Bukan manisan atau cokelat tapi bombardemen dari udara. Yogyakarta luluh lantak menjelang Natal 1948.
Di tengah prahara, pada 2 Januari 1946 sepucuk surat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX datang ke tangan Presiden Sukarno. Sultan menyampaikan Yogyakarta siap menjadi ibu kota sementara, menggantikan Jakarta yang tak aman lagi karena aksi tentara NICA. Sukarno-Hatta, menyambut baik tawaran itu. Dalam rapat kabinet 3 Januari 1946 para pemimpin republik memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta.
Seusai rapat, sore menjelang malam, gerbong-gerbong kereta kosong digerakan perlahan dari Stasiun Manggarai. Nyaris tak berbunyi. Di jalan Pegangsaan Timur 56, persis di belakang rumah Sukarno, lokomotif berhenti. Dalam gelap malam yang mencekam Sukarno, Hatta, bersama para menterinya berangkat menuju Yogyakarta.
Dua hari setelah rombongan tiba, Yogyakarta diresmikan sebagai ibukota Republik Indonesia. Sukarno menempati rumah kediaman Gubernur Yogyakarta sebagai tempat tinggal pribadi sekaligus kantor presiden. Sementara itu Wakil Presiden Moh. Hatta, menempati sebuah rumah di Jalan Reksobajan, persis di sebelah kiri Istana Presiden. Sultan Hamengkubuwono IX sendiri diangkat menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sjahrir III.
Kesetiaan Raja Yogyakarta pada Republik Indonesia sudah dibuktikan sejak usia republik masih jauh belia. Hanya berselang satu hari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Sultan Hamengkubuwono IX mengirimkan kawat kepada Sukarno-Hatta dan dr. KRT Radjiman Wediodiningrat, Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan, mengucapkan selamat atas terbentuknya Republik Indonesia.
Ucapan itu bukan sekadar basa-basi politik belaka. Pada 5 September 1945, melalui sebuah maklumat, Sultan menunjukan komitmen dan dukungan kepada Republik. Maklumat itu berbunyi wilayah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan Daerah Istimewa RI, segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengkubuwono IX, dan Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung-jawab langsung kepada Presiden RI.
Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi serangan Belanda, selaku panglima Laskar Rakyat di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX memerintahkan agar laskar menggelar latihan perang. Pada 19 Desember 1948, laskar berencana latihan perang besar-besaran. Belum lagi latihan dimulai, tiba-tiba terdengar rentetan letusan senjata dan bunyi pesawat meraung-raung di atas langit Yogyakarta. Di kediamannya, Presiden Sukarno pun sempat menanyakan apakah itu suara dari latihan perang yang sedang digelar oleh laskar. Ternyata bukan. Belanda sedang melancarkan aksi militernya yang kedua.
Tak seorang pun menduga kalau Belanda akan mengingkari janjinya dalam Perundingan Renville dengan melancarkan aksi yang mereka sebut sebagai “Aksi Polisionil” itu. Kemal Idris dalam buku Bertarung Dalam Revolusi mengisahkan kejadian itu, “… dari jauh terlihat sebuah pesawat terbang. Dalam hati saya timbul dugaan, bahwa hari itu akan ada latihan Angkatan Udara yang sebelumnya memang direncanakan.” Dengan serangan itu secara otomatis Belanda tidak lagi terikat pada Renville.
Selama masa pendudukan ini Sultan Hamengkubuwono IX berperan besar dalam menjaga semangat perjuangan rakyat melawan Belanda. Dia sumbangkan uang gulden Belanda miliknya untuk meyokong perang gerilya yang dilakukan rakyat bersama TNI. Keraton juga memberikan setidaknya 1440 pucuk senjata api dan senjata-senjata tajam seperti tombak kepada pasukan RI.
“Bantuan keuangan dari sultan tidak hanya diberikan kepada pejabat dan pegawai, tetapi juga untuk keperluan pasukan gerilya dan PMI.” Tulis Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer.
Suatu hari M. Roem pernah menanyakan kepada Sultan berapa jumlah uang yang ia sumbangkan? “ah, nggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini (sambil menirukan gerakan orang mengambil pasir dengan dua telapak tangan),” kenang Sultan kepada M. Roem dalam Tahta Untuk Rakyat. Menurut taksiran Hatta, jumlah uang yang telah disumbangkan Sultan waktu itu tidak kurang dari lima juta gulden. Hatta sudah pernah bertanya, apakah bantuan tersebut tidak perlu dihitung, agar nanti bisa dibayar kembali oleh pemerintah Indonesia? Namun Sultan, tidak pernah menjawab pertanyaan itu.
Serangan itu sedemikian keras dan bahkan sempat menciptakan perselisihan paham di antara pemimpin sipil dan militer. Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman meminta para pemimpin sipil, khususnya Sukarno-Hatta untuk meninggalkan Yogyakarta dan mempertahankan kedaulatan kemerdekaan dengan jalan senjata. Sukarno menolak dan lebih memilih jalan diplomasi.
“Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota ini dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya,” pinta Sudirman.
“Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua,” tolak Sukarno, sebagaimana ditulis dalam autobigrafinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Sudirman benar, tak berselang lama sesudah serangan tak terduga itu, Belanda berhasil menguasai lapangan udara Maguwo, tercatat 128 tentara Indonesia tewas. Selanjutnya Belanda bergerak menuju pusat kota. Sore kira-kira pukul 17.00 kolonel Van Langen, penguasa militer Belanda untuk wilayah Yogyakarta berhasil menduduki istana. Beberapa hari berikutnya para pemimpin republik: Sukarno, Hatta, Sjarir, dan Agus Salim diterbangkan ke pengasingan di Berastagi. Di kemudian hari Sukarno mengenang serangan itu: “Desember 1948, Belanda menjatuhkan hadiah Natal tepat di atas cerobong asap dapurku. Jam 5.30 di pagi hari Minggu, tanggal 19, mereka membom Yogyakarta.”
(Historia/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)
Di tengah prahara, pada 2 Januari 1946 sepucuk surat dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX datang ke tangan Presiden Sukarno. Sultan menyampaikan Yogyakarta siap menjadi ibu kota sementara, menggantikan Jakarta yang tak aman lagi karena aksi tentara NICA. Sukarno-Hatta, menyambut baik tawaran itu. Dalam rapat kabinet 3 Januari 1946 para pemimpin republik memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta.
Seusai rapat, sore menjelang malam, gerbong-gerbong kereta kosong digerakan perlahan dari Stasiun Manggarai. Nyaris tak berbunyi. Di jalan Pegangsaan Timur 56, persis di belakang rumah Sukarno, lokomotif berhenti. Dalam gelap malam yang mencekam Sukarno, Hatta, bersama para menterinya berangkat menuju Yogyakarta.
Dua hari setelah rombongan tiba, Yogyakarta diresmikan sebagai ibukota Republik Indonesia. Sukarno menempati rumah kediaman Gubernur Yogyakarta sebagai tempat tinggal pribadi sekaligus kantor presiden. Sementara itu Wakil Presiden Moh. Hatta, menempati sebuah rumah di Jalan Reksobajan, persis di sebelah kiri Istana Presiden. Sultan Hamengkubuwono IX sendiri diangkat menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sjahrir III.
Kesetiaan Raja Yogyakarta pada Republik Indonesia sudah dibuktikan sejak usia republik masih jauh belia. Hanya berselang satu hari setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, Sultan Hamengkubuwono IX mengirimkan kawat kepada Sukarno-Hatta dan dr. KRT Radjiman Wediodiningrat, Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan, mengucapkan selamat atas terbentuknya Republik Indonesia.
Ucapan itu bukan sekadar basa-basi politik belaka. Pada 5 September 1945, melalui sebuah maklumat, Sultan menunjukan komitmen dan dukungan kepada Republik. Maklumat itu berbunyi wilayah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan Daerah Istimewa RI, segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengkubuwono IX, dan Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung-jawab langsung kepada Presiden RI.
Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi serangan Belanda, selaku panglima Laskar Rakyat di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX memerintahkan agar laskar menggelar latihan perang. Pada 19 Desember 1948, laskar berencana latihan perang besar-besaran. Belum lagi latihan dimulai, tiba-tiba terdengar rentetan letusan senjata dan bunyi pesawat meraung-raung di atas langit Yogyakarta. Di kediamannya, Presiden Sukarno pun sempat menanyakan apakah itu suara dari latihan perang yang sedang digelar oleh laskar. Ternyata bukan. Belanda sedang melancarkan aksi militernya yang kedua.
Tak seorang pun menduga kalau Belanda akan mengingkari janjinya dalam Perundingan Renville dengan melancarkan aksi yang mereka sebut sebagai “Aksi Polisionil” itu. Kemal Idris dalam buku Bertarung Dalam Revolusi mengisahkan kejadian itu, “… dari jauh terlihat sebuah pesawat terbang. Dalam hati saya timbul dugaan, bahwa hari itu akan ada latihan Angkatan Udara yang sebelumnya memang direncanakan.” Dengan serangan itu secara otomatis Belanda tidak lagi terikat pada Renville.
Selama masa pendudukan ini Sultan Hamengkubuwono IX berperan besar dalam menjaga semangat perjuangan rakyat melawan Belanda. Dia sumbangkan uang gulden Belanda miliknya untuk meyokong perang gerilya yang dilakukan rakyat bersama TNI. Keraton juga memberikan setidaknya 1440 pucuk senjata api dan senjata-senjata tajam seperti tombak kepada pasukan RI.
“Bantuan keuangan dari sultan tidak hanya diberikan kepada pejabat dan pegawai, tetapi juga untuk keperluan pasukan gerilya dan PMI.” Tulis Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer.
Suatu hari M. Roem pernah menanyakan kepada Sultan berapa jumlah uang yang ia sumbangkan? “ah, nggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini (sambil menirukan gerakan orang mengambil pasir dengan dua telapak tangan),” kenang Sultan kepada M. Roem dalam Tahta Untuk Rakyat. Menurut taksiran Hatta, jumlah uang yang telah disumbangkan Sultan waktu itu tidak kurang dari lima juta gulden. Hatta sudah pernah bertanya, apakah bantuan tersebut tidak perlu dihitung, agar nanti bisa dibayar kembali oleh pemerintah Indonesia? Namun Sultan, tidak pernah menjawab pertanyaan itu.
Serangan itu sedemikian keras dan bahkan sempat menciptakan perselisihan paham di antara pemimpin sipil dan militer. Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman meminta para pemimpin sipil, khususnya Sukarno-Hatta untuk meninggalkan Yogyakarta dan mempertahankan kedaulatan kemerdekaan dengan jalan senjata. Sukarno menolak dan lebih memilih jalan diplomasi.
“Saya minta dengan sangat agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota ini dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya,” pinta Sudirman.
“Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah tempat pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua,” tolak Sukarno, sebagaimana ditulis dalam autobigrafinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Sudirman benar, tak berselang lama sesudah serangan tak terduga itu, Belanda berhasil menguasai lapangan udara Maguwo, tercatat 128 tentara Indonesia tewas. Selanjutnya Belanda bergerak menuju pusat kota. Sore kira-kira pukul 17.00 kolonel Van Langen, penguasa militer Belanda untuk wilayah Yogyakarta berhasil menduduki istana. Beberapa hari berikutnya para pemimpin republik: Sukarno, Hatta, Sjarir, dan Agus Salim diterbangkan ke pengasingan di Berastagi. Di kemudian hari Sukarno mengenang serangan itu: “Desember 1948, Belanda menjatuhkan hadiah Natal tepat di atas cerobong asap dapurku. Jam 5.30 di pagi hari Minggu, tanggal 19, mereka membom Yogyakarta.”
(Historia/Berbagai-Sumber-lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar