BEBERAPA waktu belakangan, nama Abu Sayyaf semakin sering terdengar di media nasional terkait penculikan dan penyanderaan terhadap 10 orang anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) di wilayah selatan Filipina.
Meski termasuk kecil dari segi jumlah, kelompok yang didirikan oleh Abdurajak Abubakar Janjalani ini dikenal kejam dalam menjalankan aksi-aksinya. Kelompok Abu Sayyaf adalah pihak yang bertanggung jawab atas pengeboman Superferry 14 yang menewaskan 116 orang pada 2004.
Selain pengeboman, kelompok Abu Sayyaf juga melakukan berbagai tindak kriminal dan aksi teror lain seperti pembajakan, penculikan, bahkan pemenggalan. Sepak terjang mereka membuat kelompok ini dimasukkan dalam daftar teroris internasional oleh PBB, Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada, Malaysia, Indonesia, dan beberapa negara lainnya.
Abu Sayyaf yang berarti “pemegang pedang” dalam bahasa Arab didirikan pada 1991 oleh Abdurajak Abubakar Janjalani, seorang militan Islam Filipina yang ikut bertempur melawan pasukan Uni Soviet di Afghanistan pada 1980-an, merupakan pecahan dari kelompok separatis yang lebih dahulu ada di Filipina yaitu Moro National Liberation Front (MNLF).
Janjalani mendapatkan bantuan dana dari pengusaha Arab Saudi sekaligus ipar dari pendiri Al-Qa’idahh, Osama bin Laden yaitu Mohammed Jamal Khalifa untuk membentuk Abu Sayyaf pada awal 1990-an.
Saat didirikan, Abu Sayyaf selalu menyatakan pembentukan negara Islam yang merdeka sebagai tujuan perjuangan mereka, namun pada perkembangannya, kelompok ini mulai menyimpang dari tujuan awal dan bertindak layaknya bandit yang didorong oleh harta benda. Meski mereka mengaku sebagai Mujahidin dan pejuang namun kelompok ini tidak mendapatkan dukungan dari rakyat Filipina termasuk golongan ulamanya.
Aksi pertama Abu Sayyaf dimulai pada 1991 saat mereka melakukan serangan di Mindanao yang menewaskan dua warga negara AS dengan ledakan granat. Mereka juga terlibat dalam serangkaian aksi pengeboman lainnya pada periode 1994-1995, dan penyerangan di Kota Ipil, Mindanao pada April 1995 yang menewaskan 53 orang.
Aksi Penculikan
Setelah Janjalani tewas dalam baku tembak dengan pihak keamanan pada 1998, kepemimpinan Abu Sayyaf diambil alih oleh adiknya, Khadaffy Janjalani. Di bawah kepemimpinan Khadaffy, Abu Sayyaf semakin jauh dari tujuan semula mereka dengan lebih banyak melakukan penculikan demi uang dan beralih dari aksi pengeboman yang selama ini mereka lakukan.
Pada April 2000, Abu Sayyaf melebarkan operasi mereka ke Malaysia dengan menculik dan menyandera 21 orang termasuk 10 turis asing dari Eropa dan Timur Tengah dari resor wisata di Pulau Sipadan, dan membawa mereka ke Pulau Jolo, Filipina.
Penyanderaan baru berakhir setelah upaya penyelamatan yang dilakukan pasukan Filipina pada September 2000 berhasil membebaskan semua tahanan, kecuali seorang warga negara Filipina yang baru bebas pada 2003.
Setahun kemudian, pada Mei 2001, Abu Sayaf kembali menyerbu sebuah resor wisata Dos Palmas di Pulau Palawan dan menawan 20 orang termasuk tiga warga negara asing. Penyanderaan kali ini tidak berakhir baik dengan kegagalan upaya penyelamatan yang mengakibatkan lebih dari 40 orang tewas termasuk seorang warga negara AS dan 22 tentara Filipina.
Selain aksi penculikan, kelompok pimpinan Khadaffy ini juga bertanggung jawab atas aksi teror terburuk di Filipina saat mereka meledakkan kapal superferry 14 yang menewaskan 116 orang. Mereka juga dikaitkan dengan kelompok pelaku Bom Bali 2002 jemaah Islamiyah yang menewaskan 202 orang.
Bergabung dengan ISIS
Sepak terjang Abu Sayyaf mulai berkurang dan kelompok itu mulai kehilangan wilayah kekuasaannya setelah Pemerintah Filipina memulai operasi penumpasan besar-besaran pada Agustus 2006. Beberapa saat setelah dimulainya operasi tersebut, Khadaffy Janjalani dilaporkan tewas dalam sebuah baku tembak pada September 2006.
Pasca-kematian Khadaffy, Abu Sayyaf mengalami kemunduran, selain karena kehilangan sumber dana akibat kematian dua orang petingginya yang memiliki hubungan dengan donor di Timur Tengah, mereka juga tidak menemukan sosok pemimpin baru untuk menyatukan kelompok yang terpecah.
Kemunduran ini membuat faksi-faksi dalam Abu Sayyaf berpaling dari Al-Qa’idah dan bersumpah setia kepada kelompok pimpinan Abu Bakr al Baghdadi, ISIS. Pada 2014, kelompok Abu Sayyaf pimpinan Isnilon Hapilon mengeluarkan sebuah video yang menyatakan kesetiaan mereka kepada ISIS.
Sumpah setia Isnilon dan kelompoknya diikuti juga oleh kelompok-kelompok lain, termasuk batalion Anshar Al-Syari‘ah, Ma‘rakah Al-Anshar, dan Jund Al-Tawhid 2016.
Belum jelas apakah sumpah setia ini berati Abu Sayyaf telah membelot sepenuhnya dari Al-Qa’idah ataukah tindakan ini hanyalah perbuatan beberapa kelompok saja. Satu hal yang pasti, Abu Sayyaf masih merupakan salah satu kelompok paling berbahaya di Filipina.
(Oke-Zone/Shabestan/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar