Lelaki Saudi mengunjungi Ain Zubaida, situs arkeologi di kota suci Makkah yang selama ratusan tahun dijadikan sumber air penting di wilayah gurun (Foto: Independent)
Krisis ekonomi Arab Saudi berbuntut panjang. Negara yang dulu dijuluki petro dollar ini mulai memberlakukan pajak kepada warga untuk menutup defisit APBN, termasuk pajak air bersih. Ketersediaan air pun diprediksi akan habis dalam 13 tahun ke depan.
Hal itu diunkapkan akademisi King Faisal University Mohammed al-Ghamdi sebagaimana dilansir surat kabar Al-Watan Arabic, Jumat 19 Februari 2016.
Al-Ghamdi memperingatkan, habisnya air bersih di Kawasan Teluk tidak lepas dari tingginya konsumsi air per kapita. Konsumsi air di kawasan ini bahkan disebut tertinggi di dunia.
Habisnya persediaan air bersih di Timur Tengah juga sudah dirilis dalam laporan Bank Dunia tentang kelangkaan air, demikian dilansir Konsumsi air per kapita di Arab Saudi mencapai 265 liter, dua kali rata-rata konsumsi per kapita Uni Eropa.
“Prakiraan resmi juga menunjukkan penurunan drastis level air di lahan pertanian. Ini mengindikasikan ada persoalan serius,” kata al-Ghamdi said.
Kondisi ini ia nilai berbahaya bagi masa depan pertanian Arab Saudi. Apalagi, Arab Saudi amat tergantung pada sumber air tanah dan air hasil desalinasi air laut. Di sisi lain, proses desalinasi sangat intensif menggunakan energi.
Kaibat krisis air berimbas ke pertanian di negara yang identik dengan minyak itu. Para ahli klimatologi percaya, krisis air sebenarnya sudah jadi persoalan sejak 1983 saat kerajaan memutuskan untuk menanam gandum.
Sekarang, pertanian gandum sudah dilarang. Namun pertanian zaitun Saudi juga diprediksi mengalami ancaman krisis air paling kompleks di dunia.
Negara tetangga Arab Saudi, Uni Emirat Arab berinvestasi besar pada teknologi pembuatan awan untuk memicu hujan. Bank Dunia menyebut kelangkaan air jadi masalah utama dunia. Pada 2030, diharapkan ada perubahan prakiraan ketersediaan air.
(The-Independent/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar