Mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif menyebut tudingan bahwa dirinya membela Gubernur Ahok dalam kasus Al Maidah 51 adalah salah alamat.
Meminjam istilah Al-Qur’an, Buya Syafi’i – demikian pria ini akrab disapa – menyebut tuduhan itu barangkali tidak lebih dari al-zabad, buih sebagai lambang kebatilan, tidak punya hakikat. Bahkan, akan sirna secara sia-sia.
“Saya bukanlah sejenis orang oportunis, mengais cari makan dengan mengorbankan martabat kemanusiaan saya,” katanya menegaskan bahwa ia tidak mempan dengan berbagai tudingan itu.
Adapun reaksi negatif atas pernyataannya soal “tidak begitu mengenal Ahok” – di forum Indonesia Lawyers Club ditanggapi dingin oleh Buya Syafi’i.
Reaksi pedas ini terutama karena foto Buya Syafi’i yang sedang makan di kantor Gubernur DKI bersama Ahok tersebar di media sosial. Pria 81 tahun ini pun dituduh pembohong oleh sejumlah pihak.
“Masalahnya sederhana saja. Maksudnya saya tidak mengenal Ahok luar-dalam, kenal sekadarnya saja. Tetapi karena dinilai lunak, tidak sejalan dengan arus keras yang sedang bersemangat dalam Lawyers Club itu, maka jadilah saya dituduh sebagai seorang pembohong,” katanya sambil menyebut bahwa foto Desember 2015 itu sudah lama beredar dan sudah dijelaskan konteksnya.
Seperti diketahui, Buya Syafi’i memberikan pernyataannya di ILC via telekonferensi dari Yogyakarta yang sempat mengalami gangguan teknis hingga gilirannya berbicara diundur. Karena itu, Buya Syafi’i yang berada di studio TV One Yogyakarta itu tidak sempat mengikuti pendapat-pendapat keras kontra Ahok di ILC Jakarta.
Akhirnya, pernyataannya – termasuk “Ahok bukan orang jahat” -, dinilai sebagai pro-gubernur DKI yang oleh pemuda Muhammadiyah dilaporkan atas dugaan penodaan agama.
“Inilah risikonya, sekali orang memasuki ranah pinggir politik kekuasaan, tafsirannya menjadi liar tak terkendali,” katanya.
Menurut perkiraan Buya, suasana panas soal Ahok dan Al Maidah 51 juga tidak lepas dengan Pilkada DKI Februari 2017, di mana Ahok sebagai petahana ingin maju lagi berhadapan dengan dua pasangan lainnya. Meski demikian, penulis buku “Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?” mengajak masyarakat untuk saling menghargai perbedaan dan berfikir lebih jernih lagi dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa dan umat Islam.
“Bukankah gejala Ahok ini sebagai pertanda keras dari kegagalan partai-partai Muslim menampilkan pemimpin yang dipercaya rakyat? Belajarlah berfikir jernih,” katanya.
Menghabiskan energi demi kepentingan politik sesaat dengan menyeret nama Tuhan, menurut Buya, justru menjauhkan bangsa ini dari kearifan. Karena itu, ia mengajak untuk memandang lebih jauh lagi, khususnya masalah yang paling mendasar bagi bangsa ini seperti ketidakadilan sosial dan ekonomi.
“Saya akan sangat mendukung sikap agar bangsa ini, khususnya Presiden Jokowi dan Ahok agar mewaspadai bahaya kekuatan kuning yang semakin menguasai dunia ekonomi Indonesia.”
Di mata Buya, jika cengkeraman ini semakin tidak terbendung, akibatnya sudah pasti. “Nasib Nawacita yang ingin berdikari di bidang ekonomi akan lumpuh di ujung perjalanan,” katanya.
Selain itu, Indonesia sedang berada di persimpangan jalan dalam masalah berat ini. Dengan semakin mendekatnya Presiden Filipina Rodrigo Duterte ke kubu Beijing seraya mengucapkan sayonara kepada patron tradisionalnya Amerika Serikat, maka politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sedang dihadapkan kepada ujian berat yang kritikal.
“Oleh sebab itu, dari pada menguras energi untuk mengutuk seseorang, akan lebih elok untuk memandang dengan tajam nasib bangsa ini ke depan yang bisa kehilangan kedaulatannya. Hilangnya kedaulatan sama maknanya dengan pengkhianatan terbuka terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,” katanya.
(Soeara-Moeria/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar