَاستَغفَرُوا اللهَ [3]
Artinya “Sungguh kalau mereka ketika menganiaya dirinya, mereka datang kepadamu lalu mereka meminta ampun kepada Allah.” Kalimat “mereka datang kepadamu” bersifat umum meliputi dua kondisi hidup dan mati secara sekaligus, dan kehormatan Rasulullah saw. saat hidup dan mati adalah sama sebagaimana diakui pula oleh Imam Malik di hadapan Mansur dalam kisah yang pernah lalu di pembahasan sebelumya.
Syamsud Din al-Jazri berkata “Jika memang benar doa di sisi kuburan Rasulullah saw. tidak akan dikabulkan, lalu di mana lagi doa akan dikabulkan!!”
Keempat Sejarah Fatimah Zahra as. putri Rasulullah saw. Dia rutin menziarahi kuburan Hamzah pamannya pada setiap Hari Jum’at seraya melakukan shalat dan menangis di sana. [4]
Hakim berkata “Perawi hadis ini dari awal sampai akhirnya adalah orang-orang yang terpercaya, saya pribadi telah menelitinya dalam anjuran-anjuran terhadap ziarah kubur dengan maksud dapat berpartisipasi dalam memotivasi amalan ziarah kubur dan agar semua orang tahu bahwa perbuatan ini adalah sunnah yang sesungguhnya”.
Perlu disoroti lebih lanjut bahwa Hamzah mati syahid pada tahun ketiga hijriah, sedangkan Rasulullah saw. wafat pada tahun kesepuluh hijriah. Itu berarti, Fatimah Zahra as. selama tujuh tahun, pada setiap Hari Jum’at dia bergerak dari kota Madinah menuju Uhud dan menziarahi kuburan pamannya Hamzah, dan perbuatan dia itu disaksikan langsung oleh Rasulullah saw. dan di saat yang sama tidak ada larangan dari beliau.
Setelah itu, menurut catatan Ahli Sunnah [5] sendiri dia hidup selama enam bulan pasca wafat ayahnya Rasulullah saw., selama itu dia juga masih rutin menziarahi kuburan Hamzah dan disaksikan oleh semua sahabat nabi termasuk juga Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., dan di saat yang sama tidak ada satu pun larangan dari mereka yang mencegahnya untuk melakukan perbuatan itu.
Dalam sebuah riwayat disebutkan Fatimah Zahra putri Rasulullah saw. senantiasa menziarahi kuburan para syahid di Perang Uhud antara dua sampai tiga hari sekali, dan dia melakukan shalat, berdoa, serta menangis di sana. [6]
Itulah realitas perbuatan yang dilakukan Fatimah Zahra as. di hadapan Rasulullah saw. dan para sahabatnya dan tidak ada satu larangan pun dari mereka. Apa kamu kira Fatimah Zahra as. tidak mengetahui sunnah Rasulullah saw. di saat dia adalah wanita yang Allah swt. rela karena kerelaannya dan murka karena murkanya [7] sehingga dengan perbuatannya menziarahi kuburan Hamzah berarti dia telah menentang sunnah tersebut!!
Tentunya hal itu bukan hal yang rahasia lagi bagi Ibnu Taimiyah sehingga dia berani mengklaim bahwa tidak ada satu pun dari imam-imam salaf yang menyatakan bahwa shalat di kuburan dan di Masyhad (bangunan di atas kuburan) hukumnya sunnah [8]
Kelima Sejarah umat Islam Dari zaman Rasulullah saw. sampai sekarang sejarah umat Islam sarat dengan doa dan shalat di sisi kuburan orang-orang yang saleh dan beriman. [9]
1- Umar bin Khattab Thabari berkata berdiri di atas kuburan Syeikh yang pernah meminta tolong padanya, dia shalat di sana, memeluk kuburan itu dan menangis. [10]
2- Imam Syafi’i berkata “Sungguh aku selalu mengambil berkah dari Abu Hanifah, setiap hari aku mengunjungi kuburannya dan mana kala aku mempunyai keperluan maka aku shalat dua rakaat lalu aku mendatangi kuburannya dan terus meminta keperluanku itu kepada Allah swt. di sisi kuburan tersebut. Dengan cara ini maka tak lama kemudian keperluanku itu segera terpenuhi”. [11]
3- Kuburan Ma’ruf al-Kurkhi. Diriwayatkan oleh Zuhri bahwa kuburan Ma’ruf al-Kurkhi adalah mujarab untuk menyelesaikan berbagai keperluan, dan disebutkan bahwa barangsiapa yang membaca surat al-Ikhlas (qul huwallohu ahad ...) seratus kali di sisi kuburan itu lalu memohon keperluannya kepada Allah swt. niscaya Allah swt. akan memenuhi permohonannya dan memenuhi kebutuhannya. [12]
Ibrahim al-Harbi berkata “Kuburan Makruf al-Kurkhi adalah obat penawar yang mujarab”, Dzahabi menjelaskan “Ibrahim, dengan perkataan itu, ingin mengatakan bahwa doa orang yang sedang membutuhkan di sisi kuburan Makruf adalah doa yang terkabulkan, karena sesungguhnya di tempat yang diberkahilah doa akan dikabulkan”. [13]
Dinukil dari Ahmad bin Fatah berkata “Aku pernah bertanya kepada seorang tabi’i (generasi mukmin setelah sahabat) yang mulia tentang Makruf al-Kurkhi, maka dia menjawab ... Barangsiapa yang membutuhkan sesuatu kepada Allah swt. maka hendaknya dia mendatangi kuburan Makruf dan berdoa di sana, karena sungguh doa itu akan dikabulkan insyaAllah.”. [14]
Diriwayatkan dari Ibnu Sa’da bahwa Kuburan Makruf adalah kuburan tempat dilangsungkannya upacara shalat dan minta hujan, kuburan itu masyhur dan diziarahi baik pada waktu malam maupun siang. [15]
Diriwayatkan pula dari Ibnu Jawzi bahwa Dia mendengar masyayekhnya di Baghdad mengisahkan suatu saat ‘Aunud Din berkata “Pernah aku mengalami kesussahan yang menghimpit diriku sehingga aku sama sekali tidak punya ransum selama berhari-hari, akhirnya sebagian anggota keluarga membimbingku untuk pergi ke kuburan Makruf al-Kurkhi, lalu aku berdoa memohon kepada Allah swt. di sisi kuburan itu, karena memang benar doa di sisi kuburan itu akan dikabulkan” [16]. ‘Aunud Din melanjutkan “Aku segera mendatangi kuburan Makruf, lalu shalat dan berdoa di sana. Setelah itu aku bermaksud untuk pulang ke negeriku Baghdad, kemudian aku melewati daerah yang bernama Qatfata [17]. Di situ aku melihat sebuah masjid yang sudah tidak ditempati lagi, aku masuk ke dalamnya untuk menunaikan shalat dua rakaat, dan ternyata di dalam masjid itu terdapat orang sakit yang sedang terbaring di atas dipan, aku duduk di samping kepalanya dan kutanya padanya apa yang kamu inginkan Dia menjawab “buah safarjal”. Maka aku keluar ke penjual buah di sekitar sana dan aku gadaikan sarungku untuk mendapatkan dua buah safarjal dan satu buah apel, lalu aku kembali ke masjid itu dan kuberikan buah-buah itu kepadanya, setelah memakan buah safarjal dia menyuruhku untuk menutup pintu masjid, aku pun menuruti suruhannya, tiba-tiba dia bangkit meninggalkan dipan tempatnya bebaring seraya berkata “Galilah daerah sini”, maka kugali tanah yang dia tunjuk tadi dan ternyata aku menemukan cangkir jubung yang berharga, dia berkata kepadaku “Ambillah ini untukmu, karena kamu lebih pantas untuk mendapatkannya”, aku menanggapinya “Apa kamu tidak punya ahli waris”, dia menjawab “Tidak, pernah aku punya saudara, tapi jarakku dengannya sangat jauh, selain itu juga ada kabar yang sampai kepadaku mengatakan kalau dia telah meninggal dunia ... , ketika kami sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, aku pun segera memandikan, mengafani dan menguburkannya ... berapa lama setelah itu aku mendapat pekerjaan di istana khalifah sebagai penulis di atas kertas atau papan, dan begitulah seterusnya aku naik jabatan”. [18]
4- Kuburan Imam Syafi’i. Al-Jazri berkata “Doa di sisi kuburan Imam Syafi’i adalah doa yang dikabulkan”. [19]
5- Kuburan Bakkar al-Bakrawi al-Hanafi (w. 270 h.). dia dimakamkan di pusara, kuburannya masyhur dan senantiasa diziarahi serta diambil berkah darinya. Sebagian ulama’ menyebutkan bahwa doa di sisi kuburan itu adalah doa yang terkabulkan. [20]
6- Al-Hafidz al-Amiri (w. 403 h.). Masyarakat sering beri’tikaf di kuburannya selama bermalam-malam sambil membaca al-Qur’an dan berdoa untuknya. [21]
7- Abu Bakar al-Isbahani (w. 406 h.). Dia dimakamkan di Hirah terletak di kota Nisyabur, masyhadnya terkenal dan kuburannya selalu dikunjungi orang, mereka juga berdoa meminta hujan di sana, dan doa orang yang berdoa di sana akan terkabulkan. [22]
8- Kuburan Sayidah Nafisah putri Abu Muhammad al-Hasan bin Zayd. Menurut riwayat Ibnu Khallikan dia dimakamkan di Darbus Siba’, kuburannya terkenal dengan pengabulan doa di sana, dan kuburan dia adalah obat penawar yang mujarab —semoga keridhoan Allah swt. senantiasa meliputinya—. [23]
9- Kuburan Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi (w. 490 h.) yang tergolong syekh dalam madzhab Syafi’i. Nawawi berkata “Saya mendengar para syekh berkata “doa di sisi kuburan Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi pada hari sabtu adalah doa yang terkabulkan””. [24]
10- Kuburan Abu al-Hasan al-Mishri salah seorang fakih bermadzhab Syafi’i (w. 492 h.). Ibnu Anmathi berkata “Kuburan Abu al-Hasan al-Mishri terletak di pusara dan terkenal dengan pengabulan doa di sisinya”. [25]
11- Kuburan Qasim bin Firah as-Syathibi (w. 590 h.). Dia dimakamkan di pusara dan kuburannya masyhur di kalangan masyarakat. Penulis buku Thobaqot al-Qurro’ berkata “Saya pernah menziarahinya berkali-kali dan saya menemui sebagian sahabat-sahabat saya yang Syathibi di sisi kuburan Qasim, saya sendiri juga telah menyaksikan berkah dikabulkannya doa di sisi kuburan dia”. [26]
12- Kuburan Ibnu Jauzi (w. 597 h.). Dzahabi berkata “Masyarakat tinggal dan bermalam di sana selama bulan Ramadan penuh, mereka menyelesaikan khatmul Qur’an berkali-kali dengan cahaya lilin dan pelita”. [27]
Pernyataan yang Menentang Pandangan Wahabisme 1- Shuyuthi dalam kisah Isra’ dan Mi’raj menyebutkan Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda “Aku menaiki kendaraan dan diiringi oleh Jibril, di tengah jalan Jibril membimbingku untuk berhenti turun dan shalat, aku pun melakukannya, lalu dia berkata “Tahukah kamu di mana kamu telah shalat Kamu tadi shalat di thayyibah (daerah istimewa) tempat tujuan hijrah”, lalu dia membimbingku lagi untuk berhenti turun di pertengahan jalan dan shalat, aku pun melakukannya, dan dia berkata lagi “Tahukah kamu di mana kamu telah shalat Kamu shalat di thuri sina tempat Allah swt. berbicara dengan Musa”, lalu dia membimbingku lagi untuk berhenti turun dan shalat, aku pun melakukannya, dan dia berkata lagi “Tahukah kamu di mana kamu telah shalat Kamu shalat di baitu lahm tempat kelahiran Isa”. [28]
Kalau saja tempat kelahiran Nabi Isa as. mempunyai kedudukan seperti itu sehingga Rasulullah saw. berhenti dan turun di sana untuk shalat maka kedudukan tempat kelahiran penutup para nabi dan rasul Muhammad Rasulullah saw. dan tempat pemakamannya lebih tinggi kedudukannya dan lebih pantas untuk dilakukan shalat di sana.
2- Ibnu Qayyim al-Jauziyah –murid Ibnu Taimiyah– berkata “Dampak kesabaran siti Hajar dan putranya di tempat yang jauh, sendiri, asing dan pasrah terhadap penyembelihan anak adalah seperti yang diketahui oleh semua orang yaitu menjadikan jejak-jejak kaki dan bekas-bekas mereka sebagai manasik haji untuk ibadahnya orang-orang mukmin dan tempat peribadatan mereka sampai Hari Kiamat. [29]
Anda bisa perhatikan perkataan Ibnu Qayyim di atas; dia menyadari dengan baik bagaimana jejak kaki Hajar dan Isma’il menjadi tempat peribadatan dan shalat serta manasik haji sampai Hari Kiamat. Lalu kenapa tempat kelahiran Muhammad Rasulullah saw. dan tempat pemakamannya serta jejak kakinya tidak boleh dijadikan tempat beribadah oleh orang-orang beriman sampai Hari Kiamat
3- Ibnu al-Jazri berkata “Sesungguhnya salah satu tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh”[30].
Menghadap Kiblat atau Kuburan Nabi Saat Berdo’a
Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa —pada saat ziarah ke makam Rasulullah saw.— sahabat-sahabat nabi tidak berdoa kepada Allah swt. dengan menghadap ke arah kuburan beliau melainkan mereka berpaling darinya dan menghadap ke arah kiblat ... . [31]
Klaim Ibnu Taimiyah ini dapat dibantah dengan poin-poin berikut:
Pertama Ibnu Taimiyah tidak pernah menyebutkan walau hanya sekali satu nama sahabat pun yang memalingkan mukanya dari kuburan Rasulullah saw. dan menghadap ke arah kiblat saat berdoa, apalagi dia mengklaim hal itu pada semua sahabat nabi!, padahal dalam riwayat dari Ibnu Umar —yang mana dia adalah salah seorang sahabat nabi— dinukil kenyataan yang sama sekali bertentangan dengan klaim Ibnu Taimiyah, di sana disebutkan bahwa adalah tergolong sunnah seseorang —berdoa— dalam keadaan menghadap ke arah kuburan mulia Rasulullah saw. sementara punggungnya menghadap kiblat. [32]
Kedua Sama sekali tidak ada larangan menghadap kuburan —Rasulullah saw.— saat berdoa, karena Allah swt. berfirman
فَاَینَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجهُ الله ِ [33]
Artinya “Maka ke mana saja kalian menghadap di situlah wajah Allah”.
Ketiga Fatwa para fakih menentang klaim Ibnu Taimiyah tersebut:
a- Fatwa Malik.
Ketika Mansur bertanya kepadanya “Haruskah aku menghadap kiblat saat berdoa atau aku hadapkan saja mukaku ke arah Rasulullah saw.” dia menjawab “Kenapa kamu palingkan mukamu dari Rasulullah saw. di saat beliau adalah perantaramu dan juga perantara ayahmu Adam menuju Allah swt. di Hari Kiamat, maka seyogyanya kamu menghadap ke arah Rasulullah saw. dan meminta syafaat beliau agar Allah swt. memberimu syafaat kepadamu ...” [34]
Pertanyaan ini menunjukkan sebuah realitas bahwa sejak dahulu doa di kuburan Rasulullah saw. adalah masyhur dan tertanam dalam lubuk hati muslimin, tidak ada orang yang meragukan dibolehkan bahkan dianjurkannya doa di sana, dan apa yang diragukan oleh Mansur pada waktu itu adalah apakah menghadap kiblat saat berdoa —di sana— lebih utama daripada menghadap kuburan beliau. [35]
b- Khofaji berkata “Menghadapkan muka ke arah Rasulullah saw. dan membelakangi kiblat adalah bagian dari mazhab Syafi’i dan mayoritas muslimin. Hal yang sama juga dinukil dari Abu Hanifah”. [36]
c- Ibnu Hammam seorang ulama’ Hanafi berkata “Apa yang diriwayatkan tentang Ibnu Hanifah bahwa dia menghadap ke arah kiblat —saat berdoa di sisi kuburan Rasulullah saw.— adalah hal yang tertolak dan tidak benar karena riwayat dari Ibnu Umar yang mengatakan “Sunnah bagimu, mendatangi kuburan Rasulullah saw. dari arah kiblat dan menghadapkan punggungmu ke arahnya (kiblat) serta menghadapkan mukamu ke arah kuburan beliau ...” dan inilah yang sebenarnya dalam madzhab Abu Hanifah ... . Adapun ucapan Kirmani bahwa ini bertentangan dengan madzhabnya tidaklah berarti, karena Rasulullah saw. tetap hidup di dalam kuburan dan mengetahui peziarah beliau, dan siapa saja yang mendatangi beliau dalam keadaan hidup maka seyogyanya dia menghadapkan mukanya kepada beliau.” [37]
d- Ibrahim al-Harbi di dalam manasik-haji-nya berkata “Hadapkan punggungmu ke arah kiblat dan hadapkan mukamu ke tengah kuburan Rasulullah saw.”. [38]
e- Dinukil dari Abu Musa al-Isbahani bahwa diriwayatkan dari Malik berkata “Jika seseorang ingin mendatangi kuburan Rasulullah saw. meka hendaknya dia membelakangi kiblat dan menghadap kuburan Rasulullah saw., shalat serta berdoa”.
f- Samhudi —dan didukung pula oleh pernyataan sahabat-sahabat Syafi’i dan yang lain— berkata “Dia berdiri sambil membelakangi kiblat dan menghadap ke arah pagar kuburan Rasulullah saw.. Dan ini merupakan pendapat Ibnu Hanbal”[39].
g- Sakhtiyani.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah berkata “Abu Ayub Sakhtiyani datang dan mendekat ke kuburan Rasulullah saw., dia membelakangi kiblat dan menghadapkan wajahnya ke arah kuburan beliau sambil menangis terisak-isak”. [40]
h- Ibnu Jama’ah.
“Kemudian dia berdiri di hadapan Kuburan Rasulullah saw. sambil membelakangi kiblat dan mengucapkan salam kepada beliau”. [41]
i- Ibnu al-Munkadir.
Ibrahim bin Sa’d berkata “Aku melihat Ibnu al-Munkadir shalat di depan masjid, dan usai itu dia berjalan sejenak dan menghadap kiblat serta mengulurkan kedua tangannya seraya berdoa, lalu dia berpaling dari kiblat dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa. Hal itu dia lakukan saat dia ingin keluar dari masjid sama seperti perbuatan orang yang hendak berpisah”. [42]
Keempat Selain itu, apa yang melarang shalat di dekat kuburan Rasulullah saw. dengan harapan mengambil berkah dari tempat dikuburkannya jenazah suci beliau sebagaimana muslimin juga melakukan shalat di Maqam Ibrahim yang tidak lain adalah batu yang mendapatkan kemuliaan karena sentuhan kaki Ibrahim, Allah swt. berfirman
وَ اتَّخِذُوا مِن مَقَامِ اِبرَاهِیمَ مُصَلَّی [43]
Artinya “Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat”.
Adapun perkataan Ibnu Taimiyah bahwa shalat di rumah lebih utama daripada shalat di sisi kuburan para nabi dan orang-orang saleh adalah klaim tanpa bukti; satu pun dari imam-imam salaf tidak ada yang menyatakan hal itu, lalu bagaimana dia mengklaim semua imam salaf berkata demikian.!!
Arti Hadis Yang Melarang Pembangunan Masjid di Atas Kuburan
Isi hadis larangan itu demikian “Allah —swt.— melaknat orang-orang yahudi yang membuat kuburan-kuburan para nabi mereka menjadi masjid”, “Ya Allah, jangan jadikan kuburanku berhala [44] yang disembah, sungguh dahsyat murka Allah terhadap kaum yang membuat kuburan-kuburan para nabi mereka menjadi masjid”.
Ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan hadis di atas
Pertama Hadis ini secara sanad atau silsilah perawi memunyai masalah; karena menurut periwayatan Nasa’i di sana terdapat nama perawi Abdul Warits, orang yang tidak layak menjadi imam shalat, dan Hammad melarang —periwayatan hadis— darinya. [45]
Dalam periwayatan Nasa’i itu juga terdapat nama Abu Shaleh, orang yang masih diragukan apakah dia tergolong perawi yang tidak dikenal, lemah atau terpercaya, dan besar kemungkinan dia adalah Badzam pelayan Ummu Hani, dan dia adalah orang yang hadisnya layak untuk ditinggalkan, orang yang lemah dan pendusta. [46] Adapun dalam periwayatan Ibnu Majah terdapat nama perawi Abdullah [47] bin Usman. Para ahli mengatakan bahwa dia bukan perawi yang kuat, dia sering salah, dan dia adalah orang yang hadisnya diinkari. Sedangkan dalam periwayatan al-Muwattho’, sanad hadis itu mursal atau buntung sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Abdul Bar; karena Atho’ putra Yasar adalah orang yang tidak pernah hidup di zaman Rasulullah saw. [48]
Kedua Hadis ini sama sekali tidak memberi arti seperti anggapan Ibnu Taimiyah dan kelompok wahabi yang melarang shalat di sisi kuburan dan masyhadnya serta membangun masjid di atasnya. Hal itu karena makna yang nampak jelas dari hadis di atas adalah petunjuk atau pengingatan kembali riwayat tentang gereja Habasyah; di sana, setiap kali orang yang saleh meninggal dunia maka masyarakat setempat membangun masjid di atas kuburannya dan melukis gambar-gambar yang tidak pantas ... .
Jadi sebetulnya yang menyebabkan mereka tercela adalah perbuatan mereka membangun masjid di atas kuburan para nabi mereka dengan dekorasi lukisan sebagaimana tersebut di atas lalu mereka shalat dan sujud pada lukisan atau kuburan itu mirip dengan shalat menghadap arca dan sujud padanya. Dengan demikian, larangan menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat sujud dan shalat) adalah jika pembuatan itu sejenis dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat tersebut di atas, adapun jika masjid dibangun di atas kuburan dan shalat tetap mengarah ke kiblat serta hanya untuk Allah swt. maka hal itu tidak bermasalah, sama dengan yang terjadi sekarang di Masjid Nabi atau Masjid Jami’ al-Umawi di Damaskus yang di dalamnya terdapat kuburan Nabi Zakaria as.
1- Qurtubi mengatakan “Mulanya, para pendahulu mereka melukis gambar-gambar itu untuk mengakrabkan diri dengannya dan mengingatkan mereka pada tokoh-tokoh (atau para nabi) yang mereka lukis di sana serta perbuatan-perbuatan saleh mereka, sehingga dengan begitu mereka terdorong untuk berupaya seperti orang-orang saleh tersebut dan beribadah di sisi kuburan mereka, tapi kemudian generasi itu pergi digantikan oleh generasi baru yang tidak mengetahui maksud para pendahulu mereka sehingga setan pun berhasil memperdaya mereka bahwa Para pendahulu mereka menyembah lukisan-lukisan itu dan mengagungkannya. Itulah sebabnya kemudian Rasulullah saw. melarang mereka melakukan hal yang sama”. [49]
2- Nawawi berkata “Jika pembangunan itu dilakukan di tempat milik pembangun maka hukumnya adalah makruh, adapun jika pembangunan itu di pusara umum maka hukumnya adalah haram, hal itu merupakan ketentuan fatwa Syafi’i dan sahabat-sahabatnya ... begitu pula hukumnya penyaputan kuburan dengan kapur adalah makruh. [50]
3- Qasthalani mengatakan “Sabda yang mengatakan “mereka telah membangun masjid di atas kuburannya (nabi)” maksudnya adalah hardikan bagi siapa saja yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan tentu konsekwensinya adalah hukum haram, apalagi diperkuat dengan kutukan yang disebutkan dalam hadis tersebut, namun demikian Syafi’ dan sahabat-sahabatnya menyatakan hukumnya adalah makruh”. [51]
4- Bandianji berkata “Maksud dari hadis ini adalah pemerataan kuburan untuk dijadikan masjid dan tempat shalat”, dia juga berkata “Makruh hukumnya membangun masjid di atassisi kuburan untuk kemudian shalat di sana. Adapun kuburan-kuburan yang beredar sekarang, saya tidak melihat ada masalah untuk membangun masjid dan tempat shalat di sana, karena kuburan-kuburan itu adalah tanah wakaf dan masjid juga wakaf, itu berarti makna keduanya adalah sama.
5- Baidhawi mengatakan “Ketika kaum Yahudi dan Kristen sujud pada kuburan para nabi dengan niat mengagungkan mereka dan menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai kiblat arah mereka menghadap ketika shalat serta meletakkan arca-arca di sana, maka Rasulullah saw. melaknat mereka dan melarang umat Islam untuk melakukan hal yang sama, adapun barangsiapa yang membangun masjid di sisi orang saleh dengan niat mengambil berkah dari kedekatan posisi padanya dan bukan dengan niat mengagungkan dia atau menjadikan kuburannya sebagai kiblat arah shalat maka tidak masuk dalam kategori orang yang diancam dalam sabda Rasulullah saw. [52]
6- Sanadi berkata “Sabda ittakhodzu quburo anbiya’ihim masajida yakni mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka kiblat untuk shalat, mereka shalat menuju ke arah sana atau membangun masjid di atasnya dan shalat di sana, dan mungkin alasan di balik pe-makruh-annya adalah perbuatan itu akan berdampak pada penyembahan terhadap kuburan itu sendiri, khususnya apabila itu kuburan nabi dan rahib ... [53].
7- Nawawi berkata “Menurut ulama’, Rasulullah saw. melarang umatnya untuk membangun kuburan beliau atau kuburan yang lain menjadi masjid karena takut terjadi sikap yang berlebihan dalam pengagungan dan terlena di dalamnya sehingga besar kemungkinan akan berdampak pada kekafiran seperti yang terjadi pada umat-umat yang sebelumnya. Dan sewaktu para sahabat serta tabi’in memandang perlu adanya pelebaran masjid Rasulullah saw. karena semakin banyaknya populasi muslimin maka pelebaran itu dilakukan hingga rumah-rumah para ummul mukminin (istri-istri Nabi) juga masuk ke dalamnya termasuk di antaranya kamar Aisyah tempat dikuburkannya Rasulullah saw. dan kedua sahabatnya, oleh karena itu mereka membangun pagar tinggi yang mengelilingi kuburan beliau agar kuburan itu tidak tampak dari dalam masjid dan membuat masyarakat awam terjerumus dalam hal yang dikhawatirkan di atas, lalu mereka juga membangun dua tembok pembatas dari dua penopang kuburan sebelah utara dan menyimpangkannya sampai dua tembok itu bertemu agar tidak ada seorang pun yang dapat menghadap kuburan, itulah sebabnya dikatakan dalam hadis andaikan bukan karena bahaya tersebut niscaya kuburan itu dibiarkan tampak ... [54].
Fatwa Fuqaha Tentang Shalat di Kuburan
1- Fatwa Malik. Kutanyakan kepada Ibnu Qasim apakah Malik membolehkan seseorang melakukan shalat ketika di hadapannya terdapat kuburan yang menghalangi Dia menjawab Malik berpendapat tidak apa-apa shalat di kuburan, dan dia sendiri shalat di pusara yang di hadapan, di belakarang, di samping kiri dan kanannya terdapat kuburan. Malik juga berkata tidak apa-apa shalat di kuburan. Dia juga berkata telah sampai kepadaku berita bahwa sebagian sahabat Rasulullah saw. berkali-kali shalat di pemakaman. [55]
2- Abdul Ghani Nablusi berkata “Orang yang membangun masjid di sisi kuburan insan saleh atau shalat di kuburannya dengan tujuan menunjukkan kehormatan ahli kubur tersebut atau ingin menghadiahkan pahala sebagian ibadahnya kepada ahli kubur tersebut dan bukan untuk mengagungkan atau menyembahnya maka itu tidak apa-apa, alasannya adalah kuburan Nabi Ismail terletak di sisi tembok Ka’bah dalam Masjidul Haram, dan tempat itu merupakan tempat paling utama untuk melakukan ibadah shalat. [56]
Dia juga mengatakan “Adapun jika perbuatan itu dilakukan di kuburan salah seorang wali Allah swt., ulama’, atau muhaqiq dengan tujuan menghormati ruh mereka yang menerangi tanah kuburannya bagaikan matahari menerangi bumi dan dengan tujuan mengumumkan kepada orang lain bahwa ahli kuburan ini adalah wali Allah swt. yang seyogyanya mereka mengambil berkah darinya dan berdoa kepada Allah swt. di sisinya agar doa mereka dikabulkan, maka hukumnya adalah boleh, dan sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya. [57]
3- Abi Maliki —sebagaimana dinukil oleh Kautsari— berpendapat boleh-boleh saja orang membangun masjid di sebelah kuburan insan yang saleh atau shalat di kuburannya dengan tujuan mengambil berkah dari peninggalan-peninggalannya dan berharap doanya dapat dikabulkan di sana, dia beralasan bahwa kuburan Nabi Isamail as. terletak di Masjidul Haram di sisi tembok Ka’bah dan merupakan tempat yang paling utama untuk melakukan shalat. [58]
4- Baghawi menyebutkan “Sebagian ulama’ menyatakan bahwa hukumnya shalat di kuburan adalah boleh jika dilakukan di tempat yang bersih (suci). Diriwayatkan bahwa Umar menyaksikan Anas bin Malik shalat di sebelah kuburan, maka dia berkata Kuburan, kuburan. Dan dia tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalat tersebut. Diriwayatkan pula bahwa Hasan al-Bashri juga shalat di beberapa kuburan. Dan dinukil dari Malik berkata “Tidak apa-apa hukumnya shalat di kuburan”. Adapun takwil hadis yang melarang perbuatan itu adalah umumnya merpati membuang kotoran di sana, dan biasanya juga tanah kuburan bercampur aduk dengan nanah dan daging mayit, oleh karena itu larangan shalat atau beribadah di sana adalah dikarenakan tempat yang najis, adapun jika memang tempat itu suci maka hukumnya tidak apa-apa. [59]
Dengan adanya fatwa-fatwa dan pandangan yang jelas di atas, apa masih tersisa ruang bagi kelompok wahabi untuk menuduh orang yang shalat di masyhad dan kuburan sebagai orang musyrik dan kafir yang ingin menyembah ahli kubur! Di saat bahwa Anas bin Malik dan Hasan Bashri pernah melakukan shalat di tengah kuburan!!
Resource: Rawafidu al-Iman ila Aqa’idi al-Islam / Najmudin Tabasi - Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah)
Referensi:
1. Diterjemahkan dari kitab Rowafidu al-Iman ila Aqo’idi al-Islam, karya Najmuddin Thabasi, dari halaman 135 sampai 151.
2. Risalatu Ziarotil Qubur 159.
3. QS. an-Nisa’ 64.
4. Mushonnaf Abdur Rozzaq jilid 3, halaman 574. Mustadrok al-Hakim jilid 1, halaman 377. as-Sunan al-Kubro jilid 4, halaman 131. Tamhidu Syarhi Muwattho’i Malik karya Ibnu Abdul Bar jilid 3, halaman 234.
5. Siyaru A’lami an-Nubala’ jilid 2, halaman 127.
6. Wafa’ al-Wafa’ jilid 3, halaman 932. Kasyfu al-Irtiyab jilid 2, halaman 481. Syarhu Ibni Abi al-Hadid jilid 15, halaman 40.
7. Fathu al-Bari jilid 7, halaman 131.
8. Ziyarotul Qubur halaman 159.
9. Ibnu Jazri berpandangan bahwa keterkabulan doa di sisi kuburan para nabi dan orang-orang saleh adalah terbukti dengan eksperimen, hal yang serupa diakui pula oleh Syaukani dalam kitab Tuhfatu ad-Dzakirin halaman 46 tapi dengan beberapa syarat yang dia sebutkan di sana. Anda bisa lihat dalam kitab Siyaru A’lami an-Nubala’ jilid 10, halaman 107.
10. Ar-Riyadh an-Nadhiroh jilid 2, halaman 330. Dan di permulaan abad kedua hijriah dibangunlan sebuah masjid di atas kuburan Hamzah, masjid itu tetap makmur sampai akhirnya dihancurkan oleh orang-orang wahabi. Wafa’ al-Wafa’ jilid 3, halaman 922.
وَ مَن اَظلَمُ مَمَّن مَنَعَ مَسَاجِدَ اللهِ أَن یُذکَرَ فِیهَا اسمُهُ وَ سَعَی فِي خَرَابِهَا (البقرة 114) ,
artinya “Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang menghalangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid dan berusaha menghancurkannya”.
11. Shulhu al-Ikhwan, karya al-Khalidi halaman 83. al-Ghodir jilid 5, halaman 192. Tarikh Baghdad jilid 1, halaman 123. Miftahu as-Sa’adah jilid 2, halaman 193.
12. Mukjam at-Thabrani jilid 1, halaman 122. al-Ghodir jilid 5, halaman 193. Tarikh Baghdad jilid 1, halaman 122.
13. Siyaru A’lami an-Nubala’ jilid 9, halaman 343.
14. Shifatu as-Shofwah jilid 2, halaman 324. al-Ghodir jilid 5, halaman 193.
15. At-Thobaqot al-Kubro jilid 1, halaman 27. Wafayat al-A’yan jilid 5, halaman 232.
16. Menurut saya jika memang benar demikian, besar kemungkinan kenyataan itu disebabkan oleh kecenderungan Makruf al-Kurkhi kepada Ahlul Bayt as. dan kesetiannya kepada Imam Ali Ridho as. sebagaimana diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Salmi berkata Sesungguhnya Makruf al-Kurkhi senantiasa melayani Ali bin Musa ar-Ridho as.
Dan diriwayatkan dari Sayid Khu’i bahwa Syahrzuri di dalam kitab Manaqib al-Abrar menyebutkan Sesungguhnya Makruf al-Kurkhi adalah salah satu orang yang melayani Ali bin Musa ar-Ridho as., kedua orangtuanya beragama Kristen, mereka memasrahkan Makruf kepada seorang guru ketika dia masih kecil, guru itu mendiktenya untuk berkata Tiga Tuhan, tapi dia malah berkata Tidak, Dia Maha Esa. Maka guru itu memukulinya secara bertubi-tubi membuatnya melarikan diri sampai ke tempat Ali bin Musa ar-Ridho as. dan masuk Islam di hadapan beliau. Kemudian dia juga datang dan mengetuk rumahnya, ayahnya berseru siapakah Anda di depan pintu Dia menjawab Makruf. Ayahnya kembali berseru Apa agama yang kau peluk Dia menjawab Agama yang suci dan murni. Maka ayahnya pun masuk Islam berkat Ali bin Musa ar-Ridho as.. Makruf berkata “Mulai dari itu, selama aku hidup aku tinggalkan semua kesibukanku demi melayani tuan dan pemimpinku Ali bin Musa ar-Ridho. (Mukjam Rijal al-Hadis jilid 18, halaman 231). Ibnu Khallikan dan yang lain-lain juga membawakan kisah yang serupa dengan itu. Tapi Namazi masih menimbang-nimbangnya dalam Mustadrokat Ilmi ar-Rijal jilid 7, halaman 454 dan juga Dzahabi dalam kitabnya jilid 9, halaman 343.
17. Daerah luas yang menjadi pusat pasar, terletak di bagian barat kota Baghdad, Mukjam al-Buldan jilid 4, halaman 374.
18. Wafayat al-A’yan jilid 6, halaman 239.
19. Thobaqot al-Qurro’ jilid 2, halaman 97.
20. Al-Jawahir al-Mudhi’ah jilid 1, halaman 461.
21. Al-Ghodir jilid 5, halaman 202. an-Nihayah jilid 11, halaman 404.
22. Wafayat al-A’yan jilid 5, halaman 272.
23. Wafayat al-A’yan jilid 5, halaman 424.
Saya tambahkan bahwa Dia adalah putri Abu Muhammad Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ai bin Abi Thalib ra., dia masuk ke negeri Mesir bersama suaminya yang bernama Ishaq bin Ja’far Shadiq as., dan bahkan menurut riwayat yang lain dia masuk ke sana bersama ayahnya Hasan. Kuburannya terletak di Mesir, tapi itu pendapat ini tidak masyhur ... Sayidah Nafisah adalah salah satu dari wanita yang shaleh dan bertaqwa, dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Syafi’i ketika masuk ke Mesir dia menghadiri majlisnya dan mendengarkan hadis darinya, penduduk-penduduk Mesir juga mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadapnya dan kepercayaan itu sampai sekarang pun masih ada, dan ketika Imam Syafi’i wafat jenazahnya dihantarkan ke rumah Sayidah Nafisah untuk kemudian dia shalati jenazah itu di dalam ruhamnya, pada waktu itu dia tinggal di daerah yang sekarang menjadi masyhadnya, dia tetap tinggal di sana sampai akhirnya wafat pada bulan Ramadan tahun dua ratus delapan hijriah, dan sewaktu dia wafat suaminya yang terpercaya Ishaq bin Ja’far Shadiq as. ingin membawanya ke Madinah untuk dikuburkan di sana, tapi para penduduk Mesir memohonnya untuk membiarkannya tetap di sisi mereka sehingga jenazah itu pun dikuburkan di tempat yang masyhur di sana sekarang terletak antara Kairo dan Mesir... kuburannya terkenal dengan pengabulan doa ... Wafayat al-A’yan jilid 5, halaman 424. Dzahabi berkata sebagian data mengatakan dia termasuk wanita saleh yang rajin beribadah, dan doa di sisi kuburannya adalah doa yang dikabulkan, bahkan semua doa di sisi siapa saja dari para nabi dan orang saleh juga demikian ... Siyaru A’lami an-Nubala’ jilid 10, halaman 107.
24. Syadzarotu adz-Dzahab jilid 5, halaman 397, kejadian-kejadian tahun 488 h.
25. Ibid jilid 5, halaman 402, kejadian-kejadian tahun 490 h.
26. Thobaqot al-Qurro’ jilid 2, halaman 32.
27. Siyaru A’lami an-Nubala’ jilid 2, halaman 380.
28. Al-Khosho’ish al-Kubro li as-Shuyuthi, Kasyfu al-Irtiyab 27.
29. Kasyfu al-Irtiyab 428, dari Zadu al-Ma’ad.
30. Disebutkan oleh komentator di catatan kakinya atas kitab al-Mawahib al-Laduniyah jilid 3, halaman 406 dari kitab al-Hishnu al-Hashin.
31. Risalatu Ziaroti al-Qubur 159.
32. Kasyfu al-Irtiyab 247 dan 340. al-Ghodir jilid 5, halaman 134.
33. QS. al-Baqarah 115.
34. Wafa’ al-Wafa’ 41376. al-Mawahib al-Laduniyah jilid 3, halaman 409.
35. Al-Ghodir jilid 5, halaman 135. Lihatlah kitab Kasyfu al-Irtiyab 248 dan 340, as-Syifa bi Ta’rifi Huquqi al-Musthofa jilid 2, halaman 92.
36. Syarhu as-Syifa jilid 3, halaman 517.
37. Ibid.
38. Kasyfu al-Irtiyab 326. Wafa’ al-Wafa’ jilid 4, halaman 1378.
39. Wafa’ al-Wafa’ 41378.
40. Ibid.
41. Kasyfu al-Irtiyab 326. Wafa’ al-Wafa’ 41378.
42. Siyaru A’lami an-Nubala’ jilid 5, halaman 358.
43. QS. al-Baqarah 125.
44. Musnad Ahmad jilid 2, halaman 246; al-Muwattho’ jilid 1, halaman 172, hadis 85; Shohih Bukhori 48 (as-Sholah); Shohih Muslim 19 (al-Masajid). Musnad Ahmad jilid 1, halaman 218.
45. Mizanu al-I’tidal jilid 2, halaman 677.
46. Ibid jilid 4, halaman 538.
47. Ibid jilid 2, halaman 459; al-Kamil fi ad-Dhu’afa’ jilid 4, halaman 161.
48. Al-Muwattho’ jilid 1, halaman 172; Siyaru A’lami an-Nubala’ jilid 4, halaman 448.
49. Irsyadu as-Sari jilid 3, halaman 497, dan jilid 2, halaman 99. lihat pula Shohih Muslim jilid 1, halaman 197 (hamisy).
50. Syarhu Shohih Muslim jilid 3, halaman 62.
Ibnu Rif’ah berkata “Kuburan para nabi menjadi pengecualian dalam hukum ini, yakni pembangunan atas kuburan mereka hukumnya tidak makruh karena Allah swt. melarang bumi untuk memakan jenazah-jenazah mereka as. dan sesungguhnya mereka tetap hidup serta melakukan shalat di dalam kuburan ...”, dia juga mengatakan “Haram hukumnya shalat menghadap kuburan Nabi saw. ...” Irsyadu as-Sari jilid 2, halaman 97.
51. Irsyadu as-Sari jilid 9, halaman 477, dan jilid 7, halaman 462.
52. Ibid, jilid 3, halaman 479.
53. Sunan an-Nasa’i jilid 4, halaman 96.
54. Syarhu an-Nawawi jilid 5, halaman 14.
55. Al-Mudawwanah al-Kubro jilid 1, halaman 90.
56. Al-hadiqoh an-Nadiyah jilid 2, halaman 631.
57. Ibid, halaman 630.
58. Al-Maqolat karya Kautsari 246, Syarhu Shohih Muslim jilid 2, halaman 234.
59. Syarhu as-Sunnah karya Baghawi jilid 2, halaman 398.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar