Publik pencinta media sosial Indonesia belakangan ini diguncang oleh sejumlah konten yang dituding sebagai penyebar isu kebencian dan provokasi yang bisa memantik konflik SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), sekaligus informasi bohong atau hoaks.
Menurut sejumlah analis, tindakan penyebaran kebencian itu dilakukan secara sistematis untuk pembunuhan karakter tokoh politik atau kelompok tertentu melalui penyebaran hoaks secara sengaja dan sistematis.
Menarik sekaligus memprihatinkan lantaran media yang menohok perasaan publik itu dikemas dalam proposal bisnis atau dijadikan komoditas yang dapat diperjualbelikan. Artinya, dengan aksi yang menyimpang dari etika berkomunikasi di media sosial itu, mereka mengambil keuntungan ekonomi untuk kepentingan sendiri.
Di tengah kesulitan dan kebingungan pelaku ekonomi beretika, untuk mengembangkan bisnis yang wajar, hal-hal yang melanggar hukum dan mencederai moral dan norma-norma suci kehidupan masyarakat, justru menggelinding dengan derasnya untuk menguras energi ekonomi masyarakat yang tidak sedikit.
Bahkan, Saracen, apabila benar seperti yang dituduhkan atau dicurigai oleh sejumlah kalangan sebagai kelompok yang berada di balik kesuksesan pasangan cagub tertentu pada pilkada DKI beberapa bulan lalu, maka bukan saja keuntungan ekonomi yang didapat, tetapi juga keuntungan politik pihak tertentu. Kita harapkan itu tidak, tetapi jika itu benar, betapa celakanya politik kita.
Dan selain Saracen, diduga kuat masih ada kelompok lain yang menjadikan informasi bohong atau hoaks sebagai ladang bisnis yang subur untuk menguras energi ekonomi rakyat yang dijalankan secara benar dan beretika serta dengan pengorbanan tenaga, pikiran dan modal yang tidak sedikit.
Pengkhianatan intelektual
Manuel Castell, salah seorang teoretisi masyarakat jaringan, sejak 1990-an sebetulnya telah mengingatkan kita semua tentang risiko dari perkembangan penggunaan teknologi informasi yang makin meluas di masyarakat.
Castellls dalam trilogy bukunya yang terkenal “The Information Age; Economy, Society and Culture”, seperti disitir Rahma Sugiharti, (Kompas 30 Agustus) lalu, telah menulis bahwa perubahan sosial yang berlangsung dewasa itu bukan lagi sekadar dipicu kekuatan modal kapitalisme, melainkan juga ditandai makin dominannya peran pengetahuan dan revolusi teknologi informasi yang kemudian melahirkan kapitalisme informasi dan masyarakat informasi.
Dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia maya pun disitir sesuai dengan keinginan masing-masing penguasanya. Tergantung sosok dan wajah sang penguasa, jahat atau baik, setan atau malaekat; kalau menampilkan sosok setan berarti menggiring teknologi ke jurang keburukan tanpa peduli besarnya kerugian yang harus diderita oleh sang sasaran. Kalau menampilkan diri dalam sosok malaekat, berarti teknologi diarahkan ke ruang kebaikan dan bisa menjadi dewa penyelamat banyak orang.
Tragisnya bagi para penguasa teknologi di Indonesia belakangan ini, bahwa kemampuan penguasaan teknologi itu tidak lagi dijadikan sekadar data untuk membantu kemudahan hidup publik, tetapi telah bermetamorfosis menjadi senjata yang berbahaya ketika penyebaran dapat direkayasa dengan bentuk-bentuk pembohongan yang mengerikan.
Kalau itu yang benar-benar terjadi, maka bukan saja kerugian yang diderita publik ekonomi dan politik sebagai akibat dari kebohongan-kebohongan itu, tetapi juga sebagai bentuk pengkhianatan intelektual yang mencederai kapasitas keintelektualannya sendiri. Adalah bentuk-bentuk pengkhianatan intelektual yang melukai hati publik. Bagaimana tidak jika informasi bohong itu benar-benar menyulut emosi publik karena dibangkitkannya kebencian di tengah masyarakat.
Menjadi sangat mengerikan lagi bagi sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia ini yang ingin maju, di mana sangat dibutuhkan peran kaum intelektual demi kemajuan bangsa dan negara, lewat pemikiran-pemikiran cerdasnya untuk solusi-solusi briliannya, tetapi ternyata kaum intelektual itu sendiri mengkhianati keintelektualannya untuk mencari sebongkah berlian demi memenuhi kebutuhan hidup sesaatnya.
Bukankah kebohongan-kebohongan yang diperankan oleh kaum terdidik di bidang teknologi informasi itu akan melahirkan aneka kebohongan lainnya, seperti dalam merekayasa kasus korupsi besar, kerah putih, pencucian uang dan sebagainya, yang kita semua sudah tahu betapa besarnya kerusakan yang ditimbulkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat dari semua itu?
Jadi, jangan heran jika hingga kini semakin banyak kasus korupsi atau kejahatan-kejahatan besar sulit dilacak karena semua kasus itu umumnya sudah direkayasa dan dikamuflase oleh para intelektual di bidang teknologi inormasi itu.
Karena itu, tidak perlu heran jika negara ini bukan saja menjadi baik tetapi menjadi semakin buruk rupa. Kalau sudah begini, maka apa yang kita harapkan ke depan bagi bangsa dan negara yang besar ini? Inilah yang sulit dijawab ketika para intelektual di bidang teknologi informasi itu telah mati idealismenya dan masih takut kelaparan jika tidak melakukan tindakan-tindakan tercela seperti itu.
Lalu, bagaimana?
Kita harapkan pihak kepolisian masih memiliki keberanian yang tinggi, termasuk keberanian moral dalam membedah kasus Saracen yang ditengarai ada aktor kuat pemilik modal di belakangnya. Kalau memang ada kecurigaan kuat tentang adanya pemesan konten negatif dari Saracen, maka kasus-kasus itu harus diselesaikan dengan tindakan-tindakan tegas.
Setiap ada indikasi harus segera ditelusuri dan diselesaikan secara elegan. Pihak kepolisian, tentu bukan malaekat, tetapi dengan kepercayaan masyarakat yang masih ada pada pihak kepolisian, maka harapan penyelesaian kasus masih bisa diperoleh publik.
Ingat bahwa jika seseorang itu sudah memiliki watak yang tidak jujur, karena sulit mengharapkan akan lahir kejujuran dari dalam dirinya. Seperti ditulis Charles Ford, dalam Lies, Lies, Lies: The Psichology of Deceit, yang banyak meneliti motivasi dan kondisi psikologis orang-orang yang berbohong, mengatakan bahwa kebohongan akan melahirkan kebohongan berikut untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Maka yang terjadi adalah terbentuknya lingkaran kebohongan yang sulit dilacak dan sangat melelahkan. Dalam hal ini, tidak heran kalau setiap kasus korupsi besar sulit ditemukan sumber korupsi, dan penyelesaian kasus korupsi tidak pernah tuntas.
Lalu, apa yang mesti dilakukan, pertama, adalah peningkatan pendidikan secara benar dan efektif, yang dalam istilah saya adalah pendidikan pintar. Dalam hal ini, anak-anak usia 6-16 tahun harus dibekali dengan pendidikan yang benar-benar bernas, karena anak-anak di usia itu adalah penentu kualitas hidupnya di masa yang akan datang.
Kedua, pemerintah harus memberikan perintah yang benar kepada masyarakat seluruhnya. Supaya lebih efektif perintah itu, lewat media televisi, pemerintah bisa setiap hari sekira 15 menit memberikan perintah sekaligus edukasi tersebut.
(Berani-News/suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar