Buni Yani, pengunggah ulang video pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), merasa dikriminalisasi setelah ditetapkan polisi sebagai tersangka.
"Saya merasa ini kriminalisasi. Jadi ditarik-tarik terus ke politik padahal saya bukan orang politik, saya dosen biasa seperti kawan-kawan dan saya juga profesional, begitu," ujar Buni di Mapolda Metro Jaya, Kamis (24/11/2016).
Buni ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Buni mengaku kecewa akan penetapan dirinya sebagai tersangka. Menurut dia, penetapan tersangka ini tidak subtansial.
Ia berharap mendapatkan keadilan dari para penegegak hukum dalam kasus ini. Sebab, menurut dia, keadilan adalah hak setiap warga.
"Saya sebagai warga negara harus sama derajat dan kedudukan dengan warga negara yang lain. Jadi itu yang sebetulnya kami kritik," kata Buni Yani.
Dalam kasus ini, Buni terancam dijerat Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Ancaman hukumannya, maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Buni mengunggah potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada akhir September 2016 yang isinya kemudian diduga mengandung unsur penistaan agama.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono sebelumnya mengatakan, Buni jadi tersangka bukan karena mengunggah video tersebut.
Namun, polisi menetapkan Buni sebagai tersangka karena caption yang dia tulis di akun Facebook-nya saat mengunggah video itu.
Tiga paragraf yang ditulis Buni, kata Awi, dinilai saksi ahli dapat menghasut, mengajak seseorang membenci dengan alasan SARA.
Pertama, kalimat bertuliskan 'PENISTAAN TERHADAP AGAMA?'.
Kedua, kalimat bertuliskan 'Bapak Ibu (pemilih muslim).. Dibohongi Surat Almaidah 51 (masuk neraka) juga bapak ibu. Dibodohi'.
Kalimat ketiga, 'Kelihatannya akan terjadi suatu yang kurang baik dengan video ini'.
"Tiga paragraf inilah berdasarkan saksi ahli meyakinkan penyidik yang bersangkutan melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE," jelas Awi.
Awi kembali menegaskan, kalimat yang dituliskan Buni Yani dianggap penyidik sebagai ujaran yang menghasut. Pihaknya sudah melakukan klarifikasi kepada saksi yang mengetahui itu.
Namun keputusan polisi ini sangat disayangkan banyak pihak diantaranya Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris. Fahira Idris mengatakan akan mengawal kasus ini sampai Buni Yani mendapatkan keadilan.
Namun, apakah para pembela Buni Yani ini mengetahui suatu fakta...?
Terkait dengan keputusan dari polisi bahwa penetapan Buni sebagai tersangka karena caption yang dia tulis di akun Facebook-nya saat mengunggah video itu, ternyata status Facebook tersebut mengalami 7 kali proses editing.
Fakta ini diunggah pada akun FB Kata Kita, dimana terlihat jelas seorang Buni Yani melakukan perbaikan sebanyak 7 kali. Sebenarnya untuk apa..??
Motifnya apa..? Apakah ini hanya kebetulan, atau punya maksud tertentu sehingga untuk memposting sebuah status saja memerlukan 7 kali proses editing. Bagaimana menurut anda?
(Berita-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar