Bukankah Allah Swt. Mengetahui Bahwa Kebanyakan Orang Mudah Menyerah di Hadapan Syahwat, Marah, dan Birahi Seksual?!


Pertama: Filsafat Penciptaan Naluri 

Kehidupan dalam sebuah himpunan yang sistematis harus mengikuti tujuan dan sarana serta pra-sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam kaitannya dengan kenyataan di atas, kehidupan di dunia berikut pemenuhan atas kebutuhan material dan spiritual manusia serta bentuk hubungan dia dengan teman dan sebaliknya perlawanan dia terhadap lawan, begitu pula yang lainnya, memerlukan berbagai kekuatan dan sarana khusus. Kekuatan syahwat, marah, khayal, akal dan lain-lain masing-masing mempunyai peran tersendiri dalam perputaran hidup seseorang bersama segenap hubungan-hubungannya dengan yang lain.

Dan jika keberadaan manusia dipandang secara menyeluruh dari semua dimensinya maka tujuan dari penciptaan dia, gaya hidup dia di dunia, dan hubungannya dengan alam akhirat, akan menjadi jelas, begitu juga urgensitas kekuatan-kekuatan dan naluri-naluri tersebut dalam diri manusia yang itu menunjukkan ketelitian dan kebijaksanaan sistem alam semesta.

Naluri manusia terbagi pada dua kelompok:
1-1. Naluri menjulang (hal-hal yang bersifat fitrah), yaitu: naluri mencari Tuhan, menginginkan kesempurnaan, mengejar keutamaan, rindu dan menyembah, suka pengetahuan, mencari kebenaran dan lain sebagainya. Naluri-naluri esensial ini menggerakkan manusia ke arah tujuan akhir dari penciptaan dan mengembangkan “saya yang hakiki dan menjulang” manusia, memberi arti pada kehidupan manusia dan menyempurnakannya. Tanpa adanya naluri-naluri itu, manusia tidak lebih dari seekor binatang dan memiliki kehidupan yang hampa. [1]

1-2. Naluri-naluri kebinatangan (kecenderungan material) yang berperan penting dalam menjaga dan melestarikan kehidupan manusia. Kalau saja tidak ada naluri-naluri seperti cinta diri, syahwat yang bermacam-macam, birahi seksual dan emosi, maka manusia tidak akan berusaha untuk menjaga kehidupan mereka dan generasi berikutnya serta melawan bahaya-bahaya yang mengancam kelestarian mereka, dan akibatnya adalah kepunahan. Oleh karena itu jika kita perhatikan secara cermat, sebetulnya keberadaan naluri-naluri ini merupakan salah satu sumber anugerah Ilahi dalam hal pemeliharaan kehidupan manusia dan pelestariannya sampai saat yang dikehendaki oleh Tuhan selama mereka berada di dunia.


Naluri-naluri ini membuat kehidupan manusia jadi indah dan menyenangkan. Tanpa adanya naluri-naluri itu maka semangat, cinta, rindu, indah dan lain sebagainya menjadi hampa makna. Nikmatnya pemandangan yang indah, sentuhan bunga-bunga yang harum, kreativitas di bidang kesenian, hubungan rumah tangga yang mesra, cinta sejati suami dan istri, kasih sayang ibu terhadap anak dan lain sebagainya adalah naluri yang diciptakan oleh Allah swt. dan dipatrikan dalam diri manusia agar dia sukses dalam mengemban tanggungjawabnya dengan semangat, cinta dan sekaligus menyenangkan. Pada kenyataannya, kehidupan tanpa naluri adalah dingin, tidak bernyawa dan tidak menyenangkan.

Di samping itu, naluri yang kuat seperti birahi dan emosi merupakan sarana utama untuk menguji manusia dan secara tidak langsung adalah tangga manusia menuju kesempurnaan. Tentunya ujian Tuhan berbeda dengan ujian-ujian yang diselenggarakan oleh manusia, target ujian manusia adalah mengetahui hasil sedangkan ujian Tuhan berperan mendidik pihak yang diuji. Syahid Mutahhari mengatakan:
“Ujian Tuhan adalah untuk mengaktualkan potensi dan menyempurnakannya, bukan untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi melainkan untuk mengaktualkan potensi-potensi yang tersimpan seperti rahasia. Pengungkapan potensi di sini sama dengan pengadaannya. Ujian Tuhan memindahkan sifat-sifat manusia dari sekedar potensi menjadi nyata dan sempurna. Ujian Tuhan bukan untuk menentukan bobot melainkan untuk menambah bobot”. [2]

Di antara sekian makhluk Tuhan, manusia memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu potensi untuk berproses menuju kesempurnaan secara sengaja. Dan lazimnya sebuah proses kesempurnaan yang sengaja adalah adanya dua jalan dan mungkinnya pilihan. Dengan kata lain, proses kesempurnaan yang sengaja bisa terealisasi apabila manusia dihadapkan pada dua ajakan dan kecenderungan yang saling berseberangan –kecenderungan yang meningkat dan kecenderungan yang menurun– dan dia mampu untuk memilih salah satu di antaranya sesuai dengan keinginan dan kehendaknya.

Oleh karena itu, kesempurnaan manusia adalah bersifat pilihan dan sengaja, dan tindakan baik atau buruk yang disengaja hanya bisa terjadi jika naluri-naluri seperti birahi dan emosi –yang dua-duanya mempunyai dua wajah baik dan buruk– ada pada diri manusia. Kapasitas eksistensial manusia tidak mungkin terpenuhi kecuali jika dia selain dianugerahi akal dan hati nurani dia juga dibekali dengan naluri birahi dan emosi sehingga melalui perjuangan yang berat melawan rayuan-rayuan hawa nafsu dia dapat menemukan jalan ke arah surga kebahagiaan.

Untuk sampai ke surga, manusia harus sukses melewati dunia dan bergelut melawan hawa nafsunya. Itulah kenapa dikatakan bahwa “Dunia adalah lahan aktualisasi potensi, sedangkan akhirat adalah tempat aktualitas potensi”. Dengan kata lain, dunia adalah bidang “penjadian” sedangkan akhirat adalah bidang “terjadian”.

Tingkatan-tingkatan surga atau turunan-turunan neraka tidak tersedia sejak sebelumnya, melainkan manusia sendiri yang membangunnya, dan pembangunan itu tergantung pada adanya naluri birahi dan emosi di samping akal dan hati nurani serta kemampuan untuk memilih, perjuangan, dan pembinaan diri.

Mau tidak mau, manusia harus bergulat dengan nalurinya, jika dia tidak mampu mengendalikannya maka dialah yang akan dikendalikan oleh naluri sampai binasa, sebaliknya jika dia selalu berjuang untuk menjinakkan nalurinya maka dengan itu dia sedang mengangkat dirinya lebih dekat di sisi Tuhan dan surga-Nya. Itulah yang membuat urgensi keberadaan naluri dalam diri manusia sebagai konsekwensi dari proses kesempurnaannya yang sengaja.


Kedua: Pandangan Islam terhadap Naluri

Berbeda dengan agama Kristen, agama Islam tidak memandang kotor dan negatif naluri-naluri kebinatangan manusia –khususnya naluri seksual—. Islam memandang semua itu bermanfaat dan bagian dari sistem penciptaan yang bijaksana. Apa yang menurut Islam terlarang bagi manusia adalah menjadikan naluri sebagai tujuan akhir dan menyerahkan diri di bawah kendalinya serta melupakan dimensi dirinya yang mulia. Sebaliknya, Islam sangat menekankan kepada manusia untuk menggunakan naluri-nalurinya secara benar dan mengarahkannya ke jalan kesempurnaan.


Ketiga: Pengendalian Naluri 

Seluruh naluri manusia –termasuk naluri seksual– bisa dikendalikan, dan pengendalian di sini bukan berarti pembekuan akan tetapi penggunaan naluri secara benar dan menghindarkan diri jangan sampai terikat olehnya. Ada beberapa hal yang efektif dalam pengendalian naluri:

3-1. Naluri yang menjulang;

Naluri yang menjulang dalam diri manusia melawan hal-hal yang tidak bernilai dan berlebihan dalam memenuhi kemauan naluri binatang, dan apabila seseorang membina nalurinya yang menjulang sampai menjadi kuat maka dia akan mampu mengendalikan naluri-naluri kebinatangannya ke arah yang benar.


3-2. Akal budi;

Akal budi adalah petunjuk atau nabi yang ada dalam diri manusia dan sangat berpengaruh dalam mengorientasikan naluri-naluri kebintangannya dan menyeimbangkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh manusia.


3-3. Petunjuk Para Nabi;

Petunjuk para utusan Tuhan adalah sebaik-baik cara untuk menggunakan seluruh naluri manusia. Ajaran para nabi memuat apa saja yang harus diperbuat dan sebaliknya apa saja yang harus ditinggalkan dalam urusan naluri, selain itu juga memunculkan motivasi yang kuat dalam diri manusia untuk menerapkan ajaran-ajaran mulia tersebut dan menentang hawa nafsu. Ajaran-ajaran itu (seperti ibadah dan lain sebagainya) sangat berpengaruh dalam menguatkan dimensi spiritual dan kehendak manusia sehingga memudahkannya untuk mengendalikan nafsu jahat dalam dirinya.


3-4. Kekuatan kehendak;

Kekuatan untuk memilih dan berkehendak adalah salah satu anugerah Ilahi yang terbesar terhadap manusia dan berperan kuat dalam mengatur tindakan-tindakannya. Kehendak bisa diperkuat sehingga dapat mengubah tugas-tugas yang sangat berat menjadi ringan.

Dalam hal ini, pemuda selain dia memiliki naluri-naluri yang kuat dia juga memiliki kehendak dan pertahanan yang kuat, dirinya masih bersih dan kecenderungan spiritualnya masih tinggi. Oleh karena itu kalangan pemuda berpeluang besar dan berkemampuan tinggi untuk mengontrol seluruh naluri-naluri yang ada dalam dirinya termasuk juga naluri kebinatangan.

Di dalam al-Qur’an, Allah swt. memberikan permisalan dari kalangan pemuda seperti Nabi Yusuf as. dan Ashabul Kahfi yang mempunyai semangat tinggi melawan gelombang naluri kebinatangan dan menghadapi rintangan, mereka berhasil meraih kebanggaan yang luar biasa di sepanjang sejarah manusia.


3-5. Pertolongan Tuhan;

Allah swt. senantiasa membantu dan meraih tangan orang yang bersungguh-sungguh dalam membersihkan diri dan menghindari dosa, Allah swt. berfirman:

وَ الَّذِینَ جَاهَدُوا فِینَا لَنَهدِیَنَّهُم سُبُلَنَا وَ اِنَّ اللهَ مَعَ المُحسِنِینَ / العنکبوت: 69

Artinya: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh pada jalan Kami, sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. 29: 69).

Al-Qur’an menyebut salah satu faktor keselamatan Nabi Yusuf as. dari dosa adalah pertolongan Tuhan. Dan sudah barang tentu pertolongan Ilahi ini tidak dikhususkan kepada beliau melainkan siapa saja yang sampai batas tertentu bersungguh-sungguh dalam menghindari dosa dan meminta pertolongan dari Allah swt. untuk menyukseskannya maka pertolongan itu akan meliputi dia juga. Hikmah pertolongan Allah swt. kepada Nabi Yusuf as. terletak pada pengabdiannya yang tulus terhadap Allah swt. [3]


Keempat: Kemungkinan untuk Kembali 

Memang benar banyak sekali orang yang cenderung berdosa dan kalah di hadapan naluri jahat atau hawa nafsunya, namun demikian Allah swt. masih membuka pintu taubat kepada hamba-hamba-Nya, Dia masih menyediakan jalan bagi mereka yang terjerumus dalam dosa untuk memulai kembali kehidupan yang suci dan bersih dari dosa serta menghapus dosa-dosanya yang lampau dengan air mata penyesalan dan menyuci dirinya dengan pengampunan Tuhan lalu melangkah ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan yang kekal.

Anggapan bahwa mayoritas orang mudah menyerah di hadapan hawa nafsu dan amarah adalah berlebihan, mayoritas orang di tengah masyarakat agamis senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan seksualnya melalui jalan yang sah, dan apabila –na’udzu billah– mereka ternodai oleh dosa maka mereka membalasnya dengan taubat dan mendekatkan diri kepada Allah swt. serta meraih rahmat-Nya.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa di satu sisi keberadaan naluri-naluri itu adalah sebuah keharusan, dan di sisi lain jalan untuk menyelamatkan diri dari keterlumuran dosa masih terbuka bagi manusia.

Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah)

Referensi:

1. Untuk lebih lengkapnya Anda bisa merujuk pada: Murtadha Mutahhari, Fitrah.
2. Murtadha Mutahhari, Adle Ilohi (Keadilan Tuhan), Qom, Sadro, cetakan kesembilan, tahun 1374 HS, halaman 182.
3. Anda bisa lihat dalam al-Qur’an, surat 12, ayat 24.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Sabtu, 10 September 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Bukankah Allah Swt. Mengetahui Bahwa Kebanyakan Orang Mudah Menyerah di Hadapan Syahwat, Marah, dan Birahi Seksual?! . Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : https://abnsnews.blogspot.com/2016/09/bukankah-allah-swt-mengetahui-bahwa.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS