Di mata Prof. Komaruddin Hidayat, sejak tiga bulan terakhir nama Basuk ‘Ahok’ Tjahaja Purnama menjadi sangat populer di seantero Nusantara. Agenda pilkada yang paling banyak diberitakan hanyalah Jakarta.
“Seakan membuat tenggelam 101 pilkada di daerah lain. Bahkan pemilihan gubernur Banten, hanya satu jam dari Jakarta, terasa senyap, tidak jadi berita nasional,” kata cendekiawan Muslim Indonesia ini.
Bagi Hidayat, persoalan yang melilit Ahok membuat orang yang tadinya tidak pernah bicara politik, sekarang ikut-ikutan bicara politik agar tidak ketinggalan informasi. Ada semacam dorongan dan kebutuhan, khususnya orang Jakarta dan sekitarnya, untuk mengikuti berita Pilkada DKI Jakarta.
Dalam konteks ini Ahok seakan jadi figur dan topik sentral yang sangat magnetik, baik yang pro maupun kontra.
“Saya tidak akan membahas posisi Ahok dari sisi hukum maupun agama, namun hanya ingin memberi komentar dampaknya terhadap pendidikan politik bagi masyarakat,” katanya di harian Sindo, 2/12.
Kasus Ahok, lanjut eks rektor UIN Jakarta ini, pasti menarik dijadikan topik tesis master atau disertasi doktor bagi mahasiswa jurusan politik atau komunikasi. Demonstrasi 4 November dan doa bersama di lapangan Monas 2 Desember 2016 tak bisa dilepaskan dari sosok Ahok.
“Masyarakat dibuatnya ingin tahu apa isi surat Almaidah 51 dan kepemimpinan umat yang dipolulerkan oleh Ahok.”
Setelah gubernur non aktif itu jadi tersangka, rakyat diajak berpikir tentang fungsi dan posisi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa dalam kehidupan bernegara berlaku hukum positif, di atas hukum agama.
“Di hadapan negara, kapasitas seseorang adalah sebagai warga negara apapun agama yang dianutnya,” kata jebolan Pondok Pesantren Pabelan Magelang ini.
Dalam sebuah negara republik, institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan adalah lembaga yang berwenang memproses dan mengadilinya.
“Mungkin saja di antara kita menempatkan kitab suci di atas segala hukum duniawi. Tetapi dalam bernegara ternyata tidak begitu. Hukum positif memiliki posisi lebih tinggi,” tegasnya.
Aspirasi hukum agama, menurut jebolan Middle East Techical University – Turki ini , harus diperjuangkan lebih dulu agar masuk menjadi bagian dari UU dan hukum positif jika ingin berlaku, sebab Indonesia bukan negara teokrasi. Para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa sadar betul bahwa sejak awal yang hendak dibangun adalah negara berbentuk republik, bukan negara agama.
“Jadi, memperjuangkan negara agama (teokrasi) di Indonesia hanya akan membuang-buang energi dan menciptakan musuh dengan sesama umat Islam.”
Hidayat menambahkan, mencermati cagub-cawagub DKI juga mengingatkan para parpol agar melakukan kaderisasi yang baik. Ini agenda serius dan mendesak agar ke depan tidak mengalami defisit calon gubernur seperti yang terjadi saat ini.
“Jago-jago yang populer bukanlah hasil kaderisasi parpol,” katanya.
Mencermati proses sosial politik yang berlangsung, semua ini merupakan proses pendewasaan dan metamorfosis dalam memperkokoh kohesi sosial dan kebhinekaan. Rakyat sadar akan hak politiknya untuk melakukan demonstrasi dan mengawal proses hukum yang dijatuhkan terhadap Ahok.
“Pemerintah pun mesti menghargai dan melindungi hak rakyatnya. Maka yang muncul adalah dialog dan kompromi. Itulah politik. Itulah demokrasi. Itulah musyawarah yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.”
Hidayat tak lupa memberi apresiasi dengan apa yang dilakukan sebagian umat Islam pada 2 Desember di Lapangan Monas.
“Diisi dengan dzikir, taushiyah dan salat Jumat. Bahkan umat beragama lain dipersilakan bergabung, diberi ruang khusus. Pemerintah pun menyediakan WC umum dan ambulans serta layanan kesehatan.”
Melihat proses sosial politik yang terjadi, Hidayat berpendapat, “Inilah salah satu keunggulan masyarakat Indonesia, di mana dunia lain mesti belajar. Kalaupun terjadi kerusuhan dan keributan, pasti datang dari pihak pengacau.”
Indonesia tidak memerlukan demo dan perubahan politik model Arab Spring yang berdarah-darah dan korbannya terlalu banyak.
“Sungguh suatu rahmat ilahi, Indonesia yang sedemikian besar penduduk dan wilayahnya namun justru bersatu dalam rumah Indonesia,” katanya.
Sekian banyak kesultanan rela bergabung dan bernaung di dalamnya. Indonesia memiliki sejarah dan jalan hidup sendiri. Beda dari negara-negara Arab meskipun sama-sama muslim. Mari kita jaga warisan dan amanat para pejuang bangsa. Lalu bagaimana posisi dan cerita Ahok?
“Kita kawal saja proses hukum yang tengah berlaku,” katanya.[]
(Harian-Sindo/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar