Dr. Emami: Kapankah kepercayaan terhadap Imam Mahdi menjadi merata di lingkungan Islam? Adakah pembicaraan tentang al-Mahdi selama masa Nabi saw atau apakah tema itu muncul setelah mangkatnya beliau sehingga tersebar luas di tengah kaum Muslimin? Ada sebagian pihak yang telah menulis bahwa tidak ada Mahdiisme pada permulaan Islam. Ide tersebut baru mencuat di antara kaum Muslimin pada paruh kedua abad pertama Hijrah (abad ke-7 M). Ada pula sekelompok orang yang menganggap bahwa Muhammad bin Hanafiyyah sebagai al-Mahdi dan menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang tentang nasib baik Islam yang tercapainya melaluinya. Kelompok itu pun percaya bahwa Muhammad bin Hanafiyyah belum mati namun hidup di Gunung Radhwah dan suatu saat akan kembali.
Tn. Hosyyar: Kepercayaan terhadap al-Mahdi berkembang luas selama masa Rasul. Nabi saw telah menyampaikan masa depan menjelang kemunculan al-Mahdi lebih dari satu kesempatan. Dari waktu ke waktu, beliau selalu memberi tahu manusia ihwal pemerintahan al-Mahdi dan tanda-tanda kemunculannya, menyampaikan nama dan julukannya. Ada sejumlah laporan dan riwayat yang telah sampai kepada kami baik dari jalur Sunni dan Syi`ah perihal tema ini. Secara asasi, sebagian dari riwayat itu telah disampaikan sedemikian sering dan tanpa penyimpangan dari setiap zaman yang tak seorang pun bisa meragukan autentisitasnya. Umpamanya, kita membaca hadis berikut yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas`ud, yang mendengar Nabi saw bersabda:
Dunia tidak akan berakhir sampai seorang lelaki dari keluargaku (ahl al-bayt), yang disebut al-Mahdi, bangkit untuk mengurus umatku.1
Hadis lain diriwayatkan oleh Abu al-Hujaf yang mengutip pernyataan Nabi saw sebanyak tiga kali:
Dengarkan kabar gembira tentang al-Mahdi! Dia akan bangkit pada saat manusia dihadapkan dengan konflik keras dan dunia akan digoncang dengan getaran keras. Dia akan memenuhi dunia dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia dipenuhi dengan kezaliman dan tirani. Dia akan memenuhi hati para pengikutnya dengan ketaatan dan akan menyebarkan keadilan di mana-mana.2
Nabi saw telah menyatakan:
Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai al-Qâ`im al-Haq muncul. Ini akan terjadi ketika Allah mengizinkannya untuk bangkit. Barangsiapa yang mengikutinya akan selamat, dan barangsiapa yang menentangnya akan binasa. Wahai hamba-hamba Allah, ingatlah Allah dalam pikiran kalian dan larilah kepadanya [al-Mahdi] meskipun itu terjadi di atas es, karena sesungguhnya dia adalah khalifah Allah Azza wa Jalla dan penggantiku.3
Dalam hadis lain, Nabi saw dilaporkan telah berkata: “Barangsiapa yang menolak al-Qâ`im dari keturunanku berarti menolakku.”4 Masih dalam hadis lain, Nabi saw menjamin umatnya dengan menyatakan:
Dunia tidak akan berakhir sampai seorang lelaki dari keturunan Husain mengurus dunia dan memenuhinya dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia dipenuhi dengan kezaliman dan tirani.5
Al-Mahdi Berasal dari Keturunan Nabi saw
Hadis-hadis semacam itu jumlahnya banyak. Ide utama yang berkembang dalam semua hadis itu mengandung topik masa depan menjelang al-Mahdi dan al-Qâ`im selama masa Nabi saw yang begitu terkenal. Sebenarnya, pelbagai riwayat yang membahas tema itu menunjukkan bahwa ia bukanlah sesuatu yang baru yang kemudian disampaikan kepada orang-orang. Bahkan, riwayat-riwayat tersebut memuat tanda-tanda dan ciri-ciri orang yang akan bangkit sebagai al-Mahdi, seperti dalam ungkapan “Al-Mahdi yang dijanjikan berasal dari keturunanku.”
Hadis berikutnya mencerminkan pola yang sama dalam ungkapan-ungkapannya. Diriwayatkan, Amirul Mukminin Ali bin Thalib as berkata:
Aku bertanya kepada Nabi saw: “Apakah al-Mahdi berasal dari kalangan keluarga kita sendiri ataukah dari yang lainnya?” Beliau menjawab: “Dia berasal dari kalangan kita. Allah akan menyempurnakan agama-Nya melalui dia, sebagaimana Dia mengawali agama dengan kita. Melalui kitalah, manusia akan mendapatkan keselamatan dari fitnah. Melalui kita pula, mereka selamat dari kemusyrikan. Malah, melalui kitalah Allah akan menyatukan hati-hati mereka dalam ikatan persaudaraan menyusul pertikaian yang tersebar karena fitnah, sebagaimana mereka dipersaudarakan dalam agama mereka setelah pertikaian yang berkembang karena kemusyrikan.”6
Abu Sa`id al-Khudri, sahabat dekat Nabi saw berucap:
Aku mendengar perkataan Nabi dari mimbar: “Al-Mahdi berasal dari keturunanku, keluargaku, akan bangkit menjelang Hari Kiamat ketika langit mencurahkan hujan dan bumi menumbuhkan rerumputan hijau baginya. Dia akan mengisi dunia dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia dipenuhi dengan tirani dan kezaliman sebelumnya.”7
Dalam hadis lain dari Ummu Salamah, istri Nabi, ada keterangan yang lebih spesifik yang diberikan kepada umat. Nabi saw mengatakan: “Al-Mahdi berasal dari keluargaku, dari anak-anak Fathimah.”8
Pada kesempatan lain, Nabi saw mengatakan:
Al-Qâ`im berasal dari keturunanku. Namanya sama dengan namaku, julukannya sama dengan julukanku. Ciri-cirinya sama dengan ciri-ciriku. Dia akan mengajak manusia kepada sunahku dan Kitab Allah. Barangsiapa menaatinya berarti menaatiku, dan sebaliknya, mereka yang berpaling darinya berarti berpaling dariku. Barangsiapa yang menolak keberadaannya selama kegaibannya berarti menolakku, dan barangsiapa yang mendustakannya berarti mendustakai aku. Barangsiapa yang membenarkan eksistensinya berarti membenarkan keberadaanku. Kalau mereka diminta untuk memalsukan apa-apa yang telah kukatakan tentang al-Mahdi dan dengan demikian menyesatkan umatku, aku akan mengadukan mereka kepada Allah.”9
Abu Ayyub al-Anshari mengatakan:
Saya mendengar Nabi saw berkata: “Akulah penghulu para nabi dan Ali penghulu para pengganti. Dua cucuku adalah orang-orang terbaik dari keturunanku. Para imam maksum berasal dari keturunan kami melalui Husain. Bahkan, Mahdi umat ini berasal dari kami.” Saat itu seorang Arab berdiri dan bertanya: “Wahai Nabi Allah, berapa jumlah imam yang akan muncul setelah Anda?” Beliau menjawab: “Sama dengan jumlah para utusan Isa dan para pemimpin Bani Israil.”10
Sebuah hadis lain dengan keterangan yang sama telah dinukil dari Hudzaifah, sahabat lain Nabi saw, yang mendengar Nabi berkata:
Para imam sepeninggalku sama dengan jumlah para pemimpin suku dari kalangan Bani Israil. Sembilan di antaranya adalah keturunan Husain. Al-Mahdi umat ini berasal dari kami. Waspadalah! Kebenaran bersama mereka dan mereka bersama kebenaran. Karena itu, hati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka sepeninggalku.”11
Masih dalam hadis lain Sa`id bin Musayyib melaporkan dari Amr bin Utsman bin Affan, yang berkata:
Kami mendengar dari Nabi saw bersabda: “Para imam sepeninggalku akan berjumlah dua belas orang. Sembilan di antaranya berasal dari keturunan Husain. Bahkan, al-Mahdi umat ini berasal dari kami. Barangsiapa yang berpegang kepada mereka sepeninggalku berarti berpegang kepada Allah. Dan barangsiapa yang meninggalkan mereka, berarti telah meninggalkan Allah.”12
Ada sejumlah hadis bernada sama dalam sumber-sumber yang siapapun bisa menelitinya.
Hadis-hadis Sunni tentang Topik Al-Mahdi
Dr. Fahimi: Tuan Hosyyar! Kawan-kawan kita mengetahuinya. Namun biarkan saya mengatakan kepada Anda bahwa saya mengikuti mazhab Sunni. Oleh karenanya, penilaian positif saya bahwa Anda mempunyai hadis riwayat Syi`ah, sementara saya tidak. Sangat boleh jadi, kaum ektremis Syi`ah, apapun alasannya, setelah menerima riwayat-riwayat tentang Mahdiisme, pasti mempunyai hadis-hadis buatan demi mendukung pandangan-pandangan mereka dan menganggap hadis-hadis itu berasal dari Nabi. Bukti bagi dalil saya adalah bahwa hadis-hadis tentang al-Mahdi hanya dicatat dalam buku-buku Syi`ah Anda. Tidak ada jejak akan hal ini dalam kompilasi hadis-hadis autentik kami¾Shihah. Memang, saya tahu bahwa ada sebagian hadis tentang tema tersebut dalam kompilasi kami kurang bisa dipercaya.13
Tn. Hosyyar: Meski kondisi-kondisi tidak menyenangkan di bawah rezim Umayyah dan Abbasiyyah, yang kebijakan politik dan pemerintahan opresifnya tidak membiarkan adanya diskusi tersebut ataupun penyebaran hadis ihwal wilâyat dan imâmat dan Ahlulbait atau semuanya tersimpan dalam kitab-kitab hadis, kompilasi hadis Anda tidak sepenuhnya memuat hadis-hadis al-Mahdi. Apabila Anda tidak letih, saya akan mengutipkan sebagian hadis tersebut untuk Anda.
Ir. Madani: Tuan Hosyyar! Silakan teruskan pembicaraan Anda.
Tn. Hosyyar: Dr. Fahimi! Dalam kompilasi hadis Anda, Al-Shihah, ada bab-bab yang menempatkan topik al-Mahdi yang merekam hadis-hadis Nabi saw. Misalnya, berikut ini:
Abdullah meriwayatkan dari Nabi, yang bersabda: “Dunia tidak akan berakhir sampai seorang lelaki dari keluargaku, yang namanya sama dengan namaku, memerintah bangsa Arab.”
Tirmidzi telah mencatat hadis ini dalam Shahih-nya14 dan berkomentar: “Hadis tentang al-Mahdi ini bisa dipercaya, dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, Abu Sa`id, Ummu Salamah, dan Abu Hurairah”:
Ali bin Abi Thalib telah meriwayatkan dari Nabi saw yang bersabda: “Meski umur dunia hanya tersisa satu hari, Allah akan memunculkan seorang lelaki dari keturunanku sehingga ia akan memenuhi dunia dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia dipenuhi dengan tirani.”15
Dalam hadis lain Ummu Salamah meriwayatkan bahwa ia mendengar Nabi berkata: “Mahdi yang dijanjikan berasal dari keturunanku, yakni dari keturunan Fathimah.” 16
Abu Sa`id al-Khudri berkata:
Nabi saw bersabda: “Mahdi kami memiliki dahi yang lebar dan hidung yang mancung. Ia akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana ia dipenuhi dengan kezaliman dan tirani. Ia akan memerintah selama tujuh tahun.”17
Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi saw yang memberitahunya perihal Imam al-Mahdi:
Mahdi yang dijanjikan berasal dari keluargaku. Allah akan mengadakan persiapan bagi kemunculannya dalam satu malam.18
Abu Sa`id al-Khudri meriwayatkan sebuah hadis dari Nabi saw yang menyatakan:
Dunia akan diisi dengan kezaliman dan kerusakan. Pada saat itu, seorang lelaki dari keturunanku akan muncul dan akan memerintah selama tujuh atau sembilan tahun dan akan memenuhi dunia dengan keadilan dan persamaan.19
Rincian yang lebih luas terperikan dalam hadis lain yang dilaporkan oleh Abu Sa`id al-Khudri:
Malapetaka hebat dari arah penguasa mereka akan menimpa umatku ketika Hari Kiamat. Ia berupa bencana yang, dalam kehebatannya, tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia merupakan bencana dahsyat sehingga bumi berikut kezaliman dan kerusakan akan terasa sempit bagi penduduknya. Orang-orang beriman tidak akan menemukan tempat perlindungan dari penindasan. Pada saat itu Allah akan mengutus seorang lelaki dari keluargaku untuk memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia dipenuhi dengan kezaliman dan tirani. Para penduduk langit dan bumi ridha terhadapnya. Bumi akan menumbuhkan apa yang di atasnya untuknya dan langit akan mencurahkan hujan berlimpah-limpah. Dia akan hidup di tengah-tengah manusia selama tujuh atau sembilan tahunan. Dari semua kebaikan yang Allah turunkan pada penduduk bumi, orang yang meninggal akan hidup lagi.20
Ada sejumlah hadis yang menyampaikan pengertian ini dalam kitab-kitab Anda. Saya percaya kita telah cukup mengutip riwayat-riwayat itu untuk memenuhi tujuan kita.
Keberatan Salah Seorang Penulis:
Dr. Fahimi: Pengarang buku Al-Mahdiyyah fi al-Islâm menulis:
Muhammad bin Isma`il al-Bukhari dan Muslim bin Hajjaj an-Nisyaburi, dua penyusun kitab hadis-hadis Sunni paling autentik, yang mencatat hadis-hadis ini secara cermat dan sangat teliti dalam menguji keandalan hadis-hadis tersebut, tidak memasukkan hadis-hadis tentang al-Mahdi dalam Shihah mereka. Sebaliknya, hadis-hadis tersebut terdapat pada kompilasi Sunan Abu Dawud, Ibn Majjah, Tirmidzi, Nasa`i, dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Para penyusun ini tidak cermat dalam menyeleksi hadis-hadis dan riwayat-riwayat hadis mereka dianggap lemah dan tidak dapat diterima oleh para sarjana semisal Ibn Khaldun.21
Ibn Khaldun dan Hadis-hadis tentang Imam Mahdi:
Tn. Hosyyar: Untuk mengupas masalah keandalan hadis Imam Mahdi, mari kita kutip pendapat Ibn Khaldun tentang persoalan tersebut secara utuh:
Telah diketahui (dan pada umumnya diterima) oleh semua kaum Muslimin dalam setiap zaman, bahwa pada akhir zaman seorang lelaki dari keluarga Nabi akan muncul tanpa cacat, memperkuat Islam, dan menegakkan keadilan. Kaum Muslim akan mengikutinya, dan ia akan mendominasi seluruh kehidupan kaum Muslim. Ia disebut Al-Mahdi ... Hadis-hadis semacam itu telah dijumpai di antara hadis-hadis yang telah diterbitkan oleh para pemuka agama. Secara kritis hadis-hadis itu telah ditelaah oleh mereka yang mengakuinya dan acap ditolak dengan hadis-hadis tertentu.22
Inilah ringkasan pendapat-pendapat yang dilakukan oleh Ibn Khaldun. Selanjutnya ia terus menyebutkan para periwayat hadis-hadis ini dan secara kritis menilai keterandalannya atau kelemahannya, sebagaimana diyakini oleh para cendekiawan ilmu-ilmu periwayatan.
Mari kita tanggapi beberapa hal yang diajukan oleh Ibn Khaldun:
1. Periwayatan yang Terus Menerus (tawatur) dari Hadis-hadis
Sejumlah ulama Sunni telah mengakui hadis-hadis tentang al-Mahdi telah diriwayatkan tanpa terputus. Sebenarnya, mereka telah meriwayatkan hadis-hadis tadi tanpa terputus dari sumber-sumber lain tanpa mengajukan keberatan terhadapnya. Di antara sejumlah ulama itu adalah Ibn Hajar al-Haitsami dalam ash-Shawa’iq al-Muhriqah; asy-Syablanji dalam Nûr al-Abshâr; Ibn Shabbagh dalam al-Fushûl al-Muhimmah; Muhammad ash-Shaban dalam As’âf al-Râghibîn; Kanji Syafi`i dalam al-Bayân, dan seterusnya. Periwayatan tidak terputus semacam ini atas hadis-hadis tersebut memupus kelemahan yang dijumpai dalam rantai periwayatannya. Menurut al-Asqalani, sebuah hadis yang diriwayatkan dalam setiap generasi secara tanpa henti berarti mengarah kepada keabsahan hadis tersebut, dan suatu tindakan yang diambil berdasarkan hal itu bukanlah subjek perselisihan.23
Pendapat serupa dikemukakan oleh Sayyid Ahmad, Syaikh al-Islam, dan mufti mazhab Syafi`iyah, yang menulis bahwa hadis-hadis tentang al-Mahdi sangat banyak jumlahnya dan tergolong mutawatir. Di antara hadis-hadis itu ada yang mencapai derajat shahih, hasan, dan sebagian kecil dha’if. Akan tetapi, lanjutnya, mayoritas merupakan hadis-hadis lemah, dan karena jumlahnya banyak dan para perawinya juga jumlahnya besar, sebagian hadis lemah itu cenderung memperkuat yang lain, dan mengarah kepada penerimaannya sebagai hadis yang bisa dipercaya.24
Di antara mereka yang meriwayatkan hadis ihwal Imam Mahdi adalah sekelompok sahabat terkemuka Nabi saw. Di antara mereka adalah: Abdurrahman bin Auf, Abu Sa`id al-Khudri, Qays bin Jabir, Ibn Abbas, Jabir, Ibn Mas`ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Tsawban, Salman al-Farisi, Hudzaifah, Anas bin Malik, Ummu Salamah, dan lain-lain. Di antara ulama Sunni yang telah mencantumkan hadis-hadis ini dalam kitab-kitab mereka adalah Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa`i, Thabrani, Abu Nu`aym Ishfahani, dan sejumlah penyusun hadis lainnya.
2: Periwayatan Lemah Bukan Suatu Isu di Semua Tempat
Patut diingat bahwa kebanyakan orang yang menganggap hadis itu lemah dari sisi periwayatan dan disebut-sebut oleh Ibn Khaldun juga telah diakui oleh yang lainnya. Sebenarnya, Ibn Khaldun menyebutkan sebagian di antaranya. Lagi pula, menganggap lemah periwayatan sebuah hadis tidak punya pengaruh mutlak atas hadis yang diakui sebagai bisa dipercaya lantaran ciri istimewa merupakan suatu perkara yang subjektif. Pasalnya, ciri tertentu suatu hadis bisa jadi dilemahkan oleh seorang peneliti, sementara peneliti lainnya justru memperoleh hasil sebaliknya. Oleh karenanya, pendapat dari yang pertama hanya bisa diterima jika alasan untuk menjadikan sebuah hadis lemah dijelaskan.
Dalam Lisân al-Mizân-nya, al-Asqalani mengatakan: Menganggap lemah sebuah hadis memunculkan pengaruh terhadap akreditasinya ketika alasan untuk berbuat demikian dipaparkan secara tegas. Selain itu, pendapat orang yang melemahkan sebuah hadis tidaklah punya nilai.
Abu Bakr Ahmad bin Ali al-Baghdadi menulis: Mesti ditunjukkan bahwa perihal hadis-hadis yang diterima dan digunakan sebagai bukti oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud¾meskipun sebagian dari para perawinya telah dikritik dan dinyatakan tidak bisa dipercaya¾alasan kritikan dan ketakterandalannya tidak cukup kuat dan terbukti. Lagi pula, imbuhnya, jika kelemahan dan keandalan suatu hadis berbobot sama, maka upaya melemahkannya pun berpengaruh besar. Namun, jika kelemahan kurang kuat ketimbang keandalannya, maka pasti ada beragam pendapat ihwal hadis tersebut. Jalan terbaik untuk mengatasi masalah mengabsahkan sebuah hadis adalah dengan mengatakan bahwa andaikan alasan kelemahan disebutkan dan andaikan alasannya meyakinkan, maka kelemahan berpengaruh besar terhadap keandalan. Namun jika alasan kelemahan tidak disebutkan, maka keandalan mengalahkan kelemahan.25
Tentu saja, kita tidak bisa menyederhanakan dan menyatakan dengan pasti mutlak bahwa dalam semua pokok perselisihan mengenai keandalan suatu hadis, hadis yang dinyatakan lemah akan berpengaruh terhadap hadis yang dinilai andal. Apabila semua titik kelemahan dibuat efektif, niscaya sangat sedikit hadis yang dikecualikan dari kritik. Maka dari itu, penting diketahui bahwasanya dalam kasus semacam ini, analisis yang cermat dan evaluasi rasional dilakukan untuk menguraikan kebenaran.
3. Ketidakandalan Lantaran Hadis Syi`i
Acap kali sebuah hadis dinilai lemah gara-gara perawinya seorang Syi`i. Misalnya, Ibn Khaldun, menolak Quthn bin Khalifah, salah satu perawi hadis Imam Mahdi, lantaran ia seorang Syi`i. Dalam hal ini, ia mengutip perkataan Ijli bahwa Quthn baik dalam masalah hadis, namun ia rupanya cenderung kepada paham Syi`ah. Menurut Ahmad bin Abdullah bin Yunus dan Abu Bakr bin Ayyasy, Quthn tidak bisa dipercaya dan hadis-hadisnya ditolak lantaran kepercayaannya yang menyempal. Padahal, di pihak lain, ulama lain semisal Ahmad bin Hanbal, Nasa`i, dan lain-lain, mengakuinya dan menilai hadis-hadisnya bisa dipercaya.26
Perawi lain bernama Harun juga dinilai lemah, lantaran, sebagaimana Ibn Khaldun mengatakan kepada kita, ia dan putranya adalah Syi`ah. Sebagian ulama hadis menganggap Yazid bin Abu Ziyad sebagai perawi lemah lantaran “ia seorang pemimpin Syi`ah” dan ia termasuk dari kalangan Syi`ah Kufah. Mengomentari Ammar adz-Dzahabi, Ibn Khaldun mengatakan kepada kita bahwa meskipun para ahli hadis terkemuka seperti Ahmad bin Hanbal, Nasa`i, dan yang lainnya menganggapnya bisa dipercaya, Bisyr bin Marwan, karena paham Syi`ahnya, dinilai Ibn Khaldun sebagai perawi lemah. Juga hadis-hadis Abdurrazzaq dinilai lemah karena ia meriwayatkan hadis-hadis mengenai keistimewaan Nabi saw dan ia terkenal karena kesyi`ahannya.27
4: Perbedaan Akidah
Alasan lain yang digunakan untuk mengabaikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh individu-individu yang saleh dan jujur adalah perbedaan akidah. Misalnya, salah satu isu sensitif yang mencuatkan banyak perdebatan dan mengarah kepada penyelidikan di saat itu adalah penciptaan al-Quran. Ada sebagian kelompok masyarakat yang percaya bahwa al-Quran tidak diciptakan dalam waktu, dan oleh karenanya, abadi. Yang lain percaya bahwa ia telah ada dalam waktu, dan dengan demikian, ia diciptakan. Dua kelompok ini tidak hanya berperan serta dalam memperkuat argumen-argumen, namun juga saling mengecam. Sejumlah perawi hadis percaya bahwa al-Quran diciptakan dalam waktu atau diperlihatkan bahwa mereka meragukan isu tersebut. Para perawi ini tidak dipedulikan dan dihukum.
Penulis Adhwa` ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah menyatakan:
Para ulama telah menghukum sekelompok perawi semisal Ibn Lahi`ah sebagai orang kafir. Dosa-dosa mereka adalah kepercayaan mereka bahwa al-Quran diciptakan (makhluq). Bahkan, disebut-sebut al-Muhasibi tidak menerima warisan dari ayahnya karena itu, ia berkata: “Mereka kaum dualis tidak saling mewarisi. Aku tidak ingin warisan dari ayahku.” Alasan penolakannya adalah bahwa ayahnya seorang waqifi, yakni, ia ragu dalam menyatakan pendapatnya apakah al-Quran diciptakan ataukah tidak.28
Sebagaimana pelbagai prasangka keagamaan yang ekstrem dan berbagai perbedaan menjadi sebab bagi pengabaian kejujuran dan amanah para perawi (sehingga menolak apa yang mereka riwayatkan), maka memiliki kepercayaan atas suatu masalah dan mazhab yang sama pun mencuatkan kepercayaan yang tak perlu terhadap para perawi, yang ketakandalan dan ciri penyempalannya diabaikan. Situasi sedemikian kritis sehingga alih-alih memeriksa kredibilitas dari perawi, sebenarnya mereka mengakui para perawi tersebut. Dengan demikian, misalnya, menurut Ijli, Umar bin Sa`ad termasuk salah seorang perawi yang bisa diandalkan dari generasi kedua para sahabat Nabi saw, yang sunnah-sunnahnya telah dicatat oleh masyarakat. Secara umum, penilaian ini bertentangan dengan fakta bahwa Umar bin Sa`ad bertanggung jawab atas pembunuhan Imam Husain yang tentangnya Nabi saw menyebutnya sebagai penghulu pemuda surga dan cucu kinasihnya.29 Demikian pula kasus yang menimpa Bisr bin Arthat yang menerima penunjukkan resmi dari Mu`awiyah. Ia telah mengorbankan ribuan Syi`ah tak berdosa dan melaknat Ali bin Abi Thalib, khalifah Nabi saw, di depan umum. Akan tetapi, orang yang berwatak hina itu telah dimaafkan atas berbagai perbuatannya yang mengerikan dan dianggap sebagai seorang autoritas mandiri dan terpelajar dalam bidang fiqih.30
Tentang Utbah bin Sa`id, Yahya bin Mu`in menulis:
Dia bisa dipercaya. Nasa`i, Abu Dawud, dan Daruquthni juga telah mengakuinya sebagai sosok tepercaya. Padahal, di sisi lain, Utbah bin Sa`id seorang sahabat Hajjaj bin Yusuf yang bengis.
Tidaklah sulit melihat standar ganda yang diterapkan dalam pengakuan akan hadis-hadis yang dilaporkan oleh orang-orang yang didukung mereka. Bukhari menerima hadis-hadis yang diriwayatkan dari Marwan bin Hakam dalam Shahih-nya, dan mempercayainya. Padahal Marwan adalah salah satu penyebab utama terjadinya Perang Unta (Jamal), yang telah mendorong dan menyebabkan Thalhah berperang dengan Ali. Dengan demikian, selama perang tersebut, pada dasarnya Marwan membunuh Thalhah.31
Penyusun Kitab Adhwa’ menarik perhatian kita kepada fakta bahwa analisis yang cermat terhadap apa yang dilakukan ulama untuk mengabsahkan Marwan secara jelas memperlihatkan upaya mengangkat orang keji, semisal Marwan, yang membantu pembunuhan Ali, sesungguhnya membunuh Thalhah, dan juga bertanggung jawab atas pembantaian terhadap Husain bin Ali. Di sisi lain, para penyusun hadis seperti Bukhari dan Muslim mendiskreditkan ulama-ulama tersohor dan para penghapal hadis Nabi saw semisal Hammad bin Maslamah, Makhul yang saleh dan takwa, lantaran ketidaksetujuan mereka terhadap sejumlah isu berkaitan dengan akidah.32
‘Ala kulli hal, apabila seseorang meriwayatkan hadis-hadis yang memuji keluarga Nabi saw dan Ali bin Abi Thalib atau hadis-hadis yang mendukung akidah Syi`ah, sebagian ulama Sunni menganggap hadis-hadis mereka sebagai tidak bisa dipercaya atau menyebutnya tidak meyakinkan. Hadis-hadis mereka ditolak mutlak. Orang hanya tinggal membaca kitab-kitab ath-Thabari untuk memahami perlakuan merugikan yang dikenakan kepada para perawi yang punya akidah yang bertentangan dengan akidah arus utama Sunni. Menurut Muslim, penyusun Shahih Muslim, ath-Thabari mengatakan: “Saya bertemu dengan Jabir al-Ju’fi. Namun saya tidak mencatat hadis apapun darinya lantaran ia percaya akan raj`ah (bangkitnya orang yang telah mati sebelum kemunculan Imam Mahdi).”33
5: Prasangka yang Tidak Berdasar
Jelaslah, meneruskan suatu agenda dan mengikuti prasangka-prasangka tidaklah kondusif bagi riset objektif. Siapapun yang condong untuk melakukan riset tentang suatu subjek dan mendapatkan kebenaran atas sebuah perkara harus membuang prasangka tidak berdasarnya terhadapnya dan membenci prasangka itu, dan kemudian memulai penyelidikannya. Ketika, selama proses penyelidikan, sekeping bukti ditemukan dalam sebuah hadis, ia harus menyelidiki perawinya guna membuktikan keandalannya. Apabila keandalan perawi dibenarkan, maka hadisnya harus diterima, tanpa mempertimbangkan apakah dia itu seorang Sunni ataukah Syi`i. Apabila hadis-hadis dari seorang perawi andal ditolak lantaran ia seorang Syi`ah atau dituduh sebagai bagian darinya, maka itu melawan kaidah kejujuran dan metode penyelidikan. Sesungguhnya, para ulama Sunni yang jujur telah menyadari prasangka demikian.
Dalam hal ini, al-Asqalani berkomentar:
Salah satu contoh ketika orang harus urung dalam menerima pendapat orang lain yang terlibat dalam pencemaran seorang perawi adalah meneliti apakah ada perbedaan dalam masalah akidah antara orang yang terlibat dalam pencemaran dan perawi yang dicemari. Misalnya, Abu Ishaq al-Jawjani adalah seorang Sunni yang membenci Ahlulbait (nashibi) sementara penduduk Kufah terkenal karena ke-syi`ah-annya. Dengan demikian, ia mendiskreditkan para perawi Kufah dalam sebagian besar masalah. Demikian pula, orang-orang seperti A’masy, Abu Nu`aim dan Abdullah bin Musa, meski pemimpin dan pilar para perawi hadis, dinyatakan tidak bisa dipercaya olehnya. Qusyairi berkata: “Motif-motif mereka menyerupai batu api.” Akibatnya, dalam hal ini, suatu ungkapan perihal keandalan perawi punya pengaruh terhadap pernyataan mengenai ketidakandalannya.34
Begitu pula, Muhammad bin Utsman adz-Dzahabi, menyusul paparannya tentang kehidupan Abban bin Taghlib, menulis:
Jika sebagian orang keberatan mengapa kami menyatakannya jujur, meskipun faktanya Abban tergolong ahli bid`ah (yakni Syi`i), saya katakan demikian: Bid`ah itu ada dua macam. Satu adalah jenis yang lebih kecil seperti ektremisme dalam paham Syi`ah atau paham Syi`ah tanpa ektremisme dan penyimpangan yang haram. Jenis bid`ah ini umum di kalangan sejumlah orang dari generasi kedua dan ketiga para sahabat Nabi, kendatipun fakta bahwa kesalehan dan kemuliaan akhlak mereka di luar kritik. Andaikan diputuskan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi semacam itu harus ditolak, sejumlah besar hadis Nabi saw mau tidak mau harus ditolak. Kekeliruan pendapat semacam ini adalah jelas dengan sendirinya. Jenis bid`ah kedua adalah jenis yang lebih besar, semisal penolakan total [terhadap tiga khalifah pertama] dan pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar. Sudah tentu, hadis-hadis yang disampaikan oleh kelompok ini tidak bernilai dan harus ditolak.
Pendeknya, siapapun yang melakukan riset dan ingin menyingkapkan kebenaran, tidak semestinya menerima pernyataan-pernyataan seperti itu perihal ketidakandalan seorang perawi di tingkat nilai. Agaknya, ia harus mencoba mendedah alasan bagi pencemaran seorang perawi dan apakah orang itu benar-benar berhak beroleh penilaian semacam itu.
6: Shahîh Muslim dan Shahîh Bukhari dan Hadis-hadis tentang Imam Mahdi
Penting kiranya untuk menegaskan bahwa apabila hadis-hadis tentang Imam Mahdi tidak dicatat oleh Bukhari dan Muslim, ini tidak berarti bahwa hadis-hadis tadi lemah dalam periwayatannya. Bagaimanapun, dua penyusun kitab hadis ini tidak berniat menjelaskan semua hadis yang ada. Menurut Baihaqi, Muslim dan Bukhari tidak berniat untuk meneliti seluruh hadis. Keterangan itu dibuktikan dengan lampiran berbagai hadis yang dicatat oleh Bukhari dan yang tidak termasuk dalam koleksi Muslim. Pada saat yang sama, ada sejumlah hadis dalam Shahîh-nya Muslim tidak ditemukan dalam susunannya Bukhari.35
Ketika Muslim mengklaim telah mencatat hadis-hadis autentik saja dalam kompilasinya, demikian pula Abu Dawud dalam koleksinya. Fakta belakangan ini dicermati oleh Abu Bakr bin Dasa yang mendengar Abu Dawud berkata: “Aku telah mencatat 4800 hadis dalam susunanku yang semuanya itu bisa dipercaya atau hampir bisa dipercaya.” Begitu pula, Abu ash-Shabah mendapatkan laporan bahwa Abu Dawud membuat klaim yang sama perihal hadis-hadis dalam kompilasinya, Sunan, yang menambahkan jika ia mencantumkan hadis lemah yang ia nyatakan jelas. “Dengan demikian, setiap hadis yang tentangnya aku belum berkomentar, harus dianggap sebagai bisa dipercaya.” Pendapat yang sama positifnya tentang Sunan Abu Dawud disampaikan dari Khathabi dalam pengantar kepada edisinya yang sekarang oleh Sa`ati.36 Ringkasnya, hadis-hadis dalam Muslim dan Bukhari keandalannya tidak berbeda dari hadis-hadis yang dicatat oleh sumber-sumber lain dari Shahîh. Apa yang penting adalah bahwa para perawi hadis harus ditilik untuk membangun kredibilitas mereka atau kurang darinya.
Tentu saja, Shahîh Muslim dan Bukhari, yang otoritasnya diakui semua kaum Sunni, tidak sepenuhnya mengabaikan hadis-hadis tentang al-Mahdi, kendati istilah mahdi tidak digunakan untuk mengungkapkan keyakinan ini di tengah kaum Muslimin. Berikut ini salah satu hadis yang dimaksud:
Dilaporkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw berkata: “Apa reaksimu ketika putra Maryam turun dan Imam engkau berada di antara kalian sendiri?”37
Ada pula sejumlah hadis lain perihal tema yang sama dalam dua kompilasi ini. Penting dicamkan bahwa Ibn Khaldun secara total tidak mengingkari semua hadis tentang Al-Mahdi, atau ia tidak mengklaim bahwa ia tidak menerima hadis-hadis tersebut. Konteks penilaian Ibn Khaldun ihwal seluruh hadis itu tersimpul dalam pernyataan pembukaannya dalam bagian ini ketika ia mengatakan:
Telah dikenal (dan pada umumnya diterima) oleh segenap kaum Muslimin di sepanjang zaman, bahwa di akhir zaman seorang lelaki dari keluarga Nabi akan muncul tanpa cela, yang akan memperkuat Islam dan menegakkan keadilan. Kaum Muslim akan mengikutinya, dan ia akan memerintah seluruh kaum Muslimin. Ia digelari al-Mahdi.
Jelaslah, secara singkat ia mengakui bahwa kepercayaan akan Mahdi yang dinanti-nanti merupakan kepercayaan lazim di kalangan Muslimin. Bahkan, setelah penilaian kritisnya akan hadis-hadis tersebut dan para perawinya, ia menyimpulkan pembahasan tersebut dengan kata-kata berikut:
Ini merupakan situasi dari hadis-hadis tentang Mahdi yang ditunggu. Telah terlihat dalam buku-buku bahwa, dengan beberapa pengecualian, sebagian besar hadis tersebut dianggap sebagai tidak bisa dipercaya.38
Oleh karenanya, bahkan dalam noktah ini ia tidak menolak semua hadis terkait. Sebaliknya, sebagaimana pengakuannya, sebagian dari hadis tersebut adalah autentik.
Selain itu, adalah relevan untuk menunjukkan bahwa hadis-hadis tentang topik al-Mahdi tidak hanya dibatasi kepada yang disebutkan dan dinilai secara kritis oleh Ibn Khaldun. Sebaliknya, kebanyakan kitab hadis, baik dari kalangan Sunnah maupun Syi`ah, menyampaikan hadis-hadis dalam suatu rantai periwayatan yang tidak terputus yang sebenarnya mendekati kepada keabsahannya sebagai hadis yang bisa dipercaya. Seandainya Ibn Khaldun mengetahui tentang keberadaan semua hadis ini, niscaya ia mengakui keyakinan terhadap al-Mahdi begitu berurat-berakar dalam ajaran Islam.
Untuk menyimpulkan diskusi ini, kami bisa mengatakan bahwa adalah keliru mempertahankan, sebagaimana sebagian ulama melakukannya, bahwa Ibn Khaldun menolak hadis-hadis tentang al-Mahdi. Sebaliknya, adalah para pengarang tersebut yang telah menyandarkan pendapat semacam itu kepada Ibn Khaldun.
Pendapat-pendapat Lain dari Ibn Khaldun
Ibn Khaldun menyimpulkan bagian hadis-hadis menyangkut Imam Mahdi sebagai berikut:
Kebenaran yang orang harus ketahui adalah bahwa tidak ada agama ataupun kekuatan propaganda politik yang berhasil, kecuali jika kekuatan atau perasaan kelompok muncul untuk mendukung aspirasi-aspirasi religius dan politik dan membelanya dengan melawan mereka yang menolaknya, dan sampai kehendak Allah mengenai mereka terjelma. Kami telah meyakini hal ini sebelumnya, dengan argumen-argumen rasional yang kami sajikan kepada pembaca. Perasaan kekelompokan di antara keturunan Fathimiyyah dan Thalibiyyah, sebenarnya, di seluruh kaum Quraisy, telah pudar di mana-mana. Satu-satunya pengecualian adalah sisa-sisa dari Thalibiyyah―Hasaniyyah, Husainiyyah, dan Ja’fariyyah―yang tinggal di Hijaz, Makkah, al-Yanbu’, dan Madinah. Mereka tersebar di kawasan-kawasan ini dan menguasainya. Mereka tergolong kelompok Badui. Mereka bermukim dan memerintah di berbagai tempat dan memegang pendapat yang berlawanan. Jumlah mereka ribuan. Apabila memang benar bahwa seorang Mahdi akan muncul, hanya ada satu cara bagi propagandanya untuk muncul. Ia pasti termasuk salah satu di antara mereka, dan Allah harus mempersatukan mereka dengan tujuan agar mengikuti al-Mahdi, sampai ia mengumpulkan cukup kekuatan dan ikatan kelompok untuk meraih keberhasilan karena kehadirannya dan menggerakkan orang-orang untuk mendukungnya. Alternatif lain―semisal seorang keturunan Fathimiyyah yang melakukan propaganda (kehadiran al-Mahdi) di kalangan manusia di mana-mana, tanpa dukungan ikatan kekelompokan dan kekuatan, dengan semata-mata bersandar pada hubungannya dengan keluarga Muhammad saw―tidak mungkin atau berhasil, lantaran alasan-alasan baik yang telah kami sebutkan sebelumnya.39
Dalam menjawab penegasan oleh Ibn Khaldun ini, harus dicatat bahwa tak syak lagi siapapun yang ingin memberontak dan memperoleh kekuasaan guna membangun sebuah pemerintahan harus mendapatkan dukungan mutlak dari para pengikutnya untuk mencapai tujuan tersebut. Syarat-syarat yang sama mesti dipenuhi dalam kasus al-Mahdi yang ditunggu dan revolusi universalnya. Akan tetapi, tidak penting kiranya untuk mensyaratkan bahwa para pendukungnya berasal dari keturunan Ali dan suku Quraisy. Alasannya, apabila pemerintahan dan kepemimpinan didasarkan pada etnis dan ikatan kekelompokan, maka dukungan harus timbul dari ikatan tersebut. Bahkan, ini akan menjadi alasan untuk mendukungnya secara mutlak.
Tentu saja ini benar dalam kasus kelompok-kelompok etnis dan dinasti-dinasti yang muncul demi kekuasaan melalui makna kesetiaan dan solidaritas ini. Galibnya, sebuah pemerintahan yang berkuasa melalui arti ikatan kekelompokan yang spesifik dan terbatas pada dasarnya tergantung pada kelompok-kelompok pendukung yang spesifik dan terbatas. Ini benar dalam semua kasus kebangsaan, etnis, dan negara-negara ideologis.
Akan tetapi, jika sebuah pemerintahan yang diasaskan pada program yang spesifik, maka ia harus mendapatkan dukungan dari mereka yang menyepakatinya. Dan tatanan ini bisa berjaya hanya jika suatu kelompok mengakui nilai dari program itu dan berkeinginan untuk menerapkannya dengan mendukung kepemimpinan yang diakuinya. Program revolusioner al-Mahdi tergolong pada jenis ini. Program al-Mahdi berwatak universal secara mendalam. Program itu bertujuan agar manusia, yang dikemudikan pada bentuk materialisme yang ekstrem dan berlawanan dengan perintah-perintah samawi, merespon sistem yang diperintahkan Ilahi yang bersandar pada tujuan-tujuan moral dan spiritual. Ia bermaksud memecahkan masalah-masalah yang menghadang manusia dengan menguraikan ikatan-ikatan dengan sedemikian cara untuk menghilangkan berbagai akar konflik di masyarakat. Ia ingin mempersatukan manusia di bawah panji tauhid, ketundukan universal, dan penghambaan kepada Tuhan. Program seperti itu, jika diterapkan, akan mengakhiri tirani dan kelaliman serta menebarkan perdamaian melalui keadilan ke seluruh dunia.
Untuk mencapai tujuan universal ini, tidaklah cukup bersandar pada kepemimpinan keturunan Ali, yang tersebar luas di Hijaz, dan mengharapkan bahwa sentimen kelompok tersebut akan membantu al-Mahdi mencapai tujuan universalnya. Dalam hal ini, sudah barang tentu, penduduk di seluruh dunia perlu mempersiapkan diri mereka guna menjawab seruan al-Mahdi. Selain dukungan Ilahi terhadap program ini, kemenangan Imam Mahdi tergantung pada kelompok masyarakat yang besar dan serius, yang―dengan menyadari kebaikan-kebaikan sistem yang diatur Tuhan―secara serius ingin menyaksikan sebuah tatanan diwujudkan. Bahkan, mereka sanggup mengorbankan nyawa mereka demi tujuan tersebut. Pada gilirannya, jika orang-orang menyaksikan seorang pemimpin maksum dan tak diragukan yang punya akses kepada rencana Ilahi untuk manusia dan memiliki dukungan Ilahi atas programnya, mereka tidak ragu-ragu membantunya dalam menegakkan tatanan kemasyarakatan yang ideal. Kendati ini menuntut pengorbanan nyawa dan kehidupan mereka.
Keberadaan al-Mahdi adalah Niscaya
Ada berbagai hadis tentang al-Mahdi yang diriwayatkan dari sumber-sumber Sunni dan Syi`i. Penjelasan dari semua kandungan hadis ini membuktikan bahwa tema kemunculan al-Mahdi dan al-Qâ`im di masa depan merupakan ajaran kokoh selama masa hidup Nabi saw. Masyarakat mengharapkan adanya seseorang yang akan mentahbiskan dirinya untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan penyembahan kepada Allah semata. Bahkan mereka berharap orang itu mengemban tanggung jawab menyucikan dunia dan melembagakan keadilan. Kepercayaan itu begitu luas tersebar di kalangan masyarakat yang telah membenarkannya secara prinsip yang mereka berperan serta dengan membahasnya secara terperinci. Kadang-kadang mereka bertanya: “Dari keluarga manakah al-Mahdi akan muncul?” Kala lain, mereka ingin tahu nama dan julukannya. Masih di saat lain mereka ingin tahu tentang revolusinya dan menanyakan tentang tanda-tanda kemunculannya. Mereka pun ingin mengetahui apakah al-Mahdi dan al-Qâ`im adalah orangnya itu-itu juga. Mereka diceritakan perihal kegaiban Imam Mahdi dan ingin memahami alasan-alasannya dan tanggung jawab para pengikutnya selama ia gaib. Nabi saw pun, dari waktu ke waktu, selalu memberitahu manusia tentang eksistensi al-Mahdi. Beliau bersabda kepada mereka: “Al-Mahdi berasal dari keturunanku. Ia dari keturunan Fathimah, dari keturunan Husain.” Pada waktu lain, beliau menyebut nama dan gelarnya dan menginformasikan ihwal tanda-tanda kemunculan kembali dan masalah-masalah terkait lainnya.
Pembahasan Di Kalangan Para Sahabat dan Generasi Berikutnya
Setelah mangkatnya Nabi saw kisah kemunculan Imam Mahdi acap kali terdengar di kalangan para sahabat Nabi terkemuka dan generasi berikutnya. Persoalan tersebut termasuk kebenaran-kebenaran agama dan dianggap sebagai salah satu peristiwa masa depan yang pasti. Berikut ini beberapa contoh:
Abu Hurairah berkata: “Orang-orang akan menyerahkan bai`at kepada al-Mahdi di antara rukn dan maqâm.”40 Ibn Abbas diriwayatkan telah berkata kepada Mu`awiyah bahwa seorang dari keturunan Nabi saw akan berkuasa selama empat puluh tahun di akhir zaman. Pada kesempatan lain, seorang lelaki meminta kepada Ibn Abbas untuk memberitahunya tentang al-Mahdi. Ia berkata: “Aku harap menjelang masa depan seorang lelaki muda dari keluarga kami (Bani Hasyim) akan muncul untuk mengakhiri pertikaian dan hasutan sosial.”41 Ibn Abbas juga menyatakan keturunan Nabi saw berasal dari anak-anak Fathimah. Menurut sahabat Nabi terkenal lainnya, Ammar bin Yasir: “Ketika al-Nafs al-Zakiyyah terbunuh, seorang penyeru dari langit akan berkata: ‘Pemimpin kalian si anu’. Setelah itu, al-Mahdi akan bangkit dan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan.”42
Abdullah bin Umar menyebut nama al-Mahdi di hadapan seorang Arab yang berkata: Mahdi adalah Mu`awiyah bin Abu Sufyan. Abdullah menukas: “Itu tidak benar. Mahdi adalah orang yang dimakmumi Nabi Isa as ketika shalat.”43
Umar bin Qais bertanya kepada Mujahid apakah dia mengetahui sesuatu tentang al-Mahdi, karena ia tidak percaya akan perkataan kaum Syi`ah tentang al-Mahdi. Mujahid menjawab: “Ya, benar. Salah seorang sahabat Nabi saw mengatakan kepadaku bahwa al-Mahdi tidak akan muncul sampai saat al-Nafs al-Zakiyyah terbunuh. Pada saat itu, ia akan memegang komando dan akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan.”44
Putri Nufail Umairah meriwayatkan bahwa ia mendengar putri Hasan bin Ali berkata: “Perkara yang kalian tunggu tidak akan terjadi hingga di antara kalian berusaha untuk memisahkan diri mereka dari yang lain dan saling melaknat.”45 Penulis Al-Maqâtil ath-Thâlibiyîn Abu al-Faraj al-Isfahani menulis bahwa Fathimah, putri Husain bin Ali, biasa membantu dalam persalinan sebagai relawan bagi wanita Bani Hasyim. Putranya selalu menghalangi seraya berkata: “Kami khawatir Anda akan dianggap sebagai bidan profesional.” Sebagai jawabannya, ia menjawab: “Aku tengah menanti seseorang. Segera ia lahir, aku akan berhenti membantu persalinan.”46
Qatadah bertanya kepada Ibn Musayyib: “Benarkah keberadaan al-Mahdi itu?” Ia menjawab: “Ya. Ia anggota suku Quraisy dari keturunan Fathimah.” Hadis sejenis dilaporkan dari ulama kesohor az-Zuhri, yang meriwayatkan bahwa al-Mahdi berasal dari keturunan Fathimah. Abu al-Faraj melaporkan suatu kejadian saat Walid bin Muhammad bersama az-Zuhri dan sebuah teriakan terdengar. Az-Zuhri meminta Walid untuk mencari sumber kejadian. Setelah ditemukan sumbernya Walid melaporkan: “Zaid bin Ali terbunuh dan kepalanya terpenggal.” Az-Zuhri kaget dan berkata: “Mengapa keluarga ini terburu-buru? Terburu-buru telah menghancurkan jumlah mereka.” Walid bertanya: “Akankah mereka meraih kekuasaan?” Ia menjawab: “Ya, karena Husain bin Ali meriwayatkan kepadaku berdasarkan otoritas ayahnya yang mendengar hal ini dari Fathimah, putri Nabi saw, yang mendengar Nabi berkata kepadanya: ‘Al-Mahdi adalah keturunanmu.’” Di tempat lain, Abu al-Faraj melaporkan sebuah hadis dari Muslim bin Qutaibah yang berkata: “Suatu hari aku mengunjungi Manshur, khalifah Abbasiyyah. Ia berkata: ‘Muhammad bin Abdullah telah memberontak dan mengumumkan bahwa ia adalah al-Mahdi. Demi Allah, ia bukanlah al-Mahdi. Mari kukatakan kepada Anda sesuatu. Aku belum mengatakan atau aku tidak akan mengatakan hal ini kepada siapapun selain Anda. Putraku Mahdi bukanlah orang yang disebutkan dalam hadis. Saya menamainya Mahdi sebagai tanda kebaikan.”47
Sumber lain yang menyebutkan hadis-hadis ini sebagai berikut:
Ibn Sirrin biasa berkata bahwa Mahdi yang dijanjikan berasal dari umat ini. Dialah yang memimpin Nabi Isa dalam shalat.48 Di tempat lain, ia melaporkan sebuah hadis dari Abdullah bin Harits. Ia berkata: “Al-Mahdi akan bangkit pada usia empat puluh dan akan menyerupai Bani Israel.” Suatu versi dari hadis ini dilaporkan oleh Arthat yang berkata bahwa al-Mahdi akan bangkit pada usia dua puluh tahun. Hadis lain dalam bagian yang sama menerangkan alasan dinamakan al-Mahdi. Ka`ab berkata: “Dia dinamai al-Mahdi karena ia akan dibimbing ke persoalan-persoalan gaib.” Abdullah bin Syuraik meriwayatkan bahwa ajaran Nabi saw sama dengan al-Mahdi.49
Ibn Sirrin mencatat beberapa hadis lain yang membicarakan tugas al-Mahdi. Salah satunya dilaporkan dari Hakam bin Uyainah yang mengatakan bahwa perawi bertanya kepada Muhammad bin Ali al-Baqir:
Kami telah mendengar salah seorang di antara Ahlulbait Anda akan muncul dan menegakkan keadilan dan persamaan. Apakah ini benar? Beliau menjawab: “Kami juga tengah menantikan kemunculannya dan senantiasa berharap.”
Dalam hadis lain, Salmah bin Zafar meriwayatkan:
Suatu hari orang-orang membicarakan tentang kemunculan al-Mahdi di depan Hudzaifah. Hudzaifah berkata: “Apabila Mahdi telah muncul ketika kalian hidup dekat dengan zaman Nabi saw, dan ketika para sahabat beliau hidup di tengah-tengah kalian, maka kalian sungguh-sungguh beruntung. Akan tetapi, ini tidak demikian. Al-Mahdi tidak akan muncul hingga manusia diliputi oleh penindasan dan tirani, dan tak seorang yang lebih dicintai dan dibutuhkan ketimbang dia.”50
Masyarakat begitu mengetahui ciri-ciri al-Mahdi sehingga Jarir, penyair Arab, membacakan bait-bait syairnya di depan khalifah Umayyah Umar bin Abdul Aziz yang isinya membandingkan antara sang khalifah dan al-Mahdi masa depan:
Kehadiranmu adalah rahmat. Perangaimu adalah perangai Mahdi. Engkau memerangi nafsumu yang rendah, dan engkau menghabiskan malam dengan membaca al-Quran.51
Muhammad bin Ja’far melaporkan bahwa suatu kali ia menceritakan kesengsaraannya kepada Malik bin Anas. Ia berkata: “Tunggulah sampai signifikansi dari ayat al-Quran: ‘Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) (QS al-Qashash [28]: 5)’ menjadi terwujud.”52
Manusia Menantikan Kemunculan al-Mahdi
Dari semua rujukan kepada al-Mahdi dan kemunculannya dalam berbagai sumber, jelaslah bahwa semua manusia tengah menantikan kemunculan al-Mahdi sejak hari-hari pertama Islam dan sesungguhnya menghitung hari-hari tersebut hingga terjadinya peristiwa itu. Mereka mengakui lembaga pemerintahan yang absah melalui kemunculannya adalah pasti. Harapan ini beroleh kekuatannya selama masa-masa kekacauan politik dan kondisi-kondisi sosial yang buruk. Orang-orang berharap kemunculan itu akan terjadi dengan segera. Dalam berbagai kejadian, mereka tunduk pada pengklaim palsu atau mengakui beberapa orang sebagai Mahdi sejati yang dijanjikan. Mereka itu adalah:
(1) Muhammad bin Hanafiyyah
Karena ia memiliki nama dan julukan yang sama dengan Nabi, sekelompok orang percaya bahwa dirinya adalah Mahdi. Menurut ath-Thabari, ketika Mukhtar bin Abu Ubaid ats-Tsaqafi hendak memberontak melawan Bani Ummayah dan menuntut balas kepada mereka yang telah membunuh cucu Nabi, Husain bin Ali, ia menyandarkan Mahdiisme kepada Muhammad bin Hanafiyyah. Dan ia mengklaim sebagai wakil dan dutanya serta memperlihatkan surat-surat yang telah ia bawa bersamanya kepada orang-orang.53
Ibn Sa’d menceritakan kepada kami bahwa apabila orang-orang ingin menyalami Ibn Hanafiyyah, mereka biasanya akan berkata kepadanya: “Salam atas Anda, wahai Mahdi!” Dan ia menjawab: “Ya, aku memang Mahdi, dan aku akan membimbingmu ke jalan yang lurus dan sejahtera. Namaku sama dengan nama Nabi, dan julukanku sama dengan julukannya. Setiap kali Anda ingin menyapaku, katakanlah: ‘Salam atas kalian, wahai Muhammad; salam atasmu wahai Abu al-Qasim!”54
Riwayat ini dan riwayat yang sejenis lainnya menunjukkan bahwa salah satu tanda dari kemunculan Mahdi yang dijanjikan adalah perpaduan nama Nabi dan julukannya bagi seseorang. Ini merupakan alasan Ibn Hanafiyyah membuat rujukan kepada fakta ini bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, penelitian yang cermat atas sumber-sumber historis menyingkapkan bahwa bukan Ibn Hanafiyyah yang melakukan klaim seperti itu untuk dirinya. Adalah pihak lain, seperti Mukhtar, yang mengenalkannya demikian. Di pihaknya sendiri, terkadang Ibn Hanafiyyah menjaga rahasia tentang masalah itu, yakni pembenaran pengakuan klaim Mahdi kepadanya. Kebijakan ini mungkin disusul dengan harapan bahwa para pembunuh dalam peristiwa Karbala akan dihukum dan kepemimpinan Islam akan kembali kepada pemangkunya yang sah. Hal ini didukung riwayat lain yang di dalamnya Ibn Hanafiyyah mengatakan kepada orang-orang: “Ketahuilah, orang yang berhak memiliki pemerintahan, yang akan tegak ketika Allah menghendakinya. Siapapun yang menyaksikannya akan beruntung dan siapapun yang mati sebelumnya akan menikmati rahmat Allah di akhirat.”55
Muhammad bin Hanafiyyah, dalam sebuah khutbah yang ia sampaikan di hadapan 7000 orang, berkata: “Kalian telah terburu-buru dalam masalah ini. Bagaimanapun, di tengah-tengah keturunan kalian terdapat orang-orang yang, dengan pertolongan keluarga Nabi, akan memerangi musuh-musuh Allah. Pemerintahan keluarga Nabi tidak tersembunyi dari siapapun. Akan tetapi, perwujudannya akan memakan waktu. Saya menyatakan sungguh-sungguh dengan nama Yang Mahaesa yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, pemerintahan akan kembali kepada keluarga Nabi.”56
(2) Muhammad bin Abdullah bin Hasan:
Nama ini merupakan keturunan lain Nabi, yang orang ramai menganggapnya sebagai al-Mahdi. Menurut Abu al-Faraj, ketika Muhammad bin Abdullah lahir, keluarga Nabi saw bahagia dan menukil perkataan Nabi saw: “Nama al-Mahdi adalah Muhammad.” Dengan sendirinya, mereka berharap bahwa Muhammad adalah Mahdi yang dijanjikan itu. Mereka amat menghormatinya. Di dalam pertemuan-pertemuan, ia selalu disebut-sebut dan kaum Syi`ah biasa saling memberi kabar gembira perihal kemunculannya di masa depan.
Di tempat lain, Abu al-Faraj melaporkan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa ketika Muhammad bin Abdullah lahir, ia dinamai al-Mahdi dengan harapan bahwa ia adalah Mahdi yang dijanjikan dalam sumber-sumber sebelumnya. Akan tetapi, para pemimpin kaum Thalibiyyah lazim menyebutnya an-Nafs az-Zakiyyah (Jiwa yang Suci) dan, senapas dengan perintah Ilahi, ia terbunuh di Ihjar Zait. Salah seorang budak Abu Ja’far al-Manshur meriwayatkan bahwa ia disuruh oleh al-Manshur untuk pergi dan duduk dekat mimbar serta mendengar kuliah-kuliahnya. Suatu saat ia mendengarnya berkata: “Jangan meragukan bahwa akulah Mahdi, dan realitasnya juga begitu.” Budak tadi melaporkan peristiwa itu kepada khalifah yang lalu berkata: “Demi Allah, Muhammad berkata dusta. Yang benar, Mahdi yang dijanjikan itu adalah putraku.”57
Salmah bin Aslam menggubah bait-bait tentang Muhammad bin Abdullah yang di dalamnya ia mengatakan: “Bahwasanya yang dilaporkan dalam hadis-hadis akan terwujud tatkala Muhammad bin Abdullah muncul di tengah-tengah orang dan mengemban tanggung jawab itu di tangannya. Muhammad memiliki sebuah cincin istimewa, yang Allah tidak memberikannya kepada siapapun selainnya. Ada tanda-tanda kesalehan dan kebaikan dalam dirinya. Kita harap Muhammad adalah Imam yang melaluinya rahmat eksistensi al-Quran akan memunculkan kehidupan lagi. Bahkan, melalui eksistensinya Islam bangkit dan diperbarui, dan anak-anak yatim yang miskin serta keluarga-keluarga fakir akan hidup kembali dalam kemakmuran. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia dipenuhi dengan kerusakan. Dan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi kita akan terpenuhi.”58
Fuqaha Madinah dan Hadis-hadis Mahdi
Ketika Muhammad bin Abdullah memberontak, salah seorang fukaha Madinah dengan nama Muhammad bin Ajlan juga bangkit bersamanya. Setelah ia terbunuh, Ja’far bin Sulaiman, Gubernur Madinah, memanggil Muhammad bin Ajlan dan bertanya kepadanya: “Mengapa Anda bangkit bersama pembohong itu?” Kemudian ia meminta tangannya untuk dipotong. Fukaha lain yang hadir di pengadilan itu pada saat itu menengahi atas namanya, menekankan bahwa Muhammad bin Ajlan adalah seorang faqih Madinah yang takwa dan telah mengakui secara keliru Muhammad bin Abdullah sebagai Mahdi yang dijanjikan dalam hadis-hadis.59
Faqih tersohor lainnya dan ulama hadis terkemuka, Abdullah bin Ja’far juga berjuang bersama Muhammad bin Abdullah. Ketika yang belakangan terbunuh, ia kabur dari Madinah dan tetap dalam persembunyian sampai ia diberi amnesti. Suatu hari gubernur Madinah melewatinya dan menanyakan kepadanya alasan mengapa ia berjuang dengan Muhammad bin Abdullah, meskipun pelajarannya terkait di bidang fiqih dan hadis-hadis. Ia menjawab: “Alasanku mendukung dan bekerja sama dengannya adalah bahwa saya percaya dialah Mahdi yang dijanjikan itu, yang tentangnya kita telah diberi informasi dalam hadis-hadis. Aku tidak ragu Mahdiisme Muhammad sampai aku melihatnya terbunuh. Pada saat itu, aku tahu ia bukanlah Mahdi. Aku tidak akan jatuh kepada tipuan siapapun sejak sekarang.”60
Dari laporan-laporan semisal itu, terbukti bahwa topik Mahdiisme tersebar luas sejak hari-hari pertama Islam, dekat dengan masa Nabi saw. Ia diakui sebagai kebenaran agama yang mutlak dan orang-orang tengah menantikan al-Mahdi. Oleh karenanya, orang-orang awam―yang mengetahui sedikit tentang tanda-tanda kemunculan al-Mahdi dan yang tertindas―percaya bahwa Muhammad bin Hanafiyyah dan Muhammad bin Abdullah dan para penuntut lainnya adalah Mahdi yang dijanjikan. Akan tetapi, para ulama dan mereka yang mengetahui betul tentang Ahlulbait, termasuk ayah Muhammad sendiri, mengenal bahwa ia bukanlah Mahdi yang dijanjikan.
Seorang lelaki mengunjungi Abdullah bin Hasan dan bertanya kepadanya kapan putranya, Muhammad, akan bangkit. Ia menjawab: “Sepanjang aku belum terbunuh, ia tidak akan bangkit.” Orang itu mengeluh dan berkata: “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Jika Muhammad terbunuh, umat akan runtuh.” Abdullah berkata kepadanya: “Itu bukan masalah.” Orang itu meneruskan dan bertanya kapan Ibrahim akan bangkit. Ia menjawab: “Sepanjang aku tidak terbunuh, ia tidak akan bangkit. Dia juga akan terbunuh.” Sekali lagi orang itu mengucapkan ayat yang sama dan menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya telah mengambil jalan kehancuran. Abdullah menjawab: “Tidak demikian. Sesungguhnya pemimpin mereka, Mahdi yang dijanjikan, berusia dua puluh lima tahun. Dan pada saat ia muncul, ia akan membunuh semua musuh.” Ketika Marwan diberitahu bahwa Muhammad bin Abdullah telah bangkit, ia berkata: “Baik dia ataupun orang lain tidak punya garis keturunan (genealogi) dengan ayahnya dari al-Mahdi yang dijanjikan. Sebaliknya, ia putra dari seorang budak wanita. Setiap kali Imam Ja’far ash-Shadiq as melihat Muhammad bin Abdullah, ia menangis dan berkata: “Semoga nyawaku menjadi tebusannya. Orang-orang mengira bahwa ia adalah Mahdi yang dijanjikan. Sebaliknya, ia akan terbunuh. Sesungguhnya, namanya tidak disebutkan di antara para khalifah umat ini dalam kitab Ali.”61
Sekelompok orang duduk mengitari Muhammad bin Abdullah ketika Imam ash-Shadiq as memasuki tempat itu. Semua orang berdiri dengan takzim. Beliau menanyakan masalah yang dibicarakan. Mereka menjawab bahwa mereka telah memutuskan untuk mem-bai`at Muhammad yang adalah al-Mahdi. Imam as berkata: “Aku sarankan kepada kalian untuk tidak berbuat demikian, lantaran waktu untuk kemunculan al-Mahdi belum tiba. Bahkan, Muhammad ini bukanlah al-Mahdi.”62
Syair Di’bil dan al-Mahdi
Ketika Di’bil bin Ali al-Khuza`i menyuguhkan bait-bait terkenalnya di hadapan Imam ar-Ridha as, ia mengakhiri syairnya dengan bait-bait berikut:
Tak syak lagi seorang Imam akan muncul―seorang Imam akan memerintah
Atas nama Allah dan rahmat [samawi]
Bait-bait ini memastikan kemunculan seorang imam yang akan memerintah atas nama Allah dan dengan rahmat Ilahi sebagaimana dilantunkan Di’bil. Mendengar ini, Imam ar-Ridha menangis dan berkata: “Malaikat rahmat telah meletakkan kata-kata pada lisan Anda. Apakah Anda tahu Imam ini?” Di’bil berkata: “Tidak. Namun saya telah mendengar bahwa seorang imam di antara Anda [Ahlulbait] akan bangkit dan akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan.” Imam ar-Ridha as berkata: “Sepeninggalku, putraku Muhammad akan menjadi Imam; setelahnya putranya Ali, menjadi Imam, dan setelah Ali, putranya, Hasan, akan menjadi Imam. Setelah al-Hasan, putranya akan menjadi Hujjah Allah dan al-Qâ`im, yang akan dinanti ketika ia dalam kegaiban. Dan ketika ia muncul ia akan ditaati. Dialah salah seorang yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan dan persamaan. Namun saat kemunculannya tidak dipastikan. Akan tetapi, telah diriwayatkan oleh datuk-datukku bahwa ia akan muncul secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat.”63
Ada sebilangan riwayat semacam itu dalam sumber-sumber sejarah yang, jika Anda mau, Anda bisa menelitinya.
***
MALAM kian larut dan pertemuan pun ditunda. Diputuskan bahwa kelompok diskusi ini akan bertemu lagi pada Jum`at sore berikutnya.
CATATAN KAKI :
1. Hadis itu dilaporkan dalam sebagian besar sumber-sumber Sunni. Akan tetapi, di sini kami mengutip al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.75, yang sebenarnya telah mengumpulkan riwayat-riwayat ini dari berbagai sumber dalam satu tempat, sehingga menjadikannya tepat untuk dirujuk. Lihat juga, Itsbât al-Hudât, jilid 1, hal.9.
2. Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.74.
3. Ibid., hal.65; Itsbât al-Hudât, jilid 6, hal.382.
4. Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.73.
5. Ibid., jilid 51, hal.66.
6. Ibid., jilid 51, hal.84; Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.191; Majma' az-Zawa`id oleh Ali bin Abi Bakar Haitsami (edisi Kairo), jilid 7, hal.317.
7. Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.74; Itsbât al-Hudât, jilid 7, hal.9.
8. Bihâr al-Anwâr, jilid 51, hal.75.
9. Ibid.,hal.73.
10. Itsbât al-Hudât, jilid 2, hal.531.
11. Ibid., 533.
12. Ibid., 526.
13. Hasan, Sa'd Muhammad, Al-Mahdiyyah fi al-Islâm (Kairo, 1373), hal.69; Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah (edisi Kairo), hal.311 .
14. Shâhih, jilid 9, hal.74; lihat juga: Syaikh Sulaiman, Yanabi al-Mawaddah (edisi 1308 H), jilid 2, hal.180; Muhammad bin Yusuf asy-Syafi`i, Al-Bayân fi Akhbâr Shahib az-Zaman (edisi Najaf), hal.57; dan sumber-sumber Sunni lainnya.
15. Abu Dawud, Shâhih, jilid 5/207; lihat juga semua sumber yang dikutipkan dalam catatan #2. Juga lihat, asy-Syablanji, Nûr al-Abshâr, hal.156; Ibn Hajar, ash-Shawa`iq al-Muhriqqah, hal.161; Ibn Shabbagh, Fushûl al-Muhimmah, hal.275; ash- Shaban, As' âf al-Râghibîn.
16. Abu Dawud, Shâhih, jilid 2, hal.207; Ibn Majjah, Shâhih, jilid 2, hal.519; dan sumber-sumber lain yang disebutkan dalam catatan # 3.
17. Abu Dawud, Shâhih, jilid 2, hal.208; Fushûl al-Muhimmah, hal.275; dan sejumlah sumber Sunni lainnya.
18. Ibn Majjah, Shâhih, jilid 2, hal.519. Juga, Ibn Hajar, ash-Shawa`iq al-Muhriqqah, hal.161.
19. Ahmad bin Hanbal, Musnad, jilid 3, hal.27.
20. Ibn Hajar, Ash-Shawa`iq al-Muhriqqah, hal.161; Yanabi al-Mawaddah, jilid 2, hal.177.
21. Al-Mahdiyyah fi al-Islâm, hal.69.
22. Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, hal.311.
23. Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat an-Nazhar, hal.12.
24. Futûhât al-Islâmiyyah, edisi Makkah, jilid 2, hal.250.
25. Ibn Hajar al-Asqalani, Lisân al-Mizân, jilid 1, hal.25.
26. Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, hal.313.
27. Ibid., hal.319.
28. Abu Rayyah, Kitab al-Adwa', hal.316 .
29. Ibid., hal.319.
30. Ibid., hal.321.
31. Ibid., hal.317.
32. Ibid., hal.319.
33. Shâhih Muslim, jilid 1, hal.101.
34. Lisân al-Mizân, jilid 1, hal.16.
35. Shâhih Muslim, jilid 1, hal.24.
36. Lihat pengantar untuk Sunan Abi Dawud oleh Sa`ati.
37. Shâhih Muslim, Bab Nuzul `Isa, jilid 2; Shâhih Bukhari, Kitab Bad Al-Khalq wa Nuzul `Isa, jilid 4.
38. Muqaddimah, hal.322.
39. Ibid., hal.327.
40. Ibn Thawus, Kitab al-Malahim wa al-Fitan, hal. 64. Rukn dan maqam adalah dua tempat suci di Masjid Suci Makkah .
41. Ibid., hal. 84.
42. Ibid., hal.179.
43. Ibid.
44. Ibid., hal.171.
45. Al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jilid 52, hal.211.
46. Maqatil ath-Thalibiyyin, hal.160.
47. Ibid., hal 167.
48. Kitab Al-Hawi li al-Fatawa, jilid 2, hal.135 .
49. Ibid., hal.147-150.
50. Ibid., hal.159.
51. Ibn Qutaibah, Al-Imamah wa as-Siyasah, jilid 2, hal.317.
52. Maqatil ath-Thalibiyyin, hal.359.
53. Tarikh, jilid 4, hal.449-494; Ibn Atsir, Kamil at-Tawarikh, jilid 1, hal.339, 358.
54. Thabaqat al-Kubra, jilid 5, hal.66.
55. Ibid., jilid 7, hal.71.
56. Ibid., jilid 5, hal.80.
57. Ibid., hal.165 dan 157.
58. Ibid., hal.163.
59. Ibid., hal.193.
60. Ibid., hal.195.
61. Ibid., hal.143.
62. Ibid., hal.141.
63. Yanabi al-Mawaddah, jilid 2, hal.197 .
(ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar