Tasawuf Pancasilais: Bahasa Pemersatu Batin Manusia Indonesia


Pekan lalu, Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra Jakarta bekerjasama dengan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Konferensi Internasional Pertama Tasawuf International Conference on Sufism (ICS): Building Love and Peace for Indonesian Society (Rahmatan lil Alamiin). Sukses melibatkan berbagai elemen bangsa, konferensi ini menampilkan sinergitas dan integrasi dua arus keilmuan dari kalangan tariqat sufi dan akademisi. Seperti yang tampak pada temanya, terdapat semangat untuk meninjau kembali peradaban Islam dalam sejarah Indonesia untuk pemanfaatan nilai-nilai tasawuf dalam problematika sosial dan budaya kontemporer dalam skala nasional dan internasional.


Konferensi yang dihadiri oleh pembicara domestik dan luar negeri itu ditutup oleh Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Prof Dr Amsal Bakhtiar. Sebelumnya, panitia merangkum hasil-hasil dari berbagai gagasan dan aksentuasi yang dikemukakan sepanjang konferensi. Uniknya, rangkuman ini berhasil menonjolkan nilai dan muatan tasawuf Islam dalam Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Berikut beberapa kutipan darinya:

Dalam sejarah Indonesia, tasawuf atau sufisme merupakan salah satu elemen yang sedemikian krusial sehingga, apabila diabaikan apalagi dinegasikan, justru gugusan sejarah bangsa ini kehilangan mata rantai yang mencerai-beraikan rangkaian menjadi serpihan-serpihan yang sulit dirajut kembali dalam nalar sejarah bangsa ini secara utuh.

Pada asal dan aslinya, tasawuf berakar secara autentik dari tradisi Islam. Sejak awal jejak agama ini membekas di Tanah Air, Islam sudah dikenalkan dengan lapisan-lapisan ajaran tasawuf oleh para ulama yang membawa semangat sufistik. Seiring dengan kontribusi tradisi lain, tasawuf melengkapi khazanah eksoteris Islam dalam membangun dan mengembangkan peradaban dan kebudayaan Nusantara. Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita juga dibanggakan dengan keterlibatan langsung para pahlawan yang menyimpan kecenderungan tasawuf. Di Tanah Air, tasawuf tidak hanya dijumpai di ruang-ruang privat dan kelas-kelas eksklusif, tetapi juga kontribusinya mengalir dalam ruang publik dan interaksi sosial.

Sebagai tradisi yang berkonsentrasi pada aspek esoterik dan lapisan batin realitas, tasawuf tak ubahnya air laut yang akan mengambil bentuk lahiriah berupa gelombang-gelombang ombak. Bentuk-bentuk lahiriah dan eksoterik berbagai gelombang ombak tidak merusak hakikat mereka sebagai air laut. Karena itu, tidak sepenuhnya keliru bila kita mengulang keyakinan para sufi bahwa tasawuf merupakan kesatuan yang mempersatukan keragaman. Pada titik inilah tasawuf menemukan posisinya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, yakni berkapasitas menjadi elemen perekat dan meneguhkan ketunggalan dalam jejaring kebhinnekaan bangsa ini. Bila Bahasa Indonesia diangkat sebagai pemersatu, tasawuf merupakan bahasa pemersatu batin manusia Indonesia. Itulah bahasa cinta; bahasa yang berasal dari fitrah; suara hati yang tak akan mati dan senantiasa menyapa.

Meski pada catatan awal kronologisnya, tasawuf dikenal dengan pola hidup asketis dan serba zuhud, namun pada tahapan berikutnya lebih dikenal dengan pengalaman cinta diri dengan Al-Khaliq dan makhluk. Tasawuf cinta, sejauh sejarah tasawuf mencatat, berkembang di tangan nama-nama besar sufi sehingga ajaran-ajaran tasawuf Islam, bukan hanya diserap mudah oleh nalar orang Muslim, tetapi juga menjadi referensi bagi masyarakat dunia.

Setapak dengan metafora air laut, cinta kaum sufi tidak sepatutnya diaku secara eksklusif, tetapi juga bagaimana hakikat esoterik ini dapat diakses dan dialami oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, setiap orang bukan hanya berpotensi menikmati hakikat cinta sufi, tetapi juga benar-benar mengalaminya dalam kesadaran personal dan sosial, setidaknya pada beberapa poin-poin berikut:

Pertama, cinta pada kesempurnaan absolut dan keindahan tertinggi. Pada titik inilah kita akan mengalami Realitas Tertinggi, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, cinta makhluk Tuhan. Dalam ajaran tasawuf didoktrinkan bahwa cinta sesuatu akan berdampak pada mencintai kesan-kesannya. Manusia adalah kesan terindah Tuhan. Maka, mencintai masyarakat manusia merupakan akumulasi lipatan cinta akan kesan-kesan Tuhan. Sebaliknya, pola pikir dan sikap yang merusak cinta manusia bukan hanya telah merusak keadilan dalam mencintai Tuhan dan makhluk, tetapi menciptakan ketimpangan dan kepincangan dalam cinta. Maka, dalam mencintai Tuhan terdapat adab dan hukum; cinta Tuhan tanpa cinta makhluk sama tidak adilnya dengan cinta makhluk tanpa cinta Tuhan. Di sinilah tampak menonjol keadilan dalam kemanusiaan sebagai adab dan hukum dalam mencintai Tuhan.

Ketiga, pada puncak pengalaman sufi, cinta tertinggi adalah peleburan diri dengan Tuhan dan, tentu saja, cinta tertinggi itu termanifestasi secara konkret dalam keinginan bersatu dengan kesan-kesannya. Oleh karena itu, cinta cenderung kepada persatuan dan penyatuan diri bukan hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan manusia, dengan alam, dengan lingkungan, dengan tumpah darah dan Tanah Airnya sendiri.

Keempat, cinta pada selain Tuhan tidak semata-mata membina hubungan emosional, tetapi juga terlibat aktif di tengah masyarakat untuk memastikan fungsi dan peran sufi di perjalanan ruhani terakhir, yakni perjalanan keempat, sebagai agen penyempurna (al-mukammil) berdasarkan nilai-nilai kebenaran Ilahi dan kemaslahatan insani. Pada titik inilah kita menyadari tawasuf sebagai unsur kemasyarakatan yang berbasis di atas kebijaksanaan.

Kelima, sebagaimana harus dipastikan keadilan dalam mencintai Tuhan dan makhluk-Nya, dalam mencintai antar-makhluk-Nya juga seseorang didorong oleh tasawuf untuk bersikap adil sepanjang pelaksanaan misi penyempurnaan masyarakat. Dengan kecintaan pada nilai keadilan, peran penyempurna sosial terlaksana bahkan secara lebih merata daripada nilai kedermawanan.

Lima poin ini adalah tidak lain dari butir-butir Pancasila. Tasawuf dapat dipastikan sebagai satu komponen penguat nilai-nilai asas kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Pengamalan butir-butir Pancasila berbanding langsung dengan membina diri dalam arus tasawuf. Demikian sebaliknya, pengalaman bertasawuf akan berdampak positif pada pengamalan Pancasila. Tidak hanya kalangan sufi, semua orang pasti mencintai nilai ketuhanan, keadilan, keberadaban, persatuan, kebenaran, kebijaksanaan dan kemaslahatan.

Pada konteks hubungan tasawuf dan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara inilah, berbagai elemen dan unsur masyarakat Indonesia perlu juga didorong untuk bersama-sama kaum sufi dan pecinta tasawuf menggali lebih dalam lagi khazanah tradisi Islam ini dan memperkaya pemahaman serta kesadaran kita sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan, melampaui tantangan dan mendorong kemajuan bangsa dan negara. Melalui konferensi ini, semoga kerjasama yang pertama ini, setidaknya, menjadi motivasi untuk menguatkan kesadaran akan arti penting dan kapasitas tasawuf yang melengkapi potensi lainnya dalam pembangunan negeri kita dan tatanan dunia yang beradab dan berperikemanusiaan.

Sufi Persia, Sa’di Syirazi, mengatakan:

Umat manusia organ satu tubuh

Tercipta dari satu hakikat utuh

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Jumat, 25 November 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Tasawuf Pancasilais: Bahasa Pemersatu Batin Manusia Indonesia. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : http://abnsnews.blogspot.com/2016/11/tasawuf-pancasilais-bahasa-pemersatu.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS