Pemerintah Indonesia akan mengajukan keberatan atas keputusan Pengadilan di Madinah, Arab Saudi yang menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada bekas majikan Sumiati, TKW yang mengalami penganiayaan berat hingga nyaris lumpuh. Majikan warga Saudi itu dijatuhi hukuman penjara atas penusukan, pemukulan dan pembakaran pekerja rumah tangga asal Indonesia tersebut dengan seterika. Menanggapi putusan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta keadilan bagi Sumiati dan mengirim tim khusus ke Saudi untuk menangani kasus ini walau hingga saat ini belum ada kesepakatan akhir sehubungan dengan perlindungan TKI di Arab Saudi. Juga untuk pertama kalinya, duta besar Arab Saudi di Jakarta sampai perlu mengadakan jumpa pers untuk meyakinkan Indonesia bahwa kasus Sumiati akan dituntaskan.
Konsul Indonesia untuk Perlindungan WNI di KJRI Jeddah, Didi Wahyudi mengatakan hukuman ini terlalu ringan dari ancaman hukuman maksimal yang seharusnya 15 tahun penjara, sementara akibatnya luar biasa terhadap Sumiati, sementara bekas majikan Sumiati menolak keras bahwa dirinya bersalah dan sebelumnya mengatakan luka-luka pada tubuh Sumiati terjadi karena perbuatan Sumiati sendiri. Padahal, skala luka yang diderita Sumiati dan kisah keji yang dialaminya November silam sempat menggemparkan Indonesia dan kalangan aktivis buruh migran. Menyangkut kasus penganiayaan TKW, jumlah kasus penganiayaan terhadap TKW di Arab Saudi adalah yang tertinggi di seluruh negara penempatan TKI. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, sepanjang Januari-Juni saja tercatat 118 kasus. 20 kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan kasus serupa di Malaysia yang hanya 6 kasus. Demikian juga tentang kasus pelecehan seksual terhadap TKI, Arab Saudi menduduki rangking nomor wahid. Sementara PHK sepihak atau gaji yang tidak dibayar, negara ini menduduki rangking tertinggi yaitu 1.127 kasus, dua kalilipat dari kasus serupa untuk negara wilayah asia pasifik lainnya. Tingginya angka kekerasan, pelecehan seksual dan PHK di Arab Saudi ini karena tidak ada jaminan perlindungan bagi pekerja sektor domestik ini dimana undang-undang Arab Saudi tidak mencantumkan pekerja rumah tangga ini ke dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Arab Saudi. Akibatnya, kasus seperti ini hanya dianggap sebagai urusan privat.
Selain itu, kultur masyarakat Arab yang memang sudah kita kenal dari sejarahnya yang memperlakukan manusia taklukan atau hasil membeli sebagai budaknya, bukan hanya untuk dipekerjakan dalam bidang ekonomi juga dimanfaatkan untuk urusan seksnya. Dalam perkembangan ajaran Islam yang berawal dari bangsa Arab ini ,dalam banyak ayatnya, Al-Quran memang membolehkan laki-laki menyetubuhi budaknya sendiri. Hal itu antara lain terdapat dalam ayat-ayat ini:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dan wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni’mati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Pembolehan itu kalau kita lihat di masa sekarang ini, sekilas memang terasa aneh dan tidak sesuai dengan rasio kita. Sebab kita hidup di abad 21, di mana perbudakan sudah menjadi barang yang asing. Kalau sampai kita membaca ayat Al-Quran yang seolah menerima konsep perbudakan, bahkan pemiliknya sampai boleh menyetubuhinya, tentu saja kita akan merasa sangat heran. Namun kita harus memahami juga bahwa status budak itu amat hina. Budak dianggap sebagai makhluk setengah binatang dan setengah manusia. Maka tindakan menyetubuhi budak di masa itu jangan dianggap sebagai kenikmatan, justru sebaliknya, masyarakat di masa itu memandangnya sebagai sebuah tindakan yang hina dan kurang terhormat. Meski pun dihalalkan oleh Al-Quran.
Dan ketika Al-Quran menghalalkan laki-laki menyetubuhi budaknya, hal itu merupakan dispensasi atau keringanan belaka. Terutama buat mereka yang tidak mampu menikahi wanita terhormat dan mulia. Masyarakat sendiri tidaklah memandang bahwa menyetubuhi budak itu sebagai sebuah fasilitas penyaluran aktifitas seksual yang "eksclusive" pada zaman itu. Berbeda dengan zaman sekarang, kalau kita mendengar kebolehan menyetubuhi budak, seolah kita merasakan kehebohan tersendiri. Padahal para budak wanita itu bukan sekedar wanita murahan atau rendahan, bahkan dianggap sebagai separuh binatang. Anda bisa bayangkan, mana ada orang di masa itu mau menyetubuhi makhluk setengah manusia dan setengah binatang. Pastilah mereka lebih memilih untuk menikah dengan para wanita mulia, ketimbang menggauli budak. Kalau sampai ada yang menyetubuhinya, mereka pun merasa kurang terhormat. Dari sini kita sesungguhnya dapat memahami mengapa Al Qur'an masih saja bicara tentang perbudakan, yang artinya perbudakan itu memang tidak dapat dilenyapkan begitu saja di kalangan masyarakat Arab yang sudah menjadi kultur budaya setempat. Seperti halnya masuknya ajaran Islam di Indonesia, islam dapat berkembang karena tidak begitu saja menghapus budaya yang berkembang terlebih dahulu didalam mayarakat. Dalam konteks penegakan hukum di Arab Saudi menyangkut tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para TKI yang jumlahnya tertinggi itu, bisa dimaklumi jika hakim dinegara ini masih terpengaruh oleh budayanya, setengah hati untuk mengenakan hukuman berat bagi warganya.
(Pecel-Tempe/Kompasiana/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar