Apa hukumnya penerangan kuburan menurut Islam? [1]
Wahabisme melarang penerangan atas kuburan dengan berdalil pada hadis –yang sudah disinggung dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, yaitu hadis yang memuat laknat Rasulullah saw. atas wanita-wanita peziarah kubur dan orang-orang yang menerangi kuburan dengan lampu atau membangun masjid di atasnya. [2]
Fatwa dan argumentasi Wahabisme ini tertolak karena poin-poin berikut:
1. Hadis ini secara sanad (silsilah perawi) tergolong hadis yang lemah –sebagaimana telah dibicarakan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya–.
2. Hadis ini dialamatkan pada kuburan-kuburan selain para nabi dan wali yang menurut syari’at Islam mereka layak untuk dimuliakan baik pada waktu mereka masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia.
3. Hadis ini dimaksudkan pada kondisi ketika sama sekali tidak ada manfaat di balik penerangan kuburan sehingga secara otomatis perbuatan itu sama dengan menghambur-hamburkan harta. Adapun jika penerangan kuburan tersebut ditujukan untuk pembacaan al-Qur’an dan do’a, shalat, dan penggunaan para peziarah atau penginap di sana maka hukumnya bukan makruh dan juga bukan haram, hal itu dikarenakan adanya manfaat yang jelas dan termasuk kategori saling menolong dalam kebaikan dan takwa sebagaimana ditegaskan pula oleh Azizi, Sendi, Syekh Hanafi, dan Syekh Ali Mansur. Adapun rincian perkataan mereka akan disebutkan pada paragraf-paragraf yang akan datang.
Hal itu juga dibuktikan oleh perbuatan Rasulullah saw.; Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas bahwa “Di suatu malam, Rasulullah saw. masuk ke sebuah kuburan maka beliau meneranginya dengan lampu”. [3]
4. Sejarah perilaku muslimin.
Sejarah perilaku muslimin mulai dari sebelum Ibnu Taimiyah dilahirkan sampai setelah dia meninggal menunjukkan penerangan mereka atas kuburan-kuburan dan masyhad-masyhad, terbukti:
a. Lampu kuburan Abu Ayyub al-Anshari.
Khathib Baghdadi mengatakan: “Walid berkata: “Seorang syekh dari penduduk Palestina meriwayatkan padaku bahwa dia melihat bangunan berwarna putih di dekat tembok Qastantania. Orang-orang di situ mengatakan bahwa itu adalah kuburan Abu Ayyub Anshari sahabat Rasulullah saw., maka aku datangi bangunan itu dan memang benar aku melihat kuburan Abu Ayyub di dalam bangunan tersebut, bangunan yang dihiasi dengan lampu-lampu [4] yang digantung secara sejajar”. [5]
Perlu dicatat bahwa Khathib Baghdadi wafat pada tahun 463 H. yang berarti pada abad kelima, sedangkan Ibnu Taimiyah wafat pada abad kesembilan, dan jarak tempo antara keduanya adalah sekitar empat ratus tahun, dengan demikian maka kebiasaan ini sudah berlangsung lama sebelum Ibnu Taimiyah dilahirkan dan tidak ada seorang pun faqih muslim yang memfatwakannya sebagai perbuatan yang haram, dan tidak ada satupun dari mereka yang menganggapnya sebagai bid’ah atau kesyirikan.
b. Lampu-lampu yang dipindahkan ke kuburan Zubair.
Ibnu Jauzi mengatakan: “Salah satu kejadian pada tahun 386 hijriah adalah penduduk kota Bashrah mengaku kalau mereka telah menemukannya dari masyarakat umum... maka berbagai lampu, peralatan, tikar dan lain sebagainya dipindahkan ke sana dan ditunjuk beberapa orang di sana untuk menjadi petugas dan penjaga”. [6]
Perlu dicatat pula bahwa penemuan ini berikut pemindahan lampu-lampu dan pemasangannya di atas kuburan terjadi pada abad keempat, yakni lima abad sebelum Ibnu Taimiyah dilahirkan. Di saat yang sama, tidak ada seorang faqih pun yang mengeluarkan fatwa haram atas pemindahan lampu-lampu itu dan penerangan atas kuburan Zubair atau bahkan kuburan-kuburan yang lainnya.
c. Lampu kuburan Musa Kadzim as.
Khathib Baghdadi mengatakan: “Kuburan Musa Kadzim di sana adalah masyhur dan selalu dikunjungi oleh peziarah, di atasnya dibangun masyhad yang besar yang dilengkapi juga dengan lampu-lampu yang terbuat dari emas dan perak serta berbagai peralatan dan permadani yang tidak terbilang jumlahnya”. [7]
KRITIK TERHADAP HADIS
Secara sanad, hadis ini diriwayatkan oleh Hakim di dalam Mustadroknya dengan dua sanad yang dua-duanya berakhir pada Ibnu Abbas, tapi pada dua sanad itu terdapat perawi yang bernama Abu Shaleh –dia seorang Badzan– yang tidak bisa dijadikan sandaran [8] dan hadis-hadis yang dia riwayatkan tertolak.
Abu Hatim mengatakan: “Hadisnya ditulis dan tidak bisa dijadikan bukti atau sandaran”.
Nasa’i mengatakan: “Dia bukanlah orang yang terpercaya”.
Ibnu Adi mengatakan: “Mayoritas apa yang dia riwayatkan adalah penafsiran, dan alangkah sedikitnya hadis musnad yang dia sampaikan ... dan saya tidak mengetahui ada seorang ulama terdahulu yang meridhainya”.[9]
Hadis ini juga mempunyai dua jalur sanad lain yang sudah kita kaji bersama dalam pembahasan tentang ziarah wanita ke kuburan.
Adapun secara isi dan redaksi hadis, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan:
1. Azizi menyebutkan di dalam syarah (penjelasan dan komentarnya) atas sabda Rasulullah saw. tersebut bahwa lampu-lampu di sana maksudnya adalah apabila tidak digunakan oleh orang-orang yang hidup ... adapun jika di sana terdapat orang yang menggunakan maka hal itu sah-sah saja”. [10]
2. Sendi mengatakan di dalam catatannya atas Sunanun Nasa’i: “Larangan untuk melakukan perbuatan itu karena terhitung menghambur-hamburkan harta tanpa manfaat. Maka kandungan sebaliknya adalah tidak ada larangan untuk itu jika memang memiliki manfaat tertentu”. [11]
3. Syekh Hanafi mengatakan dalam Hasyiyahnya: “Haram hukumnya penerangan kuburan wali atau yang lain dengan lampu jika tidak ada manfaat untuk perbuatan itu, karena merupakan penghabur-hamburan harta tanpa tujuan yang sah menurut syariat”. [12]
4. Syekh Ali Nashif mengatakan: “Tidak boleh hukumnya seseorang untuk menerangi kuburan –dengan lampu– karena itu menghambur-hamburkan harta, tapi jika di sana terdapat orang yang hidup maka penerangan tersebut diperbolehkan”. [13]
Kesimpulannya adalah hukum larangan ini bersifat irsyadi atau arahan dan bukan bersifat maulawi atau keharusan dalam perbuatan tertentu yang dimaksud, yakni hukum yang melarang penerangan atas kuburan ini merupakan arahan bagi manusia untuk tidak menghambur-hamburkan hartanya. Oleh karena itu jika penerangan dan pemberian lampu itu mempunyai manfaat yang wajar menurut orang-orang yang berakal maka jelas larangan hadis ini tidak mencakupnya.
Di samping itu, saya tambahkan satu hal lagi bahwa laknat tidak selalunya menunjukkan hukum haram melainkan terkadang laknat juga ditujukan kepada perbuatan yang makruh.
Referensi: Rowafid al-Iman ila Aqoid al-Islam; Najmudin Tabasi - Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah)
Referensi:
1. Diterjemahkan dari kitab Rowafidu al-Iman fi Aqo’idi al-Islam, karya Najmuddin Thabasi, dari halaman 177 sampai182.
2. Sunanun Nasa’i: jilid 4, halaman 95; Mustadrokul Hakim: jilid 1, halaman 530, nomor 1384.
3. Al-Jami’us Shohih: jilid 3, halaman 372.
4. Lampu-lampu itu terkenal dan selalu digunakan untuk penerangan, di dalam hadis juga disebutkan bahwa “seorang lelaki melakukan shalat di saat di depannya terdapat lampu”, Majma’ul Bahroin: jilid 5, halaman 456.
5. Tarikhu Baghdad: jilid 1, halaman 154.
6. Al-Muntadzom: jilid 14, halaman 383.
7. Wafayatul A’yan: jilid 5, halaman 310.
8. Tahdzibul Kamal: jilid 4, halaman 6.
9. Al-Kamilu fid Dhu’afa’: jilid 2, halaman 71, di situ disebut Badzam bukan Badzan.; Mustadrokul Hakim: jilid 1, halaman 530, nomor 1384.
10. Syarhul Jami’us Shoghir: jilid 3, halaman 198.
11. Sunanun Nasa’i: jilid 4, halaman 95.
12. Kasyful Irtiyab: 339.
13. At-Tajul Jami’u lil Ushul: jilid 1, halaman 381.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar