Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz menekan tombol dimulainya proyek perluasan ketiga Masjid Al-Haram di Kota Makkah. (Foto: SPA)
Saudi bekerja sama dengan perusahaan keamanan tersohor asal Israel G4S buat mengamankan pelaksanaan haji saban tahun. Kerja sama ini telah berlangsung sejak 2011 dengan nama Al-Majal G4S.
Palestina sangat membutuhkan sokongan jujur dan kongkret dari negara-negara Arab dan muslim dalam perjuangan mereka. Tapi barangkali harapan itu masih sulit terwujud seperti diakui Khalid Misyaal. “Tidak diragukan lagi, negara-negara Arab dan muslim memiliki banyak persoalan. Umat Islam saat ini masih lemah dan terpecah,” katanya. “Tiap negara mempunyai masalah sendiri dan tidak ada strategi bersama buat menghadapi penjajahan Israel.”
Tengok saja kelakuan Arab Saudi, negara tempat kiblat umat Islam berdiri. Pelan tapi pasti borok itu tersingkap. Saudi dan Israel ternyata diam-diam menjalin hubungan, seperti dikutip dari buku Gaza: Simbol Perlawanan dan Kehormatan karya Faisal Assegaf (terbitan Hamaslovers, Agustus 2014).
The Sunday Times pertama kali melansir informasi itu pada November 2013. Surat kabar ini menulis Riyadh dan Tel Aviv tengah menyiapkan rencana menyerbu Iran. Saudi bakal mengizinkan wilayah udara mereka dilintasi jet-jet tempur Israel. Mereka juga siap membantu operasi penyelamatan dengan menyediakan helikopter, jet tempur dan pesawat pengebom nirawak. Laporan kantor berita semiresmi Iran Fars menguatkan kecurigaan itu.
Mereka menyebut kepala dinas intelijen Saudi Pangeran Bandar bin Sultan bertemu Direktur Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel) Tamir Pardo dan sejumlah pejabat intelijen Israel lainnya. Perjumpaan ini berlangsung saat perundingan soal program nuklir Iran tengah berjalan di Kota Jenewa, Swiss. Kedua pihak membahas bagaimana mencegah Iran menguasai teknologi senjata nuklir, mengontrol kelompok jihadis di Suriah, mengenyahkan Al-Ikhwan al-Muslimun, dan menghentikan gelombang Revolusi Arab.
Perundingan nuklir Iran itu berakhir dengan kesepakatan sementara Teheran bersedia menyetop program pengayaan uranium. Sebagai balasan, Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina harus mencabut sanksi. Mereka juga setuju memberi bantuan US$ 7 miliar bagi Iran buat mengurangi beban akibat sanksi selama ini.
Hasilnya bisa ditebak. Saudi dan Israel menolak kesepakatan itu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut itu sebagai kesalahan sejarah. “Saudi dan Israel ketakutan dengan kebijakan Amerika terhadap Iran sekarang,” kata mantan diplomat Amerika John Graham, seperti dilansir stasiun televisi Russia Today.
Kedua negara sama-sama mencemaskan menguatnya pengaruh Iran di Timur Tengah. Jika Negeri Mullah itu berhasil menjadi negara berkekuatan nuklir, dominasi Israel sebagai satu-satunya negara adikuasa di kawasan ini bakal terancam. Apalagi rezim di Teheran tidak sekadar menolak mengakui Israel. Mereka juga bersumpah melenyapkan negara Zionis itu.
Bagi Saudi, terus bertiupnya Musim Semi Arab bisa mengancam stabilitas negara-negara kerajaan di Teluk Persia. Kekuasaan mereka secara turun temurun bakal hancur digantikan kelompok-kelompok Islam lebih berkiblat kepada Iran.
Informasi rahasia soal kedekatan Saudi dan Israel terus bergulir. Menurut Radio Israel, delegasi militer Saudi dipimpin Wakil Menteri Pertahanan Amir Salman bin Sultan baru-baru ini melawat ke Israel. “Delegasi Saudi bertemu sejumlah pejabat keamanan Israel,” ujar beberapa sumber seperti dikutip koran Al-Manar. “Bin Sultan mengunjungi pula salah satu markas militer ditemani seorang pejabat senior Israel.”
Kontroversi belum selesai. Diplomat kedua negara juga bertemu di sela Konferensi Kebijakan Dunia di Monako. Mantan menteri intelijen dan pernah menjabat duta besar Saudi untuk Amerika, Pangeran Turki al-Faisal, bersalaman dengan bekas duta besar Israel di Washington Itamar Rabinovich dan anggota Knesset Meir Shitrit. Pada kesempatan itu Pangeran Turki mendesak Israel menerima inisiatif perdamaian dari Saudi. Namun dia menolak menerima undangan berpidato di hadapan anggota Knesset.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Saudi membantah negaranya menjalin kontak dengan Israel. “Riyadh tidak menjalin hubungan atau kontak dengan Israel dalam bentuk apapun dan di tingkat apapun.”
Tapi paling ironis, Saudi bekerja sama dengan perusahaan keamanan tersohor asal Israel G4S buat mengamankan pelaksanaan haji saban tahun. Kerja sama ini telah berlangsung sejak tiga tahun lalu dengan nama Al-Majal G4S.
Direktur lembaga nirlaba Friends of Al-Aqsa Ismail Patil memprotes kebijakan itu lewat surat terbuka. “Tidak bisa diterima Saudi mengizinkan perusahaan terlibat penjajahan Israel dan penyiksaan atas rakyat Palestina menangani keamanan jamaah haji,” tuturnya.
Seorang juru bicara G4S menegaskan mereka tidak menangani langsung masalah keamanan haji. “Yang kami lakukan adalah memberi dukungan keamanan bagi klien-klien di Saudi memerlukan tambahan sokongan selama musim haji.”
*****
Februari 2009. Beberapa pekan setelah Israel selesai menggempur Jalur Gaza, kepala protokol Kementerian Luar Negeri Qatar mengundang Roi Rosenblit, kepala perwakilan Israel di Ibu Kota Doha, ke kantornya. Rosenblit sudah tahu apa bakal dia hadapi.
Sebab beberapa hari sebelumnya Perdana Menteri Qatar Hamad bin Jassim marah besar lantaran perang itu merenggut 1.400 nyawa warga Palestina, sedang di pihak Israel hanya 13 orang terbunuh. Lewat siaran langsung stasiun televisi Al-Jazeera, dia mengumumkan periode normalisasi hubungan dengan negara Zionis itu perlu dihentikan.
Diplomat Qatar itu menyambut Rosenblit hangat seperti biasa, menyediakan teh dan zaatar, kemudian menyerahkan sebuah amplop. Isinya pemerintah Qatar dengan bahasa santun meminta Israel menutup kantor perwakilan mereka di Jalan Al-Buhturi nomor 15, Doha. Para diplomat negara Bintang Daud itu mesti meninggalkan Qatar.
Sejak saat itu Israel tidak lagi memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab di Teluk Persia. Atau bahkan sebaliknya?
Banyak pihak percaya Tel Aviv masih memelihara hubungan dengan sejumlah negara Teluk tapi secara rahasia. Israel dengan lantang berharap bisa memperkuat kerja sama dengan mereka.
Pada 18 Juli 2013, Kementerian Luar Negeri Israel membuka akun Twitter khusus bagi penduduk di kawasan Teluk. Mereka tergabung dalam organisasi Dewan kerja Sama Teluk (GCC) adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain, dan Kuwait.
Kurang dari sebulan, Kedutaan Besar Israel virtual untuk GCC ini kebanjiran lebih dari 1.100 pengikut. Saat Idul Fitri akun itu menggelar obrolan dengan Rafi barak, direktur jenderal di Kementerian Luar Negeri Israel. Dia berkali-kali menyampaikan slogan Israel tertarik berdamai dan membina hubungan dengan semua negara tetangga.
Seorang warga Kuwait bertanya bagaimana dia bisa berkunjung ke Israel karena di negaranya tidak ada Kedutaan Israel. “Anda bisa mengajukan visa ke kantor perwakilan Israel di luar negeri,” kata Barak.
Benoit Chapas, pejabat Uni Eropa urusan negara Teluk, menanyakan apakah Israel berencana membuka kembali kantor perwakilan mereka di kawasan Teluk. “Kami akan senang melakukan itu,” jawab Barak.
Kenyataannya, Israel telah membuka kantor perwakilan diplomatik di negara Teluk Persia. Berdasarkan anggaran belanja 2013, Israel selama 2012-2013 sudah membuka sebelas kantor perwakilan di seluruh dunia, termasuk satu di kawasan Teluk. Namun di mana dan berapa diplomat ditugaskan masih rahasia.
Tidak semua orang di Kementerian Luar Negeri Israel mendukung pembukaan kedutaan virtual itu. “Kegiatan virtual ini bakal membuat kegiatan nyata berisiko,” ujar seorang diplomat.
Israel dan dunia Arab sejatinya sudah menjalin hubungan selama beberapa dekade, kebanyakan secara rahasia. Pada 1990-an, setelah Perjanjian Oslo 1993 diteken oleh Presiden Otoritas Palestina Yasir Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, ikatan politik dan ekonomi antara kedua pihak menguat. Situasi ini membuat Kamar Dagang Israel mengeluarkan buku panduan berbahasa Ibrani soal bagaimana berbisnis di negara-negara Teluk Persia.
Pada 1994, Rabin mengunjungi Oman dan disambut Sultan Qabus bin Saad as-Said. Setahun kemudian, beberapa hari setelah Rabin terbunuh, Perdana Menteri Israel Shimon Peres menerima lawatan Menteri Luar Negeri Oman Yusuf bin Alawi.
Pada Januari 1996, Israel dan Oman – selalu dianggap sebagai sahabat Tel Aviv di GCC – menandatangani perjanjian buat saling membuka kantor dagang. “Oman meyakini langkah ini bakal mengarah pada kelanjutan proses perdamaian dan meningkatkan stabilitas di kawasan,” kata Kementerian Luar Negeri Israel. Mereka menyatakan tugas utama kantor perwakilan ini untuk membangun hubungan dagang dan ekonomi dengan Oman serta bekerja sama di sektor air, pertanian, kesehatan, dan telekomunikasi.
Selang beberapa bulan, Peres melawat ke Oman dan Qatar buat meresmikan kantor dagang Israel di ibu kota kedua negara itu.
Menurut seorang diplomat Israel, kantor dagang di Muskat dan Doha ini masing-masing berisi tiga diplomat. Kantor ini beroperasi seperti kedutaan, tapi tanpa kibaran bendera Bintang Daud di halaman sebagai penanda.
Namun hubungan dengan Oman cuma bertahan empat tahun. Setelah meletup intifadah kedua, penguasa Oman menyadari opini rakyatnya anti-Israel sehingga mesti menghentikan kerja sama dan menutup kantor perwakilan Israel di sana. Kementerian Luar Negeri Israel menyesalkan keputusan itu. “Saat krisis sangat penting jalur komunikasi antara kedua negara tetap dibuka.”
Meski kantor di Jalan Al-Adhiba, Muskat, ditutup, pemerintah Oman diam-diam mengizinkan diplomat Israel tetap menjalankan tugas mereka selama hubungan itu masih bisa dirahasiakan.
Qatar menyusul jejak Oman sembilan tahun kemudian. Seperti Sultan Qabus, Emir Qatar Syekh Hamad bin Khalifah menyarankan diplomat Israel terus bekerja seperti biasa asal masih dalam pengawasan mereka.
Beberapa bulan kemudian, Syekh Hamad dua kali menawarkan kepada Israel buat memperbaiki hubungan, termasuk membuka kembali kantor perwakilan di Doha. Sebagai balasan, Qatar meminta Israel membolehkan sejumlah negara Arab Teluk berperan penting dalam membangun kembali Jalur Gaza. Mereka menuntut pula Tel Aviv secara terbuka menyampaikan penghargaan atas peran Qatar dan mengakui pentingnya negara itu di kawasan.
Menurut koran Haaretz, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tadinya menerima gagasan itu, namun akhirnya menolak. Sebab Qatar juga mendesak agar diizinkan mengirim semen dan bahan bangunan lain ke Gaza dalam jumlah besar. Israel menilai tuntutan itu bisa mengganggu keamanan mereka. “Qatar tidak bisa berharap perbaikan hubungan dengan Israel tanpa sepakat membuka lagi kantor dagang,” tutur seorang pejabat senior Israel seperti tercantum dalam kabel diplomatik dibocorkan WikiLeaks.
Sejauh ini baru Oman dan Qatar terang-terangan menyatakan ingin memelihara hubungan diplomatik dengan Israel. Boleh jadi negara Yahudi ini masih menjalin kontak dengan sebagian besar negara di Teluk Persia. Hubungan rahasia ini menjadi wewenang Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel).
Misalnya Bahrain. Manama dan Tel Aviv tidak pernah membina hubungan diplomatik, tapi pada 2005 Raja Hamad bin Isa al-Khalifah bilang kepada seorang duta besar Amerika, negaranya menjalin hubungan dengan Mossad. Raja Hamad juga ingin bekerja sama di bidang lain. Tapi syaratnya sungguh sulit: solusi dua negara mesti terwujud.
Dokumen lain WikiLeaks mengungkapkan para pejabat kedua negara itu beberapa kali bertemu, termasuk pertemuan antara Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni dan Menteri Luar Negeri Bahrain Syekh Khalid bin Ahmad al-Khalifah pada 2007 di Kota New York, Amerika.Dua tahun kemudian, Syekh Khalid mengisyaratkan ingin berjumpa Netanyahu buat menghidupkan lagi proses perdamaian. Tapi dia mengurungkan niat itu.
Tidak sulit mencari tahu alasan negara-negara Teluk mau mendekati Israel. Sebab Israel adalah negara adikuasa di kawasan itu. Apalagi Israel bersumpah bakal menghalangi saban langkah Iran mengembangkan senjata nuklir.
Berpuluh-puluh tahun lalu, negara-negara Teluk bersengketa wilayah dengan Iran meski Israel juga sama mengerikan dengan Iran lantaran berkekuatan nuklir. “Mereka percaya Israel dapat membuat keajaiban,” ujar Yacov Hadas Handelsman, kini duta besar Israel buat Jerman, saat bertemu sejumlah pejabat senior Amerika empat tahun lalu.
Lebih dari itu, negara-negara Teluk ini memiliki kepentingan bersama, yakni mencemaskan kelompok Islam mereka anggap radikal, seperti Hamas, Al-Ikhwan al-Muslimun, dan Hizbullah.
Menurut sejumlah ahli, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait lebih khawatir terhadap Al-Ikhwan ketimbang Iran. “Israel dan negara-negara Teluk berusaha menciptakan stabilitas dan mereka bekerja sama untuk itu. Ini menyebabkan banyak kesempatan buat membina hubungan asal tetap dapat dirahasiakan,” tutur profesor Joshua Teitelbaum, peneliti senior di Begin Sadat Center for Strategic Studies, Universitas Bar-Ilan, Tel Aviv, Israel.
Opini penduduk di negara-negara Arab selalu menolak Israel. Sejumlah ahli menilai Musim Semi Arab seperti sebuah ironi lantaran tidak memudahkan negara-negara Teluk lebih dekat dengan Israel. Para penguasa di sana mesti berpikir dua kali jika ingin membuka tangan terhadap negara Zionis itu.
Bukan karena mereka begitu mencintai dan perduli terhadap nasib bangsa Palestina. Malah sebaliknya, mereka merasa terganggu dengan konflik Palestina-Israel. “Konflik itu mengganggu mereka karena pertikaian ini menguatkan kekuatan radikal di Timur Tengah,” kata Teitelbaum.
Alhasil, semua bakal berlangsung seperti biasa. Kerja sama ekonomi dan intelijen antara negara Arab Teluk dan Israel akan berjalan diam-diam hingga negara Palestina merdeka dan berdaulat terwujud.
Seperti adagium dalam politik: tidak pernah ada musuh atau kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Jadi jangan heran dengan sikap negara-negara Arab kaya di Teluk Persia. Mereka bisa berwajah ganda: bersuara lantang menyokong Palestina, tapi secara sembunyi bermesraan dengan Israel.
(Al-Balad/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar