Intoleransi, Setan yang Tak Sendirian


Di alam demokrasi, intoleransi serupa setan, namun ia tak pernah datang sendirian. Kehadirannya tak semata didorong oleh merebaknya fundamentalisme, tetapi juga kepentingan politik kekuasaan, serta kapitalisme yang bercumbu rayu dengan puritanisme.

Mereka merangsek ke ruang publik, memaksakan simbol-simbol tunggal, dan menyangkal kenyataan yang multikultur ini. (Baca: Intoleransi dan Hate Speech Pemicu Radikalisme di Indonesia).

Hari-hari ini, intoleransi semacam itu makin menemukan arenanya di negeri ini. Pelarangan pendirian tempat ibadah, pengusiran komunitas atau aliran keagamaan tertentu dari tempat tinggal atau rumah ibadahnya misalnya.

Ada juga pembubaran acara diskusi dan seminar secara sewenang-wenang, kampanye-kampanye di media sosial yang menyebarkan permusuhan dan kebencian berbasis agama maupun etnisitas.

Selain itu, perusakan-perusakan patung ataupun bangunan yang dianggap bernuansa syirik, adalah serangkaian contoh aktual pertunjukan intoleransi itu.

Berjalannya demokrasi liberal yang antara lain ditandai dengan kebebasan sipil dan politik, serta terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan adil, ternyata juga diikuti menguatnya komunitarianisme.

Ada kecenderungan masyarakat kian mengidentifikasi diri sebagai etnos atau sebagai bagian dari agama atau etnis daripada warga negara (citizen) Indonesia (Gusti A Menoh, 2015).

Ini mengandung bahaya karena menempatkan Indonesia pada tingginya politik berbasis identitas. Padahal, demokrasi mensyaratkan prinsip politik kewargaan, bukan politik agama atau etnisitas.

Kecenderungan ini tidak hanya melahirkan berbagai tindakan kekerasan dan teror di tanah air, melainkan secara formal berhasil merangsek masuk ke sistem politik. Maka, lahirlah undang undang dan aturan-aturan berbasis agama dan etnosentrisme.

Perda-perda berbasis agama merebak di sejumlah daerah, larangan terhadap keberadaan kelompok minoritas meluas, penolakan terhadap kepala daerah yang tak seiman dan seetnis menggejala, pengkafiran menjadi bahasa yang ringan untuk dihantamkan ke sesama yang tak sealiran, pluralisme dan segala hal yang berbau kiri pun diharamkan.

Kelompok-kelompok dan organisasi intoleran pun tumbuh. Bahkan, sebagian cenderung menolak ketunggalan Pancasila sebagai azas bangsa. Kehadiran mereka kerap menjadi bagian dari tindak-tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas. (Baca: Pesan Toleransi Grand Syaikh al-Azhar).

Namun, alih-alih membubarkan, negara justru tampak tak berdaya, membiarkan, bahkan cenderung memanfaatkan sepak terjang mereka.

Tulisan ini hendak menyusuri bagaimana gejala-gejala intoleran dan simptom fundamentalisme tumbuh sumbur di negeri ini dan menguasai ruang publik di alam demokrasi.

Untuk membedahnya, tulisan ini juga mencoba melihat pertautan antara tumbuhnya politik identitas, problem ekonomi-politik, serta sergapan kapitalisme terhadap urusan agama di ruang publik.


Problem Identitas

Indonesia pada dekade pertama abad ke-21 sempat menikmati periode singkat yang penuh euforia dan optimisme. Runtuhnya otoritarian, kala itu dibayangkan akan memungkinkan hadirnya demokrasi yang penuh kebebasan dan diiringi pembagian kue kemakmuran yang merata.

Namun, periode euforia itu dengan segera diikuti kekecewaan, kebingungan arah, dan keputusasaan. Identitas tiba-tiba menjadi begitu penting sebagai tempat persembunyian yang nyaman untuk sementara waktu.

Frustasi sosial-ekonomi masyarakat, berkembangnya politisi pemburu rente, situasi global yang timpang dan hegemonik, rezim elektoral yang lemah, adalah sederet penyubur wabah gerakan kembali ke identitas itu

Dalam bukunya berjudul Identity and Violence: The Illusions of Destiny, Amartya Sen mengatakan, solidaritas dan simptom kebebasan sebagai buah demokratisasi melahirkan komunitas-komunitas terintegrasi dan eksklusif sebagai respons dari lingkungan sosial politik yang berubah cepat, sehingga perilaku demokratis seringkali bersinggungan dengan perilaku bermusuhan.

Permusuhan yang timbul dari sikap eksklusif bisa berjalan bergandengan tangan dengan manfaat yang timbul dari sikap eksklusif itu.

Kecenderungan ini membangun solidaritas kuat pada satu kelompok berbasis aliran atau identitas tertentu, namun pada saat yang sama upaya menguatkan solidaritas dan pematuhan terhadap nilai-nilai internal itu dilakukan dengan cara memusuhi dan bertindak kasar terhadap kelompok lain.

Penggalangan secara agresif identitas orang Islam Sudan, seiring dengan penerapan pemisahan rasial oleh pemerintah militer yang beringas, telah membuahkan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap pihak korban yang kalah di selatan negeri itu.

Situasi tersebut hampir serupa meski dalam skala yang lebih kecil, dengan apa yang terjadi di Indonesia belakangan. Di mana, kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah menjadi pemicu banyaknya aksi penyegelan tempat ibadah milik kaum minoritas pada suatu wilayah oleh mayoritas.

Atau misalnya, perda-perda berdimensi agama di daerah pada akhirnya acapkali memicu tindak kekerasan dan sikap intoleran antaragama, bahkan, intraagama.

Di banyak kasus, meruncingnya sikap intoleran antar umat beragama umumnya justru terjadi ketika larangan-larangan menjalankan ritual keagamaan dihadirkan, baik secara formal maupun informal.

Kelompok mayoritas akan mulai berpandangan bahwa mereka memiliki keabsahan untuk bersikap keras dan cenderung intoleran terhadap minoritas atas dasar larangan tersebut. Sebaliknya, kelompok minoritas akan cenderung bersikap resisten.

Namun, pertarungan politik identitas juga mencipta ilusi-ilusinya tersendiri. Manusia atau warga tiba-tiba dipaksa memilih ke dalam salah satu identitas tunggal yang mutlak berdasarkan aliran-aliran keagamaan atau pandangan tertentu.

Sen menyebut fenomena ini sebagai pendekatan soliteris terhadap identitas manusia. Pendekatan ini memandang manusia hanya sebagai bagian dari satu kelompok semata.

Padahal, secara alamian seseorang bisa menjadi kelompok apapun dan memiliki pandangan yang berbeda meski berada dalam satu kelompok tertentu. Sebagai contoh, saat ini ada kecenderungan di negeri ini pemilihan identitas berdasarkan kelompok toleran dan intoleran.

Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah diandaikan sebagai kelompok toleran, dan kelompok-kelompok salafi sebagai intoleran. Padahal, pada kenyataannya jauh lebih kompleks dan majemuk daripada pembagian yang semena-mena itu.

Tak semua kelompok salafi atau wahabi adalah intoleran, sebaliknya juga tak semua NU dan Muhammadiyah toleran.

Dalam perdebatan isu-isu aktual, misalnya tentang LGBT, seolah-olah dihadirkan kesan bahwa jika tak mendukung gerakan LGBT adalah intoleran, sebaliknya jika menerima adalah toleran.

Kenyataannya, ragam sikap atas LGBT jauh lebih majemuk dari dua pilihan identitas yang dipaksakan tersebut. Situasi ini membuat perdebatan menjadi brutal dan sulit ditemukan jalan untuk mempertemukan pandangan.

Kondisi makin sulit apabila ada provokasi-provokasi kedua belah pihak dalam bentuk hinaan-hinaan atau perendahan. Maraknya penggunaan media sosial mempercepat dan mudah menyulut antagonisme dua sisi itu makin mengristalkan kebencian.

Tak jarang, kelompok yang dipandang toleran pun melakukan provokasi ini, sehingga akhirnya sulit dipilah mana kelompok toleran dan mana yang intoleran.

Reduksionisme identitas ini dalam banyak kasus memicu konflik sektarian dan memicu intoleransi yang makin meluas

Tentu kita masih ingat bagaimana oposisi biner semacam ini memaksa Rwanda harus mengalami tragedi berdarah antara dua suku terbesarnya, Hutu dan Tutsi.

Pun dengan kasus pembantaian tahun 1965, yang dipicu oleh politik pemecahan identitas tunggal antara yang dianggap komunis dan bukan komunis.

Selain itu, identitas yang dipaksakan ini juga menyulitkan tercapainya kerangka persaudaraan dalam peradaban yang terangkai dalam istilah berbeda-beda dalam keberagaman.

Nalar kemanusiaan dalam kondisi ini juga menjadi mati, karena pikiran dipaksa masuk dalam kotak yang sudah dibentuk oleh opini publik. Padahal, harmoni dalam ragam identitas hanya akan terbentuk apabila pemilahan tajam tak dilakukan.

Kita selalu dengan mudah menohok muka orang atau kelompok identitas lain sebagai biang kejahatan dan kezaliman, yang kemudian menularkan virus buruknya itu ke kita.

Namun kerap kita lupa, bahwa kebusukan itu telah mengendon lama dalam hati dan pikiran kita yang tidak pernah mau adil sedari awal.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mudah sekali melabeli orang atau kelompok lain sebagai ini itu, yang kerap kali bertendensi negatif.

Pelabelan yang belum tentu benar, dan dilakukan hanya karena orang itu berbeda dengan kita, baik agama, ras, suku, maupun pandangan politik.

Dalam Potrait of the Anti-Semite, filsuf asal Perancis, Jean Paul Sartre menggambarkan sikap labelisasi dan main tuduh yang akut itu dengan sebuah kalimat yang sangat masuk akal, “Yahudi adalah seseorang yang dipandang oleh orang lain sebagai Yahudi;… kaum anti-Semitlah yang membuat orang Yahudi.”

Sartre hendak mengatakan, seringkali cap terhadap seseorang berdasarkan sikap yang sekadar anti, dengan kategorisasi yang tak selalu benar.

Situasi ini seringkali berbuntut dengan pelecehan, yang biasanya akan menyulut terjadinya tindak kekerasan terhadap orang yang diberi cap jelek.

Problem identitas tersebut sesungguhnya juga tak lepas dari fenomena fundamentalisme yang terkait dengan regangan proses globalisasi, yang disebut oleh Anthony Giddens telah memunculkan individualisme baru sehingga memicu hadirnya tradisi dan ritual.

Dari proses itu, maka tidak heran globalisasi memicu lahirnya identitas baru yang memroduksi aneka kemungkinan dan identifikasi posisi baru.

Dalam situasi tersebut, identitas, menurut Giddens dalam bukunya berjudul The Third Way: The Renewal of Social Democracy, menjadi lebih politis, beragam, menyatu, dan trans-historis.


Sengkarut Pkonomi-Politik

Namun, problem toleransi tak melulu mengenai persoalan identitas. Di dalamnya juga terdapat silang sengkarut problem ekonomi politik yang dalam perkembangannya menyemai dan memberi tempat bagi bertumbuhya gerakan-gerakan fundamentalisme.

Selain ditandai tumbuhnya demokrasi, Era Reformasi juga diwarnai dengan ledakan jumlah kelas menengah di Indonesia ke dalam angka yang signifikan.

Dalam bukunya berjudul In Search of Middle Indonesia, Profesor Ilmu Politik dari Universitas Amsterdam, Gerry van Klinken menyebutkan, kelas menengah Indonesia yang pada tahun 1995 hanya tercatat 10 persen dari populasi, berkembang menjadi 45 persen pada tahun 2009.

Selain karena pertumbuhan ekonomi, peningkatan kelas menengah tersebut juga dipicu oleh kebebasan politik yang tumbuh seiring demokratisasi.

Namun di tengah ledakan jumlah kelas menengah tersebut, Indonesia juga mengalami problem akut dalam pemerataan ekonomi, yaitu membengkaknya ketimpangan kaya dan miskin.

Hal ini tercermin dari rasio gini di negeri ini yang berdasarkan kajian Bank Dunia pada tahun 2014 lalu menunjukkan kenaikan pesat, dari 23 pada tahun 2003 menjadi 41 pada tahun 2014.

Pada tahun 2015, Bank Dunia juga mencatat, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 kekayaan negara, dan 1 persen orang terkaya menguasai 50 persen kekayaan negara. Pada tahun 2007, 10 persen orang terkaya menguasai 70 persen kekayaan negara.

Hal ini menandakan adanya lonjakan ketimpangan ekonomi dalam tujuh tahun terakhir di Indonesia. Dengan angka distribusi kekayaan negara tersebut, Indonesia tercatat sebagai negara dengan ketimpangan penguasaan kekayaan negara paling tinggi kedua di dunia setelah Rusia.

Dalam bukunya berjudul Oligarki, pakar ekonomi politik dari Universitas Northwestern, Jeffrey Winters menyebutkan, pada tahun 2010, rata-rata kekayaan bersih 40 oligark terkaya di Indonesia lebih dari 630.000 kali lipat produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia (di Thailand dan Korea Selatan kesenjangannya hanya 190.000 dan 69.000).

Meskipun kaum oligark itu kurang dari 2 per 1.000.000 jumlah penduduk, gabungan aset mereka setara dengan 10 persen PDB (Jeffrey Winters, 2014).

Sekalipun kita memperluas lensa pengamatan hingga mencakup 43.000 orang Indonesia dengan aset keuangan lancar sekitar 1 juta dollar AS, hasilnya masih menunjukkan konsentrasi sumber daya kekuasaan material sangat besar tetap di tangan segelintir orang.

Lalu, apa korelasi antara ketimpangan ekonomi tersebut dengan meningkatnya intoleransi di Indonesia?

Ketimpangan ekonomi yang kian menganga menandakan berlipatnya jumlah penduduk yang tersingkirkan dari perputaran sebagian besar kue ekonomi. Hal itu rawan memicu kekecewaan-kekecewaan dan frustasi sosial-ekonomi masyarakat.

Pada saat yang bersamaan, reformasi menghadirkan kebebasan dari kekangan rezim otoritarian, termasuk terbebasnya simpul-simpul identitas yang dulu tertindas.

Sen mengatakan, dalam frustasi sosial ekonomi, identitas menjadi begitu penting sebagai tempat persembunyian yang nyaman.

Tak sedikit di antara mereka yang kecewa dan tersingkir tersebut bergabung dengan kelompok-kelompok atau organisasi keagamaan yang juga tumbuh subur pada era reformasi ini, yang dalam prakteknya kerapkali mereka menginterpretasikan identitas keagamaan yang fundamentalis.

Fundamentalisme relijius ini, menurut Sen, merupakan konstruksi identitas di bawah identifikasi perilaku individu dan lembaga-lembaga sosial kepada aturan yang diturunkan Tuhan, diinterpretasikan oleh otoritas keagamaan yang menjadi perantara hubungan Tuhan dengan manusia.

Inilah yang membuahkan terjadinya reduksi dunia sebagai federasi agama yang memicu konflik berbasis afilias tunggal keagamaan.

Dalam satu dekade terakhir, kita melihat sepak terjang organisasi keagamaan yang fundamentalis dan bahkan cenderung ekstrimis dalam menjalankan aktivitasnya. Mulai dari merazia tempat prostitusi, pub, café, hingga menutup rumah-rumah ibadah milik kelompok minoritas.

Mereka bergerak laksana preman-preman dengan menggunakan medium kekerasan. Merekrut orang-orang miskin hingga kelas menengah perkotaan yang tersingkir dari persaingan ekonomi yang kian tak menguntungkan wong cilik.

Tak sedikit di antara mereka adalah orang-orang yang tersingkir dari tanah-tanah milik orangtua atau kakek-nenek mereka yang telah berubah menjadi mal, perumahan mewah, maupun deretan ruko-ruko milik orang kaya.

Situasi psikologis yang penuh tekanan dan perasaan frustasi karena ketersingkiran tersebut memudahkan perekrutan. Terlebih dengan penggunaan simbol-simbol keagamaan.

Selain itu, rasa frustasi sangat mudah diorganisir untuk diarahkan sebagai sebuah kekuatan massa dengan psikologi jalanan yang kapanpun siap dimobilisasi atas nama dogma dan ketaatan kepada tokoh spiritual organisasi itu.

Situasi psikologis dalam ketersingkiran dan frustasi ini juga mudah menjadi ladang bagi kelompok jaringan teroris untuk merekrut kader-kader militan guna menjalankan aksi-aksi terornya.

Komunalisme identitas keagamaan di Indonesia seringkali juga dibungkus oleh kepentingan elite politik lokal dan nasional. Tujuannya adalah memperebutkan sumber daya ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Umumnya, kelas menengah, yang dalam struktur demografi jumlah kian membesar, menjadi sasaran utama.

Membengkaknya jumlah kaum oligark dalam politik ekonomi di Indonesia (seperti yang diungkap Jeffrey Winters di atas) seiring melebarnya ketimpangan ekonomi, makin membuat pemanfaatan komunialisme agama sebagai strategi politik menjadi tren yang meluas.

Dengan penguasaan sumber-sumber ekonomi yang kian berlipat yang dimiliki oleh elite-elite politik lokal maupun nasional, mereka kian mampu memobilisasi massa dengan menggunakan simbol-simbol identitas keagamaan untuk meraih kepentingan jabatan politik.

Di sini, benturan identitas menjadi semakin rawan oleh karena dipicu pertarungan politik para elite tersebut.

Maka, menurut Gerry van Klinken, tidak mengherankan apabila salah satu ciri kelas menengah di sebagaian besar kota-kota di Indonesia adalah bertumbuhnya sikap konservatif mereka dalam beragama.

Eksistensi organisasi keagamaan yang tak toleran itu nyaris tak tersentuh sikap tegas negara. Keberadaan mereka cenderung aman, bahkan negara kerap membiarkan aksi-aksi intoleran yang mereka lakukan berlagsung.

Tumpang tindih kepentingan elite politik dalam memainkan sentimen komunalisme keagamaan sebagai basis dukungan massa, bertemu dengan kepentingan negara yang ingin tetap terjaga keamanan kekuasaannya, terutama demi memenangkan politik pemilihan.

Dengan mayoritas penduduk beragama Islam, memainkan sentimen keislaman masih dipandang strategi yang bagus untuk meraup suara.


Kapitalisme Agama di Ruang Publik

Dalam satu dekade terakhir, ruang publik kita dikuasai oleh dua kekuatan fundamentalis utama, yaitu fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Kontestasi keduanya sangat mengemuka.

Walaupun keduanya bermain dalam tatanan simbolis yang berbeda, namun mereka mempunya sasaran yang sama yang hendak direbut, yaitu khalayak atau orang banyak.

Maka tidak heran, dalam beberapa waktu terakhir, ruang publik, terutama di dunia maya (media sosial), pertautan keduanya menjadi dominan.

Seiring dengan itu, ada kecenderungan menarik di Indonesia seiring berjalannya demokratisasi, yakni menguatnya islamisasi, sebuah kultur keislaman baru yang salah satunya ditandai dengan peningkatan kesadaran membawa simbol-simbol Islam dalam ranah publik, termasuk ke bidang-bidang yang sesungguhnya sekuler bahkan kapitalistik.

Sebuah kultur baru yang sangat tak terbayangkan sebelumnya, di mana syariat yang pada dasarnya puritan, bertemu dengan modernitas yang kapitalistik dan konsumtif.

Singkatnya, cara pandang keagamaannya puritan, namun mesra dengan produk-produk kapitalis. Merujuk kepada pandangan Asep Bayat, Ariel Heryanto, dalam bukunya berjudul Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, menyebut fenomena ini sebagai post-islamisme.

Di satu sisi, fenomena post-islamisme ini positif karena memberikan ruang bagi sikap kosmopolitan Islam terhadap modernitas.

Tetapi, hal tersebut pada kenyataannya tak serta merta menyingkarkan puritanisme dalam beragama. Mereka bisa saja menjadi moderat dalam bersyariat, namun puritan saat dihadapkan dengan perbedaan.

Tidak menolak formalisme agama, tapi tiba-tiba dapat menjadi nasionalis kaku saat berhadapan dengan isu-isu tertentu, misalnya dalam tarung wacana peristiwa seputar 1965.

Pada suatu waktu mereka bisa memuja Erdogan, tapi pada saat yang sama bisa terlihat khusyuk dengan UUD 1945 kala terpojok dengan isu-isu hak asasi manusia.

Pada suatu ketika mereka bisa memandang pancasila itu produk sekuler dan kafir, tapi saat lainnya bisa menjadi sangat pancasilais ketika bentrok dengan kelompok yang mereka pandang komunis.

Cara bersikap yang cenderung ambigu sekaligus tetap mewarisi puritanisme ini kerap membawa kelompok besar yang berada dalam gerbong kultur keislaman baru ini bersitegang dengan kultur keislaman yang lain, terutama islam liberal, islam kiri, serta juga dengan kelompok sekuler.

Selain itu, tren kultur keislaman baru yang meluas serta menjadi bagian budaya populer ini kemudian dalam praktiknya lebih banyak dimanfaatkan kekuatan kapitalis, baik lokal maupun internasional untuk mendapatkan khalayak Islam yang sangat besar itu sebagai pasar mereka.

Contohnya produk-produk kecantikan, busana muslim, dan segala pernak-pernik aksesoris keislaman, bisnis marketing berantai, hingga paket perjalanan umrah.

Pelaku-pelaku pasar kerap memanfaatkan pandangan tertentu dalam Islam untuk kepentingan pasar produk-produk mereka. Situasi ini rawan berbenturan dengan pandangan Islam lain, yang memang sangat beragam.

Salah satu contohnya adalah mengenai perselisihan tajam di ruang publik mengenai perlu tidaknya label halal untuk produk-produk busana muslim.


Epilog

Intoleransi harus diakui masih menjadi problem dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini hingga 17 tahun demokratisasi berjalan.

Di dalamnya bukan semata menyangkut menguatnya politik identitas seiring demokratisasi, tetapi juga karena problem struktural yang hadir seiring gagalnya pemerintah di era demokrasi ini menghadirkan pembangunan ekonomi yang memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat.

Ketimpangan ekonomi di negeri ini tampak jelas dari senjangnya distribusi kesejahteraan warga kaya dan miskin.

Sesuatu yang sangat rawan memicu kekecewaan dan frustasi masyarakat sehingga mudah dimobilisasi oleh kelompok fundamentalis tertentu untuk melalukan tindakan ekstrem

Indonesia saat ini juga terancam oleh kekuatan-kekuatan fundamentalis agama dan pasar. Totalitarianisme agama dan anarkisme pasar itu sedang menggerogoti pluralitas, solidaritas para warga, serta keadaban publik bangsa Indonesia secara menyeluruh.

Keberadaan agama dalam ruang publik menimbulkan ketegangan di antara tiga hal, yakni hubungan antara warga yang beriman dan yang sekuler, hubungan antara warga dari satu agama dengan warga dari agama lain, dan hubungan antara kelompok agama dan negara.

Ketegangan ini tak bisa diabaikan guna membangun kehidupan bangsa yang damai dan penuh toleransi.

Merujuk pada pandangan Jurgen Habermas, seperi yang dituliskannya dalam buku The Structural Transformation of The Public Sphere, konsekuensinya agama perlu mengembangkan penalaran publik yang berlangsung dalam perjumpaan dengan agama lain, sains modern, serta negara konsep hukum.

Hal ini juga perlu dibarengi dengan dialog dan komunikasi yang baik antarpemeluk agama, dan juga antaraliran keagamaan.

Lebih jauh lagi, negara harus mampu bersikap netral terhadap berbagai pandangan tentang yang baik di samping mempertahankan netralitasnya atas akal budi rasional sehingga tidak membiarkan justifikasi relijius dalam proses legislasi hukum.

Selain itu, negara juga harus tegas terhadap pelaku tindak intoleran, khususnya jika terindikasi melanggar tindak pidana. Dan, tentu saja negara harus mampu mengurangi ketimpangan kesejahteraan kaya-miskin di negeri ini.

(Satu-Islam/Shabestan/ABNS)

Ditulis Oleh : Unknown ~ Pada Selasa, 05 April 2016

Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel kami yang berjudul Intoleransi, Setan yang Tak Sendirian. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar. Anda dipersilakan copy paste berita ini dengan mencantumkan url sumber : https://abnsnews.blogspot.com/2016/04/intoleransi-setan-yang-tak-sendirian.html

Subscribe for latest Dunia Penuh Berita


0 komentar:

PROFIL ABNS